#14 Tegar

1536 Words
"Lantas bagaimana pap?"raut wajah Tina terlihat cemas. "Yah...kita harus tetap mencantumkan apa adanya. Tidak mungkin berbohong mengenai hal ini" jawabnya. "Sudahlah...sekarang yang penting kesembuhan Shiela. Urusan lain kita pikirkan belakangan saja." jawab Handoko dengan tegas. Handoko menghubungi pemilik apartemen yang dia sewa untuk membicarakan tentang perpanjangan masa sewa dan menegosiasikan kembali biayanya. Tidak tanggung tanggung, Handoko berniat untuk menyewa selama enam bulan. Bukan tanpa pertimbangan, setelah berdiskusi dengan Dokter Matthew dia menyimpulkan bahwa pengobatan yang akan dijalani Shiela akan memakan waktu cukup lama. Shiela sangat menyukai apartmen yang sekarang mereka tinggali, suasananya tenang, besih dan menghadap ke laut. Sangat sempurna menurutnya. Handoko bernapas lega melihat Shiela menyukainya, Bagi Handoko, putri kesayangannya harus merasa senyaman mungkin agar dapat menjalani pengobatannya. Sekembalinya mereka dari apartmen, mereka membantu Shiela memisahkan barang barang yang akan dibawa ke rumah sakit dan ditinggal di apartemen. Ketika membereskan tas kosmetik, Sean menemukan sebuah kalung emas putih yang pernah diberikan pada Shiela ketika mereka baru saja lulus SMA, sebagai hadiah kelulusan Shiela. "Shiela, kenapa kalung ini tidak dikenakan?" "Hmm...enggak apa apa..." Shiela berusaha menutupi rasa gugupnya. Dia mengutuk dirinya karena terledor meletakkan kalung itu sembarangan. Sebuah kalung emas putih dengan pendant berbentuk hati bertahtakan batu ruby berwarna merah kini siap untuk dikenakan pemiliknya kembali. "Tiga tahun silam, aku mengenakan kalung ini padamu, dan semanjak saat itu kuserahkan hatiku, cintaku hanya padamu. Kenakanlah selalu sayang. Pendant ini melambangkan cintaku yang sempurna padamu." Sean memutar tubuh Shiela dan menyibakkan rambut Shiela agar dapat memasangkan kembali perhiasan tersebut. "Kuharap dengan kehadiran kalung ini dapat menggantikanku jika sedang tidak berada didekatmu sayang...." bisik Sean " Dan..dan.. "dengan terbata Sean berusaha menyelesaikan kalimatnya sambil menahan air mata yang turun dari sudut matanya. "Dan, kuharap dapat membuatmu lebih kuat dalam menghadapi cobaan ini." akhirnya Sean dapat mengutarakan kesedihan hatinya. Dirinya memeluk tubuh mungil Shiela agar dapat merasakan kehangatan tubuh wanita itu. Tetiba hatinya dirasuki perasaan takut kehilangan. Shiela tertidur dalam pelukan Sean yang hangat, dengan sangat hati hati dia merebahkan Shiela di ranjang dan menyelimuti tubuh kekasihnya itu. Tidak lupa memberikan kecupan singkat pada kening Shiela "Sweet dream.." Perasaan Sean sedari tadi terusik dengan sebuah pesan yang masuk, pesan dari Mila yang menanyakan tentang keberadaannya. Memang sengaja dia tidak memberitahukan wanita itu mengenai kepergiannya, juga meminta keluarganya untuk diam. Sementara teman di kantor mengira kepergian Sean adalah tugas dari kantor. Untuk sementara waktu, Sean dapat terbebas dari Mila. Tetapi dia sadar bahwa perempuan itu tidak bisa dibohongi terus menerus, suatu saat nanti pasti kebenaran akan terkuak dan tentu saja Sean khawatir pada saat itu Mila akan mengulangi perbuatannya dulu. Otaknya berputar dan berpikir keras mencari jalan keluar yang terbaik bagi mereka semua, tetapi semakin dipikirkan dirinya menjadi kesal sendiri karena tidak menemukan solusi sampai akhirnya dia tertidur disamping Shiela. "Sean...." suara panggilan Shiela membangunkan Sean, "Huhhh....hemmm...."Sean membuka kelopak matanya perlahan, dan dihadapannya kini telah hadir seorang malaikat yang tengah tesenyum padanya. "Ahh..yaa sayang.." sahut Sean sambil tersenyum. "Senang rasanya jika setiap pagi ketika kubuka mataku dan melihat kamu yang tersenyum seperti ini." ucap Sean. Shiela tidak menjawab, dia hanya tersenyum dan mencium kening Sean perlahan dan cukup lama. Wanita itu ingin mengenang momen tersebut di dalam hatinya. "Same here....I wish we can be like this forever. Tetapi...semua itu kupasrahkan pada Tuhan..." desah Shiela. Kekhawatiran dirinya tidak dapat melawan penyakit ini mengerogoti perasaannya dan semakin lama tipis harapan untuk dapat menikmati hari tua bersama kekasihnya Dengan ditemani Handoko, Shiela berjalan beriringan dengan menggandeng lengan papinya. Hening menemnai langkah mereka, masing masing bermain dengan pikiran sendiri. "Shiela, kamu harus tegar menghadapi semua ini. Ingat, ada kami selalu disampingmu. Jangan putus asa." ucap Handoko memecah keheningan yang terjadi. "Hmm...semoga Shiela kuat pap" jawabnya dengan nada pesimis. "Kok lemas....kamu perempuan yang kuat, pasti bisa melewati semua ini. Bukankah kamu ingin menikah dengan Sean?" Handoko memberikan semangat untuk putrinya. "Kita lihat saja nanti pap...Shiela tidak mau berharap banyak. Takut kecewa..." Hari ini, Shiela dipersiapkan untuk mengikuti serangkai tes agar Dokter Mathew lebih mengenal penyakit tersebut dan membuat rencana untuk melawannya. Handoko telah kembali ke apartemen sementara Sean yang kini bergantian menemani Shiela. Di dalam kamar rawat yang cukup besar, mereka bersenda gurau seperti tidak ada beban yang tengah menghimpit mereka. Dokter Mathew datang dengan membawa berita mengenai hasil pemeriksaan tadi pagi, "Shiela..kami memutuskan kamu sudah siap untuk mengikuti proses perawatan kemoterapi. Besok pagi kita mulai" Sean menggenggam tangan Shiela, memberikan kekutaan "Kamu bisa Shiela" bisiknya. Mendengar ucapan pria yang memegang kunci hatinya, perasaan Shiela menjadi tenang. Dia menganggukan kepala tanda setuju pada Dokter Mathew. "Baiklah, kita mulai besok Dokter" jawabnya. "Ok Then...tomorrow ten o'clock we can start." ujarnya tersenyum dan mengucapkan selamat malam pada mereka berdua. "Sweet couple" ucapnya dalam hati. Kehadiran kedua orang tuanya malam hari menambah ramai suasana. Sangat terasa sekali bagaimana Handoko dan Tina sangat menyayangi Shiela, tak hentinya Tina membelai dan mencium puncak kepala putrinya. Handoko setuju dengan rencana Dokter Mathwe dan sekali lagi memberikan nasihat pada Shiela agar tegar menghadapinya. Ketika Shiela sudah tertidur, Sean masih sibuk dengan pekerjaannya. Sebenarnya Sean hanya diberikan waktu cuti 5 hari saja oleh kantor. Tapi sepertinya dia harus memperpanjang masa cutinya. Dilirik jam dipergelangan tangannya, baru jam 9 di Jakarta, dia masih bisa berkomunikasi dengan Robert atasannya. Dikirimnya pesan w******p ke Steven "Hello Robert.." Tak lama terlihat Steve sedang mengetik "Hai Sean...bagaimana kondisi Shiela?" jawab Robert. Memang Sean sudah menceritakan alasan dia mengambil cuti panjang ke atasannya itu, dan tak disangka respon Robert sangat baik. Dia malah menyarankan untuk mengambil cuti lebih lama lagi... "Robert...aku tidak enak nih sama kamu dan teman teman di kantor. Sepertinya aku harus memperpanjang cutiku.Shiela besok baru akan di kemo, dan gak tau kondisinya setelah kemo bagaimana." jelas Sean. "Atau aku ajukan unpaid leave?" lanjutnya. Sean pasrah pada keputusan Robert. Jika memang tidak diperbolehkan dia malah nekat untuk berhenti dari pekerjaannya. Menurutnya saat ini Shiela adalah yang terpenting dibandingkan dengan masalah apapun di dunia ini. "It's ok, dan mengenai unpaid leave besok saya harus bicarakan dulu dengan HRD dan Big Bos ya.Saya kabari, maybe sorean sekalian besok saya ada meeting dengan Pak Bagas. How is Shiela?" tanyanya lagi. Lega hati Sean membaca jawaban atasannya. Beruntung dia mendapatkan atasan seperti Robert yang penuh pengertian. "Kondisinya baik, makanya dokter menyarankan untuk segera melakukan proses kemo besok. Thanks for asking." ketiknya. Setelah membicarakan mengenai perkembangan pekerjaan mereka, diucapkan selamat malam tanda mengakhiri percakapan tersebut. Dari tempat duduknya, dipandangi Shiela yang sedang terlelap. "Ah...tak ada bosannya kupandangi wajah Shiela" gumamnya. Lalu melangkahkan kaki mendekati ranjang Shiela, diperbaiki posisi selimutnya dan dikecup kening Shiela lantas kembali ke sofa bed. Sebelum memejamkan matanya, Sean berdoa agar imannya dikuatkan dan tidak lupa mendoakan Shiela. Sean terbangun ketika mendengar suara Shiela. Dibuka matanya, Shiela sedang berbicara dengan perawat yang tengah mengambil sampel darah ke lab atas permintaan Dokter Matthew. "Morning Sean...maaf yah kamu jadi terbangun" senyum Shiela. "Terbangun dan melihat kamu tersenyum? itu adalah berkat namanya sayang." dihampiri Shiela dan dikecup keningnya. "Aku mandi dulu yaaa" ujar Sean melepas kecupannya dan bergegas ke kamar mandi. Pukul sembilan pagi Handoko dan Tina sudah sampai di rumah sakit. Seperti janjinya semalam, pagi ini Shiela dibawakan sup brokoli kesukaannya. Tina bersikeras ingin menyuapi Shiela padahal putrinya telah menolak berkali kali "Mami jadi ingat waktu kamu kecil dulu....kira kira umur enam tahun. Merengek minta dibuatkan sup brokoli, lalu dengan lahap menghabiskannya dalam waktu singkat." ujar Mami Shiela "Ya..sampai papi tidak kebagian ya mam." tambah Handoko. "Hmm...doyan dan lapar itu beda tipis tante.." gurau Sean dan mendapatkan sorotan tajam dari Sheila. Lima belas menit sebelum pukul sepuluh pagi, Dokter Mathew telah datang berkunjung. Sekali lagi dia memeriksa kondisi fisik Shiela dan menganggukan kepalanya. "Well...you are in good condition now. Shall we ?" tanyanya kepada Shiela. Dijawab dengan anggukan dan sebuah senyum. Lalu Dokter meminta perawat untuk membawa obat-obat yang sudah disiapkan sebelumnya. Sekantong cairan bening dan jarum suntik dengan tabungnya telah siap di samping ranjang Shiela. "Dokter, itu semua masuk kedalam tubuhku?" tanya Shiela dengan suara bergetar. Merinding dia melihat semua itu, "Tenang sayang..." ucap Tina. Wanita setengah baya itu paham bagaimana perasaan putrinya saat in karena ejak kecil Shiela sangat takut dengan jarum suntik. Perawat dengan sigap memasangkan alat infus dipunggung tangan kanan lalu menyambungkan selang ke salah satu tabung plastik yang berisi cairan bening tersebut. Perlahan cairan itu mulai menetes dan mengalir kedalam tubuh Shiela melalui selang infus. Handoko menggengam erat tangan istrinya, saling menguatkan. "Well...infus ini akan selesai dalam waktu kurang lebih 3 jam, lalu Shiela dapat beristirahat." ucap Dokter Matthew "I will be back later. Don't worry, Saya akan memantau proses ini. You are in good hand, trust me." lanjutnya ketika dilihat raut wajah Shiela berubah cemas. Handoko sedang mengetik pesan singkat kepada sekretarisnya, ada berkas berkas yang harus ditandatanganinya dan tidak bisa menunggu. "Besok saya kembali ke Jakarta, kamu siapkan semua karena sorenya saya langsung terbang lagi ke Singapura" ketiknya lalu menarik napas panjang dan membuangnya perlahan, takut mengganggu Shiela. Sementara itu Tina sendang membuka gallery foto di smart phonenya. Digeser satu persatu foto didalamnya, lalu terdiam ketika melihat foto lama ketika Shiela masih kira kira berumur 4 tahun. Di foto itu Shiela sedang digendong oleh Handoko, tersenyum lebar sambil memperlihatkan giginya yang sebagian ompong. Senyum Shiela mengingatkannya pada seorang wanita, yang walaupun Tina berusaha melupakannya namun pada saat saat seperti ini kenangan buruk itu muncul kembali.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD