Bagian 5 : Equipment

1829 Words
Aku seperti orang linglung ketika Oma menarikku mendekat dan menyuruhku duduk di sebelahnya. Di depanku ada seorang pria dengan potongan rambut cepak berkacamata menggunakan pakaian rapi tersenyum sumringah kepadaku. “Kenalin, ini Raihan, anak sahabat Oma waktu dulu. Dia itu dokter spesialis di rumah sakit Surabaya, jauh-jauh dateng ke sini cuma buat nemuin kamu. Ayo kenalan sama dia.” Oma menarik tanganku untuk bersalaman dengannya. “Raihan.” “Naya.” “Nah, karena kalian udah ketemu, kalian boleh ngobrol-ngobrol dulu biar makin kenal,” ucap Oma. “Bentar Bu, aku mau bicara dulu sama Naya.” Mama mengkodeku untuk beranjak dan mengikutinya masuk ke kamar. “Sebelum protes, Mama mau tanya dulu sama kamu.” Seakan tahu aku akan langsung melayangkan protes kepada Mama atas tindakan Oma soal perjodohan ini, Mama lebih dulu menghentikan aku. “Kamu beneran ngga ada hubungan apa-apa sama Bosmu itu?” tanya Mama. Aku memutar bola mata. Yang benar saja! Di saat urgent  begini, kenapa Mama malah bertanya mengenai Pak Farhan? “Memangnya pertanyaan itu penting sekarang? Naya mau dijodohin sama orang yang Naya ngga kenal dan Oma ngga minta pendapat Naya dulu.” “Maafin Mama. Papa sama Mama juga ngga tau kalau Oma merencanakan semua ini. Kami sama kagetnya seperti kamu Nay. Yang terpenting sekarang, kamu harus hubungi Farhan dulu untuk datang ke sini.” Aku mengacak rambut, tak mengerti hubungan Pak Farhan dengan perjodohanku sehingga Mama memintaku untuk memanggilnya. “Kenapa jadi Pak Farhan? Ini soal perjodohan Naya, Ma. Ngga ada sangkut pautnya sama sekali dengan Bos Naya.” “Justru itu, kamu bisa jadikan Farhan sebagai alasan penolakan perjodohan ini. Kalau Oma tahu kamu sudah mempunyai pacar beliau pasti tidak akan bisa memaksa kamu menerima perjodohan ini.” Aku hanya diam, kembali mengingat tawaran Pak Farhan tadi ketika di mobil. Kalau sampai aku menghubungi Pak Farhan sekarang dan meminta bantuannya, mau ditaruh di mana mukaku ini. Setelah dengan congkaknya aku menolak tawaran bodohnya aku malah menjilat ludahku sendiri. “Ayo cepat hubungi dia,” desak Mama. Aku ragu-ragu mengambil ponselku di tas. Nama Pak Farhan terpampang jelas di ponsel yang tengah kugenggam. Hanya tinggal memencet tombol hijau di sana semuanya akan selesai. Aku menimbang lagi keputusan ini, apa tidak ada solusi lain selain menerima tawaran dari Pak Farhan saat ini? “Halo Nay?” Akhirnya aku berhasil meyakinkan diriku untuk menyingkirkan rasa maluku dan menelepon Pak Farhan. Mama di depanku masih mengawasi. Aku memutuskan untuk menyingkir sebentar darinya dan menjauhkan suara telepon dari Mama. Bisa gawat kalau dia tahu kesepakatan kami berdua. “Em … apa tawaran Bapak tadi masih berlaku?” tanyaku ragu. Aku bisa mendengar Pak Farhan terkekeh pelan di seberang sana, “Kenapa? Apa kamu berubah pikiran dan mau menerima tawaran saya?” “Ya.” Aku bisa membayangkan raut muka Bosku sekarang. Pasti wajahnya menunjukkan raut terkejut dengan wajah memutih. “Kamu yakin? Apa yang membuat kamu berubah pikiran secepat ini setelah kamu menolak saya tadi?” Aku ragu-ragu menceritakan hal yang sedang kuhadapi sekarang. “Sebenarnya ada sedikit masalah di rumah saya. Oma saya tiba-tiba mendatangkan seorang pria ke rumah dan mengatakan kalau saya akan dijodohkan dengan pria itu. Saya minta bantuan Bapak untuk meyakinkan Oma saya agar beliau percaya dan membatalkan perjodohan itu.” Diam beberapa saat, sampai akhirnya suara Pak Farhan terdengar. “Hm, baiklah, saya akan putar balik ke rumah kamu sekarang.” Telepon dimatikan sepihak oleh Pak Farhan. Untuk beberapa saat aku bisa bernapas lega, tak ingin repot memikirkan dampak perjanjian ini di masa depan. “Gimana Nay? Farhan mau datang ke sini?” Aku mengangguk, “Dia lagi dalam perjalanan ke sini, Ma.” Mama mengusap dadanya lega, bersyukur karena aku tidak jadi dijodohkan atau mungkin bersyukur karena cita-cita untuk mendapatkan calon mantu idaman bakal tercapai. Maafkan anakmu ini, Ma, karena sudah membohongi dan memberi harapan palsu pada Mama. Aku dan Mama keluar dari kamar, menemui orang-orang di ruang tamu yang menunggu kami berdua. Aku kembali duduk di sebelah Oma dan menjelaskan penolakanku atas perjodohan ini. “Maaf Oma, bukannya Naya ngga mau dijodohkan, tapi Naya sudah mempunyai pacar dan Naya mau menghargai pacar Naya. Karena itu, Naya ngga bisa menerima perjodohan ini.” Oma terlihat terkejut, begitu juga dengan Raihan. “Kamu punya pacar? Sejak kapan? Mama kamu bilang kamu masih sendiri.” Oma terlihat tak percaya dengan pengakuanku. “Sebenarnya Naya udah punya pacar dari sebulan lalu, Oma. Cuma Naya belum mau ngenalin pacar Naya ke keluarga. Karena hubungan kami masih baru dan dalam tahap pengenalan, kami berdua takut gagal di tengah jalan dan membuat malu.” “Oma masih ngga percaya kamu sudah punya pacar, jangan-jangan kamu cuma ngaku-ngaku supaya bisa menghindar dari perjodohan ini,” tuduh Oma padaku. “Yang dikatakan Naya benar Bu, kemarin pacar Naya baru aja kesini ngantar Naya pulang dari pesta. Kalau Ibu masih ngga percaya, dia lagi dalam perjalanan ke sini buat nemuin Ibu.” Aku bersyukur Mama mau membantuku berbicara di depan Oma yang terlihat mengintimidasiku. “Assalamualaikum.” Suara Pak Farhan terdengar dari teras depan, membuatku buru-buru berlari dan datang menghampirinya. “Untung Bapak cepat datang ke sini, ayo masuk Pak, saya ngga tahan nih, diintimidasi terus sama Oma saya.” Pak Farhan terkekeh, melepas sepatu dan kaos kakinya. “Sebenernya tadi saya masih belum jauh dari daerah rumah kamu, jadi bisa sampai ke sini dengan cepat. Ngomong-ngomong nenek kamu suka martabak ngga? Saya bawain martabak buat beliau.” Pak Farhan mengangkat tas kresek putih ke arahku, memperlihatkan martabak yang dibelinya “Saya ngga nyangka kalau Bapak bakal setotalitas ini.” “Harapan saya, kamu juga melakukan hal yang sama saat acara pertemuan keluarga saya nanti.” “Harus banget ya, Pak?” Pak Farhan tertawa melihat wajah pasrahku. “Harus dong, karena saya sudah melakukan yang terbaik, kamu juga harus memberikan timbal balik kepada saya.” Setelahnya Pak Farhan menggandeng tanganku untuk masuk bersama. “Selamat malam, Tante, Om, Oma,” sapa Pak Farhan. “Malem Han, ayo sini duduk.” Mama beranjak dari sofa dan menyambut Pak Farhan dengan suka cita. Aku duduk berdampingan dengan Pak Farhan di sebelah Oma, berhadapan langsung dengan Raihan yang raut mukanya tak sesumringah tadi. “Saya bawain martabak buat Om dan Tante. Maaf tadi buru-buru ke sini jadi ngga sempet beli banyak.” Pak Farhan memberikan bungkusan kresek tadi ke Mama. “Justru kami yang minta maaf, karena udah ngerepotin kamu. Makasih banyak loh, kebetulan Oma-nya Naya suka banget martabak rasa keju, iya kan Bu?” Oma hanya tersenyum kecil membalas perkataan Mama. Mungkin beliau sedikit kesal karena rencananya gagal dan tak sesuai dengan harapan. “Oh ya, saya belum memperkenalkan diri ke Oma, kenalin Oma, saya Farhan, pacar Naya.” Pak Farhan mengulurkan tangannya ke arah Oma untuk bersalaman. “Saya sudah tahu kamu dari Naya tadi. Kamu kerja apa?” tanya Oma mulai menginterogasi. “Kebetulan saya manajer keuangan di tempat Naya kerja Oma.” “Oh, jadi kamu Bos Naya?” “Betul sekali Oma. Aura kecantikan cucu Oma ini benar-benar kuat sampai saya ngga bisa menahan untuk jadi pacarnya.” Aku benar-benar memuji akting Pak Farhan kali ini. Bagaimana bisa hanya dengan berbicara satu kalimat saja, Pak Farhan berhasil membuat Oma mengeluarkan aura ketertarikan padanya. Pantas saja dia dipilih jadi manajer, kemampuannya menarik hati seseorang benar-benar patut diacungi jempol. Dalam sekejap Pak Farhan berhasil membuat kami semua terlarut dalam obrolannya. Seperti yang dilakukannya pada Mama dan Papa tempo hari, Pak Farhan juga melakukan hal yang sama pada Oma, sampai beliau bisa mulai ramah dan menerima kehadirannya. Pak Farhan juga mampu membawa suasana. Dia tidak mengacuhkan Raihan dan menganggap seolah pria itu tidak ada. Malahan sekarang, Raihan sudah lagi tak secanggung saat aku mengatakan bahwa memiliki pacar. Dia mulai ikut terbawa suasana obrolan dengan kami dan sesekali tertawa menanggapi. Ajaib! Orang ini benar-benar ajaib! “Sudah malam, Oma harus pulang sekarang. Ayo Raihan.” Oma beranjak dari duduknya diikuti kami semua yang menyalaminya. Mama dan Papa ikut mengantar Oma dan Raihan ke depan. Sedangkan aku dan Pak Farhan duduk menunggu di ruang tamu. “Pria itu tadi yang akan dijodohkan dengan kamu?” bisik Pak Farhan di sebelahku. Aku hanya mengangguk sebagai jawaban. “Masih tampan saya kemana-mana,” ucapnya percaya diri, yang membuatku agak sedikit mual mendengarnya. Maksudku, sejak kapan Pak Farhan jadi senarsis ini. Wajahnya memang tampan, tapi mengakui dirinya sendiri tampan itu agak sedikit menggelikan. “Karena saya sudah melakukan tugas saya dengan baik hari ini, saya minta balasan yang setimpal dari kamu.” Dalam hati aku merasa takut dan gugup. Jujur saja, walaupun hanya pura-pura, ini pertama kalinya aku akan datang ke acara keluarga dan dikenalkan sebagai pacar. Itu membuatku agak sedikit grogi, apalagi karena aku tidak punya pengalaman soal itu, jadi kekhawatiranku agak sedikit berlebihan. “Tenang saja, saya ngga akan meninggalkan kamu sendiri di acara itu. Saya bakal membantu kamu di sana, jadi kamu jangan khawatir.” Seakan mengerti kecemasanku, Pak Farhan berhasil membuatku agak tenang. Semoga saja aku tidak mengacaukan acara keluarganya minggu depan. “Kalau gitu, saya pamit pulang dulu, sudah malam.” Pak Farhan beranjak dari sofa, diikuti denganku di sebelahnya. “Eh, Nak Farhan juga mau pulang toh?” Mama kembali sehabis mengantar Oma di depan. “Iya Tante, Om. Saya pamit pulang dulu, sudah malam.” Pak Farhan bergerak menyalami kedua orang tuaku. “Hati-hati ya, Nak,” pesan Papa. “Iya Om, saya permisi dulu kalau gitu.” Aku ikut mengantar Pak Farhan sampai depan rumah. Lalu kembali masuk saat mobilnya sudah menghilang di kelokan jalan. “Kamu udah yakin sama Farhan kan, Nak?” tanya Papa tiba-tiba saat aku melintas di ruang tamu. “Maksud Papa?” “Kalian ini sudah tidak muda lagi, jangan terlalu lama bermain-main. Segeralah memikirkan masa depan, kamu sudah pernah dikenalkan dengan keluarganya?” Aku menggeleng, “Pak Farhan berniat ngajak Naya ke acara keluarganya minggu depan Pa.” “Kamu ini, pacar sendiri kok dipanggil Pak, seperti dia Bapak kamu saja. Biasakan panggil Mas daripada Bapak. Orang yang liat kalian berdua akan mengira kamu keponakannya kalau kamu masih memanggil Bapak.” Aku meringis mendengar ucapan Mama. Memang sedikit aneh kedengarannya. Aku sampai tidak memperhatikan panggilanku pada Pak Farhan di depan keluarga. Benar kata Mama, orang-orang akan curiga kalau aku masih memanggil Pak Farhan dengan embel-embel “Pak”. “Iya Ma, Naya cuma belum terbiasa aja.” “Kalau dia sampai berani memperkenalkan kamu dengan keluarganya, berarti dia serius dengan kamu, Nay. Ingat selalu kata Papa, carilah laki-laki yang selalu mendampingi dan membela kamu di depan keluarganya. Sekali pun kamu yang salah, jangan biarkan dia mempermalukan kamu di depan keluarganya.” Aku tersenyum kecut, agak merasa bersalah karena sudah membohongi Papa dan Mama sampai mereka berdua benar-benar berharap aku akan segera menikah. Ya ampun, aku tahu kalau masalahnya bakal sepanjang ini. “Iya Pa. Naya ke kamar dulu kalau gitu. Capek, mau tidur.” Aku berjalan masuk ke kamar dan merebahkan diri di kasur. Menatap langit-langit kamar dengan perasaan gelisah. Semoga semuanya bakal baik-baik saja. Semoga. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD