Baru saja tiba di kantor, kubikelku langsung ramai dikerubungi oleh anak-anak kantor. Mereka ingin tahu lebih detail hal yang aku alami kemarin malam.
“Kaki lo udah ngga pa-pa, Nay?” tanya Aris.
“Udah mendingan sih, cuma kadang agak nyeri aja,” jawabku
“Gue denger yang nganter lo semalam Pak Farhan. Bener, Nay?”
Aku mengangguk mengiyakan.
“Drama banget lo semalem, udah kaya pengantin baru nyambut malem pertama.” Mbak Nindi yang baru datang dari pantry tiba-tiba menyahut.
“Eh, lo liat kejadiannya Mbak? Ceritain dong, gue kepo nih,” desak Aris.
“Tanya aja sendiri sama orangnya, gue mah no spoiler.”
Aris beralih menatapku, yang kuhadiahi pelototan tajam, “Apa?!” kataku galak.
“Dih, lo mah ngga asik banget, Nay, mainnya rahasia-rahasian, certain ke gue dong. Gue kepo nih, gimana si Bos nolongin lo, atau jangan-jangan dia gendong lo ala bridal style gitu?”
Aku gelagapan mendapat todongan pertanyaan dari Aris. Sebenarnya pertanyaannya sederhana, tetapi jawabannya itu yang susah. Aku tidak mau terlibat gosip dengan Pak Bos di kantor ini. Semalam saja sudah banyak bisik-bisik yang mengiringi kami. Jangan sampai di kantor juga muncul berita yang tidak-tidak soal kami berdua.
“Otak lo ini drama banget ya. Mana ada si Bos gendong gue.” Aku melirik ke arah Mbak Nindi yang kini juga tengah menatapku. Aku mengkode dirinya agar tidak buka mulut soal ini.
“Yah, ngga gentle dong kalo ngga digendong ala bridal style gitu.”
“Loh, kamu berangkat Ginaya?” Percakapan kami terpotong oleh kedatangan Pak Farhan. Dia buru-buru mendekati kubikelku dan berkata, “Padahal saya ngga masalah kalau kamu izin satu atau dua hari buat pemulihan kaki kamu itu.”
Aku menggeleng. “Makasih Pak, saya baik-baik aja kok,” jawabku.
“Ya sudah, kamu jangan mengerjakan pekerjaan yang terlalu berat, biar Aris yang menggantikan tugas kamu sementara.”
“Baik Pak.”
Setelah itu Pak Farhan masuk ke dalam ruangannya. Meninggalkan aku yang tersenyum sumringah, sementara Aris sebaliknya.
“Ujung-ujungnya gue juga yang jadi pelampiasan. Lo yang sakit, gue yang repot,” rutuknya.
Mbak Nindi menatap Aris prihatin , “Yang sabar ya Ris, mungkin ini saatnya giliran lo jadi anak kesayangannya Pak Bos gantiin Naya.”
“Ogah!”
Kenyataannya perlakuan baik Pak Bos hanya berlaku beberapa jam saja. Setelahnya dia memberikan pekerjaan yang banyaknya melebihi pekerjaanku. Bahkan setelah jam pulang kantor dia masih menahanku dengan setumpuk pekerjaan yang harus kuselesaikan. Kalau begini sih sama saja aku kerja seperti biasa, ngga ada tuh yang namanya jangan kerja yang berat-berat dulu.
Aku meregangkan badan yang terasa remuk, bersyukur dalam hati pekerjaanku dapat kuselesaikan dengan cepat. Aku memutuskan untuk mematikan komputer, lalu membereskan meja kerja setelah itu pulang. Membayangkan Kasur di kamarku yang empuk membuatku ingin segera cepat pulang. Aku beranjak dari kursi kantor, mengetuk pintu ruangan Pak Bos dan pamit pulang. “Permisi Pak, saya pamit pulang dulu. Pekerjaan saya udah saya submit ke email Bapak.”
Aku hendak berbalik dan mengambil tasku lalu pergi, tapi lagi-lagi Pak Farhan menahanku. “Tunggu Ginaya, kita pulang bareng saja.”
Aku mengernyit, menatap meja Pak Farhan yang masih berserakan dengan berkas-berkas. “Gak usah Pak, saya bisa pesen taksi online dan pulang sendiri.” Daripada harus menunggunya dan bertahan lebih lama di kantor ini, lebih baik aku pulang sendiri.
“Sebentar saja, tidak akan lama kok”
Akhirnya aku hanya bisa menghela napas pasrah dan duduk menunggunya di sofa yang berada di pojok ruangannya. Sambil menunggu, aku iseng membuka sosial media yang jarang sekali kubuka. Banyak sekali postingan teman semasa kuliahku yang memamerkan pasangannya atau bayi kecilnya. Dalam hati aku iri dengan mereka. Andai saja Tuhan berbaik hati kepadaku sekarang. Memberikanku jodoh yang mencintai dan menyayangiku. Sepertinya tujuan hidupku hanya satu kali ini, menemukan pria serius yang mau mengajakku hidup bersama sampai akhir.
Aku melirik jam di notifikasi ponselku. Tak terasa aku sudah duduk lebih dari setengah jam menunggu Pak Farhan yang sepertinya belum ada tanda-tanda mengakhiri pekerjaannya dan pulang. Benar kan dugaanku, sebentarnya dia itu pasti berbeda denganku. Kalau tau begini lebih baik aku pulang dari tadi saja, setengah jamku sia-sia hanya digunakan untuk memelototi orang yang gila kerja seperti Pak Farhan.
“Pak, saya pulang dulu saja, sepertinya Bapak masih banyak kerjaan yang harus diselesaikan.”
“Tunggu sebentar Ginaya, ini sudah hampir selesai kok.”
Aku sudah sabar dengan jawaban sebentarnya yang ternyata tak sesuai kenyataan. “Kalau sebentarnya Bapak itu menunggu sampai jam 12 malam, mending saya pulang sendiri saja Pak, waktu istirahat saya terbuang hanya untuk menunggu Bapak.” Aku sudah beranjak dari ruangannya tanpa peduli dengan reaksi Pak Bos. Di dalam lift aku misuh-misuh tak jelas membuat beberapa penghuni lift jadi menoleh padaku.
Ketika sampai di lantai dasar, aku memesan taksi online dan memutuskan menunggu di lobi kantor. Saat itulah Pak Farhan datang dan mengajakku untuk pulang bersama.
“Nggak usah Pak, saya udah pesen taksi. Sebentar lagi juga datang,” tolakku.
“Batalkan saja, kamu pulang dengan saya.”
Dia kira aku mau nurut begitu saja padanya? Aku tetap kekeh dengan pilihanku dan mengabaikan Pak Farhan yang memaksaku untuk pulang dengannya. Sampai akhirnya taksi online yang aku pesan datang, aku segera berlari dan masuk ke dalam taksi. Namun, lagi-lagi Pak Farhan membuatku kesal setengah mati. Dia meng-cancel taksinya dan memberikan uang sebagai permintaan maaf pada sopir taksinya dan membuatku harus semobil dengannya sekarang.
“Kamu itu ngga bisa sabar sedikit ya.” Pak Farhan memasang sealtbelt-nya dan menjalankan mobil. “Ada yang mau saya bicarakn dengan kamu,” ucapnya kemudian.
Aku menoleh, ogah-ogahan menatap wajahnya. “Kalau itu masalah pekerjaan sebaik ….”
“Bukan, ini bukan masalah pekerjaan,” selanya lebih dulu.
Aku menatap tanya, “Lalu?”
“Sebenarnya kemarin malam ….”
Deg! Jantungku tiba-tiba memompa lebih cepat mendengar kalimat pertama yang keluar dari mulut Pak Farhan. Ada apa dengan kemarin malam? Apa ada gosip yang memberitakan kami berdua?
“Kemarin malam banyak keluarga saya yang datang dan menyaksikan kejadian itu. Mereka salah paham dan mengira bahwa kamu pacar saya. Ibu saya juga mendesak saya untuk membawa kamu ke rumah, walau sudah dijelaskan berapa kali, beliau tidak mau mengerti dan memaksa saya untuk mengajakmu ke acara keluarga saya minggu depan. Saya dengar Mama kamu sedang gencar menjodohkanmu dengan laki-laki anak kenalannya? Bagaimana kalau kita bekerja sama saja, saya akan berpura-pura menjadi pacar kamu di hadapan keluargamu dan sebaliknya, kamu bersedia ikut saya ke acara keluarga saya minggu depan.”
Apakah ini sebuah tawaran pacar kontrak begitu? Tapi maaf Bos, aku tidak tertarik sama sekali.
“Maaf Pak, saya ngga bisa. Bapak bisa cari wanita lain.”
“Tapi kenapa?”
“Mama saya memang mendesak saya untuk segera menikah, tapi bukan berarti saya bisa membohongi beliau dan mengatakan Bapak pacar saya. Lagipula Mama saya mencari calon mantu Pak, bukan hanya sekedar laki-laki yang datang untuk main-main dengan saya. Tawaran itu hanya bersifat sementara, selanjutnya kalau kita mengaku berpacaran dihadapan beliau pasti Mama bakal menyuruh saya untuk segera menikah. Saya mau ambil jalan lurusnya saja Pak.”
Pak Farhan terlihat menghela napas, lalu berhenti berbicara sampai mobilnya tiba di depan rumahku.
“Saya turun dulu Pak, hati-hati.”
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun Pak Farhan melajukan mobilnya meninggalkanku. Sepertinya dia agak kesal dengan penolakanku tadi. Biarlah bodo amat juga dia marah.
Aku berniat masuk rumah dan segera tidur sebelum menyadari ada sebuah mobil tak kukenal parkir di halaman rumah. Apa Mama sedang kedatangan tamu? Aku memutuskan untuk masuk dan mendapati Oma dan beberapa orang lainnya termasuk Mama dan Papaku sedang berbincang di ruang tamu.
“Nah ini anaknya sudah pulang. Nay, ke sini kamu, Oma kenalin sama Raihan, calon suami kamu.”
WHAT? CALON SUAMI? Apa-apaan ini?!
***