Sebuah Ajakan

1673 Words
Semua informasi dan kenyataan itu bagaikan sebuah petir yang menyambarku di siang bolong.   Apakah memang hidup bisa segila ini? Ia adalah seorang ayah. Ia adalah seorang ayah kandung. Aku darah dagingnya. Papa dan Mama membuatku bersama-sama dengan menggabungkan.. Oke.. Sepertinya kita tidak perlu membahas itu.   TAPI!!   Tidakkah ini keterlaluan, hah?! Seorang ayah menjebak anak kandungnya sendiri. Bukan hanya itu. Ia secara sadar telah menghancurkan hidup dan masa depan putranya sendiri. Haruskah aku menangis? Bolehkah? Apakah seorang tentara diijinkan menangis?   Hey gadis-gadis! Jika aku menangis, apakah semua otot yang telah aku bentuk susah payah ini akan menjadi sia-sia di mata kalian?   Baiklah. Aku hentikan keluhan ini.   Singkat cerita, aku dipecat dari pekerjaanku dengan alasan yang sesungguhnya tidak dapat aku terima. Aku dinyatakan sebagai serdadu bermasalah, meski bukan aku yang melakukan kesalahan itu. Semua penjelasanku dianggap sia-sia, karena memang inilah kenyataannya. Satu-satunya kesalahan yang aku lakukan adalah menjadi seseorang yang terlalu baik.. atau bodoh. Terkadang dua kata itu sulit dibedakan, kan?   Dipecat secara tidak terhormat membuatku keluar dari dunia militer tanpa membawa apapun selain gaji terakhir dan satu tas berisi pakaian keseharianku. Setiap hari aku terbangun oleh alarm yang tidak bisa aku matikan. Jika kalian berpikir itu adalah alarm alam yang berupa cuitan burung, maka kalian salah besar.   Jam weaker alamiku setiap pagi adalah gedoran berubi-tubi pada pintu rumahku. Itu adalah rentenir yang menagih hutang ayahku yang dibebankan kepadaku. Sungguh! Orang-orang itu tidak pernah lelah mengganggu hidupku bantar sehari saja. Bahkan waktu makanku sekarang kalah banyak dengan jadwal kedatangan mereka yang rutin dua sampai tiga kali dalam sehari.   Tentu saja aku bukan tipe pria yang meratapi keadaan dan menangisi bantalku hingga menjadi mirip seperti spons di pinggir wastafel cuci piring. Demi menyambung hidup dan membayar bunga hutang yang layaknya bunga Rafflesia Arnoldii yang sangat besar namun berbau bangkai, akhirnya aku memutuskan untuk bekerja di berbagai tempat.   Aku mengambil dua sampai tiga pekerjaan dalam sehari. Itu semua adalah pekerjaan yang tidak pernah aku sangka dapat aku jalani. Di pagi hari aku menjadi tukang sampah, di siang hingga sore hari aku menjadi tukang cuci piring di sebuah restoran cepat saji, dan pada malam hari aku mendagangkan diriku.. tidak, aku bercanda. Di malam hari aku bekerja di sebuah kedai makanan panggang sebagai pelayan.   Di hari yang menyedihkan seperti hari-hari lainnya, aku mendapati ada seorang pria berambut cepak yang duduk di salah satu meja restoran cepat saji tempatku bekerja.   Wajah pria itu nampak suntuk dengan lingkaran hitam pada kedua matanya yang kantung matanya memiliki kantung mata tambahan. Kulitnya terlihat pucat kusam dengan bibir hitam. Seakan abu dari rokok yang aku yakin sering ia hisap, turut ia jadikan sebagai pewarna bibir agar mirip seperti Rocker.   Meski rupanya sudah sangat jauh berbeda dibanding ketika ia masih kecil, namun aku bisa mengenali bahwa ia adalah Steven Xavier, teman masa kecilku.   Aku menghampiri pria yang aku yakini sebagai Steven itu setelah memastikan boss-ku tidak ada di sekitar.   "Kau Steven, kan?" tanyaku sembari menunjukkan dengan percaya diri. Lagipula, jika ternyata ia bukan Steven, aku hanya perlu meminta maaf dan pergi.   Pria yang aku yakin seratus persen adalah Steven itu, melihat wajahku dengan dahi mengkerut.   "Ayolah! Ini aku, Adam Viggo. Kau lupa?" Kataku tidak sabar.   "Ouh!" Steven tertawa seraya menggelengkan kepalanya dengan tangan menepuk dahinya pelan. "Tentu saja. Adam! Astaga! Sudah lama sekali, yah!" ia memberikan salam 'Bro' kepadaku.   Aku membalas salam yang berakhiran kailan tangan itu, "Bagaimana kabarmu? Astaga! Aku tidak menyangka bertemu denganmu di sini."   "Yah. Seperti yang kau lihat." Ia membuka kedua tangannya dengan senyum memaksa. Aku tau itu adalah senyum yang menggambarkan sebuah kesengsaraan. Karena kemungkinan senyumku akhir-akhir ini pasti terlihat seperti itu.   Aku hanya bisa tersenyum penuh pengertian, "Aku tau, kawan. Aku tau."   Terlihat Steven mendesah panjang, "Kau mau minum malam ini?"   Tentu saja au tidak perlu berpikir lebih panjang untuk menerima tawaran itu. Karena, jujur saja, aku juga membutuhkannya! "Tentu saja, kawan. Tapi aku selesai bekerja jam dua belas malam."   Steven menggeleng, "Itu adalah jam di mana mataku terbuka lebar."   Aku tertawa. Ia memang seorang pendekar sejak kecil. Sebenarnya aku tidak heran mengapa Steven bisa berakhir seperti sekarang. Aku masih ingat saat dahulu kami masih bertetangga. Rumah anak itu selalu ribut oleh pertengkaran kedua orangtuanya.   Malam pun tiba. Sesuai janji, setelah pekerjaan di tempat ke tigaku selesai. Aku langsung pergi ke sebuah bar murah di jalan Cordem. Pintu masuk menuju bar itu terletak di dalam sebuah gang sempit yang berbau lembab. Di dalam sana, terdapat beberapa anak muda dengan penampilan berantakan yang duduk di atas tanah. Entah mereka tengah dipengaruhi oleh minuman keras atau obat terlarang. Aku tidak perduli.   Jujur saja, selama ini aku tidak pernah masuk ke dalam bar murahan seperti ini. Biasanya, aku selalu bermain ke bar-bar kalangan menengah ke atas yang mana banyak wanita cantik dan sexy dengan wangi yang membangkitkan gairah. Bukan bar yang wanitanya berdandan menor dengan stocking lusuh pada kaki mereka. Namun, meski sulit, harus aku akui bahwa sekarang aku sedang turun kasta. Jadi, mau tidak mau aku harus menyesuaikan diri dengan keadaan.   Di bar yang banyak pria berjanggut berantakan yang sedang mabuk itu, aku dapat melihat sosok Steven yang tengah duduk di meja bar sembari meminum segelas besar bir dingin dengan topi lusuh pada kepalanya.   "Hei!" Sapaku dengan menepuk bahunya.   "Hei! Kau datang juga!" Steven membalas salam persahabatanku.   "Sudah lama di sini?" Tanyaku sembari duduk di kursi di samping Steven.   Pria itu menggidik bahu, "Dari jam delapan, mungkin."   "Wow.. itu lama juga." Mataku membulat.   "Hei, Tampan. Kau mau minum apa?" Seorang bartender wanita menyapaku. Meski kata-katanya manis, namun penampilannya tidak semanis itu. Ia terlihat sudah berumur dan tidak sexy sama sekali, meski ia terlihat sudah berusaha, dari pakaian minimnya itu.   Sebenarnya siapa aku, bisa menilai tempat ini? Aku sungguh tidak tau malu. Bahkan tidak ada minuman lain yang sesuai dengan isi dompetku. Dengan senyum palsu aku berkata, "Bir. Aku sedang tidak ingin mabuk malam ini."   "Bir? Ah.. Tentu saja, tampan." Jawab wanita itu.   Aku mendapati Steven yang sedang menatapku dengan wajah datar depresinya. Sepertinya ia tau apa yang sedang terjadi padaku. Meski malu, namun aku berusaha tidak menampakkannya. Toh, ia juga sama melaratnya denganku.   "Kau bekerja di mana sekarang?" Tanyaku untuk mencairkan suasana.   "Sebuah perusahaan kecil. Aku menjadi seorang sales." Jawabnya. "Bagaimana denganmu? Keadaanmu tidak seperti yang aku bayangkan, kau tau?."   Aku tersenyum kecut. Tentu saja ia bisa melihat teriakan depresi pada kedua mataku. Bahkan aku selalu takut untuk bercermin akhir-akhir ini. "Yah, keadaan sedang kurang baik."   "Sepertinya kau belum terbiasa menghadapi keadaan kurang baik ini." Ia mengeluarkan sebatang rokok dan menawarkannya padaku.   Sebenarnya aku bukan seorang perokok, namun kali ini aku tidak menolak tawaran itu. Terkadang saat kau sedang depresi, jangankan hal yang buruk untuk kesehatanmu, bahkan kau tidak akan memperdulikan pada hal yang akan membunuhmu. "Trimakasih." Ucapku, sembari menerima sulutan api dari korek gasnya.   "Bir yang tidak membuat mabuk. Silahkan dinikmati." Wanita bartender tersebut meletakkan sebuah gelas besar berisi cairan berwarna kekuningan dengan buih tebal di atasnya. Ternyata wanita itu tidak semanis ketika di awal. Mungkin karena ia menyadari bahwa aku adalah pria melarat. Semua wanita sama saja!   "Apa yang sedang membuatmu kacau akhir-akhir ini?" Steven mengembalikan fokusku.   Aku tertawa canggung sebelum meneguk birku dan menyesap rokok yang sudah menyala, "Aku tidak enak mengatakannya padamu. Kita baru saja bertemu setelah bertahun-tahun, namun malah membicarakan beban hidup." ucapku dengan asap yang mengalir keluar dari mulut dan hidungku.   "Ah.. Kau terlalu kaku, Adam. Kita sudah dewasa. Apa lagi yang dapat kita bicarakan selain masalah hidup? Kita bukan anak-anak lagi yang akan membicarakan tentang impian tidak masuk akal atau acara kartun yang akan diputar sore ini." Steven tertawa.   "Sialan! Kau benar juga." Ujarku.   "Jadi, apa yang menyebabkan wajahmu jadi seperti orang yang terlilit hutang ratusan juta?" Tanya Steven.   Aku hanya bisa melongo. Apakah terlilit hutang ratusan juta sebegitu buruknya sampai dijadikan perumpamaan?   "Hahahahaha! Aku tidak tau harus tertawa atau menangis, Steve. Bisa-bisanya candaanmu itu benar. Astaga! Tolong bunuh aku sekarang!" Aku tertawa sampai air mataku keluar dan perutku menjadi sakit. Kali ini bukan sakit karena kembung terlalu banyak minum bir. Namun sakit karena makan hanya sekali pada hari ini. Untung saja sisa uangku masih cukup untuk membeli segelas bir.   "Sial! Apakah seburuk itu?" Wajah Steven nampak khawatir.   Aku mengangguk-angguk seraya mengusap air mataku. Sungguh, itu adalah sebuah kesempatan tertawa terbahak yang di dalam air matanya mengandung kesedihan. Aku memang sungguh ingin menangis!   "Hei, Adam. Dengar ini." Steven merangkulku. "Mau mendengar kabar yang lebih lucu sekaligus gila?" Tanyanya.   Aku mengangguk, "Kejutkan aku."   "KITA SAMA!!" Kini gantian ia yang tertawa bagai orang gila.   Aku hanya bisa melongo. Apakah maksudnya, bahwa Steven juga memiliki hutang ratusan juta sepertiku? "Stev. Sama yang kau katakan itu.."   "Itu benar, sial." Steven mengangguk sebelum meneguk birnya banyak-banyak, "Aku juga sedang terlilit hutang ratusan juta. Itu sangat buruk. Tidak aku sangka, ternyata kau juga mengalaminya."   Ah.. Sepertinya yang dikatakan orang-orang itu benar adanya. Orang kaya akan bertemu orang kaya. Orang miskin akan bertemu orang miskin. Orang beruntung akan bertemu orang beruntung. Dan.. Orang sial akan bertemu orang sial. Ya, adil sekali.   Karena bernasib sama, akhirnya kami berdua mulai bercerita mengenai sejarah bagaimana kami bisa terlilit hutang sebegitu banyak. Mungkin wajah kami berdua sekarang terlihat sama. Frustasi dan stress. Apa lagi kata yang paling tepat untuk menggambarkannya?   Namun, sepertinya bertemu dengan teman bernasib sama itu ada baiknya juga. Ternyata, Steven memiliki sebuah rencana untuk mendapatkan banyak uang yang akan cukup untuk melunasi hutangnya dan hutangku.   "Rencanaku ini tidak sulit dilakukan. Jangan katakan kepada siapapun, tapi sejujurnya, aku memang sudah beberapa kali melakukan hal ini atas perintah boss-ku. Dan kami selalu berhasil sehingga mendapat banyak sekali uang. Sekarang, aku akan mencoba melakukannya sendiri." Bisik Steven.   Aku langsung mengangguk-angguk, "Baiklah! Katakan apa rencanamu itu!" balasku, tidak sabar.   "Kau tau Tonny Dorma, pria terkaya di Kota Urwell?" Tanya Steven.   Aku mengangguk lagi, dengan lebih kencang. Tebakanku, ia memiliki akses sehingga kami bisa bekerja bersama pria yang sangat kaya itu dan tentu saja mendapat bayaran yang besar.   "Dia memiliki putri satu-satunya bernama Dasha Dorma. Kita culik putri semata wayangnya itu, dan minta tebusan tiga ratus ribu dollar . Tonny adalah orang terkaya di kota. Baginya, uang itu adalah jumlah yang kecil!" Sambung pria bermata sayu itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD