Aku Sudah Tak Tahan Lagi

1355 Words
"Duduk, Bel." Vina menunjuk ranjang dengan keadaan kacau itu. Namun, hanya tampak barang-barang milik wanita saja di sekelilingnya. "Iii ... iya, Vin. Makasih." Bella pun lantas duduk. Saat Vina masuk ke ruangan lebih dalam, Bella mendengar gemericik air. Bella menoleh dan mendapati Vina dengan satu gelas air putih. "Bell, kamu nginep?" Vina duduk di sebelah Bella setelah memberikan minuman tadi pada sahabatnya itu. "Enggak, Vin. Cuman kebetulan aja lewat sini. Tadi, aku liat kamu ...." Wajah Vina tampak pucat seketika. Ia tak berani menatap kedua mata Bella. Vina memalingkan wajah dan berkata, "Kamu liat aku? Kapan? Kenapa kamu enggak manggil, Bel?" Bella tersenyum. "Aku enggak enak. Kayaknya kamu sama seseorang. Boleh aku tau, siapa dia?" "Kamu pasti salah orang, Bel. Aku sendirian. Aku pulang dengan sopir bandara. Atau jangan-jangan yang kamu lihat Pak Danang? Dia memang yang sering antar jemput aku." "Bukan. Bukan, Vin. Yang aku lihat ...." Ponsel Vina berdering, Vina berdiri dengan segera. Ia meraihnya dan mengangkat. Sambil terus melirik Bella yang menunjuk kamar mandi dengan isyarat. Bella segera menuju ruangan lembab itu. Saking kesal menahan rasa penasaran, gadis itu membukanya dengan kasar. Namun, ia tak menemukan apa pun di dalam sana. Kamar mandi tampak kosong. Sesekali mengingat lagi, pria yang tadi bersama Vina. Sempat terbesit perasaan ragu, tetapi Bella tetap yakin kalau dia adalah Rangga. "Bel, udah belum?" Suara Vina di balik pintu membuat Bella terkejut. "Udah, Vin. Oh ya, aku pulang aja deh. Aku cuman numpang buang air kecil. Makasih banyak atas tumpangannya dan maaf banget udah ganggu waktu istirahat kamu." "Iya, Bel," balas Vina dengan singkat. Setelah Bella keluar dari sana, Vina langsung menutup pintu kamarnya tanpa berkata apa pun lagi. Bella menghela napas berat. Ia masih belum lega. Berjalan memasuki lift lagi, gadis itu tiba di bawah. Ia segera memesan taksi online dan menunggunya sesaat. Setelah mobil sampai, gadis itu bergegas masuk. Ia pulang dengan lelah yang tak berkesudahan. *** "Lu yakin, Bel? Mau nikah sama dia?" tanya Mira di sela langkah panjang tiga gadis yang baru saja turun dari pesawat. "Yakinlah. Memangnya kenapa? Aku sama dia udah kenal bertahun-tahun, Mir. Bukan sehari dua hari." Bella menjawab dengan percaya diri. Ia sudah mantap menentukan pilihan hidupnya. Terlebih setelah kejadian semalam. Semua hanya keraguannya saja. Bela dan dua sahabatnya kini berhenti sejenak karena mereka harus berpisah. Sudah waktunya pulang karena mereka hanya empat jam saja di atas awan. Tepat pukul lima sore, mereka keluar dari garbarata. "Sukses terus ya, Bel." Mira menepuk pundak Bella. "Kita pasti dateng kok, kalau besok lu nikahan." Melani melanjutkan . Suara teriakan itu menggema di antara banyaknya pengguna bandara. Seorang gadis dengan lesung pipi membalas lambaian tangan pada kedua sahabatnya yang tadi menjadi rekan terbang mengendalikan burung besi. "Thanks, Mel, Mir!" Bella membalas. "Tiati, kalian." Bella dengan seragam putih dilengkapi dengan Bros dua sayap dan dasi hitam itu berjalan penuh semangat. Lima menit keluar dari garbarata membuatnya semakin tak sabar ingin segera bertemu dengan sosok yang sudah memasangkan cincin berlian di jari manisnya. Bella terus melangkah sambil menatap benda mungil mengkilat itu. Tiga bulan lalu, Rangga datang bersama kedua orangtuanya menjalin sebuah hubungan serius dengan keluarga Bella. Bella menghentikan langkah tepat di dekat kursi tunggu. Satu tangannya meraih ponsel dari dalam saku celana panjangnya. Tak lama kemudian, kontak dengan nama kesayangan itu ia tekan dan muncul profil seorang pria tampan. Sekali dua kali, Rangga tak mengangkatnya. Padahal, pria berusia 35 tahun itu sudah berjanji akan datang menjemput tepat jam lima sore karena hari ini ia libur kerja. Belum juga ponsel diturunkan dari telinga, Bella melihat sekelebat sosok rangga berlari. Namun, pria itu berlari tanpa melihat jalannya. Bella pun bergegas mengejar pria tampan dengan mantel hitam itu. Hampir saja sebuah bus yang mengangkut penumpang bandara menabrak Rangga. Hingga kedua bola mata Bella mendelik dan berteriak memanggil nama sang tunangan. "Rangga!" Sayangnya, Rangga tak mendengar karena kerasnya suara klakson bus DAMRI. Pria itu terus berlari dan tiba-tiba dia membentangkan tangan di tengah jalan. Seorang gadis dengan belahan rok tinggi berlari dan melonjak. Mereka saling berpelukan. Seperti lama tak bertemu. Ponsel di tangan Bella hampir terjatuh. Tubuhnya lemas seketika. Jantung yang tadinya normal, kini berdebar tak karuan. Hancur melihatnya. Sungguh pemandangan yang membuat secercah harapan menjadi butiran debu yang terhempas angin. Entah apa yang mereka katakan. Bella tak mendengar. Bagai cermin yang retak, kini hati Bella hancur melihat mereka bermesraan. Satu kecupan mendarat di wajah sang pramugari. Tak mungkin mereka sekadar berteman, Bella yakin. Mereka melanjutkan langkah keluar area bandara dan Bella masih saja mengikutinya. Gadis dengan pangkat firs officer itu mendapati dua orang yang mereka ikuti tengah masuk ke dalam mobil. Bella pun lantas menghentikan sebuah taksi yang kebetulan lewat di depannya. Setelah masuk ke dalam mobil, ia meminta sang sopir membututi mobil di depan. Tiba di sebuah apartemen tak jauh dari bandara, Bella mengikuti langkah mereka. Sang tunangan membawa Vina ke tempat yang sama. Mereka masuk ke dalam lift. Bella sudah hafal nomor kamar Vina. Ia segera berlari dan mengejar mereka. Namun, sekuriti mencegahnya untuk masuk ke dalam lift. Dengan alasan Bella tidak memiliki izin masuk apartemen dan tak memiliki kartu kepemilikan. "Ini konyol! Mana bisa begitu, Pak. Aturan dari mana itu? Semalam saya dari tempat ini. Di kamar teman saya." "Maaf, silakan keluar. Anda tidak diizinkan masuk." Bella lemas. Ia menyadari dingin dan terpaksa kembali pulang. *** "Kamu yakin itu mereka, Bel?" tanya Melani pada Bella saat mereka berkumpul di sebuah kafe malam itu. Melani yang mengenakan jaket Hoodie dan kerudung hitam kini menatap temannya itu dengan lekat. "Aku yakin, Mel, Mir." Bella menjawab dengan tatapan kosong. Pikirannya melayang, mengingat saat-saat Rangga memeluk Vina yang tak lain adalah sahabat mereka juga. "Tapi, kalau bukan gimana, Bel?" lanjut Mira sambil mengaduk minuman dinginnya. Gadis bertubuh gendut itu mulai menikmati jamuan malam. "Aku yakin ...." Bella mengusap wajahnya yang basah. Tiga gadis duduk memutari meja bundar lengkap dengan hidangan malam penutup akhir bulan. Mira dan Melani saling melempar tatapan. Wajah Mira terangkat dan dagunya mengarah pada Bella yang masih terus melamun. "Udahlah, Bel. Dibawa enjoy aja. Mumpung belum nikahin lu, gimana kalau kita cari cara buat buktiin kalau mereka itu memang ada main belakang." Melani memberikan saran. "Ide bagus tuh, Mel." Mira semakin mendukung. Bella menghela napas panjang mendengar itu. Tanggal pernikahan sudah ditentukan, tetapi teka-teki belum terjawab juga. Ia yakin kalau saat itu yang dilihat adalah Rangga dan Vina. Lepas dari kafe, mereka bertiga berencana pulang. Malam Minggu kelabu bagi Bella, tak seperti biasanya yang penuh warna berkumpul dengan teman-teman dan Rangga juga. Kebetulan sekali mobil Mira yang berisi tiga penumpang itu melewati depan rumah Vina. Mereka bertiga mendapati rumah itu penuh dengan orang-orang yang menata kursi di luar. Banyak pria-pria berkopiah hitam lalu lalang mengatur jalanan yang padat. Seketika mobil Mira berhenti, mereka saling bertanya. "Ada apaan, ya?" tanya Mira seraya membenahi kerudungnya. Ia bersiap-siap untuk turun. "Tau, tuh. Eh tapi ... ada bendera kuning, Gais!" Melani menunjuk ke luar. Tepat pada pagar rumah Vina. "Ya udah, turun aja yuk!" Bella mendahului mereka. Tiga gadis telah berada di luar mobil. Salah satu dari mereka bertanya pada salah seorang warga. "Anu, Dek ... ada yang meninggal. Kedua orangtua Mbak Vina meninggal dalam kecelakaan di tol. Malam ini juga akan dikuburkan." Tiga gadis itu pun lantas menutup mulut karena terkejut. Setelah berterima kasih pada lelaki paruh baya yang mereka tanyai, Bella mengajak Mira dan Melania masuk ke dalam untuk berbela sungkawa. Saat menunduk di antara banyak orang berpakaian serba hitam di dalam rumah besar itu, Bella lagi-lagi dikejutkan dengan pemandangan tidak mengenakkan. "Kamu yang sabar ya, Vin. Aku janji, aku akan selalu menemani kamu. Kamu tidak akan sendirian." Rangga tampak memeluk Vina di dekat dua jenazah yang sudah tertutup kain. Wajah Vina memang tampak sangat sedih. Namun, seorang lelaki di sampingnya itu apakah masih ingat dengan sang tunangan yang kini menatap mereka dari samping? Batin Bella terasa terkoyak. "Bel, sabar ya. Enggak usah diambil hati. Mungkin Rangga cuman ...." "Cukup, Mir! Aku enggak bisa lama-lama di sini." Karena tak tahan melihat Rangga dan Vina, Bella memutari badan dan segera pergi dari sana. Gadis itu berlari sambil mengusap wajahnya. Ia langsung menumpahkan tangis di dalam mobil Mira. Tak lama, kedua sahabatnya datang dan mereka segera pergi dari sana.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD