bc

Heartbreak Critical: Epoch

book_age16+
176
FOLLOW
1K
READ
dark
arranged marriage
inspirational
drama
sweet
bxg
abuse
cheating
childhood crush
like
intro-logo
Blurb

Tidak ada yang baik-baik saja dalam dunia pernikahan. Permasalahan seputar pasangan dan anak menjadi masalah utama, sementara pertikaian rumah tangga menjadi masalah selanjutnya. Pahit manis hubungan yang tidak seindah masa muda pun harus dirasakan selama yang mereka bisa. Apapun keadannya, harus mampu bertahan, begitu kata mereka.

"Ada banyak kejadian sedih di keluarga yang kamu nggak tau."

chap-preview
Free preview
CAUSE YOU'RE A MAN
   Rolfie pernah diberi tau oleh ayahnya, bahwa laki-laki boleh menangis dalam tiga situasi.    Pertama, ketika ia dilahirkan.    Kedua, ketika ia menikah dan harus meninggalkan rumah.    Ketiga, ketika ia berhasil menggendong seorang bayi mungil dan resmi menjadi seorang ayah.    Awalnya Rolfie berpikir itu hal yang cengeng untuk seorang pria, kecuali mungkin opsi pertama. Namun lima tahun lalu ketika ia berhasil menikahi gadis impiannya, sebesit perasaan gundah tiba-tiba saja memasuki rongga dadanya, ia tak menangis memang, hanya saja merasa bersedih, entah apa alasannya. Dan hari ini, hari dimana ia berhasil mendengar nyaringnya suara tangisan bayi yang keluar dari rahim istrinya dan berhasil menggendong bayi mungil itu dengan kedua tangannya, ia menemukan alasan kenapa ia harus menangis. Bukan. Bukan karena ia terharu karena sudah menjadi seorang ayah, melainkan ia bersedih karena harus menjadi seorang ayah dari bayi yang berkelainan. Awalnya Rolfie pikir hari ini akan menjadi hari yang amat membahagiakan, dimana dirinya bisa tersenyum sangat cerah ketika melihat bayi mungil yang cepat atau lambat akan menyebut dirinya 'Papa'. Tapi ternyata keadaan tidak semembahagiakan itu. Tepat ketika ia mendengar bayinya menangis, detik itu juga ia disuruh bersiap oleh dokter untuk mendonorkan darahnya kepada sang istri yang kehilangan banyak darah akibat pendarahan hebat selama proses persalinan.    Bukan berarti Rolfie menganggap bayinya adalah pembawa sial. Tidak, bukan seperti itu. Hanya saja, ada sebesit perasaan tidak terima yang sulit dijelaskan oleh kata-kata.    Sehabis pendonoran darah, istrinya sempat tak sadarkan diri sejak tiga jam yang lalu, hal itu membuat Rolfie semakin cemas. Cemas dengan keadaan istrinya, dan cemas dengan perasaan istrinya ketika mengetahui kondisi anak pertama mereka nantinya. Bagaimana Rolfie harus menjelaskan bahwa anak yang mereka tunggu tunggu untuk segera lahir ternyata mengidap down syndrome, memang itu bukanlah penyakit langka yang amat menyakitkan atau sulit disembuhkan, tapi kondisi itu bisa membuat anaknya tumbuh dengan keterbiasaan cacian. Ditambah lagi diagnosa penglihatan yang kurang baik dan kelemahan jantung bawaan lahir. Itu akan membuat anaknya sulit untuk berkembang seperti anak-anak pada umumnya, ia mungkin akan tumbuh menjadi anak dengan pengawasan luar biasa, ia tidak boleh cepat lelah, tidak boleh banyak berlarian dan harus hati-hati dalam segala permainan, dimana pada dasarnya anak-anak adalah makhluk aktif yang akan bermain apapun yang menurut mereka menyenangkan, dan hal-hal menyenangkan itulah yang justru harus dihindari oleh anaknya. Juga diagnosa penglihatan buruk yang seakan membuat bayinya menjadi anak paling sengsara di muka bumi. Anak-anak lain akan tumbuh dengan penglihatan yang tajam, tapi anaknya mungkin akan tumbuh dengan kacamata yang bertambah tebal setiap waktunya. Dokter bahkan bilang, bisa saja anaknya akan menjadi dewasa dengan kondisi buta.    Dan itulah alasan mengapa Rolfie menangis detik ini.    Di dalam mobil di tengah jalanan kota London yang sepi, ia hampir kehilangan kendali dalam setirnya. Pikirannya kacau, fokusnya terbagi antara jalanan dan kekacauan keluarga kecilnya. Ia keluar rumah sakit di jam malam seperti ini, mengingat bahwa istrinya meminta buah semangka seusai ia melahirkan. Rolfie baru saja pergi dari minimarket dengan sekantung plastik berisi potongan semangka yang sudah ia beli. Ia akan kembali ke rumah sakit, melewati lorong dan mendapati istrinya yang mungkin kini tengah menangis menerima kenyataan, tapi jauh dalam lubuk hatinya, ia berharap semoga istrinya belum juga sadar. Rolfie tidak menangis seperti perempuan, air matanya hanya terus menetes seiring emosinya memuncak dengan tidak stabil. Ia bahkan tak peduli berapa banyak klakson yang sudah memperingatinya agar berkendara lebih baik, karena memang sedari tadi Rolfie menyetir secara ugal-ugalan. Hingga kemudian kesadarannya buyar, tepat ketika ia hampir saja menabrak pembatas jalan. Ia mengerem secara mendadak, hanya sedikit tersentak kedepan secara keras, tapi ia baik-baik saja. Ia menghela napas, mengontrol emosinya secara perlahan lantas kemudian menenggelamkan wajahnya di pegangan setir mobil yang ia kendarai. Jalanan malam yang sepi dan hampir tidak ada orang membuatnya leluasa berdiam sejenak, setidaknya tidak ada yang melihat ia lemah detik ini. ***    Suara gema dari langkah sepatunya membuat suasana lorong rumah sakit yang sepi agak mencekam. Rolfie yang berjalan pelan dengan sekantung plastik semangka itu tidak peduli akan apapun di sekitarnya saat ini. Tatapannya kosong ke depan, langkahnya lurus, seakan tak butuh fokus untuk tiba di kamar inap istrinya. Hingga kemudian langkahnya berhenti, tiga meter dari pintu kamar inap yang ia tuju. Fokusnya kembali, tepat ketika ia melihat dua sosok yang kini tersenyum lembut padanya.    "Hey, son."    Orang tuanya.    Rolfie sempat tak tau apa yang harus ia lakukan, antara menghampiri dan menangis, atau tetap tegar menunjukkan sikap seorang laki-laki.    "Keyrina belum sadar," ujar sang Mama, "Mama sama Papa udah tau kondisi anak kamu," ujarnya lagi. "Cucu kita."    Ucapan itu membuat Rolfie bungkam sejadi-jadinya, entah ia harus bersedih, atau justru malu. Lantas sang Mama menghampiri dirinya, mengelus pelan pipinya selayak bocah kecil yang dulu bersedih tak dibelikan robot mainan.    "Orang tua istrimu kemungkinan bakal dateng besok pagi dari Indonesia," ujar Mamanya lagi, lalu Rolfie mengangguk. Lantas, tangan Mamanya perlahan merogoh plastik yang ia bawa. "Biarin Mama temani istrimu di dalam," dan semudah itu Rolfie melepaskan.    Mamanya lalu balik badan, mengusap sejenak pundak suaminya yang tak lain adalah ayah Rolfie, seakan mengisyaratkan sesuatu hal yang mereka sembunyikan dari putranya. Sesaat setelah wanita paruh baya itu masuk ke dalam kamar inap istrinya, sang Ayah menyuruh Rolfie untuk duduk di sebelahnya di atas bangku panjang khas rumah sakit di lorong itu. Rolfie tak pikir panjang, ia yang lelah juga lemah lantas segera duduk tepat di sebelah ayahnya. Tatapannya masih saja kosong, seakan ia sendirian, masih saja bungkam di sisi ayahnya sekalipun.    "I know what it feel, son."    Rolfie langsung mendongak menatap ayahnya, tanpa sepatah kata pun.    "You crying?" tanyanya lagi.    Rolfie diam, hingga pertanyaan itu dilontarkan untuk yang kedua kalinya.    "Yea," jawab Rolfie akhirnya.    Suara helaan napas dari ayahnya terdengar parau, membuat Rolfie semakin jatuh, jatuh sejatuh jatuhnya.    "Bagaimanapun dia, dia tetap anakmu."    "I know, dad."    "You know, but you won't."    "What?"    "Your daughter."    Kalimat terakhir membuat Rolfie kembali mendongak, menatap mata ayahnya yang sayu dan mulai mengeriput.    "Rolfe, ingat, bagaimanapun keadaannya, dia tetap anakmu. Terlebih lagi dia perempuan, dan kamu tau apa artinya?"    "I have to take her care."    "Good. Tapi bukan cuma itu aja," imbuhnya. "Kamu masih punya seorang perempuan yang juga harus kamu jaga."    "Keyrina."    "You know it, son. Sekarang kamu punya dua tanggung jawab yang besar. Istrimu, dan anakmu. Keduanya sama-sama perempuan, itu artinya tanggung jawabmu jauh lebih besar jika dibanding hanya menjadi sosok suami dan ayah."    "Maksud Papa gimana?"    "Hey, son. Kamu tau istrimu, kamu tau masa lalunya, kamu tau semua sisi buruknya, dia pernah menjadi gadis yang jauh dari kata teladan, dan kamu bisa menariknya dari semua keburukan yang pernah dia miliki, tapi bukan berarti kamu sudah berhasil."    Rolfie terdiam.    "Masa lalunya yang buruk bisa jadi pengaruh buruk untuk hidupnya ke depan. Meskipun dia memiliki kamu sekarang, bukan berarti sepenuhnya ia akan aman. Bisa jadi ia akan lebih buruk dari masa lalunya, atau sebaliknya, itu semua tergantung bagaimana kamu merangkulnya sebagai seorang istri," beliau ambil jeda. "Dan anakmu... "    Rolfie masih terdiam, menunggu lanjutan ucapan itu.    "Perempuan baru yang hadir sebagai tanggung jawab tambahan untuk kamu," kembali ambil jeda. "Rolfe, dia akan tumbuh dewasa, kondisinya yang seperti ini sekarang bukan berarti ia tidak dalam bahaya kedepannya. Rolfe, dia perempuan, dia akan tumbuh dan mengenal banyak laki-laki di hidupnya, dia akan semakin dewasa sementara kamu akan semakin tua, sekalipun dia sudah bisa memilih mana yang baik dan buruk untuk dirinya sendiri, dia tetap butuh kamu sebagai seorang ayah."    Masih saja terdiam.    "Rolfe, apapun keadannya, mereka tetap bagian dari hidupmu. Sekalipun kamu tidak bisa menerima bayimu sebagai anak yang kamu harapkan, dia tetap anakmu, dia tetap tanggung jawabmu, dia akan tumbuh dan berguna itu tergantung bagaimana peranmu sebagai seorang ayah. Ingat Rolfe, mereka tanggung jawabmu."    Rolfie menatap lekat kedua mata ayahnya.    "Karena kamu laki-laki!" ***    

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

SEXRETARY

read
2.1M
bc

Escape from Marriage - Kabur dari Derita Pernikahan Kontrak

read
257.2K
bc

Sekretarisku Canduku

read
6.6M
bc

My Ex Boss (Indonesia)

read
3.9M
bc

YUNA

read
3.0M
bc

Pernikahan Kontrak (TAMAT)

read
3.4M
bc

Guru BK Itu Suamiku (Bahasa Indonesia)

read
2.5M

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook