Tata sedaritadi tak berhenti nya meringis saat petugas pmr mengobati luka lecet di telapak tangan nya akibat pecahan kaca. Belum lagi pipi nya yang perih kini juga tengah di kompres oleh Genta.
"Elo juga sih. Udah gue bilang, ngalah aja. Masih aja ngeyel."
"Kok lo nyalahin gue sih?" nyolot Tata tidak terima. "Mereka aja yang emang pada devil." lanjut nya kesal.
Genta yang mengompres pipi Tata, langsung meneken keras wajah gadis itu, hingga Tata kembali meringis. "Sakit tauk."
Tata mendengus. "Eh, lo udah tau kalau mereka emang kayak gitu. Gue gak yakin lo belum dengar cerita tentang mereka." kata nya sembari menatap sepupu nya itu yang terus menahan sakit di telapak tangan nya yang baru saja di perban.
Petugas pmr itu telah keluar, seiring dengan masuk nya seseorang. Pandangan Genta dan Tata langsung saja teralihkan pada Ralin yang berdiri di ambang pintu uks, dengan wajah teduh milik gadis itu.
"Ralin!" seru Genta dengan suara pelan, nyaris berbisik.
Ralin tersenyum tipis, dan melangkah mendekati dua insan itu. Dia lalu menatap telapak tangan kanan Tata yang berperban. "Sorry ya!" seru nya seraya mengangkat kepala menatap Tata yang duduk di atas brankar uks.
Tata mengerutkan dahi nya. "Buat apa an? Kan lo gak bikin salah apa-apa."
"Tangan lo." balas Ralin menunjuk tangan gadis itu. Tata seketika melirik telapak tangan yang di maksud Nita. "Gue tau itu sakit banget. Atas nama Ruby, gue minta maaf." lanjut nya dengan tatapan sendu, seakan merasa bersalah.
Tata tersenyum miring. "Bukan salah lo." menatap Ralin. "Gue gak nyangka cewek sebaik dan selembut elo, bisa saudaraan sama cewek kayak Ruby yang---"
"Ta!" tegur Genta dengan pelototan mata nya pada Tata, memotong pembicaraan sepupu nya itu sebelum meleber kemana-mana.
Ralin tersenyum, menatap Genta dan Tata bergantian. Perasaan tidak enak menghampiri diri nya. Saudara kembar nya yang bertindak, tapi dia yang menanggung rasa bersalah. Setiap korban bullyan Ruby selalu dia yang merasa tidak enak.
"Bagaimana pun dia. Dia tetap saudara satu darah gue." ucap Ralin dengan mata menerawang ke depan. Mata yang mulai terlihat berkaca-kaca, dan kini terarah pada Tata. "Kalau lo mau bales. Bales ke gue aja."
Tata tertegun. Dia sadar, ucapan nya tadi memang sedikit pedas, tapi dia tidak bermaksud membuat Ralin merasa bersalah seperti ini. "Sorry Lin. Gue gak maksud."
Ralin tersenyum. "Its ok."
"Gue emang kesel sama saudara lo itu. Tapi bukan berarti gue akan lampiasin ke orang yang gak bersalah."
Ralin mengangguk. "Gue tau Ruby keterlaluan. Tapi gue mohon sama lo. Cukup sekali itu aja lo nentang dia. Karna selama ini, siapa pun yang menentang kehendak dia, akan berakhir menderita di sekolah ini. Jadi, gue gak mau lo korban selanjut nya. Karna dia terlalu keras." jelas Ralin.
Tata kembali terdiam. Dia bukan lah tipe orang yang akan dengan gampang memaafkan orang lain, dan juga bukan orang yang gampang mengabulkan permintaan orang lain. Tapi melihat tatapan sendu Ralin dia seakan iba. Padahal bukan gadis itu yang berbuat, tapi malah dia yang menanggung segala nya. Terkadang hidup memang seperti itu. Tapi dia juga sempat berpikir, jika awal dia melawan Queen Bee sekolah saja sudah berakhir di uks, bagaimana jika selanjut nya dia tetap melakukan hal yang sama. Bisa-bisa, dia berakhir di rumah sakit. Dia sedikit bergidik ngeri, apalagi mengingat wajah dingin penuh kekejaman milik Ruby.
Tata lalu mengangguk. "Oke. Selagi gue masih bisa nahan."
Ralin bernafas lega. Itu lebih dari cukup bagi nya.
Genta menatap gadis di depan nya itu dengan sorotan berbeda di mata nya. Siapa pun yang melihat, akan bisa melihat bagaimana tatapan Genta pada Ralin, sangat dalam dan lekat. Seakan ada sesuatu di sorot mata itu. Senyuman Genta tanpa sadar terukir. Dia kembali di pertemukan dengan Ralin setelah sekian lama tidak berjumpa.
Tata yang pertama kali menyadari tatapan Genta pada Ralin. Dia lalu tersenyum jahil dan menyenggol lengan Genta, sehingga membuat cowok itu tersentak kaget. "Apa an sih lo?"
"Cieee yang ngelihatin nya gitu banget." goda Tata.
"Apa sih lo. Ganggu aja." gumam Genta pelan dengan nada kesal.
"Giliran ada Ralin aja disini, gue di bilang ganggu." gerutu Tata.
Ralin tersenyum melihat tingkah kedua bersaudara itu dengan senyuman geli nya. Lalu sorot mata nya bersirobok dengan milik Genta. Dia terdiam sesaat, dengan senyuman yang terukir, membalas senyuman Genta.
☔☔☔☔☔
Bel tanda pulang telah berbunyi beberapa menit yang lalu. Bel yang sangat di tunggu oleh hampir seluluh siswa dan siswi Saga, mungkin bukan hanya SMA Saga, tapi juga seluruh siswa siswi di Indonesia. Karna pada dasarnya, mereka dapat merehatkan otak yang berfungsi selama hampir seharian penuh. Di penuhi dengan teori-teori dan rumus-rumus yang memusingkan.
Tanpa terkecuali Ralin. Dia menghembuskan nafas lega, saat keluar dari ruangan kelas, berjalan menyusuri koridor lantai satu dan dua, hingga akhir nya tiba di lantai satu. Bisikan-bisikan pelan terdengar saat dia melewati koridor lantai satu yang di penuhi oleh junior-junior kelas X. Mulai dari yang mengatakan nya cantik, baik, ramah, dan sampai yang membanding-bandingkan nya dengan Queen Bee sekolah ini. Siapa lagi kalau bukan Ruby, saudaranya.
Kadang Ralin tidak heran lagi, jika banyak dari siswa dan siswi di sekolah ini tidak suka, atau bahkan membenci Ruby. Karna pada nyata nya, saudara nya itu memang salah dan sering membuat ketentraman mereka terganggu. Tapi Ralin juga tidak dapat menyalahkan sikap Ruby, karna semua terjadi karna ada sebab. Penyebab yang tidak pernah di ketahui orang-orang. Yang mereka tahu hanya lah, Ruby si Queen Bee sekolah yang kejam dan ratu bullying tanpa tahu ada apa di balik semua itu. Dan hanya diri nya lah yang mengetahui itu.
"Jalan tu jangan ngelamun, entar kesandung ribet!"
Ralin sedikit tersentak kaget mendengar suara yang hadir di samping nya secara tiba-tiba itu. Dia mengusap wajah nya pelan, dari bentuk keterkagetan nya. "Ngagetin aja lo Ta."
Genta terekeh pelan. "Siapa suruh ngelamun. Lagi mikirin gue ya?" seru nya super pede.
"Geer aja lo. Siapa yang mikirin lo coha." gumam Ralin dengan pandangan terarah kedepan, dan mulut yang mengulum senyuman.
Genta memandang wajah Ralin yang bersemu. "Cie salting." godanya.
"Apa an sih lo." Ralin kesal sendiri karna terus di goda oleh Genta.
"Udah lama ya. Kita gak jalan berdua kayak gini." seru Genta, kali ini tanpa godaan.
Ralin tersenyum. "Iya ya. Elo sih pakek acara pindah ke Ausi segala."
"Kepaksa juga kali."
"Tapi sekarang gimana? Bokap lo pindah tugas ke sini lagi?" Ralin bertanya seraya menatap Genta yang lebih tinggi dari nya.
"Ya gitu lah. Dia bilang sih, bakal stay di sini. Karna rekan kerja dia di sini."
Ralin mengangguk-anggukan kepala nya. Dan karna keasikan mengobrol, tanpa sadar mereka telah tiba di parkiran, tepat di dekat mobil jaz milik Ralin.
"Mana mobil gue?"
Suara dingin itu terdengar di tengah asiknya Ralin dan Genta berbincang. Obrolan mereka seketika terhenti, dan langsung menoleh ke arah sumber suara. Dan mereka langsung di hadapkan dengan Ruby yang berdiri, tepat nya di samping Ralin. Dengan jaket hitam bertuliskan BlackHeart.
"Mobil lo di bawa bodyguard nyokap." jawab Ralin tak kalah dingin nya, dan enggan untuk menatap mata saudara nya itu. Entah kenapa rasa nya dia kecewa dengan tindakn Ruby pada Tata tadi saat di kantin.
"Gak akan. Kalau lo gak ngadu." balas Ruby dengan suara dan tatapan yang masih sama dingin nya.
Ralin melipat tangan nya di d**a. Sembari menyeringai. "Lo pikir disini gak ada mata-mata nyokap. Dan seharus nya lo hati-hati sebelum bertindak."
Kedua pasang mata itu saling melempar pandang satu sama lain. Dua orang yang tidak terlihat sebagai saudara seakan seperti musuh yang bersaing.
Genta menatap sendu saudara kandung itu dalam diam, enggan untuk ikut campur. Namun mata nya seperti fokus pada Ruby. Gadis dingin seantero Saga. Dia heran, bagaimana mungkin gadis itu begitu dingin, dan kejam? Padahal jika di lihat-lihat dia lebih cantik dari Ralin. Dan pantas di juluki Queen Bee, dengan segala keunggulan yang gadis itu punya. Tapi semua seakan tertutupi dengan sikap gadis itu sendiri.
Ralin kembali membuka suara, dengan tatapan terus pada Ruby. "Disini, lo tanggung jawab gue."
Ruby menghela nafas nya perlahan. Lalu berlalu tanpa merespon apa pun. Hal biasa yang selalu di lakukan nya jika telah berhadapan dengan Ralin.
"Lo bisa pulang bareng gue!"
Suara Ralin kembali mengintrupsikan nya untuk berhenti melangkah. Tanpa berbalik sedikit pun dia menjawab. "Cukup di sekolah lo ngatur hidup gue, ikut campur segala nya. Tapi enggak untuk di luar sekolah." balas nya dingin dan langsung memasuki mobil yang berhenti tepat di samping nya. Setelah sempat bersitatap dengan Genta.
Mobil sport berstiker dan bertuliskan BlackHeart itu berlalu meninggalkan SMA Saga. Meninggalkan gumpalan asap yang mengepung di udara. Mata Ralin terarah mengikuti kepergian mobil tersebut. Terkadang dia ingin berteriak, dan menyeret saudara nya itu kembali kepada nya.
"Seharus nya lo yang jadi queen bee di sekolah ini." pernyataan Genta membuat Ralin tersadar dari lamunan nya, namun tidak dengan tatapan nya, dia terus menatap ke depan, ke gerbang dimana mobil genk BlackHeart menghilang tadi.
"Lo tau kenapa dia jadi queen bee?" Tanya nya seraya menoleh pada lawan bicara nya. Genta menggeleng. "Karna dia lebih dari gue. Dia paling cantik, bertalenta tinggi, dan cewek paling pintar di sekolah ini. Dan dia pantas mendapatkan itu." lanjut Ralin dengan kembali menatap ke depan.
"Dan lo tau kenapa dia lebih punya teman daripada gue?" Ralin kembali bersuara setelah ada jeda sesaat.
Genta tidak mengerti dengan perkataan Ralin. "Maksud lo?"
Ralin tersenyum tipis. "Apa lo pernah lihat gue jalan, atau ngobrol sama anak-anak sekolah ini? Enggak kan. Dan lo tau kenapa? Karna gue gak sepintar Ruby untuk mencari teman apalagi sahabat." ujar nya menatap mata Genta
"Dan menurut lo BlackHeart sahabat?" tanya Genta saat dia mulai mengerti dengan perkataan Ralin.
Ralin mengangguk. "Mereka sahabat." jawab nya singkat.
"Tapi apa lo gak pernah sadar. Kalau mana tau mereka hanya saling memanfaatkan?"
Ralin terkekeh pelan mendengar kalimat Genta. "Belajar suuzon dari siapa lo?"
Genta mendesah. "Ini gak suuzon. Genk kayak gitu, gak akan pernah ada yang nama nya kata-kata persahabatan. Kalau ada pun, itu cuman di mulut."
"Kenapa lo segitu yakin?"
"Karna itu fakta yang udah gak bisa di sangkal lagi. Walau banyak opini yang bilang, gak semua nya. Tapi bagi gue, genk kayak gitu gak ada beda nya."
"Berarti gue setuju sama opini orang-orang, yang mengatakan bahwa gak semua genk kayak gitu." Ralin melipat tangan di d**a nya, dan bersandar di bember mobil nya. Dengan mata yang menatap Genta. "Karna mereka bukan kebanyakan genk yang lain. Mereka adalah satu genk yang solit. Itu yang gue pandang selama ini. Ruby leader. Dia kejam, dingin, dan seakan gak peduli. Tapi di balik itu semua, dia bukan seseorang yang egois. Dia gak pernah bahagia di atas penderitaan teman-teman nya."
"Itu poin yang gak pernah gue punya. Dia gak punya ego. Tapi gue, punya ego tinggi."
Genta tertegun mendengar perkataan tak di sangka-sanga Ralin. Bahkan gadis itu menyampaikan tanpa beban sama sekali. Seakan-akan orang yang dia katakan tadi benar-benar baik. Tapi yang tampak di luar justru berbanding terbalik.
Ralin menghela nafas nya entah untuk ke berapa kali. "Ya udah Gen. Gue cabut dulu ya!" seru nya seraya menepuk pelam pundak cowok itu. Lalu memasuki mobil, dan berlalu pergi.
Genta menatap kepergian mobil yang menjauh itu, dan akhir nya hilang di belokan gerbang.
Dia kejam, dingin, dan seakan gak peduli. Tapi di balik itu semua, dia bukan seseorang yang egois.
Kata-kata Ralin terngiang di pendengaran Genta. Kata-kata itu seakan menjadi magnet yang melengket di kepala nya. Entah apa yang terjadi dengan diri nya. Sejak awal dia mendengar nama queen bee di sekolah ini. Rasa penasaran sudah melingkupi diri nya. Tentang gadis itu, tentang semua yang ada pada diri gadis itu. Dia sendiri bingng dengan hasrat dalam diri nya. Seperti rasa penasaran yang mulai berubah menjadi kekepoan tingkat dewa.
Genta baru saja akan melangkah pada mobil nya yang tidak jauh dari posisi berdiri nya sekarang. Tapi terhenti saat kaki nya menginjak sebuah kertas. Tangan nya perlahan meraih kertas telungkup itu. Dan di sana dia tau, bahwa itu adalah sebuah foto. Dua pose foto berbeda, namun dengan orang yang sama. Gadis dengan senyuman, dan gadis dengan wajah dingin dan terlihat tajam.
Genta kembali memutar kertas foto itu. Terlihat tulisan singkat disana.
My Sister And Not My Sister
Tulisan singkat namun penuh teka teki bagi Genta.
☔☔☔☔☔
Tepat pukul 7 malam, tamu yang di nanti keluarga Alexander akhir nya datang. Seorang keluarga pengusaha property yang tak kalah sukses dengan Alexander Group.
Alex dan Liana langsung saja berdiri di ambang pintu saat tamu itu sudah berjalan menuju pintu.
"Rosa! Apa kabar kamu?" Liana langsung saja menyambut dengan antusias.
"Baik. Ya ampun kamu apa kabar juga Lia?" Balas Rosa tak kalah antusias.
"Selalu baik."
Kedua ibu-ibu itu mulai berpelukan dan cipika cipiki. Sedangkan Ralin, Dirga, dan Digta yang melihat hanya saling melempar tatapan geli mereka. Regan, cowok itu hanya diam dan beberapa kali mendengus. Dia menatap tidak minat pada kedua orang tua nya yang tengah bersalaman dan melepas kangen dengan teman lama mereka itu.
"Adain aja reunian sekalian." gumam nya kesal dengan bola mata yang di putarkan malas.
Digta menyenggol lengan Regan. "Buruan lo salaman sama om Bara dan Tante Rosa!" suruh nya dengan sedikit berbisik.
"Ck, lo aja sana duluan!" Balas nya malas.
"Eh lo anak keberapa hah? Gue anak ketiga. Lo anak kedua. Ya lo duluan lah."
Regan menggeram kesal, dan melangkah tanpa minat, mendekat pada dua orang yang barusan bersalaman dengan Dirga. Dia langsung merubah raut wajah nya saat Bara dan Rosa menoleh ke arah nya. Memasang wajah semanis mungkin, walau ada unsur keterpaksaan. "Hai om, tante. Aku Regan" ujar nya dengan senyuman dan menyalami Bara dan Rosa bergantian.
"Anak kedua Alex dan Liana ya?" tanya Rosa tak kalah dengan senyuman manis wanita itu.
Regan mengangguk singkat. "Ganteng-ganteng loh anak kamu Alex." kali ini Bara yang membuka suara.
"Keturunan bapak nya itu." celetukan Alex membuat Bara dan Rosa tertawa.
Setelah Regan. Di lanjut dengan Digta dan di akhiri oleh Ralin.
"O iya. Sampai lupa. Kenalin dulu dong ini keponakan dan anak aku." Kini giliran Rosa yang memperkenalkan. Seorang gadis yang baru saja datang bersama dengan seorang cowok.
Semua mata langsung tertuju pada dua orang yang mendekat itu. Ralin tertegun sekaligus kaget dan tidak percaya bahwa orang itu adalah...
"Genta! Tata!" seru nya pelan, namun masih dapat terdengar oleh semua orang.
"Ralin!" balas mereka serempak.
"Loh kamu udah kenal?" tanya Liana pada putri nya itu.
Ralin tersenyum dan mengangguk. "Mereka anak baru di Saga, dan Genta sendiri, teman Ralin dulu waktu SMP." jelas Ralin.
Genta mengangguk, tak kalah dengan senyuman menawan milik cowok itu. "Wah bagus dong kalau kalian udah saling kenal." kata Rosa.
Genta dan Tata menyalami Liana dan Alex, di lanjut dengan ke tiga putra keluarga Alexander.
"Ya udah, berhubung udah selasai nih kenal-kenalan nya. Kita ke meja makan lagsung aja." seru Alex.
Mereka berjalan menuju meja makan, disana telah tersedia berbagai hidangan yang menggugah selera. Kursi yang biasa nya kosong kini telah di isi oleh keluarga Baskara.
Rosa menatap sekeliling rumah besar milik teman lama nya itu. Tapi perhatian nya terhenti pada foto besar yang terpajang di sana. Gadis manis denhan senyuman yang menambah kcantikan gadis itu.
"Itu siapa?" pertanyaan Rosa lantas membuat semua mata tertuju pada apa yang di tunjuk nya.
"Oh itu Ruby. Dia anak kelima kita, kembaran Ralin." jawab Alex, seraya melirik pada Liana. Seakan bertanya dimana keberadaan Ruby.
Liana sendiri justru menggeleng pelan. "Lalu dimana dia?" kali ini Bara yang bertanya melirik Liana dan Alex bergantian.
"Oh Ruby, dia--" Liana bingung harus menjawab apa. Karna dia tau pasti putri bungsu nya itu tengah menghabiskan hari bersama teman-teman satu genk nya. Di tambah lagi, tadi siang dia mendapat laporan bahwa putri bungsu nya itu kembali mencari masalah di sekolah. Alhasil dia menarik mobil gadis itu, dengan tujuan agar gadis itu tidak bisa kelayapan. Tapi lihat lah sekarang, dia tidak ada di tengah-tengah makan malam ini.
Ralin melirik mami nya yang terlihat bingung untuk menjawab apa. Dia tahu, bahwa mami nya tengah mencari alasan apa yang tepat, agar papi tidak curiga. Pasal nya, papi tidak tahu bahwa Ruby kembali membuat masalah.
"Ruby tadi wattshap Ralin, kata nya dia ada pengejaran materi sama teman-teman nya karna libur kemarin." jawab Ralin memecah keheningan di ruangan itu.
Rosa da Bara mengangguk. Tapi tidak dengan Genta dan Tata. Dua orang itu hanya diam, seraya menatap Ralin yang tersenyum paksa ke arah mereka. Meminta agar mereka tidak membuka mulut masalah pembullyan yang terjadi pada Tata tadi siang di sekolah. Genta mengangguk pelan, begitu pun dengan Tata walau gadis itu sedikit terpaksa.
"Loh kenapa dia gak bilang sama papi tadi pagi?" Alex mentap Ralin.
"Oh itu Pi. Mendadak" jawab Ralin seada nya sambil tersenyum kikuk.
Liana melirik Ralin. Dia tersenyum tipis, meliht bagaimana putri nya itu melindungi saudara kembar nya. Bukan hanya Liana, tapi Genta juga menatap gadis itu yang begitu melindungi Ruby, yang notabene bersikap kurang baik kepada gadis itu.
Dari dulu lo emang berjiwa besar Lin. Genta membatin.
☔☔☔☔☔
Sementara keluarga nya tengah di datangi tamu. Ruby justru tengah nongkrong bersama teman-teman satu genk nya di sebuah cafe. Sudah terhitung tiga jam mereka duduk disana, bahkan makanan dan minuman yang di pesan juga sudah habis.
Helaan nafas terdengar dari Yuma. Gadis iru bersandar di kursi dengan wajah bosan. "Ngapain sih kita disini? Kalau cuman buat main handphone doang." keluh nya.
Penghuni meja menatap ke arah Yuma kecuali Ruby. Dia masih fokus dengan ponsel nya. "Mending juga di rumah, kalau buat main ponsel doang." lanjut gadis itu sembari memutar-mutar ponsel nya di tangan.
Perkataan kedua Yuma membuat Ruby menghentikan aktivitas nya bermain ponsel. Lalu menatap satu persatu penghuni meja. Dan berhenti pada Yuma.
Yuma menelan saliva nya pelan, saat tatapan dingin milik leader nya itu berhenti pada nya. Sedangkan Ranaya, Stefi dan Nesya saling tatap satu sama lain.
"Gue gak maksa buat ikut." seruan dingin dan singkat itu menciptakan keheningan kembali. Ruby bangkit dari duduk nya, dan meraih jaket serta tas nya. Lalu beranjak dari meja dan keluar dari cafe itu.
Ranaya menghembuskan nafas lega. "Elo sih Yum, pake acara protes, ikutin aja kali. Untung lo gak di makan sama Ruby." hardik nya pada satu teman nya itu.
"Ya sorry." balas Yuma dengan wajah meringis.
"Ruby cabut tuh!" kata Stefi sembari menatap taksi yang di naiki oleh Ruby barusan telah meninggalkan cafe. "Mau kemana sih? Gak biasa nya dia pulang jam segini." lanjut nya melirik jam di pergelangn tangn nya.
Masih pukul 7.
"Keluarga Alexander lagi kedatangan tamu. Dia di suruh pulang sebelum jam 7." jawab Nesya dengan suara tenang milik nya.
"sebelum jam tujuh?" Ranaya bertanya, dan dianggukan oleh Nesya. "Lah ini kan udah jam 7. Berarti dia telat dong?"
"Kayak gak tau Ruby aja. Kalau gak ngelanggar omongan orang tua sehari aja, dia mungkin sakit kali." Timpalan asal Stefi membuat Ranaya dan Yuma terkekeh pelan.
Sedangkan Nesya hanya diam, tidak menanggapi apa-apa. Mata nya menatap pada ponsel, namun tidak dengan pikiran nya. Pikiran nya justru tertuju entah kemana.
☔☔☔☔☔
Taksi yang di tumpangi Ruby berhenti tepat di depan pagar tinggi rumah nya. Sebelum dia keluar, dia meliht sebuah mobil toyota alphard terparkir di halaman rumah. Mobil yang baru pertama kali di lihat nya datang ke rumah.
Tidak ambil pusing, Ruby meraih tas nya dan keluar dari taksi, setelah membayar nya terlebih dulu. Bi iyem, pembantu rumah nya sudah menyambut mya dengan wajah panik.
"Ya ampun non! Dari mana aja?" tanya wanita paruh baya itu dengan suara cepat dan sarat akan kepankikan.
"Kenapa sih?" tanya Ruby menatap Bi iyem.
"Di dalam nyonya, tuan, sama saudara-saudara non udah nunggu non dari tadi." jelas Bi iyem.
Ruby menghela nafas nya pelan. "Tamu nya udah datang?" tanya nya kembali, tanpa menghilangkan raut datar di wajah nya.
Bi iyem megangguk. Dan Ruby langsung berlalu masuk. Tidak ada perasaan takut, apalagi bersalah saat kaki nya melangkah, karna sudah pulang telat, tidak sesuai dengan perintah mami nya.
"Nyonya itu non Pricil." itu adalah suara Mbak Siti, pembantu kedua setelah Bi Iyem di rumah bak istana ini.
Bukan hanya Liana, semua mata kini tertuju ke arah ambang pintu, dimana Ruby berdiri dengan menyandang sebelah tali tas nya, dengan seragam yang di baluti jaket kulit hitam bertuliskan BlackHeart.
Orang yang di tatap justru hanya diam, dan ikut menatap dingin mata semua penghuni meja makan satu persatu. Mata nya berhenti lama pada seorang gadis yang masih di ingat nya, gadis yang tadi siang melawan nya di kantin. Dan, seorang cowok yang berjalan bersama Ralin di parkiran tadi siang.
Tanpa berniat mengunjungi tamu-tamu itu. Ruby melangkah menuju tangga, tanpa berbicara apa pun.
"Darimana kamu?" suara Liana lah yang membuat langkah gadis itu berhenti di anak tangga pertama. "udah jam baerapa ini? Mami tadi pagi nyuruh pulang jam berapa?" Liana kembali bersuara lagi dengan nada berang nya.
Tanpa berbalik sama sekali. Ruby menjawab. "Kan udah bilang gak janji." hanya kata-kata singkat, namun membuat seisi ruangan itu terdiam, terlebih keluarga Baskara. Dia tidak menyangka jika sikap satu anak Alexander seperti itu.
Ruby sudah hilang di balik pintu kamar yang tertutup. Keheningan tercipta di ruangan makan itu, sibuk dengn pikiran masing-masing. Bara dan Rosa saling pandang satu sama lain, seakan mempunyai isi pikiran yang sama.
Genta menatap pintu kamar yang tertutup itu. Hingga sebuah suara hadir di samping nya. "Emang dasar nya kurang aja. Sama keluarga sendiri aja kayak gitu." bisikan itu berasal dari Tata yang duduk di samping nya.
Genta tidak merespon, dia hanya diam. Tapi otak nya membenarkan ucapan Tata. Dia sempat berpikir bahwa sikap Ruby yang seperti itu kepada semua orang hanya terjadi di sekolah. Tetapi saat melihat kejadian tadi, justru sikap dingin itu juga di tujukan pada keluarga nya sendiri.
"Ya sudah, kita lanjut lagi. Nanti Ruby pasti turun." Alex memecah keheningan itu dengan suara nya.
☔☔☔☔☔