Balas Budi

1036 Words
Kamu harus selalu baik sama Mbak kamu, jangan buat dia bersedih, bahagiakan dia. Maafkan mama yang tidak bisa menyayangi kamu seperti anak yang lain. Dan maaf karena kamu harus menebus semua dosa mama kelak, tapi mama yakin Mbak- mu akan menyayangimu. Mama gak bisa hidup seperti ini Livia, mama percaya mbakmu bisa merawat kamu dan menjadikan kamu anak baik, jangan ikuti mama, jangan jadi tak tahu diri seperti mama, mama sangat buruk, mama menyesal, tapi mama gak punya cukup wajah untuk menghadapi kamu, maafkan mama Livia maaf. Livia menangkup kertas tersebut di d**a dengan isak tangis yang semakin deras. Hatinya sakit bukan main, kenapa dia ada di posisi ini, sejak dulu dia selalu mengalah sebab mengerti jika dia bukan siapa-siapa, namun sekarang pun dia harus kembali merelakan Nathan demi Luna yang ternyata menyukainya. *** Livia masih terdiam dengan menyandarkan menyandarkan punggungnya di ujung ranjang, seragam pramugarinya masih melekat di tubuhnya bahkan sejak dia pulang beberapa jam lalu, sebab dia terpaku dengan apa yang terjadi. Nadhira mengira dia menggoda Nathan, padahal... "Via, kamu pulang!" terdengar suara Luna yang menerobos masuk ke kamarnya, hingga dengan cepat Livia mengusap air matanya. "Kenapa gelap- gelapan sih?" Livia memang sengaja tak ingin menyalakan lampu apalagi dia sejak tadi menangis mengabaikan sekitarnya yang mulai gelap, hingga cahaya dari luar membuat suasananya menjadi remang. "Kenapa, pelayan bilang Mama marah?" tanyanya saat melihat Livia duduk di lantai, dengan ringan gadis itu duduk di sebelah Livia. Livia tersenyum kecut "Gak papa." "Udah, jangan di ambil hati, paling mama marah cuma sebentar, nanti juga enggak lagi." Luna menenangkan. Livia hanya diam dan mengangguk. "Oh, iya, satu minggu lagi aku ikut peragaan di Paris, kamu tahu gaun yang aku buat sekarang gaun pengantin?" Luna mulai bercerita, seperti itulah selama ini, Luna akan bicara dengan ceria, menceritakan apa saja yang dia lakukan dan dia capai selama Livia tak ada, dan Livia akan dengan senang hati mendengarkan meski itu adalah keluh kesah. "Oh ya?" Luna mengangguk "Aku seneng banget deh, nanti kalau kamu nikah aku buatin kamu gaun, oke. Tenang buat kamu aku kasih geratis." Luna tersenyum menampilkan senyum cantiknya. "Hmm." Livia merasa angannya tentang pernikahan akan semakin jauh saat ini. "Kamu sendiri gimana?" Luna mulai bertanya. "Apa?" "Apa aja yang kamu lakuin selama penerbangan? Aku denger pilot disana ganteng- ganteng?" "Biasa aja, seperti biasa." dan begitulah, Livia tak seterbuka Luna dalam segala hal, bahkan untuk menceritakan kesehariannya, dia lebih suka memendamnya, atau mungkin bicara pada Nathan, meski dia selama ini tinggal bersama Luna dan kedua orang tuanya tapi Livia menyadari ada batas dimana dirinya menempatkan posisinya. Dan saat ini dia lebih menyadari lagi dimana dia sebenarnya. "Kamu kebiasaan deh, gak pernah bilang." Luna mencebik kesal. "Apa yang mau aku bilang, Lun. Semuanya emang biasa aja." beruntung suasana ini masih remang hingga Luna tak bisa melihatnya yang kembali meneteskan air matanya. Livia hanya menggigit bibirnya menahan isak tangis yang ingin dia keluarkan "Oh, satu lagi. Kamu inget Nathan?" Degh! Jantung Livia terasa kembali berdenyut sekarang hingga dia tak bisa menjawab sebab lidahnya yang tercekat, bahkan hanya sekedar bergumam. "Kemarin dia ngajak aku jalan- jalan, eh ... aku pernah bilang gak kalau aku suka dia?" Livia menunduk dengan mengepalkan tangannya. "En- gak." jelas Livia tak tahu karena itu dia terkejut saat Nadhira mengatakan jika Luna menyukai Nathan. "Oh, enggak ya ... mungkin aku cuma bilang sama Mama, aku suka dia sejak dulu sih, tapi aku pikir dia enggak, jadi aku mencoba biasa aja, tapi beberapa hari terakhir dia datang ajak aku jalan- jalan, aku kira dia juga suka aku deh." Luna mulai tersenyum malu- malu, andai suasananya tak temaram mungkin Livia bisa melihat pipi itu memerah. Livia menghela nafasnya menguasai suaranya yang terus terasa tercekat dan nafas yang semakin sesak. Jadi ini adalah kesalahannya karena meminta Nathan membawa Luna jalan- jalan hanya karena dia yang tak menepati janjinya untuk pergi bersama Luna sebab tiba-tiba tugas memanggilnya. Livia yang tak ingin Luna kecewa meminta Nathan untuk menggantikannya dan menyenangkan keponakannya itu, namun karenanya perasaan Luna justru semakin tumbuh. "Kamu yakin dia suka kamu?" Luna terdiam sebentar hingga kembali tersenyum "Semoga, kamu tahu aku minta Papa untuk jodohin aku sama dia." Livia menoleh cepat ke arah Luna yang masih tersenyum. Dengan menelan ludahnya kasar Livia bertanya meski dengan nada terbata "Ka- mu melakukan itu? Gimana tanggapan Mas Aarav? terus gimana kalau Nathan gak suka kamu?" Luna tertawa "Kenapa sih, kok tanyanya banyak?" Livia memalingkan wajahnya "Aku ... cuma-" Livia menghentikan ucapannya. "Aku tahu kamu khawatir, tapi tenang aja, kamu tahu kan Papa selalu mengabulkan apapun permintaan aku. Dan soal Nathan kita bakalan tahu waktu berita perjodohan datang sama dia." Livia menunduk lemas. Ya, tentu saja, sebab Luna memang selalu mendapatkan yang dia inginkan. Sepertinya benar-benar tidak ada harapan untuknya bersama Nathan. "Lun, aku mau istirahat dulu, ya." Livia menarik senyumnya, "Aku juga belum ganti pakaian." dia terkekeh mencoba menutupi hatinya yang pedih. "Oh, iya deh. Maaf ya, udah ganggu kamu, ya udah jangan sedih biar aku bujuk Mama supaya gak marah lagi." Livia mengangguk dan membiarkan Luna pergi, hingga sampai pintu tertutup Livia menguncinya dengan cepat dan kembali menjatuhkan dirinya di lantai. Sekarang apa yang harus dia lakukan? Dia mencintai Nathan, tapi dia juga tak boleh menyakiti Luna, apalagi Nadhira dan Aarav yang selama ini mengurusnya. Livia melihat surat terakhir dari Mamanya yang dia genggam sejak tadi, hingga benda itu lecek tak berbentuk demi menyembunyikannya dari Luna. Lalu dia berjalan ke arah nakas untuk memasukan surat tersebut kedalamnya, setelah mengusapnya agar kembali rapi, namun seberapapun Livia mencoba meluruskannya kertas itu tetap menyisakan lipatan yang membuatnya tak bisa kembali seperti semula. Seperti hatinya yang kini tak berbentuk dan bahkan dia rasa lebih hancur dari kertas kusut tersebut. Air mata kembali mengalir di pipi mulusnya, hingga dia menoleh saat melihat sebuah nama dia layar ponselnya. Nathan... Namun Livia justru terpaku dan hanya menatap benda itu berkali-kali, hinga padam dan kembali menyala. Beberapa kali Nathan menghubunginya, Livia tetap mengabaikannya hingga sebuah pesan muncul menarik Livia kembali untuk melihatnya. Sayang, kamu gak papa kan, tante Nadhira gak marah kan sama kamu? Begitu isi pesannya, Livia bahkan hanya membacanya dari notifikasi yang muncul dari layar ponselnya yang terkunci, tanpa berani membukanya. Sekarang apa yang harus Livia katakan pada Nathan. Haruskah dia lari dari balas budi yang menekannya?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD