Kami berdua masuk ke dalam ruang kerjaku. Suasana berubah semakin canggung karena Gabe masih tidak berbicara dan entah mengapa tenggorokanku semakin tercekat. “Ambil barang-barang kamu. Kita pulang sekarang.” Gabe hendak berbalik namun aku menahan tangannya. “Kenapa? Kata Ratna, salonnya tutup jam lima,” ujarku bertanya-tanya. “Bosnya kan kamuuuu.” Gabe tiba-tiba saja menangkup wajahku dengan kedua tangannya lalu memberikanku sebuah ciuman singkat di keningku. “Maafin aku, ya? Aku pasti udah bikin kamu kecewa. Kata-kataku kelewatan banget.” Aku menatap sendu ke arah Gabe yang kini masih menangkup wajahku. Tidak ada jarak di antara kami. Rasanya bahkan seperti aku dan Gabe saling mencuri udara di sekitar kami. “Jangan nangis.” Gabe memeluk tubuhku saat akhirnya air mataku menetes. Tent

