two : Sebuah rahasia yang terbongkar

890 Words
Di sebuah lahan luas dengan suasana yang sunyi, Satya bersimpuh di hadapan gundukan tanah merah yang bertabur bunga. Tangisnya sudah berhenti, tapi berganti dengan kesedihan tak terkira di dalam dirinya. Hatinya kembali retak tiap kali mengingat saat dimana alat bantu yang menopang hidup istrinya dicabut semalam. Ya, atas semua pertimbangan, setelah dia banyak merenung, Satya dengan berat hati memberitahu pada dokter yang selama ini merawat istirnya, Prita untuk melepas alat bantu itu. Meski Satya masih belum sepenuhnya rela untuk kehilangan istrinya, dia harus tetap tegar untuk melihat istrinya yang akhirnya terbebas dari rasa sakit. Dia harus bisa menekan egoisnya dari menahan istrinya tetap hidup walau hanya bisa terbaring tak berdaya di atas ranjang. Keputusan itu disampaikan Satya semalam, dia mulanya memberitahu orang tua dari Prita lalu orang tuanya dan anaknya. Putrinya dengan Prita yang saat ini berumur 4 tahun, Jasmine yang masih belum memahami sepenuhnya apa yang terjadi, menangis melihat ibunya yang tak kunjung bangun dan menemaninya bermain sejak sebulan lalu. Hati Satya semakin teriris melihat Jasmine meronta menangis dalam dekapannya ketika Satya memberitahu bahwa ibunya telah meninggalkan mereka. Tapi jika itu yang terbaik, Satya akan melakukannya demi Prita, istrinya sudah berjuang keras melawan penyakit kanker p******a yang dideritanya sejak 4 tahun lalu. Dia sudah tidak tega melihat istrinya yang kesakitan. Bahkan ketika istrinya itu sudah koma, Prita beberapa kali mengalami serangan jantung. Hal itu semakin membuat hati Satya hancur berkeping-keping. Dia sebagai suami wanita itu hanya bisa menangis tiap kali melihatnya, dia merasa dirinya pecundang. "Apa kamu nggak kesakitan lagi, sayang?" Satya mengusap nisan yang terbuat dari kayu bertuliskan nama istrinya yang meninggal diusia yang cukup muda. "Aku tahu.. aku tahu kamu sudah berjuang sangat keras untuk sembuh.. tapi jika ternyata Tuhan lebih sayang kamu, aku bisa apa.. setiap kamu sakit aku hanya bisa menangis, aku nggak mampu bantu kamu...." Satya sudah kehabisan air matanya, namun sejak tadi dia tetap merintih menahan sesak dadanya karena kehilangan wanita yang dicintainya, ibu dari anaknya. "Sayang... jangan khawatir, sesuai pesan kamu... aku akan hidup baik dan membesarkan anak kita dengan baik juga.. aku janji. Aku janji akan tetap mencintai kamu.. dan nggak ada lagi wanita lain yang bisa menggantikan." "Aku sayang kamu, Prita Maheswari.. selamat tinggal...." Ternyata masih tersisa satu tetes air mata di mata Satya. Bulir air mata itu kemudian jatuh ke atas tanah merah itu. Satya bergerak mencium nisan dari kuburan istrinya. Sesaat kemudian dia beranjak dari simpuhnya dan berdiri. Tidak tegak, karena rasanya semua ini masih berat untuk Satya hadapi. Kedepannya, tidak ada lagi Prita yang tersenyum padanya, tidak ada lagi Prita yang bermain bersama anaknya. Dan itu adalah hal terberat bagi Satya untuk lalui. Dengan langkah pelan, Satya mulai meninggalkan tanah luas itu. Dia berjanji pada dirinya sendiri akan datang lagi agar Prita tidak kesepian. . /// . Jane membuka pintu apartemennya dan menemukan Sandra, temannya sejak dia berkuliah di Jakarta berdiri di depan pintu apartemennya. "Lo putus sama Tomy?" tanya Sandra lalu masuk ke dalam tempat tinggal Jane yang sudah dianggapnya rumahnya sendiri. Jane masih diam dan tidak berniat menjawab. Dia berjalan menuju sofa dan mendudukan dirinya di sana lalu memejamkan mata. Sandra mengamati temannya itu dalam diam, dia ikut duduk di samping Jane. "Lo emang harusnya udah putus sama Tomy dari dulu," ujar Sandra, dia mengambil ponsel dari tasnya dan memainkannya. Jane membuka matanya mendengar kalimat Sandra. "Maksud lo?" Jane menoleh pada Sandra, karena heran mendengar temannya itu berkomentar soal kehidupan percintaannya. Itu sama sekali bukan Sandra, temannya itu sangat cuek dan paling nggak mau tahu soal kehidupan percintaan Jane atau orang lain. Sanda mendongakkan kepalanya dan mengalihkan fokusnya dari ponsel yang sedang dia genggam, dia menoleh pada Jane yang masih melihat kearahnya. Sandra kembali melihat pada ponselnya, jarinya membuka aplikasi pemutar suara dan menekan sebuah file suara yang pernah direkamnya. "Lo nggak bosen apa sama si Jane?"  baru saja rekaman itu diputar, Sandra menghentikannya. Dia ingin melihat reaksi Jane. Dan reaksi temannya itu seperti dugaannya, penasaran dan terkejut juga. "Jane... gimana gue nggak bosen.. gue dapet jatah terus dari dia.. Hahaha...." Sandra menghentikan rekaman itu lagi, dia melihat Jane yang sudah bergerak mendekat ke arahnya dengan wajah yang memucat. "Lo bilang lo nggak cinta sama dia, tapi ditunangin." "Yaelah... cuma beli cincin doang sama pasang muka manis depan nyokapnya mah nggak ribet kali.. yang penting gue tetep bisa pake dia." "Gila lo! Sekalian aja nikahin dia kalo gitu.. makin enak 'kan makenya." "Sorry to say.. gue emang tunangan sama dia, tapi buat nikah... gue tetep bakal pilih cewek yang bisa kasih gue anak." "Hahaha... sadis lo, bro... anak orang lo mainin!" Jane merebut ponsel Sandra dan mematikan rekaman itu. Lalu dia mendongak dan menatap pada Sandra. Matanya sudah memerah dan berkaca-kaca, dia sudah siap menumpahkan bendungan air matanya. "Gue udah nyimpen ini dari satu bulan yang lalu, tapi ngeliat elo kayaknya makin lengket sama si b******n itu.. gue nggak tega buat hancurin harapan elo..sorry...," tutur Sandra. Dan sekali lagi hati Jane hancur. Dia sudah tidak bisa menahan air matanya yang hendak keluar untuk kesekian kalinya dua hari ini. Sandra yang melihat itu langsung membawa tubuh temannya itu dalam pelukannya, membiarkan temannya itu melepaskan semua yang ada di hatinya. "Ngangis aja.. ngangis aja, Jane.. keluarin semuanya, setelah itu lo harus bangkit. Buktiin ke b******n itu kalau elo nggak butuh cowok kayak dia. Elo bisa hidup tanpa cowok yang cuma ngganggep elo barang." . ///
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD