Pertanggungjawaban

791 Words
Mata Rumaisyah terbuka saat mendengar suara bel rumah yang tak ada henti. Tubuhnya terasa sakit sekali, ia masih demam. "Siapa yang datang?" gumamnya penasaran. Mata Rumaisyah melebar, ia pun segera bangkit dari tidurnya, takut jika yang datang adalah orang yang ia coba hindari beberapa hari ini. "Apa dia datang dan mau meminta pertanggungjawaban?" gumam Rumaisyah lagi. 'Apa? Pertanggungjawaban?' batin Rumaisyah. Gadis itu menggeleng. "Tidak, jika memang harus ada tanggung jawab, maka aku lah yang harusnya meminta pertanggungjawaban dari dia yang telah mengambil kehormatanku." Bel terus berbunyi memaksa Rumaisyah keluar kamar dan melihat siapa yang datang. 'Kevan,' ucapnya dalam hati saat melihat yang datang adalah Kevan. "Kevan, a-aku bingung, aku harus bagaimana? Apa ... haruskah aku menemuinya?" Kevan adalah kekasih Rumaisyah selama dua tahun ini. Dia salah satu manager di Perusahaan tempat gadis itu bekerja. "Rumaisyah!" seru Kevan membuat Rumaisyah semakin berdebar. "Aku tau kamu di dalam, buka sayang!" Sudah satu bulan mereka tak bertemu karena Kevan sedang ada proyek ke Kalimantan. "Syah, kamu di dalam kan, kata orang kantor sudah tiga hari kamu gak berangkat!" Rumaisyah tahu jika Kevan akan terus berteriak di depan rumahnya. Akhirnya setelah memastikan penampilannya sedikit rapi, gadis itu pun segera menjawab panggilan kekasihnya itu, lalu membuka pintu rumahnya. "Akhirnya, kamu kenapa sih nggak berangkat kerja 3 hari? Aku hubungi pun tidak dibalas," ujar Kevan. "Maaf Mas, a-aku sedang demam," jawab Rumaisyah gugup. Mendengar itu, Kevan langsung memeriksa kening Rumaisyah. Benar, dahi kekasihnya itu masih terasa panas. Kevan segera memegang bahu Rumaisyah dan menuntun kekasihnya itu masuk ke dalam rumah. "Terus, kenapa kamu nggak bilang? Kan kalau bilang, aku bisa cepat pulang," ujar Kevan. Rumaisyah langsung menepis lembut tangan kekasihnya. Ia masih takut dengan sentuha orang lain pada tubuhnya, ia takut. Gadis itu lalu duduk di sofa. "Aku tahu Mas Kevan di sana sibuk, tidak apa, ini cuma demam biasa," ucapnya. Seketika hati Rumaisyah terasa sakit, dia terlalu lama mandi malam setelah kejadian malam tiga hari lalu, ia pun stres memikirkan semua yang terjadi sehingga mengakibatkan fisiknya menjadi lemah dan ia pun sakit. "Sudah ke dokter?" tanya Kevan. Rumaisyah hanya diam. Kevan tahu kekasihnya pasti belum ke dokter. Pria itu menghela napasnya panjang, lalu ia mengambil dompetnya dan mengeluarkan beberapa lembar uang berwarna merah. "Ini, kamu pergilah ke dokter, aku tidak bisa mengantar karena aku ada pekerjaan," ujar Kevan. Rumaisyah hanya diam menatap lembaran uang di atas meja. Gadis itu tersenyum kecut. "Ke dokter ya, aku khawatir lihat kamu begini," bujuk Kevan. "Tidak perlu Mas, aku sudah ada obat, kok," jawab Rumaisyah. Kevan menghela napasnya, lalu ia mengambil uang miliknya dan memaksa Rumaisyah menerimanya. "Ke dokter lagi, ini kamu masih demam," bujuk pria berkacamata itu. Ia lalu memeriksa jam di tangannya. "Aku pamit dulu ya Syah," ucapnya, lalu mendekati Rumaisyah dan mengecup kening gadis itu. "Nanti kalau pekerjaanku cepat selesai, aku datang lagi." Rumaisyah hanya diam, dia memaksakan senyumnya. Ia tahu, Kevan tak akan datang lagi, setidaknya hari ini. Setelah kepergian kekasihnya dan menutup pintu rumahnya. Rumaisyah bersandar pada pintu. Gadis itu menangis, teringat dengan hubungannya bersama dengan Kevan yang sudah selama 2 tahun ini mereka jalani. "Bagaimana kalau Mas Kevan tahu keadaanku sekarang? Pasti kami akan semakin sulit mendapatkan restu dari orang tuanya, atau bahkan Mas Kevan pun akan membenciku." Rumaisyah terus menangis, ia perlahan luruh ke lantai, terduduk di sana dan menangisi nasibnya. "Ayah, Ibu, kenapa kalian begitu cepat meninggalkan Ruma?" Sungguh, hidup sebatang kara tanpa kerabat yang dekat, membuat Rumaisyah merasa begitu merana. Apalagi sekarang, masalah yang menimpanya begitu berat, ia bahkan sempat berpikiran untuk mengakhiri hidupnya. Siang harinya, Rumaisyah baru selesai membuat semangkok mie instan. Tiba-tiba, ponselnya berdering. Ada panggilan telepon dari Sultan, atasannya di kantor. Rumaisyah menggigit bibirnya, ia bingung haruskah menjawab panggilan telepon itu? Belum Rumaisyah mengambil keputusan, panggilan telepon itu berakhir. Tak lama ada sebuah pesan masuk ke ponselnya itu. Rumaisyah hanya diam menatap layar ponselnya, dia masih bingung saat ini. Rumaisyah memilih mengabaikan pesan dari bosnya, ia pun melanjutkan makannya, perutnya sudah terasa begitu perih karena beberapa hari ia tidak selera makan. Sambil makan, dia sesekali melirik pada layar ponselnya. Satu jam kemudian, sebuah ketukan pintu menarik perhatian Rumaisyah yang baru selesai mandi. "Rumaisyah, Rumaisyah!" Mata Rumaisyah langsung membulat, ia jelas tahu siapa yang datang, itu Sultan, bosnya di kantor. "Buka pintunya Rumaisyah, aku tau kau di rumah." Tak mungkin menghindar, Rumaisyah pun dengan ragu segera keluar kamarnya dan membuka pintu rumahnya. "Astaga, kau ini ditelepon tidak dijawab, dichat tidak dibaca!" tegur Sultan dengan nada kesal. "Maaf Pak, saya sedang sakit," jawab Rumaisyah gugup. Gadis itu menelan paksa ludahnya. "Kau baru mandi?" tanya Sultan kembali. Rumaisyah terkejut dengan pertanyaan bosnya, ia diam tak menjawab. "Bagus," ucap Sultan membuat Rumaisyah semakin takut. "Cepat ganti pakaian, ikut aku!" perintah Sultan. "I-ikut? Ikut ke mana, Pak?" tanya Rumaisyah, ia semakin cemas sekarang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD