Sang Penguasa

1707 Words
Hai, aku Arslan Cealach. Narator dari kisah ini. Sekarang kalian akan membaca babak kedua dari epik panjang petualangan para leveler. Melalui chapter berjudul... "Sang Penguasa" Siapakah yang dimaksud? Atau... apakah itu? Siapa yang memegang kuasa akan semua ini? Temukanlah jawabannya dan... selamat menikmati. + + + + + ++ Wirya mengerjapkan mata. Ia merasakan sakit di sekujur tubuhnya. Dengkul kiri. Pangkal paha kanan. Perut bagian kiri. Perut bagian kanan. Ulu hati. d**a. Pundak bagian belakang. Tulang selangka. Kepala depan. Kepala bagian samping. Kepala bagian belakang. Semua terasa sakit dan nyeri. Membuatnya enggan untuk mencari kesadaran. Ia hanya ingin kembali memejamkan mata. Tenggelam ke dalam alam ketidaksadaran. Sampai semua rasa sakit hebat yang menyerang tubuhnya sirna. "Wass... wess... wass... wess..." "Wass... wess... wass... wess..." "Wass... wess... wass... wess..." "Wass... wess... wass... wess..." "Wass... wess... wass... wess..." "Wass... wess... wass... wess..." "Wass... wess... wass... wess..." Aaargh, kenapa suasana tempat ini berisik sekali? Sebenarnya aku ini sedang berada di mana? Kenapa hanya suara orang dewasa yang terdengar? Apa aku sedang di rumah? Tapi, Bunda tidak akan membiarkan aku sampai tidur di alas yang keras seperti ini, ‘kan? Apa itu suara adik-adikku? Ah, aku rasa aku tidak punya adik yang suaranya sudah akil baligh ngebass begitu. Aku tidak paham. Sama sekali tidak paham. Penuh keterpaksaan karena didera oleh rasa penasaran. Wirya pun beranjak duduk dengan kedua mata yang masih terpejam. Ia seimbangkan cairan di otaknya agar tidak merasa keliyengan. Ia buka mata sedikit. Melihat bayangan kabur dari puluhan... entahlah... ratusan mungkin. Atau ribuan orang bisa jadi. Ada di depannya. Berkumpul membentuk kelompok demi kelompok. Dan saling berbicara menukar pemikiran mereka. Kedua matanya kini terbelalak. Ia atur nafasnya yang turun naik. Hoosh hoosh hoosh. Ia sama sekali tidak ingat apa yang terjadi pada dirinya. Sehingga bisa kehilangan kesadaran. Dan terbangun di dalam suatu ruangan putih besar. Bersama orang lain yang tak ia kenali sebanyak ini. Di mana aku berada? Apa yang sudah terjadi padaku? Siapa mereka semua? Bagaimana aku bisa sampai di sini? Sejuta pertanyaan terus mendera perasaan. Ia tatap kedua telapak tangan. Tak berkeringat seperti biasa saat umumnya ia merasakan perasaan cemas, grogi, atau bahkan ketakutan. Tempat ini seperti memiliki suatu atmosfer yang aneh dan sangat menekan. Seperti tengah berada di puncak gunung yang minim oksigen. Membuat perasaan jadi sangat tidak nyaman. Ia sama sekali tidak memiliki ingatan. Pada apa yang terjadi pada dirinya sebelum kehilangan kesadaran. Dan lagi… siapa yang sudah membawanya ke tempat ini? Bagaimana cara ia bisa berada di tempat ini? Ada sangat banyak pertanyaan yag berkecamuk dalam perasaan. Tapi, karena tak ada tempat untuk mengungkapkan. Ia berakhir hanya bisa terus merasa kebingungan. Ditekuk kakinya. Ia peluk kedua lututnya. Saat ini ia tengah menggunakan celana berwarna abu-abu. Dengan kemeja lengan pendek berwarna putih gading dengan kerah yang tampak vintage. Memangnya aku punya pakaian seperti ini, ya, tanyanya dalam hati. Ada sebuah jaket kulit hitam yang sama-sama tampak klasik. Yang tadi ia gunakan untuk alas kepala saat tak sadarkan diri. Sekali lagi… apa yang membuat ia bisa sampai bisa berada di sana? Ingatan… ia tak menemukan ingatan apa pun yang mampu menuntun pengetahuannya hingga sampai berada dalam situasi seperti ini. Merasa tak akan mendapat kejelasan jika hanya terus berdiam diri. Wirya pun beranjak mendekati seorang pemuda yang duduk menyender sendirian di dekat sana. Ia berkata, "Undskyld mig..." Hah??! Langsung ia tutup mulutnya. Bahasa apa yang baru saja dia gunakan? Ucapan yang keluar dari rongga mulutnya? Detik itu juga Wirya baru sadar. Bahwa ia telah melupakan bahasa ibunya. Bahasa Indonesia. Satu buah kata pun ia tidak bisa mengingatnya. Sebagai gantinya ia bicara menggunakan suatu bahasa yang benar-benar asing. Kepalanya seolah dijejali oleh jutaan informasi mengenai bahasa baru itu. Pemuda itu membalas, "Ah, du skal være chokeret. Tag det roligt. Først var jeg også forvirret. Men nu er jeg vant til det." Atau yang bermakna, ah, kau pasti kaget. Tenang saja. Saat pertama aku juga merasa sedikit bingung. Tapi, sekarang juga sudah terbiasa. "Hvor er vi alle sammen? Hvorfor er vi her?" tanya Wirya kalut. Pertanyaan itu bermakna, sebenarnya kita semua sedang berada di mana? Kenapa kita ada di sini? Pemuda bule itu tersenyum. Menepuk-nepuk lantai di sampingnya. Ia membalas, "Sid ned! Det er ikke godt at tale, hvis du står sådan op." Atau yang berarti, duduklah! Tidak enak mengobrol jika kau berdiri seperti itu. Wirya pun duduk di samping pemuda itu. Sejujurnya ia ingin sekali menggila segila-gilanya dan membuat kericuhan. Untuk memancing informasi soal apa yang sedang terjadi pada dirinya (dan semua orang di sana tentu saja). Tapi, karena hampir semua orang di sana bersikap tenang dan kalem. Ia jadi merasa tak bisa bertindak seenaknya. Ia amati lagi semua orang yang bisa tertangkap oleh pandangannya. Ada yang berkulit dan berambut gelap. Kelihatan seperti orang Afrika. Ada juga yang berkulit sangat cerah dan berambut gelap. Kelihatan seperti orang-orang dari Asia Timur. Ada orang yang bertampang kearab-araban dengan rambut gelap dan kulit yang berwarna kekuningan. Ada yang jelas sekali kaukasian dengan kulit putih pucat dan berbagai warna rambut seperti pemuda di sampingnya. Tak lupa ada juga wajah-wajah Asia Tenggara seperti dirinya. Yang berkulit kuning langsat sampai sawo matang dan rambut yang berwarna gelap. Melihat pemuda Asia yang tengah melakukan observasi di sampingnya. Pemuda bule dengan surai berwarna cokelat itu berkata, "Der er mennesker fra hele verden her." Atau yang berarti, ada manusia dari seluruh penjuru dunia di sini. Wirya menoleh ke arah pemuda bermanik biru Aquamarine itu, "Kan du huske noget, der bragte dig til dette sted?" tanyanya. Yang bermakna, apa kau mengingat sesuatu yang membuat kamu sampai berada di tempat ini? Pemuda itu menggelengkan kepala pelan. "Ligesom dig. Jeg vågnede lige op på dette sted uden at vide grunden." Yang bermakna, sama sepertimu. Aku hanya tersadar begitu saja di tempat ini tanpa mengetahui apa penyebabnya. "Er de også sådan?" tanya Wirya melirik ke arah orang-orang yang berkumpul di kejauhan. Pertanyaannya berarti, apa mereka semua seperti itu juga? "Måske. De har samlet sig sådan, siden jeg genvundet bevidsthed," jawab pemuda itu. Ucapannya bermakna, bisa jadi. Mereka sudah berkumpul seperti itu sejak kesadaranku kembali. Wirya bertanya, "Vil du ikke være med?" Yang bermakna, apa kau tidak ingin bergabung dengan mereka. Pemuda itu mengayun-ayunkan telapak tangan di depan wajah. Ia menjawab, "Jeg kan virkelig ikke lide skarer af mennesker." Yang bermakna, aku tidak begitu suka kerumunan manusia. Wah, dia ini semacam nolep apa, ya. Wirya pun mengulurkan telapak tangannya. "Lad os derefter kende," ajaknya yang bermakna, kalau begitu mari kita berkenalan. Pemuda itu tersenyum kecil. Menyambut uluran tangan Wirya. "Bare kald mig Luke. Hvis du?" tanyanya balik yang bermakna, panggil saja aku Luke. Kalau kau? Wirya akan menjawab, "Hvis mit navn er (namaku)..." "Whooo... wass... wess... wass... wess... wass... wess..." "Whooo... wass... wess... wass... wess... wass... wess..." "Whooo... wass... wess... wass... wess... wass... wess..." Orang-orang di sekitar sana tiba-tiba jadi lebih berisik. Luke mendirikan tubuh untuk melihat apa yang tengah terjadi di kejauhan. "Hvad er der galt?" tanya Wirya yang bermakna, ada apa? "Jeg har ingen ide. Jeg er ikke sikker. Der syntes at være en hvid mand i karnevaltøj, der pludselig var dukket op," jawab Luke semakin menyipitkan pandangannya. Yang bermakna, entahlah. Aku tidak yakin. Tampak ada seorang pria putih dengan pakaian karnaval yang tiba-tiba muncul. Wirya mengerutkan alis. Ikut-ikutan berdiri untuk memastikan situasi. Sayang tubuhnya tak setinggi Luke. Alhasil ia tak bisa melihat apa pun. Luke menawarkan, "Vil du komme på ryggen?" Yang bermakna, apa kau mau naik ke punggungku? Walau perawakannya tampak keras dan sangar. Sepertinya ia orang yang cukup baik dan bisa diandalkan. "Ah, vær ikke. Dine ord er indirekte blevet mine øjne," tolak Wirya halus yang bermakna, ah, tidak usah. Ucapanmu itu secara tak langsung sudah jadi mataku. Tubuh Wirya sendiri memang tidak setinggi Luke. Tapi, massa otot tubuhnya sebagai kuli panggul profesional di pasar induk tentu saja tak bisa diremehkan. Luke menatap Wirya tidak enak. "Du skal også vide, hvad der foregår." Yang bermakna, kau harus tau juga kan apa yang sedang terjadi. Tanpa permisi ia pun mengangkat tubuh "mungil" Wirya. Dan didudukkan di pundaknya. Ia lakukan itu dengan mudah bak tanpa effort. Massa otot kuli panggul profesional Wirya auto insecure. Meski begitu ia senang karena akhirnya bisa melihat apa yang sedang terjadi di kejauhan sana. Benar saja. Muncul seorang pria yang tampak putih dari ujung kepala sampai ujung kaki. Rambutnya putih. Kulitnya putih bersih bak tembus pandang. Ia mengenakan pakaian off white. Putih dari ujung kepala sampai ujung kaki. Tampak seperti jas aneh dengan banyak ornamen yang dibalut oleh cloak berbulu. Persis seperti pakaian karnaval. Luke benar. Siapa dia? Penampilannya seperti pangeran dari negeri dongeng, batin Wirya bingung. Orang-orang di sekitarnya sayup-sayup terdengar mempertanyakan banyak hal pada "Pangeran Putih" itu. Seperti, apa kau yang membawa kami ke sini? Di mana ini? Tempat apa ini? Apa yang kau rencanakan pada kami? Apa yang sudah terjadi? Dan beragam pertanyaan standar lain. Sampai yang tergolong ekstrim seperti, jawab pertanyaan kami kalau masih sayang pada nyawamu, makhluk b*****h b*****t! Pria yang mengucapkan hal yang begitu kasar. Pada Sang Pangeran Putih sambil menarik kerah cloak-nya itu tiba-tiba berteriak nyaring, "AAAAAAAAAKKKHHHH!!! HVAD LAVER DU???!!! (APA YANG KAU LAKUKAN???!!!)" “Ahh…” Wirya menyaksikan dengan kedua bola matanya sendiri. Bagaimana tangan yang pria itu gunakan untuk menarik kerah pakaian Sang Pangeran Putih tiba-tiba terpelintir dengan sendirinya. Seolah dikendalikan oleh suatu kekuatan tak kasat mata. Sampai nyaris tercerai berai. “Berhamburan” di lantai. Ia berteriak semakin keras, “AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAKKKKKKHHHHHHHHHH!!!!!!!!!!” Tanpa ada sepatah kata pun terucap. Orang-orang yang berada di dekatnya “sepakat” untuk menjauh selangkah demi selangkah. Lantai di mana pria putih itu berdiri meninggi sekitar lima belas meter. Membuat rupanya yang tampak agung dapat disaksikan oleh semua orang yang ada di sana. Pangeran Putih itu menatap semua manusia di hadapannya dengan tatapan merendahkan, “Wahai para manusia…” + + + + + + + Terima kasih sudah membaca sampai selesai. Dengan ini "Sang penguasa" telah usai. "Siapakah pria putih itu? Pesan apa yang akan ia bawa kepada Wirya, Luke, dan semua orang yang berada di sana? “Apa tujuan dari semua kejadian ini? Misteri apa yang tersimpan dari alam semesta? Yang sempat digali oleh para manusia..." Sampai bertemu di chapter selanjutnya!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD