Part 4

1538 Words
"Ah, tidak perlu, saya naik bus saja!" Menolak tanpa ragu dengan senyum terpaksa. "Aku bilang naik, ya naik!" Geram Ardy dengan amarah tertahan. Jihan tersenyum lalu melangkah dengan santai duduk kembali di kursi menunggu bus. Mengacuhkan Ardy lalu membuka ponselnya pura-pura tidak mendengar. "Baru kali ini aku ditolak oleh wanita! biasanya saja banyak wanita yang berebut ingin dekat denganku!" Ucapnya dalam hati. Dengan langkah cepat keluar dari mobil menghampiri Jihan. Tanpa sepatah kata langsung mengangkat tubuh gadis itu. "Ada apa?! ekh! apa yang kamu lakukan?!" Teriak Jihan pada Ardy. "Menurutmu? apa yang aku lakukan?!" tanyanya balik. Jihan kembali mengingat kejadian tadi pagi. Gadis tanpa sadar melamun. "Pagi tadi pria ini sudah melemparkan bokongku ke lantai dengan tanpa perasaan, dan aku sudah membuatnya kesal, kali ini dia akan melemparkan bokongku ke jalan raya! tidak boleh! pasti sangat memalukan!" Beberapa saat kemudian dia kembali dalam kesadaran. "Tidak, turunkan saya!" Teriaknya lagi terus meronta. Ardy tidak merespon lalu melemparkannya ke dalam mobil. "Braaakkkkkkk!" menutup pintu dengan kasar. Jihan terkaget melongo. Ardy tiba-tiba mendekatkan wajahnya. "Tu, tunggu dulu!" Jihan buru-buru menutup wajahnya dengan kedua tangan. Ardy hanya menyeringai seraya meraih sabuk pengaman dan memasangkan pada tubuh Jihan. Jihan tersadar tersenyum garing ke arahnya. "Kenapa kamu menutup wajahmu? apa yang kamu pikirkan?" Seringai Ardy. "Tidak, tidak ada!" Jawab Jihan cepat. "Apa kamu pikir aku akan begini..." Meraih kepala Jihan dan mendekatkan wajahnya sampai jarak lima sentimeter. "Apa maksudmu, tentu saja tidak, dan bukan!" Dengan detak jantung berdebar. Meraih tangan pria itu menurunkan dari belakang kepalanya. "Jika bukan itu, pasti ini, Cup!" Tanpa ragu mengecup bibir gadis itu, hanya sekejap lalu melepaskan ciumannya. Ardy menyalakan mobilnya dan melaju tanpa ekspresi. Jihan terpaku, menatap kosong.. Kemudian berkata dengan nada geram "Apakah pria sepertimu begitu murahan? apakah orang kaya tidak punya aturan dan selalu menganggap segalanya mudah disekitarnya tanpa memperdulikan perasaan orang lain?!" Mendelik ke arah Ardy. Mematikan mesin, dan membuka kunci pintu. "Keluarlah..." Perintahnya pada Jihan. "Kamu benar-benar!" mengangkat tangan hendak menampar Ardy. "Jika tidak mau keluar maka tetaplah di sini." Dengan nada santai. Ardy segera keluar mobil dan meninggalkan Jihan di sana. Jihan menurunkan tangannya, melihat sekitarnya kalau ternyata dia sudah sampai di tempat parkir, dan melihat beberapa orang berlalu-lalang di sekitarnya. Beberapa mahasiswi berjalan menghampiri Ardy menawarkan diri untuk membawakan tasnya, ada yang menawarkan minuman dingin. Sekarang Jihan tahu kalau Ardy bersikap demikian padanya seolah tidak terjadi sesuatu apapun. Jihan keluar dari mobil dan berjalan hendak melewati Ardy. Mahasiswi melihat ke arah Jihan dengan tatapan mata tidak senang. Ardy melihat sekilas, lalu menarik tangan Jihan dan memeluk bahu gadis itu. "Perkenalkan ini adalah pembantuku." Sambil tersenyum pada mahasiswi di sekitarnya. Ardy hawatir jika Jihan dibully jika ia tidak berkata demikian. "Ha! ha! ha." Jihan tertawa dengan terpaksa lalu menyingkirkan tangan Ardy dengan kasar. Mendelik ke arahnya dan melangkah pergi dengan kaki menghentak-hentak penuh amarah. "Dasar sinting! bagaimana mungkin aku juga satu kampus dengan pria tidak waras itu!" Umpat gadis itu pada Ardy. Jihan lupa jika ia belum sarapan pagi itu, lalu segera menuju kantin. Setelah memesan beberapa makanan lalu duduk di kursi paling ujung. Jus jeruk yang dipesannya sudah datang, dihirupnya sedikit. Seseorang datang memeluk seorang gadis cantik di sampingnya. "Uhk! uhk! Byuur!" Minumannya tersembur keluar, Jihan tersedak melihat wajah yang tidak asing kembali menyapa kedua matanya. Pasangan itu memesan sesuatu. Lalu melangkah menghampirinya. Pria itu sengaja duduk tepat berhadapan, satu meja dengan Jihan. Herman mengangkat kedua alisnya memamerkan senyuman, mengisyaratkan bahwa dia pernah bertemu dengannya. Jihan menerima pesanannya, lalu memakannya sesuap. Beberapa menit kemudian Herman juga menerima pesanannya dan mulai menikmatinya. "Sayang.. apakah pria seperti diriku ini begitu populer? hingga banyak wartawan yang begitu gigih ingin mendapatkan informasi mengenai diriku?" Tanyanya pada wanita cantik di sebelahnya seraya melirik Jihan. "Uhk! Byurrrr!" Jihan pura-pura tersedak hingga menyemburkan makanan dari mulutnya ke wajah Herman. Herman menatap Jihan dengan penuh amarah yang hampir sudah tidak bisa ditahannya. "He, he, he, maaf saya tidak sengaja." Ucapnya pura-pura, lalu bangkit berdiri hendak membayar pesanan. "Beberapa Bu total pesanan saya?" Tanya Jihan pada penjaga kantin. "Sayang, kamu tidak apa-apa kan?" Tanya gadis di sebelahnya panik, sembari membersihkan wajah Herman dengan tissue. "Pesanan kami dia yang bayar!" Dengan nada lantang, beranjak berdiri lalu melempar tisu ke atas meja dengan kasar. "Bluk!" Sontak dompet yang dipegang Jihan jatuh ke lantai. "Ini totalnya neng." Menyodorkan nota ke arah Jihan. Bibir Jihan menganga lebar melihat jumlah angka yang tertera pada nota tagihan di tangannya, "Lima ratus ribu???!" Jihan meremasnya dengan geram. Setelah membayarnya Jihan keluar dari kantin menuju perpustakaan. "Kayaknya misi kali ini dalam masa training benar-benar apes! mengawasi orang sinting! serumah dengan orang gila!" Gerutu gadis itu sembari mengacak-acak rambutnya dengan kesal. Sesampainya di dalam perpustakaan Jihan menyusuri beberapa rak buku, hendak mencari materi pelajaran hari ini. Jihan mendapati buku namun terletak di rak paling atas. Dia hendak meraihnya namun tidak sampai. Dia berjinjit, lalu seseorang datang di belakangnya mengambil buku tersebut. Jihan menoleh ke belakang membalikkan badan, namun kedua lengan pria itu menahan tubuhnya dengan kedua tangannya di rak buku. "Wajah gila itu lagi." "Minggir!" Perintahnya pada pria itu. Dia tetap tidak bergeming. Jihan mencoba lewat di bawah lengan Herman. Namun Herman menurunkan lengannya terus menghalangi. Jihan sangat kesal, lalu memutar badannya menghadap ke arah Herman. "Kamu mau apa?! bukannya aku sudah membayar pesanan kamu, jadi kita impas sekarang!" Tukas Jihan tidak sabaran. "Ssssttt.. apa kamu mau tersebar rumor antara kita? jangan lupa ini perpustakaan." Seringai Herman menyentuh bibir Jihan dengan jari telunjuk. "Selesaikan ini dengan segera dan biarkan aku pergi!" Dengan nada tidak senang melotot. Mengambil tindakan memegang dagu gadis itu mendekatkan wajahnya. Jihan menepiskan tangan Herman, lalu mendorong tubuh Herman hingga mundur beberapa langkah kebelakang. Meninggalkannya pergi tanpa berkata apa-apa. Herman menarik lengan Jihan ke belakang dengan sengaja hendak membuatnya terjatuh di dalam pelukannya. "Hup! Braaakkk!!" Namun yang terjadi malah sebaliknya. Jihan dengan sigap memutar badan, melempar tubuh Herman hingga terbanting ke lantai. Jihan tersenyum mengejek kemudian membersihkan telapak tangannya dengan menepukkan keduanya. Jihan dengan segera pergi meninggalkan Herman, dia tidak ingin terlibat dalam masalah lagi dengan pria itu, lalu masuk ke dalam kelas. Beberapa orang tersenyum melihat kejadian itu. Herman meringis memegangi pinggangnya, perlahan bangkit berdiri. "Tak!" Sesuatu terjatuh dari pangkuannya. Lalu Herman memasukkannya kedalam saku celana sambil tersenyum penuh arti. *** Di dalam kelas Jihan mengeluarkan bukunya, membuka dan membacanya sejenak. "Selamat pagi semua..." Suara yang tidak asing lagi. Dengan cepat gadis itu melihat ke arah sumber suara. "Bukannya si bos bilang Herman mahasiswa lalu kenapa dia mengajar?! artinya dia dosen di sini!" Bisik Jihan menggila, lalu mengirim pesan bertanya pada rekannya. "Tliing!" Suara ponsel Jihan memecah keheningan. "Kamu yang duduk di bangku belakang berikan ponselmu!" Melihat gadis itu dengan tatapan mata membunuh. Jihan ragu-ragu melangkah ke depan untuk menyerahkan ponselnya. "Berikan juga kartu mahasiswi!" Tambahnya lagi. Jihan merogoh sakunya, namun tidak menemukannya. Wajah Jihan mendadak jadi memucat. Dia mencarinya lagi ke dalam tas namun tetap saja tidak menemukannya. Herman tersenyum penuh kemenangan. Jihan ingat ketika dia membanting tubuh Herman ke lantai, saat itu kartunya jatuh. Melihat itu Jihan langsung berkata dengan suara lantang di depan kelas. "Maaf, pak! sepertinya kartu mahasiswi saya telah dicuri! saya harap diadakan pemeriksaan di seluruh kelas!" Melempar senyuman mengejek ke arah Herman. "Oh, dasar picik! kamu ingin mempermainkanku secara terang-terangan! lihat saja apa yang akan aku lakukan!" Desisnya pada Herman. "Baiklah letakkan seluruh tas di atas meja, biarkan diperiksa." Perintahnya pada seluruh murid. Setelah pura-pura memeriksa satu persatu Jihan berjalan menghampiri Herman. "Bukankah Anda juga harus diperiksa juga pak Dosen??!" Menekankan suara. Herman menyeringai menyerahkan tasnya. Jihan segera memeriksanya, namun tidak menemukannya juga. Perasaannya sangat kesal kemudian ia mengembalikan tas pada Herman. "Huuuuuuuuuu! hukum saja pak sepuluh kali berlari memutari lapangan!" Teriak seluruh orang dalam kelas. "Harap tenang semuanya!" Ujar Herman pada seluruh mahasiswa. "Apakah kamu tidak ingin memeriksa saku celanaku?" Tersenyum licik melihat ke arah Jihan "Dasar b******k! dia sengaja menyimpannya di sana!" Umpat gadis itu dalam hati. "Hukumanmu karena sudah melanggar peraturan di kelasku, berlari memutari lapangan sepuluh kali sebagai hukuman karena sengaja bermain ponsel, dan menjadi asistenku karena tidak mengumpulkan kartu mahasiswi" "Ponselmu saya tahan sampai nanti akhir kelas, ambilah di kantor nanti." Tambah Herman. "Huuuuuuuuuu" Teriak riuh seluruh kelas. Dengan langkah gontai Jihan membawa tasnya keluar kelas. "Eh, itu tasmu bawa kemari, jangan berfikir untuk kabur sebelum menyelesaikan hukuman" Ucap Herman menahan tawa. "Nih..." Jihan dengan malas menyerahkan tasnya. "Dompetmu juga!" Ujarnya lagi "Benar-benar perampok!" Gerutunya kesal sambil melempar dompetnya ke muka Herman. "Baak! Ups! maaf pak saya tidak sengaja!" Menarik kedua sudut bibirnya, pura-pura tersenyum. "Benar-benar gadis nakal!" Bisik Herman pada diri sendiri, sambil mengusap hidung karena memar. Jihan berlari menuju lapangan dan mulai berlari memutari lapangan. Ardy sedang meneguk minuman ringan dari balkon lantai dua, matanya tertuju pada Jihan. "Apa yang dilakukan gadis itu? Sepertinya dia cari masalah lagi. Memang dasar tukang onar! ha ha ha ha!" Ardy tertawa keras. Jihan berhenti berlari, melihat ke arah suara tawa, dia melihat Ardy yang sedang menatapnya sambil memegang perutnya. Lalu mencari sesuatu di lantai. Dia memungut batu kerikil kecil. Dan membidik tepat ke arah kepala Ardy. "Hup! phaaaak!" Batu tersebut mengenai kepala Ardy. Sontak Ardy kesal dan mendelik ke arahnya. Kemudian Jihan berpura-pura senam mengayunkan tangannya ke atas dan ke bawah sambil bersiul. Ardy mengancungkan dua jarinya ke arah matanya kemudian ke arah Jihan. "Awas kamu!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD