'Ting'..bunyi notifikasi w******p ponsel berbunyi, Shiela yang sedang mencuci muka segera menyelesaikan dan meraih ponsel dari atas meja riasnya.
“Shiela..belum tidur?” pesan dari Sean.
“Belum.” jawab singkat Shiela.
“May I call you now?” sekali lagi pesan masuk dari Sean.
Belum wanita itu memberikan jawaban, terdengar deringan telepon dari speaker ponsel Shiela. "Dih...nanya tapi maksa gini ya.. angkat gak yah?” batin Shiela menimbang.
“Hahaloo…Sean” akhirnya Shiela memutuskan untuk menjawab panggilan dari Sean.
“Hallo Shiel, aku mengganggu kamu?" tanya Sean, sekali lagi dia bertanya tetapi tidak menunggu jawaban, pria itu melanjutkan kalimatnya “Hm…aku mau ajak kamu besok ke suatu tempat. Apakah kamu ada waktu?” terdengar suaranya seperti ada keraguan dan penyesalan. Namun besar harapan Sean agar Sheila menerima ajakannya.
“Mm…gimana ya?” Shiela bertanya balik kebingungan mau jawab apa. Hatinya ingin mengiyakan, namun logika menyuruh sebaliknya.
"Ayolah...demi hubungan kita dulu. Aku janji kamu pasti suka deh" bujuk pria itu dengan hati berdebar.
“Jam?” tanya Shiela, dia tidak tahu di tempatnya Sean sedang berjingkrak kesenanagan.
“Jam sepuluh aku jemput kamu ya” cepat cepat Sean menjawab takut wanita itu berubah pikiran. “Besok yah, tunggu aku jam sepuluh, good night Shiel, sweet dream” ….sayangku, tentu saja kata terakhir diucapkan Sean di dalam hatinya yang sedang berbunga bunga.
"Yes, it’s a date!" seru Sean setelah memastikan sambungan telpon dengan Shiela tertutup. Malam itu Sean tidur dan bermimpi indah tentang Sheila.
Jam 9 pagi Sean sudah menekan bel di rumah Shiela, pagi itu dia mengenakan celana panjang berwarna khaki dan dipadukan dengan kaos tanpa kerah berwarna putih.
“Pagi tante, om” sapa Sean ketika memasuki ruang tamu Shiela.
“Ohh Sean..pagi..apa kabarnya? Sudah lama tidak bertemu ya? “sahut Mami Shiela. “Tunggu sebentar, Shiela tante panggilkan ya” sembari menaiki anak tangga. Sean mengangguk dan duduk di ruang tamu, ditemani papi Shiela.
"Sekarang bekerja dimana Sean?” Papi Sheila membuka percakapan dengannya. “Oh..di Department Store Celestial om, sebagai merchandise” jawab Sean diikuti anggukan kepala pria setengah baya itu.
“Sean” suara Shilea membuyarkan lamunannya. Mata Sean beralih mencari arah datangnya suara yang dirindukannya. dan serasa dunia berhenti ketika dirinya beradu pandang dengan Shiela. Penampilan Shiela pagi itu sungguh menunjukkan siapa dirinya. Seorang gadis sederhana dan menarik. Shiela menggunakan dress selutut motif bunga kecil berwarna biru muda, dipandu dengan cardigan putih serta flat shoes putih. Simple dan elegan, kedua kata itu yang terpikirikan oleh Sean.
Sambil menelan salivanya, Sean memberikan senyum terbaiknya lalu membangunkan dirinya berjalan mendekati Shiela. Setelah berpamitan dengan kedua orang tua Shiela, Sean menggenggam tangan wanita itu dan menuntun hingga ke mobilnya.
“Kemana kita Sean?” tanya Shiela ketika sudah berada di dalam mobil Sean. “Ketempat favorit kita Shiel. Kamu masih ingat kan?”
Tentu saja Shiela tidak akan melupakan tempat itu, rumah makan dipinggir tebing di daerah puncak menjadi tujuan mereka setiap ada kesempatan. Suasana yang sepi dan sejuk, dengan pemandangan tebing diselimuti pepohonan rindang. Sungguh tempat yang tepat untuk mengahabiskan waktu bersama pasangan.
Sesampainya di sana, Sean memesan makanan dan minuman favorit mereka. Shiela sedikit kagum ternyata pria itu masih sama seperti dulu. Mereka memilih tempat duduk yang menghadap tebing yang menampilkan pepohonan dengan rumah sederhana diantaranya. Duduk berdampingan seperti waktu dulu membuat Shiela salah tingkah, berulang kali dia mengatakan pada dirinya sendiri kalau mereka tidak seperti dulu lagi, tepatnya dirinya bukan Shiela yang lugu dan murni.
Sesaat mereka saling beradu pandng, Shiela memalingkan tatapannya ke arah lain. Dirinya tidak kuat menatap Sean berlama lama, khawatir pria itu dapat membaca pikiran Shiela.
“Ada yang hendak kamu bicarakan Sean?” ucap Shiely, memecah kesunyian dan kecanggungan diantara mereka.
“Haruskah setiap kali aku hendak bertemu kamu, ada hal yang harus kubicarakan?” tanya Sean kembali dengan gusar. "Aneh...semalam dirasanya Shiela telah membuka hati untuknya, kenapa pagi ini Shiela berubah menjadi dingin kembali?" batin Sean
“Apakah Mila mengetahui kita pergi bersama Sean? Kulihat hubungan kalian semakin baik dan ...” Suarnya tercekat, tidak sanggup menyelesaikannya, tetiba ketakuan akan kenyataan menyergapnya.
“Shiel, aku dan Mila tidak ada hubungan apa apa, Kami hanya berteman” ucap Sean seraya memindahkan tubuhnya bersatu dengan kursi panjang yang diduduki Shiela.
“Sean, tidak perlu menutupi hubungan kalian. Hubungan kita telah berakhir lama, dan kamu bebas untuk mencari pasangan lain. Bila memang wanita itu Mila, Iam fine." ucap Shiela dengan hati terluka. Ya, ternyata hatinya masih terkunci pada pria ini padahal bersusah payah dia melupakan Sean dan menjalani lembar hidup baru di Amerika.
Sean tertegun, sebegitu tidak percayakah Shiela padanya? Apakah benar wanita itu benar benar telah melupakan kisah cinta mereka? Namun, nalurinya berkata lain. Dia yakin Shiela masih menyimpan cinta mereka. Sean dapat membaca perasaan itu melalui sorot mata Shiela ketika dia melihat dirinya bersama Mila malam itu. Cemburu.
Dia menghela napas, menyugar rambutnya. Hari ini dirinya harus memberikan penjelasan agar kesalah pahaman diantara mereka tidak semakin dalam.
“Shiel, kira kira setahun yang lalu Mila mencoba untuk bunuh diri dengan menelan sebotol obat tidur. Dia menulis surat perpisahan padaku dan mengatakan bahwa tidak bisa hidup tanpaku." Sean diam, dia membayangkan betapa mengenaskan kondisi Mila saat ditemukan di kamarnya."Mila berhasil diselamatkan, dan aku merasa bersalah padanya." lanjutnya.
"Tapi aku tidak mencintainya Shiel, aku hanya kasihan padanya dan sebisa mungkin memenuhi permintaannya" Sean buru buru menegaskan perasaan hatinya sebelum Shiela mengambil kesimpulan. "Seperti kemarin Mila memintaku menemaninya membeli hadiah untuk kerabatnya” ucap Sean. Perasaanya lega setelah mengutarakan kisah Mila.
"Baiklah,, sudah jelas sekarang pilihanmu. Lantas buat apa kita masih bertemu kembali Sean?” sahut Shiela. Baginya pria itu bersedia berkorban, bahkan mengorbankan perasaannya demi melindungi Mila.
“Masihkah kau belum dapat mengartikan perasaanku padamu? Aku mencintaimu Shiel! Dulu, sekarang dan selamanya" Sean menggenggam tangan wanita itu, tidak habis pikir bagaimana jalan pikiran Shiela. Sudah jelas dari ceritanya tadi dia mengatakan kalau dirinya tidak mencintai Mila.
"Aku hanya membantu teman yang sedang membutuhkan bantuan. Tidak lebih dari itu. Kaulah cinta pertama dan terakhir ku Shiel. Please believe me!” Sean mendekatkan genggaman tangannya pada d**a kirinya. "Setiap jantungku berdetak, setiap napasku berhembus hanya kamu yang ada dalam hatiku. I love you Shiela"
Shiela menggelengkan kepalanya dan tak kuasa menahan air matanya lagi. Tumpah membanjiri pipinya. “Tidak mungkin Sean, kita tidak mungkin dapat bersama lagi, aku bukan Shiela yang kamu kenal dulu” bisik Shiela disela sela isak tangisnya.
Sean merengkuh tubuh mungil Shiela ke dalam pelukannya dan menjadikan pundaknya sebagai tempat wanita itu melepas emosinya hingga tenang. Kemudian Sean mencium kening Shiela “Mungkin saja Shiel, asal kamu disampingku, segalanya menjadi mungkin” bisik Sean lembut "I am willing to sacrifice anything to be with you" tambahnya dengan penuh perasaan cinta yang membuncah dalam hatinya.
Dalam pelukan hangat pria itu, Shiela mengatur kembali emosinya sambil menyelami hatinya. desiran angin menemani sepi. Mereka tenggalam dalam pikiran mereka sampai akhrinya Sean memecah keheningan “Do you still love me Shiel?”
Shiela melepas pelukan mereka dan menjauhi tubuhnya walaupun hati tak berkenan. Dirinya belum siap untuk memulai hubungan dengan pria, terlebih jika pria itu adalah Sean. Dia tidak ingin hatinya kembali terluka jika Sean mengetahui apa yang telah terjadi padanya. Lebih baik Shiela menikmati kesendiriannya dari pada tragedi itu terkuak dan mengecewakan keluarganya.
Melihat sikap Shiela yang berubah menjadi dingin, dirinya mengurungkan niat untuk mendapatkan jawaban. Sean tidak ingin wanita itu kembali mendirikan benteng tinggi diantara mereka diman baru saja dia dirasakan hati wanita itu mulai melunak.
Di dalam benaknya, pria itu bertanya tanya kenapa Shiela berubah. Apa yang terjadi padanya selama 3 tahun ini? Sesuatu yang burukkah? Ahh..jika memang demikian, betapa menyesalnya diriku tidak berada disampingnya menemai Shiela melewati masa itu. Mereka kembali ke Jakarta setelah matahari terganti oleh Bulan. Selama di mobil Shiela tertidur dengan sisa air mata di wajahnya. “Apa yang membuatmu berubah? Mengapa kamu tidak berbagi denganku?” batin Sean dalam hati sambil mengusap rambut Shiela dengan lembut. “I love you Shiela” bisik Sean ditelinga Shiela ketika mobil berhenti di lampu merah.