1. Siapa yang mengetuk pintu?

1039 Words
Bagaimana rasanya ketika kita tengah tidur dengan sangat nyenyak, tetapi harus bangun karena manusia menyebalkan terus menerus mengganggu?   Sangat menyebalkan, bukan?   Hal itu yang kini juga tengah dialami oleh Anna. ketika dia tengah tidur nyenyak, namun dengan sangat tidak manusiawi kakaknya berteriak dan mengganggu tidurnya. Astaga… Anna tidak ingin hal yang lebih saat ini selain bisa tidur dengan nyenyak.   “What are you doing? Aku sedang tidur, kenapa kau terus mengangguku?” ujar Anna dengan tampang wajah yang terlihat sangat kesal, sedangkan sang kakak yang mengganggu tidurnya hanya menggeleng kepalanya pelan. Mungkin merasa sedikit heran dengan tingkah polah adiknya.   “Hei, lihat si manis ini! Hari ini kamu lupa ada acara apa?” tanya Damian—kakak Anna.   Anna yang sudah terlanjur kesal, langsung mengubah posisinya menjadi duduk bersandar di kasur kamarnya. Lengannya terangkat, mengucek matanya yang masih terlihat ingin tertutup rapat. “Acara apa? Aku lupa,” jawabnya.   Perempuan di umur yang sudah bisa dibilang tua ini, Damian benar-benar tidak habis pikir dengan adiknya. Umur tua namun kelakuan masih seperti kanak-kanak. Bukan hanya kelakuan, melainkan sikap juga cara bicaranya masih seperti anak kecil yang tengah mencari perhatian. Memang, mungkin hal itu terjadi dikarenakan papanya yang terlalu memanjakan anak itu.   Menghela napas seraya menggeleng pelan, Damian bergerak mengambil remot AC, kemudian menurunkan suhunya agar Anna mau segera beranjak. Ia tahu, Anna akan segera bergerak setelah itu. “Hari ini, kamu harus datang lebih awal ke rumah sakit. Selain hari ini adalah hari spesial buat mama, kamu juga tidak lupa, kan, kalau kamu ada janji untuk bertemu seseorang yang dikenalkan oleh mama kemarin?”   Berdecak sebal melihat apa yang dilakukan oleh kakaknya. Anna sudah akan marah, namun tidak jadi karena otaknya seperti mendapat teguran yang sangat menyenangkan. Ah, bukan, bukan teguran, lebih tepatnya kesadaran yang menyadari adanya info menyenangkan dalam ucapan kakaknya barusan.   Anna tidak lupa, kalau hari ini adalah hari spesial buat mamanya. Bagaimana bisa ia melupakan hari di mana seorang perempuan hebat yang telah melahirkannya ke dunia lahir. Ia juga sudah menyiapkan hal yang mungkin akan sedikit mengejutkan untuk wanita yang paling disayangnya itu. ditambah, selain hari spesial, hari ini ia juga telah memiliki janji dengan seorang laki-laki. Ah, tidak, lebih tepatnya, dengan calon suami.   Mengejutkan, bukan? Ini seorang Anna yang tidak lain dan tidak bukan adalah seorang perempuan yang masih mengedepankan kesenangan daripada kewajiban, masih mementingkan hal-hal pribadi juga sering gila dengan dirinya sendiri. Dan sekarang, perempuan itu mengatakan dan menjelaskan kalau hari ini ia akan bertemu dengan calon suaminya.   Kemarin, ketika ia menemani mamanya di rumah sakit, lebih tepatnya saat ia ketiduran, ada dua orang yang datang menjenguk mamanya. Wanita paruh baya dengan seorang lelaki muda yang rupawan. Saking tampannya, Anna sudah tidak memikirkan kata menolak ketika mamanya mengucapkan kata perjodohan di antara mereka. Itu kesempatan, peluang bagus yang tak pantas disia-siakan. Jadi, Anna harus membuat pilihan yang semoga saja tidak sampai salah jalan.   ***   “Gimana, cantik, kan? Dia calon istri kamu.”   Demi apa pun, ucapan itu hampir saja membuat jantung Rakha terlepas dari tempatnya, melengos dan membuat tubuhnya hampir terhuyung begitu saja ke depan. Ucapan mamanya benar-benar membuatnya terkejut bukan main, bahkan mungkin ia akan tidak sadar bahwa hal itu benar-benar terdengar nyata dalam pendengarannya.   Apa-apaan?   Calon istri?   Wanita yang tengah tertidur dengan posisi yang demi apa pun terlihat sangat tidak soapn itu adalah calon istrinya? Yang benar saja!   “Jangan bercanda, Ma,” balas Rakha, masih dengan keterkejutan namun ditutupi oleh wajah datarnya.   “Siapa yang bercanda? Mama serius, lho,” sahut Raya dengan wajah yang terlihat penuh keseriusan.   Menghela napas pelan, Rakha memilih mengalihkan pandangan dari mamanya. “Calon istri gimana? Jangan ngaco, deh.”   “Mama sama temen mama berencana mau jodohin kalian. Bukan rencana, sih, tapi udah jadi niat pasti juga.”   Seketika, Rakha kembali menoleh menatap wanita di sampingnya. Wajahnya terkejut, alis dan keningnya ikut mengerut. Ditambah dengan bola matanya yang ikut membesar. “Maksudnya apa, Ma?”   “Nak, Rakha, tante sama mama kamu berniat akan menjodohkan kamu dengan anak tante.”   Bukan mamanya yang menjawab, melainkan wanita yang tengah terbaring dengan ekspresi wajah yang lebih serius daripada sebelumnya. dengan tatapan mata yang berbinar, seperti ceria dan tak sedikitpun menunjukan bahwa ia tengah dalam keadaan sakit.   “Iya, Rakha. Usiamu udah cukup, finansialmu juga sudah cukup, mau nunggu apa lagi? Mama sama papa udah semakin tua, kamu mau menikah tanpa dihadiri mama sama papa?” sambung Raya. Rakha meneguk ludah, membuat jakunnya naik turun secara perlahan. “Ma, are you okay?” ucapnya dengan wajah serius.   “Yes, mama oke, mama serius, mama nggak bercanda dan mama udah yakin sama rencana mama. Gimana? Kamu setuju?”   “Nggak!” jawab Rakha cepat.   “Tapi sayangnya, sepertinya kamu nggak memiliki pilihan lain selain menerimanya.”   “Tapi kenapa?” Rakha sudah mulai tak bisa menahan diri.   “Karena semuanya udah siap, mungkin kalian akan menikah sekitar satu Minggu lagi.”   Astaga… memangnya pernikahan sebercanda itu? memangnya menikah semudah itu? memangnya menjadi suami dari seorang perempuan yang bahkan masih belum dikenal, akan semudah berbicara seperti mamanya? Tidak!   Mendengar ujaran mamanya, Rakha mengusap wajahnya frustrasi. Kesal, namun sekuat tenaga ia mencoba menahan amarahnya sendiri.   Sebelumnya, laki-laki yang banyak diperbincangkan oleh kariawan kantornya itu sangat pandai menahan diri. Seperti menahan marah karena keusilan Neneng, menahan kesal karena sikap semena-mena mama dan papanya, menahan ego untuk tidak mementingkan kepentingannya sendiri. Dan yang paling penting, Rakha selalu pandai menjaga ekspresi wajahnya, berusaha bersikap setenang mungkin, sekacau apa pun hal yang tengah dihadapinya.   Namun, demi Upin Ipin yang tak tumbuh besar sedari dulu, persoalan yang sekarang benar-benar membuat Rakha terkejut bukan main. Secara tiba-tiba dan berujung dengan paksaan, akan sangat wajar jika ia merasa marah, bukan? Terlebih dengan mamanya yang terlihat tak merasa bersalah sama sekali.   Benar-benar menyebalkan.   Ketukan pintu dari luar membuat Rakha tersadar dari bayang-bayang kemarin. Bayang-bayang di mana ia hanya berniat baik untuk mengantar mamanya menjenguk seseorang, namun sialnya ia malah mendapat kabar yang sangat tidak baik di rumah sakit itu. bayang-bayang di mana sesuatu terjadi, sampai mengharuskannya untuk tidak masuk kerja saat ini. Bayang-bayang yang sukses menghantui dan selalu mengganggu tidur nyenyaknya.   Bayang-bayang yang sangat mengerikan.   Dengan hidung yang mendengus pelan, Rakha beranjak dari kursi kerjanya kemudian berjalan menuju pintu kamarnya, memastikan siapa yang mengetuk pintu kamar tanpa mengeluarkan suaranya.    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD