SANG QUEEN BEE

3201 Words
"Nanti mami mau kalian pulang nya sebelum jam 7 ya?" Seru Liana sembari menatap kelima anak nya. Perkataan nya langsung saja di hadiahi tatapan heran semua nya. Kecuali seorang gadis yang duduk di antara Digta dan Dirga. Dia sibuk memainkan ponsel nya dengan earphone bertengger di kedua telinga nya. "Loh emang kenapa mi?" tanya Dirga mewakili saudara-saudara nya. "Soal nya nanti malam kita kedatangan tamu dari rekan bisnis papi, sekaligus teman lama mami sama papi dulu." jelas Liana dan di anggukan oleh Alex. "Loh mami sama Papi yang punya rekan bisnis. Kenapa mesti kita yang pulang cepat?" timpal Regan. "Kalian anggota keluarga Alexander apa bukan?" "Ya iya. Tapi masalah nya mi, nanti malam Regan gak bisa. Karna, ada kerja kelompok sama temen." Ralin langsung saja berdehem, dan tersenyum geli, menatap kakak kedua nya itu. "Kerja kelompok? Bohong banget lo. Sejak kapan lo doyan sama kerja kelompok, belajar aja jarang." ledek nya yang langsung di hadiahi cubitan pelan di lengan nya dari Regan. "Diem lo! Berisik banget." kesal putra kedua dari kelurga Alexander itu. "Maka nya Gan, nyari alasan tu yang tepatan dikit. Yang elit gitu. Ngasih alasan kayak gitu siapa yang percaya. Lo lulus dari SMA aja itu udah syukur." Digta tambah meledek. Ralin yang mendengar langsung tertawa. "Ngeselin lo! Pojokin aja gue terus." Regan kesal sendiri dengan saudara-saudara nya yang memojokkan nya. Liana ikut tersenyum geli melihat wajah kesal putra kedua nya itu. "Tapi ada benarnya juga loh, apa kata Ralin sama Digta, kamu lulus aja udah syukur. Semua orang juga tau, kamu hobi nya bukan belajar, tapi ngehajar orang." "Mami kok ikut-ikutan sih." Regan semakin di buat kesal. "Iya maaf. Cowok kok doyan ngambek." "Gak ngambek." elak Regan, namun membuang muka nya ke arah lain. "Woi, malu sama muka. Tampang sangar, tapi ambekan." kata Dirga, membuka suara untuk pertama kali nya. Memang hanya Dirga lah yang paling dewasa di antara yang lain nya. Mungkin karna dia adalah anak pertama. Regan mendesah, dan tidak menjawab lagi jika Dirga telah bersuara dengan suara dingin ciri khas cowok itu. "Udah jangan ribut lagi! Pokok nya kalian ikutin aja. Sebelum jam tujuh sudah harus sampai di rumah! kalau gak mau uang jajan nya papi potong." Regan langsung terhenyak kaget saat mendengar penuturan sepihak papi nya. "Loh gak bisa gitu dong pi!" protes nya tidak terima. "Bisa lah. Kan papi yang megang uang." seru Alex. "Ih, doyan nya ngancem." sindir Ralin dan melanjutkan makan nya yang sempat terhenti. Sedangkan Regan mendengus. "Kalau udah kayak gini mah, gue bisa apa." gumam nya. Liana menatap Regan yang muram. "Kamu cancel dulu lah sayang acara nongkrong sama genk motor kamu, cuman sehari ini kok." seru nya dan mengusap pundak anak nya itu. Regan tidak menjawab, kembali sibuk memakan sarapan nya. Sedikit kesal, tapi mau bagaimana lagi, dia tidak mungkin membantah ucapan kedua orang tua nya. Walaupun dia adalah bad boy nya kampus Screen Sun, tetap saja dia tidak hobi membantah perkataan orang tua, setidak suka nya dia pada keputusan yang di buat. Semua telah mengangguk setuju, walau masih ada yang terpaksa seperti Regan. Tapi tidak dengan gadis yang terus sibuk sendiri memainkan ponsel sembari mendengarkan lagu di earphone, tidak memperdulikan apa yang terjadi di meja makan pagi ini. Juga tidak berniat memakan sarapan nya. Liana menatap putri bungsu nya itu. Lalu beradu pandang dengan Alex suami nya. Dia yakin, Alex juga berpikiran hal yang sama dengan nya. "Ruby! Kamu dengarkan apa yang mami sama papi bilang?" Liana berbicara, kali ini hanya di khususkan pada anak bungsu nya itu. Yang merupakan kembaran Ralin, namun tidak identik. Baik Ralin, Dirga, Digta, Alex, bahkan Regan menatap ke arah Ruby yang masih tidak merespon. Digta yang berada di samping gadis itu langsung melepaskan sebelah earphone adik nya itu. "Nyokap ngomong sama lo." seru nya menatap Ruby. Tatapan Ruby yang tadi nya pada Digta kini beralih pada Liana. Tanpa bertanya, dia hanya menatap datar dan dingin pada mami nya itu. "Kamu dengarkan. Kalau nanti harus pulang cepat?" seru Liana. Ruby menatap satu persatu penghuni meja makan yang kini menatap ke arah nya, kecuali Regan kali ini, karna cowok itu sudah fokus kembali pada makanan nya. Setelah itu dia bangkit dari duduk nya, menyandang tas, dan meraih jaket kulit berwarna hitam. "Gak janji." jawab nya singkat, seraya berlalu dari meja makan itu. Menuju ke garasi mobil, untuk mengambil mobil. Liana menghela nafas nya perlahan. Lalu menatap mobil bmw sport yang sudah berlalu meninggalkan kediaman. Posisi meja makan memang berada tidak jauh dari jendela, alhasil halaman luar bisa langsung terlihat dari sana. Bukan hanya Liana, semua anggota keluarga itu sudah sangat hafal dengan tabiat Ruby yang dingin. Jadi sudah tidak heran lagi, jika gadis iu bersikap demikian. "Udah lah mi gak usah di pikirin, dia kan udah biasa kayak gitu." kata Ralin memecah keheningan, sekaligus raut sendu mama nya. Liana tersenyum tipis. "Mami hanya khawatir dia kenapa-kenapa. Kan dia tadi gak nyentuh makanan nya sama sekali." balas nya menatap makanan yang masih utuh di atas meja. Makanan milik Ruby. Regan berdecih. "Di sekolah ada kantin kali mi. Paling juga dia makan disana." dia berseru cuek. "Ya udah lah. Kalian lanjut makan lagi. Entar telat." seru Alex menyudahi. Liana tanpa sadar menatap sebuah foto besar yang terpajang di rumah itu. Foto yang memperlihatkan seorang gadis cantik tengah tersenyum ke arah kamera. Senyuman yang sangat di rindukan nya, dari putri bungsunya itu. Dia adalah seorang ibu, dia dapat merasakan setiap perubahan yang terjadi pada anak-anak nya. Dia sadar, tidak ada yang sama di dunia ini. Bahkan putri kembar nya pun tidak sama, mulai dari wajah sampai sikap. Jika Ralin penuh senyuman, maka Ruby penuh dengan tatapan dingin dan datar. Dan dia maklum akan hal itu, tapi rasa sayang nya tidak pernah berkurang sedikit pun pada Ruby. Satu yang Liana rindukan. Senyuman milik Ruby Lianexia Alexander. Putri bungsu, yang sangat di sayang nya. Malaikat kecil nya. ☔☔☔☔☔ Gadis berseragam putih dengan rompi hitam kotak-kotak itu mulai melangkah memasuki gedung sekolah, setalah memarkir kan mobil bmw sport putih nya di parkiran. Kondisi koridor SMA Saga memang sudah di penuhi dengan siswa yang berlalu lalang, mulai dari kelas X, XI, sampai XII. Termasuk para guru. Namun kedatangan Ruby membuat koridor yang tadi nya ramai, mulai terlihat sepi. Karna satu persatu dari mereka mulai meghilang entah kemana, walaupun masih ada yang berjalan dengan kepala tertunduk dan tangan yang mencengkram satu sama lain. Terlebih saat melewati Ruby, sang Queen Bee di Saga. Ruby terus berjalan dengan wajah datar milik nya, dan sorotan mata yang dingin. Seisi sekolah juga tau, siapa yang paling dingin di SMA Saga, cuman orang kurang update yang menjawab selain Ruby. Bugh "Sorry, gue gak sengaja." Bunyi tubrukan itu sempat membuat beberapa orang yang tersisa di koridor lantai satu mengangkat kepala nya, dan melihat ke arah dimana Ruby berdiri berhadapan dengan seorang cowok. Kekepoan mulai meningkat di otak semua yang melihat, dan mulai melihat diam-diam ke arah sana, sekaligus menajamkan kuping. Pasal nya, siapa pun yang tidak sengaja menabrak Ruby, sudah di pastikan hidup nya mulai tidak tenang setelah itu. Dalam waktu cukup lama, Ruby hanya memandang dingin cowok di depan nya itu. Dia seakan baru pertama kali melihat cowok itu, maka dari itu dia hanya berlalu tanpa berkata apa pun. Karna pada dasar nya, jika cowok itu anak lama di Saga, sudah di pastikan tidak akan seberani itu menabrak nya barang se inci pun. Cowok itu menatap punggung Ruby yang mejauh, lalu mengangkat bahu, dan kembali melanjutkan jalan nya yang tadi tertunda untuk ke ruang majelis guru. Orang-orang kepo di koridor tadi, mulai bernafas lega saat Queen Bee sekolah itu sudah tak terlihat lagi di koridor lantai satu. "Gue tiap pagi kayak nya harus stok nyawa terus deh kalau kak Ruby udah lewat." seru salah satu gadis di koridor itu. "Sama. Gue aja sampai kebelet pipis." "Gila ya. Gue aja yang belum setahun sekolah disini aja udah harus spot jantung ngelihat wajah dingin kak Ruby." "jangan sampai deh, kita terlibat urusan sama Queen Bee sekolah ini. Bisa-bisa mati beneran kita." Itu lah desas desus dari segerombolan siswi kelas X yang berdiri di dekat ruang majelis guru. Desas desus itu lah yang membuat langkah cowok yang tadi bertabrakan dengan gadis yang kini di bicarakan oleh siswi-siswi itu terhenti. Satu nama itu berputar di ingatan nya. Nama yang selalu menjadi pusat pembicaraan dan perhatian di sekolah ini sejak awal dia menginjakkan kaki di Saga. ☔☔☔☔☔ "Selamat pagi semua nya!" Guru berkacamata itu memulai kelas dengan sapaan seperti biasa. Bu Emy, guru Matematika sekaligus wali kelas dari XII IPA 3. Guru dengan sorotan tenang, dan bersahabat. Tidak seperti kebanyakan guru matematika lain, yang lebih terkenal dengan kata killer. "Pagi buk!" "Baik semua nya! Silahkan buka buku kalian halaman----" Perkataan Bu Emy terhenti saat mata nya menangkap lima siswi yang baru masuk, dan langsung duduk di bangku mereka tanpa mengucapkan kata-kata permisi atau minta maaf karna telat. Seisi kelas langsung memandang lima siswi itu, namun tidak ada yng berani memandang terlalu frontal, takut jika salah satu dari mereka melihat, bisa-bisa akan menjadi sasaran bully selanjut nya. Bu Emy pun tidak berani menegur, bukan takut tapi dia sangat tau bagaimana watak kelima siswi nya itu. Dia hanya menatap, dan kembali melanjutkan pelajaran. "Mari kita lanjutkan, buka buku kalian halaman 100. Tentang Integral." Perhatian seisi kelas mulai kembali pada Bu Emy yang menerangkan pelajaran, kecuali seorang cowok yang terus saja menatap ke arah meja bagian depan paling ujung, cukup jauh dari posisi nya duduk sekarang. Menatap salah satu gadis yang baru saja masuk tadi, gadis itu sibuk dengan ponsel dan earphone yang bergantung di telinga nya. "Hati-hati loh! Kalau lo ketahuan liatin dia terus, bisa-bisa nasib lo kayak mantan-mantan siswa sini, yang keluar karna gak tahan sama bullyan nya." Cowok itu lantas menoleh pada asal suara, kepada cowok yang duduk di samping nya. "Maksud lo?" tanya nya tidak mengerti. Rido yang tadi nya menulis kini menoleh pada teman baru nya sejak dua hari ini. "Lo tau gak Gen siapa yang barusan masuk?" tanya nya dengan sedikit berbisik. Cowok yang di panggil Gen itu menggeleng, tapi terus menatap Rido sampai cowok itu kembali melanjutkan perkataan nya. "Mereka adalah genk BlackHeart yang sering di ceritain siswa siswi disini. Genk bully yang paling di takutin. Sekaligus paling populer." seru Rido sembari melirik ke arah meja genk itu. Lalu kembali menatap Genta. "Cewek yang lo liatin dari tadi itu, dia adalah Queen Bee di sekolah ini. Cewek cantik,pinter, tajir dan segala talenta yang dia punya." "Jadi dia Ruby itu?" tanya Genta mulai penasaran. Rido mengangguk antusias. "Dia Ruby, ketua dari genk BlackHeart, genk yang terkenal dengan bullyan kejam tanpa ampun. Yang isi nya anak-anak orang kaya doang. Tapi mereka itu juga termasuk, siswi-siswi pinter di Saga. Apalagi si Queen Bee Ruby. Dia pemegang juara umum di sekolah ini setiap kenaikan kelas. Tapi minus nya ya itu doang. Dia kejam, dingin, datar benget. Dia pernah ngebully orang sampai tu orang pindah sekolah saking gak tahan nya." lanjut Rido Genta termangu dengan cerita Rido. Pandangan nya langsung saja beralih pada gadis yang barusan di bicarakan nya bersama Rido. Gadis yang juga tadi pagi tidak sengaja di tabrak nya. Rido benar, pertama kali dia bertemu dengan Ruby. Kesan pertama nya adalah, gadis yang memiliki sorot sangar dan dingin. Rasa penasaran nya sudah terjawab, dia tau siapa si Queen Bee yang sering di bicarakan itu. "Genta! Kenapa melamun?" Suara Buk Emy langsung saja membuat Genta terkaget. Dia menggeleng pada guru itu. "Gak buk." seru nya sembari mencatat apa yang ada di papan tulis. Buk Emy menggeleng kan kepala nya, dan kembali menulis di papan tulis. Genta tanpa sadar kembali melirik ke arah meja Ruby. Namun tatapan nya lagsumg saja bertemu dengan gadis itu. Tatapan yang sama dingin nya seperti tadi pagi. ☔☔☔☔☔ "Darimana aja sih lo? Gue udah laper nih." Genta mendengus mendengar celotehan sepupu nya itu. "Ck, bawel lo. Jalan dari kelas ke sini butuh proses kali." "Nih! Gue pesenin bakso kesukaan lo." Tata menyodorkan mangkuk bakso yang tadi di pesan nya. Genta tersenyum sumringah. "Thanks Ta." balas nya seraya mengacak pelan rambit sepupu nya itu. Suasana makan Genta dan Tata yang tadi nya tenang, mulai terusik saat suara seseorang muncul di tengah mereka. "Cabut lo berdua dari sini!" Suara itu terdengar seperti perintah. Baik Genta dan Tata mengangkat kepala mereka, dan langsung di hadapkan oleh wajah dingin milik seseorang yang di ketahui Tata bernama Stefi. Salah satu anak genk BlackHeart. "Sorry, tapi kita duluan yang dapat meja ini. Lo bisa cari meja yang lain." jawab Tata tak kalah dingin nya. Senyuman sinis muncul di wajah Stefi. "Perlu gue suruh dua kali hm?" "Hajar aja kali Stef. Anak baru tapi songong." tambah Ranaya yang berdiri di samping Stefi. Dengan wajah tak kalah dingin. Semua penghuni kantin mulai menatap ke satu meja paling pojok itu. Dan satu persatu mulai bergidik ketakutan saat satu persatu anggota genk BlackHeart memasuki kantin, mulai dari Stefi bersama Ranaya, dan sekarang di lanjut Yuma. Mereka hanya tinggal menunggu, kedatangan sang leader sebentar lagi. Mereka menyesali tindakan Genta dan Tata yang telah menduduki kursi ke agungan milik BlackHeart itu. "Gawat mereka cari mati tuh." "Duh, tinggal nunggu kak Ruby lagi nih. Bakal kacau." "Kalau gue jadi Genta sama Tata mending cabut deh dari sana." Itu lah beberapa bisikan-bisikan halus di kantin yang mulai di lingkupi suasana tegang. Bukan hanya siswa dan siswi, para pedagang di kantin itu juga mulai was-was, dan ketakuatan. "Udah telat guys. Ruby otw." seru Yuma saat baru sampai di sebelah teman-teman nya. Stefi menatap kedua anak baru itu lagi. "Kalian masih punya waktu kok. Buat minggat dari sini." seru nya sekali lagi. "Gue gak akan pergi." balas Tata seakan menantang. Sedangkan Genta hanya diam di posisi mya. "Ada Ruby, Ada Ruby!." seruan panik itu mulai terdengar, sebagian dari penghuni kantin mulai beranjak pergi. Namun tidak sedikit juga yang bertahan disana, untuk menonton kejadian apa yang akan terjadi nanti. Tidak ada lagi terdengar bisikan-bisikan di kantin itu. Hanya terdengar derap kaki yang mendekat, diikuti dengan sorotan mata beberapa orang disana. Terlihat sudah Ruby memasuki kantin bersama dengan Nesya, dengan biasa, wajah datar dan tatapan dingin namun penuh intimidasi. Nesya, salah satu anggota genk BlackHeart dengan pembawaan tenang sama persis seperti Ruby. Namun berbeda dengan Stefi, dia adalah anggota BlackHeart paling di kenal keras, dia tidak akan neko-neko dengan musuh, mau itu siapa pun juga. Bukan hanya pandangan siswa siswi yang menjadi penonton. Tetapi juga Genta dan Tata yang merupakan sasaran selanjut nya dari genk BlackHeart, mereka berdua bangkit dari duduk dan ikut menatap ke arah fokus objek. "Kita cabut aja! Gue gak mau dapat masalah. Kita anak baru disini." bisik Genta dan memegang pergelangan tangan Tata. Mengajak gadis itu untuk beranjak, dan lebih baik mengalah. Tapi Tata justru menahan pergerakan nya. Agar tidak beranjak sedikit pun dari sana. "Gak! Skolah ini bukan punya mereka. Dan mereka gak ada hak buat ngusir kita." seru nya dengan tatapan tajam ke arah Stefi, Yang berdiri di hadapan nya. Stefi membalas tatapan Tata tak kalah tajam. Tangan nya mulai terkepal, menandakan emosi mulai menguasai diri nya. Dia adalah satu-satu nya siswi SMA Saga yang paling di kenal tidak bisa menahan amarah. Tak jarang, Stefi adu jotos dengan salah satu siswa di SMA Saga. Bahkan sampai mengalami patah tulang. Ranaya menahan tangan Stefi yang siap melayang. "Biar Ruby yang menyelesaikan! Kita lihat seberapa besar nyali dia." kata nya sembari menatap Tata yang masih tidak gentar sama sekali. "Jangan bilang teman-teman gue belum memperingati kalian!" Suara Ruby yang hadir lantas membuat perhatian semua orang semakin tertuju. Tatapan dingin Ruby bertemu dengan tatapan tajam milik Tata. Kali ini Tata di hadapkan langsung dengan leader genk BlackHeart. "Teman-teman lo ini memang udah peringatin gue. Tapi sayang nya gue gak takut." seringai Tata. Ruby menghela nafas nya perlahan. "Gue kasih lo waktu buat pergi dari sini. Sebelum---" "Sebelum apa?" tantang Tata. Ruby melangkah mendekat pada Tata. Dengan sorotan intimidasi nya. "Sebelum lo menyesal karna sudah memancing gue. Jangan salahin gue, kalau masa depan lo hancur." lanjut nya penuh dengan peringatan. Tata tersenyum sinis. Dan semua orang menyaksikan bagaimana tidak gentar nya gadis itu bahkan saat telah di hadapkan dengan Ruby. "Sayang nya gue gak takut." seru Tata seakan merendahkan. "Orang kayak lo, gak pantes jadi queen bee di sekolah ini, walau lo pinter sekalipun." lanjut nya sakartis. Ruby menyeringai, seraya memutar tubuh nya, membelakangi Tata sejenak, sebelum akhir nya bunyi bantingan dan pecahan kaca terdengar di keheningan kantin itu. Semua penyaksi di sana kaget, bahkan Tata dan Genta tak kalah kaget. Saat meja tempat mereka tempati tadi, di tendang dengan gerakan tiba-tiba. Sehingga menciptakan bunyi yang cukup keras dari pecah nya mangkuk di atas sana. Semua orang menyaksilan dengan jelas siapa pelaku nya. Siapa lagi kalau bukan Ruby Lianexia Alexander, satu-satu nya orang yang mempunyai keberanian seperti itu. Tanpa mengurangi wajah tenang nya. Ruby melangkah mendekat, membunuh jarak antara diri nya dan lawan yang sudah punya nyali melawan nya. "Ternyata nyali lo boleh juga." kata nya pelan. "Tapi kalau udah kayak gini, apa lo masih bisa ngelawan hm?" Plak.. "Ta!" teriak Genta sesaat setelah tangan Ruby mendarat sempurna di pipi mulus Tata. Karna kekuatan tamparan itu, Tata tersungkur ke atas pecahan kaca mangkuk. Gadis itu meringis, antara menahan sakit di pipi nya dan perih di tangan nya. Genta dengan sigap membantu Tata berdiri. Di melemparkan pandangan tajam ke arah Ruby yang masih bersikap tenang, seakan tidak terjadi apa-apa. Kekagetan luar biasa terjadi di kantin itu. Lagi dan lagi, korban bully kembali terjadi di kantin. "Bandel sih jadi orang!" gumam Nesya santai. Membuka suara untuk pertama kali nya. "Ruby!!" Teriakan melengking itu memecah ketegangan yang ada di kantin. Kini semua mata tertuju pada Ralin yang berjalan cepat memasuki kantin, bahkan terlihat raut amarah di wajah nya. Sebagian dari penghuni kanti mn bernafas lega karna kedatangan Ralin. Ruby mendengus, atas kedatangan Ralin. "Ngerusak suasana." gumam nya malas. Ralin melihat kekacauan yang terjadi di kantin, pecahan kaca dimana-mana, dan meja yang terjatuh di lantai. Lalu dia beralih pada Genta yang menjadi korban pembullyan oleh saudara kembar nya sendiri. Telapak tangan gadis itu sudah mengeluarkan darah segar yang lumayan banyak. "Keterlaluan lo ya!" geram Ralin, dan menarik kasar lengan Ruby, sehingga menghadap nya. Ralin adalah satu-satu nya orang yang berani menentang Ruby selama ini. Mungkin karna mereka punya ikatan saudara. "Mau lo apa sih hah? Dia anak baru disini, dan setahu gue dia gak pernah bikin masalah sama lo dan genk lo. Tapi kena--" "Kalau gak tau gak usah ngomong." potong Ruby seraya menatap Ralin dengan sorotan dingin nya. Ralin menggeleng kan kepala nya. Seakan tidak percaya dengan sosok yang ada di depan nya sekarang. Sosok yang benar-benar asing di mata nya. "Mau lo apasih? Bisa gak sehari aja lo gak usah ngebully orang?" suara Ralin meninggi. "Bisa gak lo berhenti ngurusin hidup gue?" balas Ruby cepat, dan kali ini memabuat Ralin tertegun. Ralin menatap mata Ruby dalam. d**a nya naik turun, menandakan ada sesuatu yang bergemuruh di dalam sana. Setelah perkataan itu meluncur dari mulut kembaran nya sendiri. Ruby melangkah melewati Ralin, bersamaan dengan bersuara nya kembali gadis itu. "Gue gak akan berhenti, selama gue dan elo mempunyai ikatan darah." seru Ralin pelan dan penuh penekanan. Tanpa berkata apa-apa lagi, Ruby kembali melanjutkan jalan nya. Mengabaikan ucapan Ralin barusan. ☔☔☔☔☔
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD