six: perjodohan

1435 Words
"Aduh!" Serempak beberapa orang yang berada di dalam ruangan tempat di mana karyawan di Marsha WO biasa berkumpul menoleh. Mereka melihat bos mereka, Marsha yang baru saja keseleo dan hampir jatuh jika tidak berpegangan pada meja. Beberapa karyawan pun mendekati Marsha termasuk Jane. "Nggak papa, mbak?" tanya Jane sambil melihat Marsha yang masih berusaha berdiri. "Sakit sih.. tapi nggak apa-apa.. hampir keseleo aja," jawab Marsha. "Aku bantu mbak ke ruangan ya, nanti aku pijat." Jane menawarkan diri. "Eh.. nggak usah repotin Jane, aku beneran nggak papa kok." Jane tidak menuruti perkataan Marsha, dia sudah memapah Marsha menuju ruangan wanita itu dan mendudukannya di sofa. Jane membantu melepas high heels dengan tinggi 10 cm yang dipakai Marsha. Ngeri juga jika benar-benar keseleo karena tinggi high heels yang dipegangnya itu lumayan tinggi. Pikir Jane. "Aku ambil kotak P3K dulu ya, mbak," pamit Jane. Dan beberapa saat kemudian dia sudah kembali duduk di sofa dan memangku kaki Marsha. Jane mengeluarkan balsem dari kotak P3K dan mengoleskannya pada bagian tumit Marsha dan memijatnya pelan. Marsha terlihat beberapa kali meringis kesakitan karena itu. "Mbak lagi banyak pikiran ya?" celetuk Jane setelah beberapa menit dia memijat kaki Marsha. "Keliatan ya?" Marsha meringis bukan karena sakit kali ini, melainkan karena beban pikirannya yang bisa dibaca oleh orang lain. "Dari tadi pas briefing pagi tuh mbak udah nggak konsen dan pas kita kumpul buat bahas desain nikahan pejabat daerah itu mbak cuma ngangguk-ngangguk aja," tutur Jane menceritakan bagaimana perilaku Marsha dari pagi hingga wanita itu akhirnya keseleo mungkin karena kurang fokus saat berjalan jadi tidak hati-hati. Marsha menunduk sebentar lalu terlihat dia menarik nafas dan menghembuskannya. "Aku dijodohin, Jane." Mata Jane membeliak. Ya ampun, secantik Marsha saja yang sudah banyak pria yang ngantri dan tinggal pilih juga masih perlu dijodohkan. "Balik jaman Siti Nurbaya lagi deh," seloroh Marsha, tapi wajahnya muram. "Mbak nggak suka sama calonnya?" tanya Jane. Marsha mengedikkan bahunya. "Aku belum ketemu sama dia dan nggak mau tahu juga.. aku itu nggak mau dipaksa kayak gini.. tapi mama ngancem kalau dia bakal nolak minum obat hipertensinya kalo aku nolak," jawab Marsha, kini kekalutan tampak di wajahnya. "Em.. rumit ya ternyata," komentar Jane. Dia tidak berani berbicara banyak. "Iya.. Lusa kami akan diketemukan. Dan aku harus ke Jakarta." "Orang Jakarta calonnya mbak?" Marsha mengangguk. "Dan dia itu duda." Sekali lagi mata Jane membeliak. Dia tidak habis pikir kenapa orang tua Marsha bisa menjodohkan Marsha pada duda? Marsha itu cantik bak model victoria secret menurut Jane. "Duda karena istrinya meninggal atau cerai?" "Istrinya meninggal, sekitar 3 tahun lalu katanya." Jane manggut-manggut saja. Dia tidak berani berkomentar banyak karena segan juga kepada Marsha, dia pun tidak ingin mencampuri urusan orang lain. Hidupnya saja sudah begitu pelik. Tapi setidaknya dia masih punya ibu yang mau mendukung keputusannya untuk menjadi seorang single parent meski tidak diberitahukan siapa ayah dari anaknya. Ya, sampai sekarang mama Jane belum tahu siapa ayah dari cucunya itu. Jane menolak memberitahu karena dia tidak ingin urusan ini menjadi panjang. Jane juga tidak mau jikalau ayah dari Panji merebut Panji darinya. Atau jika ayah Panji menawarkan pernikahan, namun semata-mata hanya karena tanggung jawab. Karena Jane tidak mau pernikahan yang seperti itu. Dia bahagia hidup seperti ini, menjadi single parent dan menikmati perannya kini. Jane senang melihat pertumbuhan anaknya yang kini berusia lebih dari 2 tahun dan hampir 3 tahun. Lagi pula sepertinya dia tidak akan menikah seumur hidupnya. Karena Jane merasa hidupnya sudah lengkap bersama Panji. Anaknya itu adalah anugrah terbesar yang pernah dia terima dari Tuhan. Dan untuk hal ini, Jane amat berterima kasih pada Satya yang sudah menyumbangkan benihnya di tengah kekacuan hidupnya karena dia dinyatakan mandul. Ternyata keajaiban itu memang ada. *** Satya pulang ke rumah orang tuanya karena Jasmine sedang ada di sana bersama kakek dan neneknya. Karena memang baisanya jika hari Jum'at, Sabtu, dan Minggu Jasmine selalu minta untuk menginap di rumah kakek dan neneknya, sebab banyak temannya yang seumuran dengan Jasmina, anaknya bisa bermain di taman komplek yang letaknya berhadapan langsung dengan rumah orang tuanya. Satya tidak keberatan soal itu. Dia sendiri kadang masih kewalahan menghadapi Jasmine, apalagi sekarang dia sudah masuk SD. Dimana berbagai hal mulai merasuki otak anaknya tanpa bisa dibendung jika bukan melalui pendidikan moral yang disiapkan dari rumah. Satya merasa beruntung karena mama dan papanya dengan senang hati untuk kadang menggantikan perannya saat dia sibuk bekerja. Papanya memahami itu karena seluruh kekuasaan papanya sudah jatuh pada Satya sejak pria itu menikah, dan tentu memimpin perusahaan dengan anak buah ribuan tidaklah mudah. Namun Satya akhir-akhir ini dibuat uring-uringan karena Jasmine yang terus merengek ingin punya adik. Darimana Jasmine bisa punya adik kalau Satya saja tidak punya pendamping. Dan karena itu pula para orang tua dan saudaranya ikut membombardir dirinya tentang sosok ibu yang dibutuhkan oleh Jasmine. Ya, Satya sadar Jasmine pasti butuh sosok ibu. Tidak cukup dari sang nenek saja meski sama-sama perempuan. Peran mereka berbeda dan juga mereka semua menasehati Satya untuk segera memiliki pendamping sehingga dia bisa terawat dan bisa mengurangi tingkat stres-nya karena pekerjaan. Jasmine berlari-lari dengan air mata yang berderai masuk ke rumah. Orang-orang yang sedang berkumpul di ruang tengah dalam rangka kumpul keluarga pun menoleh dan penasaran dengan penyebab si putri kecil Satya itu menangis. "Ada apa sayang?" Satya segera meraih Jasmine ke dalam gendongannya. "Jatuh?" Jasmine menggeleng dan masih menangis keras. Satya benar-benar tidak bisa menebak penyebab putrinya ini menangis. "Lalu Jasmine kenapa? Ada yang nakal?" tanya Satya lagi dengan lembut. Dengan sesenggukan Jasmine menjawab pertanyaan ayahnya. "Jasmine mau punya adek!" UHUK Satya tersedak ludahnya sendiri mendengar apa yang baru saja putrinya katakan. Orang-orang yang melihat interaksi antara Satya dan Jasmine pun ikut terkejut, tapi kemudian mereka tertawa ketika mendengar Satya tersedak. Jasmine menghentikan tangisnya ketika melihat Satya terbatuk batuk. Mama Satya maju mengambil putrinya setelah memberikan segelas air pada Satya. "Jasmine mau punya adek?" tanya mama Satya. Dia mengerling menggoda pada Satya yang masih heboh karena tersedak. Jasmine mengangguk cepat dan antusias pertanyaan neneknya. "Mau adek kaya Romi, Nek... dia punya adek kecil di rumahnya...." Mama Satya tahu siapa itu Romi, anak dari tetangganya dan baru saja Romi punya adik yang berusia 6 bulan sekarang. "Kenapa Jasmine mau punya adek?" tanya mama Satya lagi. Satya dan anggota keluarga lain pun terdiam penasaran mendengar jawaban Jasmine yang tiba-tiba saja merengek minta adik. "Bisa cium-cium, Nek," jawab Jasmine. Kalimat Jasmine langsung mengundang tawa semua orang kecuali Satya yang meringis karena alasan Jasmine sangat konyol tapi juga menggemaskan. "Jasmine juga punya adek Daniel, Jasmine bisa cium-cium." Mama Satya menujukkan cucu dari adiknya yang kini berusia 1 tahun dan sedang tertidur di pangkuan sang nenek. Namun kali ini Jasmine menggeleng keras tanda tidak setuju dengan usulan sang nenek. "Tapi adek Daniel nggak bisa Jasmine bawa pulang, ngga bisa bobo sama Jasmine sama papa," kata Jasmine polos. Semua orang tertawa namun Satya lagi-lagi dibuat tersedak. Ya ampun.. anaknya ini.... "Minta saja papa buat punya adek baru, Min-min," timpal Rama, Sepupu Jasmine yang memiliki sifat jahil. "Min-min" adalah panggilan kesayangan Rama pada Jasmine. Jasmine yang mendengar perkataan Rama terdiam seolah sedang berpikir keras, bahkan dahinya berkerut-kerut. Siapa saja yang melihatnya dibuat gemas. Tapi Satya justru was-was mendengar kalimat ajaib apa lagi yang akan diucapkan putrinya. "Papa, beli adek yuk!" Dan tawa membahana di ruangan itu pecah. Tapi lagi-lagi tidak untuk Satya yang syok mendengar ajakan putrinya. Karena terus-terusan dipojokkan, Satya akhirnya menyetujui untuk berkenalan dengan wanita-wanita yang menurut orang tua dan kerabatnya baik sebagai calon ibu bagi Jasmine dan pendampingnya. Jika Jasmine menerima maka Satya tidak akan sungkan untuk berkenalan lebih jauh. Sudah beberapa perempuan yang dikenalkan, namun tidak ada ketertarikan lebih antara Satya dan wanita-wanita itu. mereka semua terlihat baik dan datang dari keluarga baik-baik juga. Tapi sayangnya Jasmine terlihat tidak nyaman bersama mereka karena selalu menangis dan minta pulang, karena Satya memang selalu membawa Jasmine ketika melakukan pertemuan. Dia ingin menunjukkan betapa dia bangga memiliki Jasmine, maka calon pendampingnya pun harus bisa berpikir bahwa Jasmine patut untuk menjadi kebanggan mereka juga. Tapi kali ini mamanya berkoar-koar bahwa wanita yang satu ini pasti bisa meluluhkan hati Jasmine. Mamanya bercerita jika wanita yang satu ini suka anak kecil bahkan pernah berniat untuk mengadopsi anak namun tentu ditentang kedua orang tuanya, lagi pula wanita yang akan dikenalkan padanya ini belum menikah, jadi tidak bisa memenuhi syarat pengadopsian anak. Satya biasanya tidak menginap seperti Jasmine di rumah orangtuanya ketika weekend, namun karena besok dia harus bertemu dengan wanita yang akan dikenalkan oleh mamanya, Satya memilih stay saja di rumah orang tuanya dan dia pun bisa menemani Jasmine tidur dan membacakannya dongeng. Kebiasaannya yang kini menjadi kadang dilakukan karena kesibukan dalam bekerja sehingga dia harus lembur. Ketika pulang dia mendapati Jasmine sudah terlelap. . . ///
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD