Nadhira menatap tangannya yang bergetar sebab baru saja menampar Livia, selama hidup gadis itu dia tak pernah berlaku buruk, bahkan Nadhira selalu berusaha menyamakan kasih sayangnya terhadap Livia dan Luna.
Tapi sekarang kenapa gadis itu berulah?
Nadhira tak ingin membuat Livia sedih dengan memberikan surat tersebut, dia bahkan menyembunyikan fakta kalau Elisa meninggal karena bunuh diri, namun tingkah Livia sudah keterlaluan, berani sekali dia menggoda Nathan yang saat ini sedang dekat dengan Luna.
Luna bercerita jika selama ini dia menyukai Nathan dan dari yang Nadhira lihat sepertinya perasaan Luna bersambut sebab Nathan yang mengajak Luna jalan- jalan beberapa hari lalu.
Luna bahkan meminta Aarav untuk menjodohkan mereka. Tentu saja karena Aarav mengenal siapa Nathan dia menyetujui keinginan putrinya.
Nathan, Luna dan Livia memang saling mengenal, selain karena mereka sekolah di sekolah yang sama Nathan juga adalah anak dari kerabat bisnis Aarav, jadi jelas keluarga mereka saling mengenal satu sama lain.
Tapi, sekarang bisa- bisanya dia melihat Livia dan Nathan berciuman.
"Sayang." lamunan Nadhira terhenti saat Aarav memasuki kamar.
"Ya?"
"Kenapa, kok ngelamun?" Aarav mendudukkan dirinya di sebelah Nadhira.
Nadhira menghela nafasnya, jelas tak boleh ada yang di sembunyikan dari Aarav, sebab mereka selalu membuka apapun permasalahan yang ada.
"Mas, aku rasa tentang perjodohan Luna, kita perlu pertimbangkan lagi."
"Kenapa? Aku sudah bilang pada Pak Brata, dia menyambut baik, dia bilang akan menyampaikannya pada Nathan lebih dulu."
"Mas, ada yang salah dengan hubungan Livia dan Nathan."
Aarav mengerutkan keningnya "Kok Via, kita lagi bahas Luna kan?"
"Iya, tapi tadi aku lihat-"
Tok ... tok ... tok.
Belum selesai Nadhira berucap suara ketukan pintu menghentikannya "Masuk," ucap Aarav.
"Hai." Luna melongokkan wajahnya di balik pintu "Aku ganggu, gak?" tanyanya saat melihat kedua orang tuanya duduk bersisian di tepi ranjang.
"Enggak, masuk, sayang!" Aarav melambaikan tangannya, hingga Luna memasuki kamar.
"Kenapa?"
Luna melipat bibirnya "Mama marahin Via, ya?" Aarav mengerutkan keningnya menatap pada Nadhira.
Nadhira menghela nafasnya "Livia yang bilang?" jika benar berarti anak itu ingin menciptakan kesalah pahaman diantara mereka.
"Ma, jangan suka marah- marah nanti gak cantik loh." Luna menggeser Aarav lalu bergelayut di tangan Nadhira.
Aarav berdecak lalu memilih beranjak, meski sebenarnya dia penasaran apa yang membuat Nadhira marah pada Livia.
"Mama cuma menegurnya."
"Tapi, kasian Ma, Livia jadinya sedih."
Nadhira berdecak "Kamu jangan ngebela dia terus, apapun itu kalau salah wajib Mama tegur!"
Luna mengerjapkan matanya tak percaya dengan nada tegas yang baru saja keluar dari mulut Nadhira, begitupun Aarav yang kini mengerutkan kening. Biasanya Nadhira tak pernah marah bahkan jika Luna dan Livia melakukan kesalahan dia akan menegurnya dengan pelan lalu kemarahan itu hilang dalam hitungan menit.
"Ma?"
"Kamu harus berhenti terlalu baik, Luna. Jangan jadi pelindung dia terus, kalau enggak dia bisa ngelunjak."
Luna menatap Aarav, dan Aarav segera mengisyaratkan agar anak gadisnya itu segera keluar.
Luna bangkit meninggalkan keheningan hingga pintu tertutup barulah Aarav membuka suara.
"Kenapa?"
Nadhira menghela nafasnya "Aku lihat Livia ciuman sama Nathan, Mas." Nadhira awalnya berniat menjemput Livia yang akan pulang, namun saat tiba di bandara, dia justru melihat Livia memasuki mobil Nathan, Nadhira mengikuti keduanya, hingga dia melihat keduanya keluar dari mobil di depan rumah lalu berciuman.
Aarav terkejut, dan bukan hanya dia saja, Luna yang berdiri di depan pintu tak bisa tak membelalakan matanya.
Jelas dia tak bisa tak mendengar ucapan Nadhira tersebut, sebab rasa penasaran akan sikap Nadhira yang marah pada Livia.
Jadi, setelah pintu tertutup Luna menempelkan telinganya di lubang kunci hingga suara Nadhira terdengar menusuk hatinya.
"Apa?"
"Entahlah, Livia mungkin juga menyukai Nathan."
"Kamu marah karena ini?"
"Jelas aku gak mau dia seperti ibunya, Mas." Luna mengepalkan tangannya lalu berjalan dengan langkah tegasnya ke arah kamar Livia.
***
Livia baru saja keluar dari kamar mandi saat melihat Luna duduk di tepi ranjang "Kamu bisa masuk, aku padahal udah kunci."
"Kamu lupa kita pegang kunci kamar masing-masing?"
Livia mengangguk lalu membawa dirinya ke arah lemari untuk mengeluarkan pakaian. Benar, saking dekatnya mereka, mereka memegang kunci kamar masing-masing agar bisa masuk dengan leluasa.
"Kenapa?" Livia terlalu lelah jika harus mendengar ocehan Luna malam ini, kepalanya sudah terlalu berat, hingga dia menguyur seluruh tubuhnya dengan air dingin agar bisa berpikir jernih.
"Kamu suka Nathan?" Livia tertegun, namun tubuhnya tidak berbalik dan masih mengarah pada lemari pakaiannya. "Kamu gak bilang, dan dengan bodohnya aku bilang kalau aku suka Nathan?" Luna mengepalkan tangannya di atas paha demi menahan sakit di hatinya.
Livia meraih pakaian tidur lalu mengenakannya "Kalau aku bilang aku suka, apa yang akan kamu lakuin?" Livia berbalik menatap Luna.
Luna tertegun dan mendongak "Aku ..." jelas dia bingung, sebab dia juga tak tahu dia akan apa, apa dia bisa merelakan Nathan bersama Livia.
Livia tersenyum tenang "Kalau aku, aku akan melupakan perasaanku, dan membiarkan kamu bersamanya, bahkan meski Nathan mencintaiku."
Luna kembali tertegun "Via," ucapnya dengan tercekat.
"Bahkan meski aku harus sakit hati, aku akan berkorban perasaanku buat kamu." Livia menyilangkan tangannya di d**a.
"Kalau kamu, kamu bisa gak ngelakuin itu?"
Luna menelan ludahnya kasar "Andai kamu dan Nathan saling mencintai, kamu bisa gak kasih dia buat aku?"
Livia menundukkan tubuhnya dan menyeringai "Ayo dong Luna, jawab? Kamu rela hati kamu tersakiti, demi aku?"
Luna mengepalkan tangannya "Kamu ngomong apa sih Via? Aku kan yang tanya, kok kamu malah balik nanya."
"Jawab aja sih, Lun? Kamu mau berkorban demi aku?"
"Mau, kenapa enggak?" meski perkataan itu tegas, namun Livia tahu suara itu sedikit bergetar, dan Luna sedang menahan tangisnya.
Livia menegakkan tubuhnya "Kalau gitu kasih dia buat aku, aku cinta sama dia, gak peduli dia mencintai kamu, akan aku buat dia jatuh cinta sama aku."
Luna mengerjapkan matanya yang tiba-tiba berair, dia mengangguk hingga tawa Livia terdengar membuatnya mendongak.
Livia tertawa sampai terpingkal membuat Luna menatapnya bingung "Via?"
"Kamu lucu banget sih Lun, hahaha ... aduh perut aku sakit banget." Livia menghela nafasnya lalu tersenyum penuh godaan "Yakin kamu kasih dia buat aku?"
"Kamu?" Luna berdiri "Kamu ngerjain aku?"
Livia kembali tertawa "Kamu tahu aku takut banget. Aku denger Mama lihat kamu ciuman sama Nathan."
Livia meredakan tawanya dan tersenyum kecil "Aku tadi pulang di anter Nathan, karena kebetulan aja, terus Mbak Nadhira lihat dan salah paham karena posisi aku yang ya, keliatan lagi ciuman, padahal enggak, aku udah berusaha jelasin, tapi Mama kamu gak mau denger."
"Ish, Mama, bikin takut aja, aku kira beneran."
Livia mengedikkan bahunya acuh lalu mendudukkan dirinya di meja rias dan mengambil sebuah sisir untuk merapikan rambut basahnya "Jadi, gimana sebenernya perasaan kamu sama Nathan?"
Gerakan Livia terhenti "Biasa aja." nada itu terdengar acuh, namun andai Luna melihatnya mata Livia kini menatap sayu penuh kepedihan.
"Beneran?" Luna nampak tersenyum hingga Livia dengan cepat merubah raut wajahnya.
"Iya, lagian seleraku bukan cowok kayak dia. Aku suka yang reg flag, lebih menantang."
"Ya ampun, bahasa kamu." Luna tertawa.
"Terus siapa?" Tanyanya lagi.
"Ada, dia satu kerjaan sama aku, tapi aku belum berani bilang." Livia meringis dalam hati, hanya ini yang bisa dia ucapkan agar Luna segera menghentikan perbincangan ini, karena sungguh hatinya sangat sakit saat ini, menyembunyikan cintanya demi Luna, ya ... tentu saja dia tak bisa membuat luka seperti apa yang Mamanya lakukan, sudah cukup sikap itu membuatnya merasa bersalah, setidaknya dia akan menebus dosa Mamanya terhadap Nadhira.
"Ya udah, aku balik ke kamar dulu, nanti kasih tahu aku siapa dia ya, janji!" peringatnya sebelum pergi.
Livia mengangguk hingga saat pintu tertutup tangisnya kembali pecah.
Apa yang dia lakukan sudah benar kan?