Rakha Alexi

1635 Words
“Bagaimana, Pak? Apakah saya perlu membawakan obat untuk Bapak?” tanya seorang perempuan dengan pakaian rapi, kepada seorang laki-laki yang tengah duduk bersandar di sofa seraya memijat pangkal hidungnya.   Laki-laki bersetelan jas berwarna abu mengkilap itu menggeleng kecil, tanda bahwa ia menolak penawaran dari si perempuan tadi.   “Tapi, Pak, wajah Bapak terlihat pucat,” perempuan itu kembali menawarkan, akibat perasaannya yang terlalu cemas.   Menghela napas, laki-laki tadi membuka mata yang mulanya terpejam, lalu menatap perempuan itu dengan tatapan tanpa ekspresi. Tajam dan sedikit menakutkan. “Sudah saya katakan, tidak perlu. Sudah, kamu kembali ke ruangan kamu saja,” ucapnya sedikit kesal.   Meski masih merasa khawatir berlebihan, perempuan itu mengangguk kemudian langsung berlalu dari sana. Berjalan menuju pintu keluar dengan perasaan yang tak karuan. Memiliki rasa cinta kepada laki-laki yang minim ekspresi memang seperti ini, apalagi jika laki-laki itu merupakan laki-laki yang cuek dan pendiam, tidak banyak bicara dan hanya menjawab jika ditanya. Sedikit menyakitkan ketika cinta yang kita rasakan itu tak terbalas, namun bagi Felicia, hal itu malah jadi tantangan tersendiri baginya.   Akan sangat menantang lagi jika ia tidak menyerah, dan memilih untuk memperjuangkannya.   Beralih dari Felicia—perempuan yang baru saja keluar, laki-laki yang masih merasa pusing di kepalanya itu, kembali menyandarkan punggung di sofa dengan tangan yang masih memijat pangkal hidungnya.   Hari ini sangat melelakan. Bayangkan, sejak jam delapan pagi tadi, ia tidak berhenti melakukan aktivitas yang mendesak. Dari meeting bersama perusahaan yang akan diajak kerja sama, sampai meninjau semua laporan yang harus segera ia tinjau tanpa bisa ditunda. Memang tidak begitu menguras tenaga, namun otaknya seperti sudah tak tertolong karenanya.   Biasanya tidak seperti ini. biasanya ia akan semangat dan biasa-biasa saja meski satu hari full meeting dan ia yang harus meninjau ribuan berkas sekalipun. Namun, sejak bangun tidur tadi pagi, perasaan dan tubuhnya memang sudah tidak enak. Entah karena apa, padahal, semalam sebelumnya, ia baik-baik saja.   Atau mungkin… karena hal yang ia mimpikan kemarin?   Baru beberapa saat menenangkan pikiran, laki-laki itu menoleh ketika mendengar ponselnya yang ada di meja, berusara menandakan ada yang menelpon di sana. Meski misuh-misuh terlebih dahulu, pada akhirnya ia tetap menjawab panggilan itu. Sebab, yang melakukan panggilan adalah orang yang nama kontaknya ‘Ibu Negara’, jadi, akan sangat bahaya jika ia tidak menjawabnya.   “Hallo, Ma?” ucapnya pelan.   “Hallo, Mas?” Laki-laki itu mengerutkan kening, sebab yang menjawab bukanlah orang si pemilik nama ‘ibu negara’ itu, melainkan orang lain yang memang masih ia kenal suaranya. “Ada apa? Mama-nya mana?”   “Anu, Mas, tadi Nyonya nyuruh Neneng hubungin Mas pake HP Nyonya,” ucap perempuan yang bernama Neneng di ujung sana. Perempuan yang tidak lain adalah ART dari rumah si lelaki tadi.   “Iya, terus Mamanya mana? Ada apa?”   “Anu, Mas, Nyonya-nya lagi makan.”   Laki-laki itu berdecak. “Terus?”   “Nyonya cuman mau bilang katanya, jangan lupa kalo hari ini Mas harus pulang cepet. Mas ndak lupa, kan, kalo hari ini Mas ada janji sama Nyonya?” Neneng mengingatkan di ujung sana.   Menghela napas, laki-laki yang kini sudah duduk tegak itu berdeham kemudian memutuskan sambungan teleponnya begitu saja. Benar-benar menyebalkan.   Namanya Rakha, lebih lengkapnya Rakha Alexi. Pria berumur dua puluh lima tahun, yang berprofesi sebagai CEO di perusahaan keluarganya sendiri. Selain memiliki sikap cuek dan dingin, terkadang Rakha juga bersikap ketus ketika lawan bicaranya dirasa sangat menyebalkan. Laki-laki si pemilik wajah putih, dengan postur yang sudah jangan diragukan. Hidung mancung dengan rahang yang tegas, mata sipit dibalut bulu mata yang lebat, kening yang tidak begitu lebar dihiasi dengan bentuk alis sempurna berwarna hitam pekat seperti rambutnya yang tertata rapih. Wajah rupawan seperti itu disempurnakan lagi dengan bentuk bibirnya. Yang tidak jarang, bahkan Felicia—sekretarisnya, selalu memuji bibirnya secara diam-diam.   Katanya, seksi dan berwarna.   ***   Sesuai dengan telepon yang mengingatkan tadi, Rakha pulang tepat pukul empat sore. Dengan kemeja putih yang lengannya sudah digulung sampai siku, laki-laki dengan tinggi mencapai seratus delapan puluh empat centi itu berjalan memasuki rumahnya, dan yang pertama ia lihat adalah mamanya yang sudah menunggu di ruang keluarga.   “Akhirnya kamu pulang juga,” ucap seorang wanita yang tengah duduk di sofa panjang berlapis kulit yang warnanya mengkilap.   Rakha berjalan mendekat dengan ekspresi wajah seperti tidak memiliki semangat sedikitpun.   “Aduh, wajahnya lagi kusut aja Mas Rakha gantengnya kelewatan, apalagi kalo wajahnya berwarna dan berseri,” ucap perempuan yang tidak lain adalah Neneng, asisten di rumah keluarga Rakha.   Mendengar hal itu, ketika sudah sampai di dekat mamanya, Rakha menoleh menatap Neneng dengan tatapan tajam dan menusuk. Meski godaan-godaan seperti itu sudah sangat sering ia dengar, namun entah kenapa rasanya tetap menjengkelkan.   “Ampun, Mas, jangan tatap Neneng kayak gitu, nanti Neneng meleyot.” Neneng kembali bersuara dengan tangan yang menutupi wajahnya.   “Aneh kamu,” ketus Rakha seraya mengalihkan pandangannya.   “Lah, piye? Wong Neneg diem ae,” sahut Neneng   Tidak mau meladeni asistan yang sikapnya sudah tidak normal itu, Rakha mendengus kemudian mendudukkan tubuh di samping mamanya. Ia menatap wanita itu dengan tatapan penuh harap, berharap kalau mamanya tidak akan berbuat aneh-aneh lagi. “Mau ke mana, Ma?”   Wanita bernama Raya, yang tidak lain adalah wanita yang telah melahirkan seorang Rakha ke dunia, dia mengerutkan kening ketika mendengar ucapan anak sematawayangnya. “Lah, Mama, kan, udah bilang semalam, masa kamu lupa?” tanyanya heran.   Rakha berdecak. Sama seperti yang dilakukan di kantor, ia menyandarkan tubuhnya di sofa dengan tangan yang kembali memijat pangkal hidungnya. “Ya, gimana, Ma? Masa mau ketemu temen aja harus sama Rakha?” tanyanya heran.   “Ya, terus sama siapa lagi?”   “Kan, bisa dianterin sama Mang Doyok.”   Raya menghela napas pelan. “Mang Doyok mau nganterin Neneng belanja kebutuhan bulanan.”   “Iyo, Mas. Neneng, kan, masih gadis, jadi bahaya kalau jalan sendirian.” Neneng ikut menimpali.   “Tuh, bener kata Neneng, udah, Mama sama kamu aja, ya?” bujuk Raya.   Memang tidak bisa menolak, dengan sangat terpaksa akhirnya Rakha menganggukan kepalanya. Beranjak dari sana kemudian berjalan menuju kamarnya untuk berganti pakaian.   Raya yang melihat hal itu, menatap Neneng dengan tatapan penuh arti, ditambah dengan senyum masam di bibirnya.   “Berhasil, Nyah,” ucap Neneng seraya terkikik.   Raya mengangguk antusias. “Iya, semoga nggak ada halangan. Udah sana, nanti keburu sore.”   “Iya, Nyah. Bukan cuman Mas Rakha, Neneng juga mau PDKT-an sama Kang Doyok.” Dengan mulut yang menahan senyum, Neneng berlalu dari sana, meninggalkan majikannya yang tetap di ruang keluarga.   ***   Ucapan ibu-ibu memang tidak dapat dipercaya. Bilangnya sebentar, ternyata sampai lebih satu jam. Rakha yang sudah kesal, berdecak seraya menoleh ke sana kemari. Berkali-kali ia melihat jam tangannya yang saat ini sudah menunjukan pukul setengah tujuh malam.   Kalau sudah seperti ini, Rakha jadi menyesal karena telah menuruti permintaan mamanya.   Bayangkan, sejak jam lima sore, ia duduk di depan ruangan di sebuah rumah sakit besar yang ada di Jakarta. Duduk sendirian dengan bermodalkan ponsel sebagai peralihan rasa bosannya, menunggu mamanya yang entah sedang apa di dalam ruangan sana. Apakah dia tidak memikirkan bagaimana perasaan anaknya? Apakah wanita itu tidak merasa kasihan dengan perasaannya yang sudah tak kuat menahan kesal?   Berkali-kali Rakha mengirim pesan kepada mamanya, namun wanita itu membalas apa?   Dia membalas dengan pesan suara yang isinya; ‘Duh, Rakha, kamu udah dewasa tapi masih aja ngerengek minta pulang. Sabar, dong, mama lagi tanggung, nih, ngobrolnya. Lagian kamu juga sih, kenapa nggak mau ikut ke dalam?’   Pesan yang sangat menjengkelkan, apalagi dengan suara mamanya yang terdengar dibuat-buat.   Rakha memang sudah dewasa, dalam segi usia maupun pola pikirnya. Namun, anak kecil atau orang dewasa pun akan merengek meminta pulang ketika yang diantar tidak tahu waktu seperti mamanya. Benar-benar kelewatan.   Tidak mau kesal sendirian, akhirnya Rakha memutuskan untuk ikut masuk ke dalam sana. Ke dalam ruang rawat inap yang katanya tempat di mana teman mamanya dirawat. Saat membuka pintu, hal pertama yang ia lihat adalah mamanya yang tengah berbincang dengan seseorang, kemudian ketika beralih melihat sekeliling, ia melihat seorang perempuan yang tengah tertidur lelap di sofa panjang. Rumah sakit sebesar ini memang sangat memfasilitasi banyak hal, termasuk tempat istirahat bagi pengunjung yang akan menjenguk pasien.   “Ikut masuk juga kamu,” ucap mamanya.   Tatapan serta raut wajah Rakha sangat tidak tepat untuk diajak bercanda, Raya tahu itu. Melihat anak lelakinya itu berjalan mendekat, Raya beranjak dari duduknya. “Jangan cemberut, dong, udah dewasa masa ekspresi wajahnya kayak gitu,” ucapnya.   ‘Memang kalau sudah dewasa ekspresi wajahnya harus seperti apa?’ dumel Rakha di dalam hatinya.   Memilih tidak menjawab, Rakha tersenyum ketika wanita yang tengah terbaring—yang tadi berbincang dengan mamanya—itu tersenyum ke arahnya.   “Rakha, ya?” ucap wanita itu.   Rakha mengangguk dengan senyun tipis yang masih menghias. “Iya, Tante.”   “Udah dewasa, ya, padahal dulu pas Tante ketemu kamu, kamu masih kecil.” Wanita itu beralih menatap Raya, mamanya Rakha. “Waktu itu umurnya berapa, Ray?”   “Enam tahun,” jawab Raya.   “Iya, enam tahun, sekarang udah berapa?” tanya wanita itu lagi.   Rakha berdeham pelan. “Dua puluh lima tahun, Tante.”   Entah kenapa, ketika wanita yang tengah terbaring itu menatap mamanya, Rakha merasa kalau tatapan kedua orang itu berbeda. Apalagi ketika teman mamanya itu tersenyum penuh arti ke arahnya. “Udah cocok, ya, buat jadi suami.”   Rakha mengerutkan keningnya, namun tidak mau ambil pusing ia langsung menjawab, “Masih lama, Tante.”   “Kata siapa?” tanya Raya. Wanita itu beralih menoleh menatap ke arah sofa, tempat di mana seorang perempuan tidur di sana. “Tuh, lihat.”   Rakha mengikuti arah pandang mamanya dengan pikiran yang sudah bercabang ke mana-mana. Ah, tidak, perasaannya juga mulai merasakan hal aneh dan mulai tidak enak. Ada apa?   “Kenapa, Ma?” tanya Rakha kepada mamanya.   Raya bertatapan dengan temannya, dengan senyum yang menghias di bibir wanita itu. Setelahnya ia kembali menatap Rakha, kemudian berkata, “Dia calon istri kamu.”   Rakha terkejut di tempatnya. Apa-apaan?  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD