(3)

1401 Words
Aku kira hari ini akan menjadi hari yang menyenangkan di mana tidak akan ada kemacetan yang mengawalinya. Tapi saat-saat menyenangkan itu rusak karena kedatangan pria menyebalkan itu lagi. Lagi pula, untuk apa takdir kembali mempertemukan kami jika hanya untuk membuat hari-hariku menjadi lebih buruk dari ini. Sepanjang jalan aku terus merutuki diri sendiri karena kebodohan yang pernah aku lakukan di masa lalu. Tiba-tiba saja aku merasa ada yang salah pada mobilku. Aku menepikan mobilku dan benar saja, salah satu ban mobilku kempis. Ya Tuhan. Aku menatap sekeliling yang sepi dan masih dapat melihat gedung tempatku bekerja dari sini. Aku bahkan belum beranjak lebih dari 50 meter dari tempat itu. Aku menatap nanar pada mobil sedan hitamku yang tampaknya ingin melengkapi penderitaanku hari ini. Kenapa mobilku bersekongkol dengan penderitaanku hari ini? Padahal aku cukup membanggakannya karena bagaimanapun, aku senang mobil ini kubeli dengan jerih payahku bekerja selama ini. Aku lalu menghubungi Ray yang kutahu bisa untuk kuandalkan. Jika perhitunganku tidak salah, ia pasti masih berada di kantor, atau setidaknya masih di sekeliling kantor untuk sejenak menemaniku sampai mobil derek datang. Selain itu dia juga bisa mengantarku pulang. Bayanganku tentang Ray yang datang sirna sudah ketika kudengar suara operator yang menjawab dibalik sana. Aaah, aku lupa, tadi Ray berkata bahwa ponselnya mati karena baterainya habis. Meminta tolong pada Mbak Indah pun mustahil karena ia dijemput oleh suaminya. Aku terduduk lemas di atas kap mobilku dan pasrah saja sampai mobil derek yang aku tunggu tiba. Setelah itu aku akan berjalan sebentar sampai halte bis dan pulang. Mudah saja. Bisa saja aku pulang dengan taksi, tapi itu akan sulit karena pengeluaranku bulan ini benar-benar banyak. Aku harus berhemat. Aku membuka ponselku dan memainkan game Angry Bird untuk mengusir kesepian ketika melihat sebuah mobil mendekat. Aku melirik sekilas ketika mobil audi berwarna hitam metalik berhenti tepat disampingku. Seseorang turun dari mobil mewah itu dan yah, hal itu melengkapi penderitaanku ketika sosok yang kulihat itu adalah pria menyebalkan itu. Dia tersenyum saat berada di hadapanku dan berdiri dengan gayanya yang dibuat seangkuh mungkin. Yang benar saja. Keluhku dalam hati. "Sedang apa kau di sini?" tanyanya kemudian. "Bukan urusanmu," kataku singkat. Saat ini tak ada ramah tamah seperti yang dulu. Entahlah, lama-kelamaan aku jadi muak jika teringat hal-hal yang terjadi dulu. Dia berjalan memutari mobilku tanpa menghiraukan diriku yang mencoba bersikap dingin. "Jadi, ban mobilmu kempes ya? Mungkin aku bisa membantumu..." Dia melepas blazer dan tampaklah kaus menggelikan bergambar Mickey Mouse itu. "Kau mau apa?" tanyaku heran. "Memperbaikinya?" Aku memutar bola mataku. "Percuma saja, aku tidak mempunyai alat-alat mekanik, dan bahkan tidak mempunyai ban cadangan," gumamku kemudian menghela napas. Dia menatapku heran dan aku hanya mengangkat bahuku. Aku bisa apa? Dia menggelengkan kepalanya dan mulai berjalan mendekatiku. Aku kemudian teringat peran yang sedang kumainkan. Aku kan sedang mencoba bersikap dingin padanya, jadi lebih baik aku hanya menjawab pertanyaanya dengan singkat. Lalu aku kembali duduk di atas kap mobil dan kali ini aku mengambil buku catatanku, mencoba mencari inspirasi ataupun yang lainnya. Yang jelas hal itu kulakukan agar aku tampak sibuk. Aku tahu bahwa akhirnya dia duduk di sampingku, bersiap untuk memulai pembicaraan. Lama dia terdiam karena aku bahkan sama sekali tidak melirik ke arahnya. Beberapa waktu berselang ketika akhirnya dia terkekeh geli dan akhirnya berhasil merebut perhatianku. Aku menoleh kepadanya setelah aku membetulkan letak kacamata bacaku. "Apa?" tanyaku dengan suara yang kubuat agar terdengar tajam. "Aku hanya menertawakan takdir yang kembali mempertemukan kita. Pernahkah kau membayangkan hal ini sebelumnya?" "Tidak." "Aku juga." Dia menatapku dan kemudian ia tersenyum padaku. "Lihatlah... takdir ternyata bisa juga mengejutkanmu, bukan?" "Apa yang ingin kau bicarakan?" Aku menutup buku catatanku dan sedikit terkejut melihat sampulnya. Tapi aku berhasil mengendalikan diriku dan menaruh buku itu jauh dari pandangan pria itu. "Ada banyak hal. Kau tahu? Kurasa kepalaku akan meledak karena terlalu banyak hal yang ingin kubicarakan. Dan kupikir, kita memiliki banyak waktu. Benarkan?" Dia menyeringai lebar, menampakan barisan giginya yang teratur. "Sebenarnya, hanya 2 minggu dan setelah itu aku bisa terlepas darimu," jawabku asal. Dia terlihat akan menyanggah ucapanku ketika kulihat sebuah mobil derek yang melaju ke arahku. Aku berdiri dan melambai kearah mereka. Berbicara dengan salah satu montir dan mengurus semuanya agar besok aku bisa mengambil mobilku saat pulang bekerja. Mereka lalu meninggalkan kami beberapa saat kemudian. Nah sekarang hanya ada aku dan pria menyebalkan ini. Aku meliriknya dengan ujung mataku dan memutuskan segera pulang. Dalam pikiranku, aku membayangkan proses mandi air hangat dan kemudian tidur. Ya, kurasa itu ide yang bagus. Aku berbalik dan mulai berjalan beberapa langkah ketika Brian -akhirnya aku menyebut namanya- mencegat di depanku. "Kau mau ke mana?" "Pulang," jawabku enteng. "Aku akan mengantarmu." "Tidak, terima kasih," kataku tak acuh. Aku berbalik dan kurasakan sebuah tangan mencekal lenganku. "Apa yang kau lakukan?" "Tadi bukan pertanyaan. Tapi pernyataan. Kau tidak bisa menolak, ini perintah. Aku bosmu!" Brian terdengar seperti menggeram saat mengatakannya. Aku melongo dan melepaskan cekalan Brian dengan paksa. "Kau memang bosku, tapi itu di kantor! Lagipula, ini sudah lewat jam kantor! Maka kau bukanlah siapa-siapa! Kau paham itu?" Kulihat dia mematung mendengar ucapanku yang sarat dengan luapan emosi kemarahan. Kata-kataku benar. Tidak ada yang perlu kusesali. "Jadi, selamat malam." Aku berbalik arah dan mulai melangkah dengan cepat. Takut dia akan melakukan hal seperti tadi. Aku mulai mengatur napasku dan memperlambat langkahku ketika sadar bahwa aku sudah berjalan jauh dari tempatku tadi. Tidak ada suara mobil, dan itu berarti dia tidak mengejarku, baguslah. Aku sudah bisa melihat halte bis dari tempatku berdiri ketika ada dua orang laki-laki berpostur tinggi mendatangiku. Aura menakutkan terpancar dari mereka dan hal ini membuatku sedikit resah. Aku melihat sekeliling dan tidak kulihat seorang pun berlalu-lalang di daerah ini. Daerah ini memang wilayah perkantoran, sehingga jika akhir pekan seperti ini pasti akan sepi. Aku mulai menggigit bibirku dan melangkah mundur dengan langkah yang tak pasti. Dua orang itu tersenyum keji melihatku yang ketakutan. Aku terus saja berjalan mundur sampai akhirnya aku menabrak sesuatu, mungkin saja sebuah pohon. Dan jika hal itu memang benar, maka tamatlah riwayatku. Sepertinya dugaanku salah, yang kutabrak bukanlah pohon. Atau jika itu memang sebatang pohon, maka pohon itu mempunyai ranting yang hangat yang bisa menyentuh pundakku. Aku terkesiap untuk beberapa waktu. Semakin resah ketika dua orang di depanku semakin tersenyum lebar. "Sudah kubilang aku akan mengantarmu pulang," bisik sebuah suara di telingaku yang membuatku merinding. Bukan karena aku kedinginan, tapi karena suara itu dekat sekali dengan telingaku. Telinga adalah salah satu bagian tubuhku yang sensitif selain perutku. Sosok di belakangku lalu maju ke depan, meninggalkan bayang-bayang yang menaunginya ketika ia berada di belakangku. Pantas saja dia tidak kelihatan saat aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling. "Siapa kau?" tanya salah satu orang di antara dua orang itu, laki-laki itu menggunakan topi ninja berwarna kelabu. "Kalian terkejut karena bukan teman kalian yang muncul? Sayang sekali dia sedang tertidur di bawah pohon." Brian menunjuk ke satu sudut dan saat aku memperhatikan dengan seksama, benar saja. Ada satu sosok yang tergeletak tak berdaya. Dan bisa kulihat bahwa sosok itu lebih besar dari dua orang di depanku itu. "Sialan kau!" balas yang satunya dan mereka mulai menyerang Brian. Aku menjerit terkejut dan menyaksikan bagaimana kegesitan Brian menghadapi kedua pria itu. Aku melongo beberapa saat ketika menyadari dia bisa dengan mudahnya mengatasi mereka. "Rosella?" Aku tersentak. Dan kembali terkejut ketika melihat wajahnya tepat di samping wajahku. Hanya menyisakan beberapa inchi hingga rasanya aku bisa merasakan napasnya membelai pipiku. "Sudah aman." Dia tersenyum lebar. Aku melirik melewati kepalanya dan melihat dua orang yang tadi sedang merintih kesakitan. Aku lalu memandang bergantian antara Brian dan dua orang itu. "Ayo kuantar." Brian menarik tanganku, kali ini tanpa paksaan dan saat itu aku menurut ketika Brian menggandengku. "Bagaimana bisa kau-" tanyaku ragu. "Mengahajar mereka?" Aku mengangguk, tapi percuma juga karena aku berada di belakangnya, aku tidak berani berjalan di sampingnya. Akal sehatku masih bekerja, dan aku sadar seharusnya aku malu karena telah membentaknya dengan kasar tadi. Dia lalu berbalik dan hanya tersenyum lebar. Membuatku salah tingkah. Setelah itu aku tidak berani bertanya apa-apa lagi dan saat ia bertanya di mana tempatku tinggal, aku dengan patuh mengatakannya. "Kau tinggal di apartemen?" "Kami menyewanya," jawabku singkat, masih melihat ke arah luar jendela. "Kami?" "Aku dan temanku." "Perempuan?" Aku memutar bola mataku, dan menoleh kearahnya. "Menurutmu?" Dia terkekeh pelan dan entah apa yang dia katakan, karena sangat cepat dan pelan, sepertinya itu kata-kata untuk dirinya sendiri. Ah, sudahlah, aku kan sudah berniat untuk tidak menghiraukannya, tapi setelah apa yang dia lakukan untukku tadi? "Kau sedang terburu-buru?" "Tidak," jawabku refleks. Tapi begitu melihat senyum Brian muncul, buru-buru kuralat ucapanku. "Aku memang tidak terburu-buru, tapi aku ingin segera pulang dan berisitirahat." "Oh... begitu." Aku menghela napas lega, semoga saja Brian segera mengerti. "Eehm... seharusnya kau belok kanan di pertigaan yang tadi." Dia mengangkat sebelah alisnya. "Aku rasa rumahmu bisa menunggu." "Hei, yang benar saja..." desahku frustasi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD