NEW HOPE

1190 Words
Bug! Keyrina membanting pintu mobil dan segera turun, lantas perlahan berjalan untuk masuk ke rumah. "Pelan-pelan, Key." Rolfie yang mengetahui bahwa istrinya masih lemah pasca melahirkan memperingati secara lembut. Namun nampaknya Key tidak menghiraukan, bahkan bayinya yang belum genap seminggu ia biarkan tidur dengan ayunan bayi yang sudah disiapkan Rolfie di mobil. Rolfie paham bahwa istrinya masih sulit menerima kondisi bahwa anak mereka berkelainan. Untuk saat ini Rolfie masih tak mau berdebat, biarkan saja, mungkin Keyrina butuh istirahat. Alhasil, Rolfie yang akhirnya menggendong bayi itu, bayi mungil yang kemarin diberi nama, Angela Valerinna Alanzo. Nama itu, Key yang membuatnya. Semasa ia hamil, ia sudah memikirkan nama yang bagus untuk anak pertama mereka. Namun kini, rasa-rasanya justru Keyrina amat sangat tak bahagia dengan bayi yang baru saja keluar dari rahimnya. "Owaaaa. Owaaaa." Rolfie diam sejenak. Memandang Angel dalam gendongannya yang kini menangis dan menggeliat. Dokter bilang bila bayi seperti ini, itu tandanya ia lapar, harus segera diberi ASI. Clak! Rolfie mendapati Key tengah berbaring di atas ranjang dengan posisi menyamping, membelakangi dirinya. "Angel nangis, kamu kasih ASI dulu gih." Keyrina tak merespon. "Key," Rolfie tau betul, Keyrina sedang benar-benar tidak ingin diganggu. Ditegur sekali lagi, bisa-bisa kemarahan menjadi respon selanjutnya. Rolfie menutup pintu kamarnya, membiarkan istrinya berbaring dan menenangkan diri sejenak. Sementara itu, diluar kamar, ia bingung setengah mati. Di satu sisi istrinya sedang sangat terpukul, di sisi lain bayi kecilnya terus-menerus merengek. Tak ada pilihan, Rolfie mengambil kunci mobil dan melaju secepat mungkin untuk akhirnya tiba di sebuah minimarket dan membeli sekotak s**u formula. Ia sebenarnya sama sekali tidak mengerti hal-hal semacam, adakah s**u khusus yang bisa diminun bayi penderita down syndrome, atau hal semacam s**u formula jenis apa yang paling bagus kandungannya? Karena kebodohan tentang masalah s**u, alhasil Rolfie membeli s**u formula yang paling mahal. Ia hanya berpikir jika s**u itu mahal berarti kandungan nutrisinya juga bagus. Dimana ada harga disitu ada kualitas. Ia tak banyak berpikir, bahkan lupa bertanya tentang, apakah s**u ini aman untuk bayi baru lahir. Ia tak berpikir panjang, yang ada di otaknya kini hanyalah Angel yang sedang menangis di atas box bayi. Setelah selesai membayar, Rolfie kembali tancap gas untuk pulang ke rumah. Baru saja menapakkan kaki, suara tangis bayinya masih keras terdengar. Ia langsung buru-buru pergi ke dapur, mengambil botol s**u dan membuat s**u dengan tata cara yang ia lihat dari internet. Perlu diketahui, Rolfie bukan lelaki yang handal dengan urusan dapur. Menuang air panas ke lubang kecil botol s**u adalah hal yang amat sulit baginya. Ia gelagapan, sudah entah berapa banyak air panas yang tak sengaja tertuang dan mengenai tangannya. Tapi ia tidak peduli, yang ia pikirkan hanyalah bagaimana caranya agar Angel berhenti menangis. Setelah dirasa-rasa pas untuk diminum Angel, Rolfie segera masuk ke kamar dimana Angel ia tinggalkan. Perlahan, penuh cinta, Rolfie membantu bayi kecilnya yang lapar untuk meminum sebotol s**u. Tak lama kemudian, tangis Angel menyurut. Mata bayi mungil yang belum bisa melihat secara jelas itu perlahan-lahan sayu, seperti mengantuk, tapi tak kunjung tidur. Cukup lama Angel meminum s**u dalam botol yang bahkan tidak lebih besar dari genggaman tangan Rolfie. Rolfie yang harus terus berlutut di samping ranjang bayi untuk memegangi botol itu lama-lama merasa pegal. Seiring satu tangannya memegangi botol, satu tangan yang lain mengayunkan ranjang bayi yang sudah disediakan dalam kamar yang dikhususkan untuk Angel, yang sudah Key siapkan beberapa bulan sebelum Angel lahir. Entah ini kekeliruan macam apa, tapi selama s**u itu ditelan oleh Angel, justru Rolfie yang semakin lama semakin mengantuk. Memang, selama menemani istrinya pemulihan di rumah sakit, Rolfie jarang tertidur, bahkan sedari semalam, hari dimana dokter sudah memastikan bahwa esok Keyrina bisa pulang, Rolfie tetap enggan tertidur, lebih memilih mengawasi sang istri jikasaja tiba-tiba terbangun dan butuh apa-apa. Setelah hampir setengah jam lebih, akhirnya Angel tertidur juga, dot botol s**u itu perlahan-lahan lepas dari bibir kecilnya. Rolfie tersenyum pelan, sedikit tenang kini putrinya tertidur. Ia lantas beranjak, menutup pintu kamar bayi itu perlahan, dan kembali menghampiri Key di kamarnya. Masih dalam posisi yang sama, hingga akhirnya Rolfie memutuskan untuk menghampiri dan ternyata mendapati Key tengah tertidur. Dengan aluran nafas yang tenang dan mata terpejam yang sedikit lebam, Rolfie tau betul, istrinya pasti habis menangis selama ia tak ada di sisinya tadi. Rolfie mengelus rambut panjang Key yang tergerai di hamparan bantal, membalut tubuh istrinya dengan selimut dan mengecup kepalanya, lantas pergi keluar, berbaring di sofa ruang tamu dan memilih istirahat di sana. Rolfie bisa saja tertidur leluasa di ranjang di sebelah Key, tapi ia tak ingin mengganggu, menyentuh ranjang sedikit saja terkadang bisa membangunkan Key, jadi ia lebih memilih untuk pergi. Ia tau Key lelah. Bahkan mungkin tubuhnya masih sangat rapuh akibat dahsyatnya sakit karena melahirkan. Rolfie tak bisa merasakan itu, alasan mengapa ia menganggap semua wanita sangat hebat dan amat patut untuk dihormati serta dijunjung, karena ia tau bahwa sekuat apapun lelaki tak akan bisa melawan sakitnya melahirkan. Jangankan melawan, untuk dibagi dua dengan lelaki saja tidak bisa. Semua itu harus dirasakan oleh wanita. Sendirian. *** 00.06 Waktu Inggris "Key, ini Angel nangis terus gimana?" "Nggak tau. Urus aja." Rolfie menghela napas panjang yang lirih. Lelah. Ia lelah. Belum dapat istirahat dengan tenang, mengurus bayi yang terus-menerus merengek, dan menghadapi istri yang masih sangat terpukul. Ia menutup pintu kamar di mana Key duduk bersandar di atas ranjang, menunggu Rolfie datang dan tidur bersama. Tapi apa boleh buat, untuk saat ini anak terasa jauh lebih penting. Rolfie masuk ke kamar bayi di mana Angel menangis semakin keras. Ia mengelus lembut, hingga meminumkan s**u lagi ke mulutnya, tetap saja, tangisnya tak kunjung henti. Alhasil, karena tak ada cara lain dan ia bukan wanita yang mungkin lebih mengerti tentang dunia keibuan, ia akhirnya menelpon sang Mama, bertanya, tentang apa yang harus putranya ini lakukan? "Ma..." "Kenapa, Zo?" "Kalo bayi nangis, Alanzo harus apa?" "Suruh istrimu beri ASI." Rolfie diam sejenak, tak mau istrinya disalahkan. "Udah, Ma. Tapi masih aja nangis." "Coba dibawa ke dokter, biasanya kalo bayi nangis terus itu tanda-tanda sakit. Apalagi tengah malem gini." Rolfie diam lagi, memikirkan ucapan Mamanya sejenak dan membenarkan. Ia lantas memutus telpon itu setelah sesaat mengucap terima kasih, lalu kemudian pergi, membawa Angel pergi ke klinik terdekat. *** "Sir, bayi anda sudah berusia berapa bulan?" "Baru satu hari." Dokter perempuan itu nampak terkejut. "Baru lahir satu hari sudah diberi s**u formula?" Rolfie mengangguk paksa. "Ini kesalahan. Bayi baru lahir itu harus diberi ASI hingga minimal enam bulan," ucap dokter itu. "Anak Anda terkena diare, dan setelah diperiksa ia juga alergi s**u sapi." "Terus saya harus apa, dok?" "Untuk memulihkan anak Anda, dia harus dirawat disini hingga esok atau lusa untuk memastikan dia baik-baik saja, dan untuk masalah s**u formula, tolong berhenti berikan itu pada anak Anda, dan jika sudah waktunya ia bisa meminum s**u formula, Anda bisa berikan s**u dengan bahan dasar kedelai, bukan s**u sapi." Rolfie mengangguk-angguk. "Jadi untuk sekarang anak saya harus dirawat?" Dokter itu mengangguk. "Berikan juga dia ASI," katanya. "Di mana istri Anda? Rolfie terdiam, tertegun sesaat. "Sir? Istri Anda?" "Ada, dia belum kemari dan bakal nyusul. Tadi dia tidur, saya nggak tega bangunin, dok." Dokter itu mengangguk. "Baiklah, jika istri Anda sudah kemari, tolong beritahu apa yang saya bilang." "Iya. Makasih, dok." ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD