(2)

438 Words
Aku menghela napas lega ketika rapat dinyatakan selesai. Kemudian buru-buru meninggalkan ruangan rapat itu dengan alasan bahwa aku harus segera pergi ke toilet. Mungkin Mbak Indah mengira aku terlalu tegang menghadapi proyek pertamaku yang menyebabkan gangguan di ususku yang sedikit sensitif ini. Tidak lama setelahnya, aku kembali ke ruang kerjaku dan menemukan Mbak Indah dan Ray yang sudah menunggu. Aku berada di tim yang sama dengan mereka dan kami mendapat bagian di desain grafis. Baguslah, karena bagian ini merupakan spesialis Mbak Indah dan juga Ray. Oh, aku juga pernah beberapa kali menempati bagian ini, jadi kutahu apa yang harus kami lakukan. Aku memang sudah mengenal Mbak indah sebelumnya, namun aku belum pernah bekerja satu tim dengannya. Tak kusangka dia benar-benar hebat dan brillian dalam mengemukakan pendapatnya. Pantas saja perusahan ini begitu memperhitungkan Mbak Indah. Tanpa terasa aku dan Ray larut dalam pembicaraan kami dan tanganku dengan cekatan membuat sebuah peta dengan ujungnya kuberi gambar daun semanggi berdaun empat. Simbol keberuntungan. Aku tersentak saat sebuah kepala yang kutahu tidak seharusnya berada di dekatku muncul begitu saja. "Ya Tuhan." Aku melompat ke belakang dan Mbak Indah, Ray dan juga Mbak Maira terkikik melihat kekagetanku. Brian melirik padaku dan matanya menatapku jahil. Aku membalasnya dengan memelototkan mataku, namun segera aku akhiri ketika sadar bahwa yang lainnya sedang menatap ke arah kami. "Mbak Maira, ada apa?" tanyaku memecah situasi yang membuatku mati kutu. "Saya hanya berkeliling, memastikan semua berjalan lancar. Dan juga sepertinya Pak," Mbak Maira berdeham sekali, "maksud saya Brian ingin dilibatkan secara langsung dengan pekerjaan kita." Mbak Maira menatap pria itu yang sedang mengangguk-angguk dengan hikmat. "Yah, tiba-tiba saja aku ingin ikut, tidak masalah, bukan?" Aku mengernyit. Menatapnya dengan tatapan menuduh tapi dia malah mengalihkan pandangannya dariku. "Tentu saja boleh, ini suatu kehormatan bagi kami," jawab Ray sopan. Ray memang selalu berlaku sopan kepada siapa pun. Ray lalu tersenyum padaku, senyum yang menguatkan. Ya sudahlah, paling tidak ada Ray yang aku tahu akan menjadi teman yang baik yang mungkin akan membantuku di situasi yang tidak menyenangkan. "Selamat bergabung Brian," balas Mbak Indah kalem, masih dengan senyum keibuannya yang memancar alami dari wajahnya. Beruntungnya dia memiliki paras wajah menyenangkan seperti itu. Aku menghela napas panjang dan segera berdiri di antara Ray dan Mbak Indah. Meminta sokongan mereka meskipun tahu mereka tidak tahu apa-apa mengenai hubunganku dengan pria di depanku ini. Tapi dari senyum yang Ray dan Mbak Indah berikan padaku, aku rasa mereka mengerti bahwa ada sesuatu yang terjadi antara aku dan pria menyebalkan itu. Pria itu menaikan satu alisnya melihat perilakuku namun dengan cepat Mbak Indah kembali mulai memimpin untuk lengkah-langkah selanjutnya yang harus kami lakukan. Aku melirik Mbak Indah dan saat dia melirikku balik, aku mengucapkan terima kasih padanya tanpa suara.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD