Bagian 3: Supplies

2073 Words
“Pak, saya bisa pulang sendiri.” Aku mencicit pelan, menghindari mata Pak Farhan yang menatap tajam ke arahku. Kali ini aku diam saja saat tangan Pak Farhan dengan cekatan membebat telapak kakiku dengan kain yang entah didapat dari mana. “Ayo pulang.” Pak Farhan berdiri, menepuk-nepuk celananya yang terkena debu. “Pak, saya beneran bisa pul ….” “Kamu ngga usah sok kuat. Memangnya kamu mau pulang bagaimana dengan keadaan kaki seperti itu?” “Saya bisa naik taksi, Pak.” “Kamu pikir gampang nyari taksi jam segini. Lagian saya ngga minta kamu nyetir. Cukup duduk tenang di mobil, apa susahnya?” Aku menunduk dalam, persis seperti bocah cilik yang sedang diceramahi ibunya. Kenapa Pak Farhan harus sesewot itu hanya karena aku tak mau pulang dengannya? Aku hanya menghindari suasana canggung yang akan terjadi kalau kami satu mobil nanti. Apalagi setelah kejadian di parkiran restoran yang membuat hubungan kami jadi canggung. “Jangan lupa pasang seatbelt-nya.” Aku menuruti ucapan Pak Farhan dan memasang sealtbelt-ku. Pak Farhan memutar radio untuk memecah keheningan di antara kami. Aku bisa melihat rahang tegasnya dari samping. Raut mukanya menunjukkan kalau dia sedang memiliki mood buruk saat ini. Semoga saja mood buruknya bukan karena dia menyesal meninggalkan acara demi mengantar aku. “Pak.” “Hem ….” Duh gawat nih! “Pak saya benar-benar minta maaf. Itu tadi bener-bener engga disengaja. Saya engga tau kalau dress saya nyangkut di kaki meja. Makanya ….” “Kamu ngomong apa sih?” Pak Farhan menatapku dengan kening berkerut. “Saya kira Bapak marah-marah karena saya numpahin orange juice ke perempuan tadi.” Pak Farhan menatapku dengan tatapan tidak percaya. Dia menyugar rambutnya ke belakang, menghela napas frustasi. “Kamu itu memang tidak peka, ya. Daripada itu, saya lebih khawatir ke kamu tahu.” Aku melebarkan mata, menunjuk diri sendiri, “Saya?” “Kamu itu memang selalu ceroboh. Bisa-bisanya kamu lebih mementingkan orang lain dibanding kakimu yang sudah jelas-jelas terluka seperti itu.” Sekarang aku tidak mengerti kenapa Pak Farhan harus sekhawatir ini padaku sekarang. “Bapak terlihat khawatir dengan perempuan tadi. Bahkan kalau orang yang menumpahkan minuman itu bukan saya, Bapak mungkin akan langsung memarahinya.” Aku membalas perkataanya. “Apa tidak wajar kalau seorang teman mengkhawatirkan temannya sendiri? Kamu juga bakal refleks melakukan hal itu kalau teman kamu mengalami hal serupa. Saya cuma memastikan dia baik-baik saja, karena dia datang bersama saya ke pesta itu dan saya merasa bertanggung jawab atas apa yang terjadi dengan dia.” Aku melipat tangan di depan d**a. Huh kenapa jadi debat begini sih? Aku kan cuma berniat minta maaf. Kenapa Bos jadi sewot dan malah memojokkan aku? “Lalu kenapa Bapak ada di sini mengantar saya? Seharusnya Bapak tetap ada di pesta itu. Bagaimana kalau kejadian serupa menimpa teman Bapak lagi? Bukannya Bapak bilang kalau Bapak merasa bertanggung jawab karena perempuan tadi pergi dengan Bapak?” Aku gantian mendesaknya. Aku bisa melihat Pak Farhan menghela napas kali ini. Sepertinya malam ini dia terlalu banyak menghela napas. “Kenapa kamu suka sekali mendebat? Lalu daripada itu, sikap kamu sekarang lebih mirip cewek yang sedang cemburu ke pacarnya tahu.” “APA?” Aku tidak bisa untuk tidak terkejut sekarang. Aku tidak salah dengar? Aku? Cemburu padanya? Yang benar saja! “Kenapa kamu kaget begitu? Wajar saja kan? Apalagi setelah kejadian di parkiran restoran siang tadi. Ada 80% kemungkinan kamu cemburu sama saya.” Aku kian melongo mendengarnya. “Bapak kan tahu itu semua cuma bercanda. Saya juga sudah menjelaskannya. Lagipula saya masih tau diri. Saya engga mungkin suka sama Bapak, apalagi sampai cemburu.” “Kenapa?” Kenapa dia bilang? Sudah jelas bukan? Aku ini tidak berada di level yang sejajar untuk bisa menyukainya. Apalagi dia seorang manajer, Bosku. Apa ada alasan lain yang lebih kuat daripada ini? Ah, ya, mungkin juga karena aku tidak punya pikiran untuk menjalin hubungan dengan orang sekelas dia. Apalagi sampai berpacaran. Maaf, tapi aku masih punya kewarasan untuk tidak memikirkan hal yang mustahil bagiku. “Seriously? Bukannya jawabannya sudah jelas? Saya tidak berada pada level yang sama untuk menyukai Bapak dan saya tidak pernah berpikiran sampai sana.” “Memangnya menurut kamu wanita seperti apa yang selevel dengan saya?” tanyanya. Aku berpikir, mengusap dagu. “Cantik mungkin?” “Kamu juga cantik.” UHUK! Aku tertawa garing, “Bapak ngejek saya yah? Wajah saya memang ngga secantik cewek-cewek yang pernah Bapak kenal, tapi saya ngga perlu rasa simpati Bapak untuk mendongkrak kepercayaan diri saya. Saya cuma perlu rasa tau diri untuk melindungi diri saya dari cowok-cowok b******k di luar sana.” “Kenapa dari tadi kamu bicara seolah merendahkan diri sendiri? Tidak semua laki-laki seperti apa yang kamu pikirkan. Contohnya untuk saya sendiri. Di umur saya yang sudah matang ini, tampang bukan segala-galanya. Saya cuma butuh perempuan yang mau mendampingi saya, mau menerima keluarga saya, dan yang terpenting dia ngga tertarik dengan apa yang saya punya sekarang.” Harusnya mudah bagi Pak Farhan menemukan calon pendampingnya jika kriterianya hanya seperti itu. Sekarang, siapa yang tak mau memiliki suami seperti Farhan Abasstiawan? Mendapatkannya sebagai suami adalah suatu keberuntungan. Dia memiliki semua kriteria calon mantu idaman yang para orang tua dambakan.  “Kalau kamu sendiri?” “Apa?” Aku tersadar dari pikiranku, menatap tanya pada Pak Farhan. “Kriteria calon pasanganmu seperti apa?” Hah? Ini kenapa jadi membahas kriteria calon pasanganku? “Saya sih ngga punya kriteria khusus untuk memilih calon pasangan, Pak. Yang penting orang itu mau sama saya dan menerima kekurangan saya. Mungkin terdengar klise, tapi saya berharap calon suami saya berasal dari keluarga biasa-biasa saja.” Kening Pak Farhan berkerut. “Kenapa?” “Saya lebih nyaman berada di sekitar orang-orang yang lingkungannya sama dengan saya, dalam artian sederhana dan tidak terlalu mewah. Saya berpandangan bahwa ketika calon suami saya berasal dari keluarga terpandang atau orang kaya, saya tidak akan nyaman berada di dalamnya. Ini cuma pendapat, tetapi kadang lingkungan sosial yang lebih tinggi membuat kita mau tidak mau harus memenuhi ekspektasi orang-orang tersebut. Ketika ekspektasi mereka tak sesuai dengan kenyataan, mereka akan mulai membandingkan saya dengan orang yang lebih sempurna dan saya tidak nyaman dengan itu.” “Sepertinya kamu harus bertemu dengan keluarga saya sebelum berpendapat.” Pak Farhan terlihat tersinggung dengan ucapanku tadi. Tidak salah sih, keluarganya kan termasuk dalam keluarga terpandang dan kaya. “Tidak semua orang memiliki pikiran terbuka seperti keluarga Bapak. Di dunia ini mungkin terhitung satu banding seribu. Terlalu mustahil bagi saya menemukannya.” “Bukannya kamu sudah menemukannya?” “Apa?” “Keluarga saya. Kamu bilang kalau keluarga saya termasuk ke dalam satu dari seribu orang-orang itu kan?” Aku tertawa. Ini maksudnya aku bisa saja menjadi bagian keluarga Pak Bos? Yang benar saja! Aku memang mau-mau saja jika bisa menjadi calon menantu di keluarganya, tapi memang di keluarganya ada yang mau dengan wanita sepertiku? “Bapak punya adik single yang mau dijodohkan dengan saya?” Pak Farhan menggelang, “Kenapa harus adik saya? Saya sendiri juga single kok.” Aku otomatis terbatuk mendengar pernyataannya. Ini kupingku tidak salah dengar, Pak?! “Kamu ngga papa?” Pak Farhan terlihat khawatir melihatku terbatuk tak henti-henti pasca mendengar pernyataannya. Siapa yang tidak terkejut kalau tiba-tiba ditodong dengan pernyataan tak terduga seperti tadi. Pak Farhan memutuskan menepikan mobilnya dan memberikan sebotol air mineral padaku. Aku menerimanya sambil mencerna apa yang barusan terjadi. “Bapak suka sama saya?” todongku tanpa basa-basi. Pak Farhan terlihat terkejut. “Kenapa kamu bisa sepercaya diri itu?” “Itu tadi apa? Bukannya Bapak sedang menggoda saya?” Tanpa diduga Pak Farhan tertawa, membuatku mengernyit. “Kamu itu umur berapa, sih, Ginaya. Jangan seperti ABG labil yang mudah baper cuma gara-gara hal sepele.” Entah kenapa sekarang aku bernapas lega mendengar pernyataan Pak Farhan. Aku tidak bisa membayangkan kalau Pak Bos benar-benar suka padaku. Pasti hubungan kami akan canggung. “Saya heran kenapa Bapak masih belum menikah sampai sekarang. Dengan kemampuan gombalan Bapak tadi, harusnya Bapak sudah memiliki anak kedua dengan istri Bapak,” ujarku asal. “Kamu pikir saya gampang tebar pesona dengan wanita? Saya pikir perkataan saya tadi tidak ada hubungannya dengan status saya sekarang.” Aku tahu kalau bahasan soal status agak sensitif bagi Pak Farhan. Diumurnya yang tak terbilang muda lagi, dia belum pernah dikabarkan dekat dengan siapapun. Aku bisa membayangkan betapa melelahkannya menjadi dia. Pasti seluruh keluarganya terus mendesaknya untuk segera menikah dan bersikap seolah-olah perkataan mereka yang paling benar sedunia. Hah! Menyebalkan sekali memang orang-orang seperti itu. “Pak, berhenti. Rumah saya tinggal beberapa blok saja kok dari sini.” Aku memang sengaja tak ingin Pak Farhan mengantarku sampai depan rumah. Bisa gawat kalau Mama sampai tahu kami berdua pulang bersama. “Kenapa tidak sekalian saja. Yang mana rumah kamu?” “Ngga pa-pa, Pak. Bapak bisa nurunin saya disini. Rumah saya sudah dekat kok.” “Ini sudah malam Ginaya. Berhenti mendebat dan cepat tunjukkan dimana rumah kamu.” Aku menghela napas. Percuma saja mendebat Bos, dia pasti tidak mau mengalah dan tetap pada kemauannya. Aku menunjukkan letak rumahku pada Pak Bos. Mobilnya berhenti tepat di depan pekarangan rumahku. Aku hendak mengucapkan terima kasih dan turun, namun kuurungkan ketika melihat Pak Farhan melepas sealtbelt dan menunjukkan gerak-gerik aneh. “Bapak mau ngapain?” tanyaku waspada. Dia melirikku sekilas, lalu menjawab, “Turun, nemuin Mama sama Papa kamu.” APA DIA BILANG?! Aku gelagapan, mencegah Pak Farhan sebelum pria itu nekat turun dan membuat masalah baru bagi hidupku. “Pak, kayaknya Bapak nggak perlu turun deh. Lagian jam segini Mama sama Papa saya udah tidur. Jadi percuma kalau Bapak turun nemuin mereka.” Pak Farhan mengangguk-angguk lalu membalas, “Mama kamu terbiasa tidur sambil berdiri ya?” “Apa?” Tangannya terjulur, menunjuk sesuatu di belakangku yang membuatku menoleh. Sial! Kenapa di situasi seperti ini Mama harus keluar rumah sih! “Sudah, tidak ada alasan lagi, ayo turun.” Aku pasrah saja ketika Pak Farhan membuka pintu mobil dan turun. Dia berjalan ke arahku, membantu memapah tubuhku agar bisa berjalan ke teras rumah. Aku bisa melihat muka sumringah Mama di depan pintu melihat anak gadisnya membawa seorang pria ke rumah. Daripada itu, bukannya Mama harusnya lebih mengkhawatirkan kakiku yang terluka sekarang? “Malam Tante,” sapa Pak Farhan. Mama tersenyum, jelas sekali tak bisa menyembunyikan ekspresi senang di wajahnya. “Malam. Siapa nih, Nay? Mama ngga tau kalau kamu punya temen laki-laki tampan di kantor.” Mama melirikku yang kuhadiahi dengan putaran bola mata. “Kenalin Ma, ini Pak Farhan, manajer Naya di kantor,” ucapku memperkenalkan Pak Farhan pada Mama. Pak Farhan melepas tangan kanannya dan mengganti dengan tangan kiri untuk membantu aku tetap berdiri, lalu menyalami Mama. “Ohh, Bos kamu toh? Baik banget sampai mau nganterin kamu segala.” Aku mendelik pada Mama, mengkodenya untuk tidak bicara aneh-aneh. “Oh iya, masuk dulu yuk, Farhan. Sudah makan malam belum? Mau ikut gabung nggak?” Aku buru-buru menjawab, “Ma, Pak Farhan sibuk. Dia buru-buru jadi ngga bisa ikut makan malam bareng kita.” Tanpa diduga Pak Bos malah menyanggah dan menerima ajakan Mama. “Saya ngga sibuk kok. Kalau Tante ngijinin saya bergabung, saya bakal seneng banget.” Aku mendelik mendengar jawabannya. Sedangkan Mama tersenyum sumringah. “Tentu, ayo masuk-masuk.” Pak Farhan dengan santainya memapahku dan masuk ke dalam rumah. “Pa, liat siapa yang datang.” Mama heboh memberitakan kedatangan kami pada Papa yang sedang membaca majalah di ruang keluarga. Dalam sekejap Pak Farhan berhasil mengambil hati kedua orang tuaku. Kini mereka bahkan mengobrol santai di ruang keluarga setelah makan malam, mengabaikanku yang diam tak menanggapi. Barulah pukul sepuluh malam, Pak Farhan pamit pulang yang diiringi desahan kecewa dari Mama dan Papa yang masih kurang puas mengobrol. “Kamu beneran ngga ada hubungan apa-apa sama Bosmu itu?” tanya Mama padaku, setelah mengantar Pak Farhan sampai depan rumah. Aku menggeleng, menjawab apa adanya. Mama mendesah kecewa. “Padahal Mama rela banget kalau punya mantu kayak Farhan.” “Nggak usah mimpi ketinggian deh, Ma. Lagian mana mungkin Naya punya pacar kayak Pak Farhan. Dia itu Bos Naya di kantor, bukan sembarang karyawan biasa.” “Memangnya kenapa kalau dia Bos kamu? Siapa tahu jodoh kamu memang seorang manajer. Nggak ada yang tahu kan?” Aku mendesah malas. “Terserah Mama aja deh, Naya pusing, mau tidur.” Setelahnya aku beranjak dari sofa ruang keluarga menuju kamar, mengabaikan protes Mama yang masih meneriakiku. Hah! Sudah kuduga kalau kedatangannya membawa masalah baru di hidupku. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD