Ben membuka pintu ruang kerja Gabe. Pria itu masuk ke dalam sana dan saling bertukar pandang dengan Gabe. Ben tentu bertanya-tanya, mengapa Gabe bisa menikah dengan wanita yang ada di dalam ruangan itu.
“Apa dia tau?” tanya Selly pada Gabe saat Ben berjalan mendekat ke arah mereka.
“Iya,” jawab Gabe meski suasana menjadi sedikit canggung.
“Kenapa lo bisa nikah sama dia?” Ben membuat suasana itu semakin canggung.
“Gue harus nikah sama siapa lagi?” Gabe tertawa. “Cuma dia kan, perempuan yang ada disini?”
“Lo enggak harus nikah sama siapa-siapa kalo lo belom siap untuk itu. Apa lagi lo enggak tau latar belakang dia kayak gimana,” ujar Ben seolah Selly tak kasat mata dan tak bisa mendengar ucapannya.
“Apa mereka berdua … astaga! Jangan-jangan … si Gabe itu kayak Lori?!” batin Selly tiba-tiba saja berdecak tidak percaya dengan hipotesis yang baru saja terbit di dalam kepalanya itu.
“Gue sekarang udah nikah sama dia. Lo enggak perlu bahas masalah itu.” Gabe berujar tak kalah dinginnya.
“Guys. Saya ada di sini, lho. Si Perempuan yang enggak diketahui latar belakangnya itu ada di sini dan bisa denger omongan kalian.” Selly akhirnya angkat bicara dan kedua pria itu menatap ke arahnya seolah mereka berdua sudah tahu sebelum Selly mengatakannya.
“Oke. Silahkan lanjutkan.” Selly mengangkat kedua tangannya sebagai tanda menyerah dengan kedua pria itu.
“Lo mau apa dari dia?” tanya Ben langsung pada Selly yang menganga tak percaya karena pria itu berbicara tanpa memikirkan perasaannya.
“Dia sekarang istri gue. Sebaiknya lo jaga sedikit kata-kata lo.” Gabe bangkit dari kursinya, menarik tangan Selly untuk ikut bangkit, dan membawa wanita itu pergi keluar dari ruangan itu.
“Kamu enggak perlu ngerasa bersalah. Saya ngerti kenapa dia kayak gitu.” Selly berujar saat Gabe memutar knop pintu kamarnya. Wanita itu menggeleng-gelengkan kepalanya seraya membatin. “Namanya juga cemburu, ya. Gue bisa lah ngerti.”
“Saya enggak ngerasa bersalah sama kamu. Saya cuma males denger dia ngoceh. Makanya saya ngajak kamu keluar. Jangan salah paham,” ucap Gabe saat pria itu melepas jasnya.
“Mungkin dia malu ngakuinnya. Tapi enggak apa-apa. Gue bisa ngerti.” Sekali lagi Selly membatin. Kali ini ia mengangguk-anggukan kepalanya.
“Abis sini kita ke rumah kamu, ambil barang-barang kamu dan pindah ke rumah saya.” Gabe yang tak mengerti mengapa Selly mengangguk-anggukan kepalanya itu kembali berbicara.
“Apa ada hal yang boleh dan enggak boleh saya lakuin?” tanya Selly tiba-tiba saat ia mengingat kamar kosnya yang sempit itu. Kamar kos yang ia bayar dari hasilnya bekerja sebagai seorang penari striptis.
“Kamu cuma perlu jaga sikap kamu. Sebenernya saya enggak masalah kalo kamu mau ngelakuin sesuatu. Tapi saya ini pemimpin perusahaan. Ada baiknya kamu jaga sikap kamu karena bukan cuma nama saya yang bakalan tercoreng. Perusahaan dan keluarga saya juga.” Selly berdiri tegang di tempatnya. Wanita itu mengkhawatirkan pekerjaan utamanya sebagai seorang penari striptis meski ia sudah berusaha menutup rapat-rapat identitasnya.
“Kalo pernikahan ini, saya harus rahasiakan atau bagaimana?” tanya Selly setelah mendapatkan kembali suaranya.
“Itu terserah kamu. Yang pasti, saya enggak akan adakan perayaan. Saya cuma ingin keluarga saya tau kalau saya udah nikah,” jawab Gabe. Selly mengangguk-anggukan kepalanya.
“Gabe.” Selly memanggil pria itu saat Gabe hendak pergi ke walk-in-closet untuk mengganti pakaiannya.
“Apa?” Pria itu berbalik dan menatap Selly dengan sebelah alisnya yang naik.
“Kamu bilang, kamu enggak perduli sama latar belakang saya. Saya harus gimana kalo mau kamu, saya harus jaga sikap?” “Enggak jadi. Saya mau balik ke kamar yang tadi. Enggak apa-apa, kan, kalo saya ganti baju?” Selly hanya berani bertanya di dalam hatinya karena gadis itu merasa telah menipu Gabe.
“Ganti aja. Atau kamu mau saya yang gantiin?” tanya Gabe dengan nada santainya. Wajah Selly memerah. Meski tubuhnya sering disentuh oleh banyak pria saat sedang bekerja di klab, tak pernah ada satu pun hubungan serius yang ia pernah jalani. Kini wanita itu tentu tergagap saat pria yang telah menjadi suaminya itu tiba-tiba saja bertanya seperti itu.
“Saya cuma bercanda,” ujar Gabe dengan tawa kecilnya. Mendengar itu, Selly pun cepat-cepat membalikan tubuhnya dan pergi meninggalkan Gabe.
“C’mmon, Sel!” Wanita itu memukul pelan kepalanya yang berani berpikir liar di tengah perjalanannya kembali ke kamar.
Sesampainya di kamar, Selly tidak langsung mengganti pakaiannya. Wanita itu berdiri dan menatap pantulan bayangannya di cermin. Rasa bersalah lagi-lagi merayap masuk ke dalam dadanya. Padahal belum ada dua puluh empat jam wanita itu menikah dengan Gabe.
Selly mencari ponselnya di tas selempang yang tadi wanita itu bawa ketika datang ke Villa itu. Setelah menemukannya, jarinya mencari kontak ponsel Roy.
“Hallo?” sapa Selly di deringan ketiganya.
“Kenapa, Sel?” tanya Roy dengan suara serak khas orang baru bangun tidur.
“Gue mau berenti.” Jawaban Selly sontak saja menarik penuh kesadaran Roy itu.
“Maksud lo apa?” tanya Roy lagi. Kali ini dengan nada terkejutnya.
“Gue enggak mau lagi nari di tempat lo,” jawab Selly mantap.
“Lo enggak bercanda, kan?” Roy semakin terkejut. Pasalnya Selly adalah lading uangnya. Keterdiaman Selly membuat Roy kembali berbicara. “Lo enggak suka kerja di salon? Mereka perlakuin lo buruk?”
Selly menarik napasnya panjang sebelum menghembuskannya kasar. “Mereka justru perlakuin gue baik. Gue cuma … mau punya kehidupan yang normal.”
“Kehidupan normal?” Roy tertawa mengejek karena pria itu kesal dengan Selly yang tiba-tiba saja ingin berhenti bekerja darinya. “Kehidupan normal kayak apa yang pantes buat cewek kayak lo, Sel? Coba deh, mikir. Gue tuh udah baik banget sama lo. Gue udah ngidupin lo dan ade-ade lo di panti selama ini. Cewek kayak lo yang ngejual badannya sendiri tiba-tiba ngomong mau hidup normal? b***h. Lo enggak lagi ngelindur kan?”
“Gue enggak pernah jual diri! Gue enggak pernah tidur sama siapa pun. Lo tau kan kalo gue terpaksa kerja jadi penari striptis?! Gue enggak nyangka kalo lo bakalan ngomong kayak gitu tentang gue!” Air mata meluruh dari pelupuk mata Selly. Sebuah kehidupan yang normal adalah salah satu impiannya selain bisa membiayai adik-adiknya di panti asuhan.
“Kalo lo mau berenti kerja sama gue, balikin semua uang yang pernah gue kasihin sama lo!” Roy berseru dari seberang sana. “Dasar cewek enggak tau diuntung!”
“Gue kerja di tempat lo! Gue bukannya ngemis atau minta uang lo cuma-cuma!” Selly berseru tak kalah kencangnya.
“Balikin uang gue. Dua ratus lima puluh juta. Cash! Baru lo boleh berenti!” Roy memutuskan panggilannya begitu saja.
Selly menangis tersedu-sedu tanpa menyadari jika seseorang mendengar percakapannya.
*****