Bab 10 - Nightmare

1757 Words
Bianca menghentikan kegiatannya membuat oret-oretan di buku sketsanya saat mendengar suara sepatu pentofel terdengar dari arah luar. Dia mengangkat kepala saat mendengar pintu ruangannya terbuka, senyumnya tak dapat dia tutupi saat melihat Alfian berjalan masuk. Kakak laki-lakinya itu terlihat tampan dengan kemeja hitam tanpa jas yang membentuk tubuh altetis. Dia harus memuji Kakak iparnya karena telah memilih dasi hitam dengan garis tipis yang membuatnya terlihat sempurna. Dia yakin orang-orang tak akan percaya bahwa lelaki tampan berusia 38 tahun di depannya ini merupakan pria beristri bahkan memiliki dua anak yang salah satunya sudah beranjang remaja.   Alfian menarik kursi yang ada di depan meja Bianca lalu duduk di sana, “Kamu nggak pulang ke rumah mama?” tanya Alfian langsung yang membuat adik bungsunya itu mengangguk pelan, dia tak dapat menyembunyikan keterkejutan saat melihat jemari kedua tangan adiknya penuh dengan plaster maupun perban. “Aku nggak bakalan pulang sebelum mama setuju kalau aku keluar dari kelas ‘neraka’ itu.” Alfian menghela napas dalam melihat betapa keras kepala adik bungsunya ini. Ia tau cara satu-satunya untuk menghentikan kegilaan mamanya adalah dengan tidak bertemu dengan beliau untuk sementara waktu. Dia sadar bahwa mamanya terlalu keras kepala jika keinginannya tidak dipenuhi. Dia menggelengkan kepala, dia datang ke tempat adik bungsunya ini bukan untuk  membuatnya berkonfrontasi dengan mamanya melainkan mengenai pekerjaan yang dia tawarkan ekpada adiknya itu. “Kamu serius mau nerima tawaran mereka, kan?” “Ya iyalah serius. Kalau nggak, ngapain aku nyuruh mas kesini buat temenin aku ketemu sama perwakilan mereka,” ucapnya merenggut kesal sehingga membuat Alfian terkekeh. “Pemikiran yang bagus. Classy Apparel merupakan batu loncatan yang bagus untuk mengembangkan karir kamu. Mereka memang masih baru, tapi aku tau kualitas mereka.” “Iya.. iya tau. Makanya ayok sekarang pergi temuin mereka.” Bianca beranjak dari kursinya, mengambil tas dan sketsanya, lalu menatap Alfian memintanya untuk beranjak. “Dress yang aku kirim buat Deeva udah dipake?” tanya Bianca menautkan tangan di lengan Alfian. “Rasa – rasanya Princess yang satu itu tak pernah mau menggunakan pakaian lain selain buatan-mu.” Alfian mendengus kesal membuat  Bianca terkekeh. “Deeva tau yang mana pakaian berkualitas dan tidak. Mas tenang aja, aku bakalan beri diskon keluarga di tagihannya nanti,” kekeh Bianca. “Dasar,” gerutu Alfian mengacak rambut Bianca gemas. Bianca hanya mendelik sejenak sebelum kemudian merangkul tangan kakak laki-lakinya ini. “Di kantor mereka bukan di restoran?” tanya Bianca saat memasuki loby perusahaan yang akan mengontraknya. “Ini sudah mau jam makan siang.” Dilihatnya jam di tangan kirinya yang menunjukan pukul 11 siang. “Mereka lebih suka mengambil keputusan di kantor daripada di depan makanan. Sehabis rapat kita bakalan langsung ke restoran rekomendasi mereka.” “Ayo!” ajak Alfian saat adiknya terus  memperhatikan interior kantor tempatnya berada sekarang. Bianca menatap Alfian lekat sebelum akhirnya mengikuti langkah abangnya itu memasuki ruang rapat. Matanya menatap beberapa orang yang telah menunggu mereka. Ia tersenyum kaku saat melihat seorang wanita cantik berjalan mendekati mereka. Bianca mengagumi kecantikan wanita itu. Blouse lengan panjang dengan ornamen pita dan rok span yang digunakan memberi kesan jenjang dan sempurna untuk tubuhnya. Wajahnya yang berparas cantik mengingatkan Bianca kepada seseorang. “Bianca Calista? Saya Yunita Arneta, perwakilan dari Classy Apparel. Terima kasih sudah menerima tawaran kerja kami. Silahkan duduk,” “Silahkan lihat desain – desain lama saya. Karena ini bersifat dadakan saya tak sempat merancang desain baru untuk pakaian pria.” Bianca menyodorkan sketsa rancangan yang ia temukan tempo hari. Dengan perasaan was-was, Bianca menatap Yunita yang sedang melihat sketsa lamanya. Beberapa kali, helaan napasnya terdengar saat melihat kening Yunita berkerut membuat Alfian tersenyum sembari mengelus tangan adiknya lembut berusaha menenangkannya. “Abiyaksa beruntung mempunyai perempuan berbakat seperti kamu,” kata Yunita menutup buku sketsa Bianca, wajahnya yang tersenyum cerah membuat Bianca bisa sedikit lega. “Nggak salah saya ‘sedikit’ memaksa para pimpinan Abiyaksa untuk mendapatkan kamu. Desain kamu sangat mempesona saya. Saya sudah bisa membayangkan bagaimana pria dengan selera fashion yang rendah akan berubah mengagumkan mengenakan pakaian rancangan kamu.” “Oh iya. Untuk membuktikan perkataan saya. Saya sudah menyiapkan seorang pria dengan Sense of Fashion rendah yang akan menjadi model kamu,” ucap Yunita membuat Bianca merenyitkan kening. “Am I late?” suara berat laki-laki mengalihkan perhatian semua orang. Wajah lega yang Bianca perlihatkan tadi kembali membeku. Tubuhnya tegang saat melihat siapa yang ada di depannya sekarang. “Bianca kenalkan. Pria ini yang akan menjadi model kamu. Bergaul dengan model tidak memperbagus gaya berpakaiannya. Saya harap kamu bisa merubah Fashion terrorist di depan kamu jadi orang yang mengerti akan Fashion.” Udara yang sedari tadi dapat ia hirup seakan menghilang seketika. Dadanya sesak saat melihat Fashion terrorist yang selama beberapa hari terakhir terus meneror harinya. ada di depannya, bahkan akan menjadi main model untuk pakaian yang akan dia rancang.  Another nightmare. Batinnya lemah menatap pria yang tak kalah terkejutnya melihatnya di sini. Bianca berusaha tak mengindahkan saat melihat Chef senga itu menatapnya tajam. Setelah ia berusaha mati – matian untuk menjauhkan pria itu dari hidupnya. Ia malah dipertemukan lagi di pekerjaannya yang lain, dan sialnya kali ini ia harus bekerja dengan pria itu. Bianca berusaha fokus mendengar semua ucapan Yunita yang sedang menjelaskan kontrak yang mereka tawarkan. Ia mendesah, haruskah ia mundur dari kerja sama ini, toh ia belum menandatangi kontrak kerja sama itu. Tanpa sengaja, Bianca melihat Fabian menatap jemarinya yang penuh dengan plaster dan tatapan pria itu terfokus pada jari telunjuk kirinya yang di perban. Dengan cepat, ia menurunkan jari itu sehingga membuat Fabian tersadar.  Pikirannya kembali melayang memikirkan merasa bersalahkan Fabian karena telah membuat tangannya menjadi seperti itu. “Fabian-Bianca. Seperti jodoh,” ucap Yunita mengagetkan Fabian dan Bianca dari pikiran masing-masing. “b’licious dan Fa(bi)lous. Cara kalian menamai tempat kerja kalian juga begitu unik, seolah ada keterkaitan di sana.” Bianca tersenyum tak nyaman saat mendengar ucapan Yunita. Keningnya merenyit saat melihat Fabian terlihat terkejut mendengar kata Fa(bi)lous. “b’licious?” tanya Alfian seolah mengingat sesuatu. “Dia chef yang ngajar kamu les masak, Bi?” bisik Alfian yang dijawab anggukan Bianca. Bianca menatap abangnya lalu merenggut kesal membuat Alfian tertawa. “Seharusnya kamu betah di sana Bi.. Aku yakin Chef itu idola wanita,” kekeh Alfian membuat Bianca mendengus. “Dan wanita itu bukan aku,” balas Bianca geram. “We’ll see..” Jawab Alfian mengerakan alisnya tak percaya dengan apa yang adik bungsunya katakan. Entah mengapa, firasatnya mengatakan bahwa Bianca dan pria itu akan memiliki perasaan.  “Ini kontraknya. Saya harap kalian menyetujuinya.” Yunita menyodorkan map hitam berisi kontrak yang langsung diambil Alfian. Dia membaca map hitam itu sejenak sebelum akhirnya menutupnya, “Saya akan mempelajarinya dulu sebelum saya berikan ke Bianca. Fa(bi)lous masih dalam pengawasan Abiyaksa sehingga semua kontrak yang berhubungan dengan Brand itu harus mendapat persetujuan saya.” Bianca mendengus saat mendengar ucapan Alfian. Dasar protective. Mungkin, ia bisa lepas dari kekangan Papa dan abangnya setelah menikah, seperti Tari. Tapi, mendengar kata menikah entah mengapa membuatnya rasa takut itu datang kembali. “Sudah waktunya makan siang. Sebaiknya kalian ikut saya ke B’licious, Saya yakin Chef Fabian akan memasakkan masakan special untuk kalian,” ucap Yunita saat mengantarkan Bianca dan Alfian keluar dari ruangan. “Tawaran yang sepertinya menarik,” ucap Bianca berpura-pura. “Tapi.. Sepertinya kami harus segera kembali. Ada pekerjaan yang harus kami lakukan. Iya kan, mas?” Senggol Bianca pada perut Alfian membuatnya mengerti penolakan Bianca secara halus. “Saya terbiasa makan masakan istri saya dan Bianca bukan orang yang mudah untuk memakan makan siangnya,” kekeh Alfian meledek Bianca membuatnya menatap tajam. “Kami permisi dulu,” pamit Alfian yang dijawab anggukan Yunita dan Fabian. Bianca dapat menghembuskan napas lega saat ia menjauh dari Fabian. Rasanya udara yang awalnya ditarik kembali memenuhi paru-parunya. “Kenapa kamu menolak tawaran makan siang mereka.. Katanya lapar?” “Dan akhirnya kembali memasuki tempatnya. Tidak, terima kasih,” ucap Bianca tegas membuat Alfian terkekeh. “Hati-hati. Kalian mungkin jodoh,” godanya. “Najis.” Dorong Bianca sehingga membuat tubuh Alfian sedikit menjauhi dari dirinya. Alfian tertawa kembali meletakkan tangannya di bahu Bianca. “Mau makan di rumah? Kamu kalau nggak ada orang yang nemenin makan, nggak bakalan makan. Rasanya Rani masak makanan kesukaan kamu.” “Beneran?” Mata Bianca berbinar mendengar ucapan Alfian. “Ayo!” Ajak Alfian. Bianca melepaskan tangan Alfian di bahunya lalu merangkul mesra tangan abangnya itu dan berjalan keluar dari gedung. di sisi lain ... Yunita dan Fabian menatap kepergian mereka, Yunita menatap adiknya yang sengaja dia paksa menjadi main model untuk perusahaan barunya,  “Bagaimana perasaanmu setelah melihatnya lagi?” tanya Yunita pada Fabian yang terus menatap kepergian Bianca. Fabian mengalihkan pandangan menatap Yunita, mendesah pelan sebelum akhirnya kembali menatap punggung wanita itu. “Entahlah,” ucap Fabian lemah, seolah ada perasaan yang aneh merasuk ke dalam hatinya melihat wanita itu menjauh. ***** “Bee.. Queenbee..,” panggilan mesra seseorang kepada Bianca membangunkannya. Matanya yang masih begitu mengantuk perlahan terbuka, senyumnya kembali berkembang saat melihat pria tampan menatapnya begitu lembut. ”Kamu tidur di sofa lagi?” tanya Pria itu dijawab anggukan lemah Bianca. Dengan cepat, ia duduk dan menatap pria yang ada di depannya. “Aku menunggumu.” “Mau aku masakan sesuatu?” Bianca mengangguk senang mendengar ucapan pria itu. Dengan cepat ia bangkit saat melihat pria itu menyingsingkan kemejanya hingga ke lengan dan memasuki dapur. Melihat pria itu memasak menjadi kegemaran sendiri bagi Bianca. Senyum bahagianya tak dapat ia tutupi saat melihat pria itu mempersiapkan bahan makanan. Bianca menopang dagu melihat betapa tampan-nya pria yang sedang memasak itu, hingga tiba-tiba tubuhnya menjauh saat Pan yang digunakan pria itu untuk memasak d penuhi api. Rasa senang yang ia rasakan berubah menjadi ketakutan. Tubuhnya bergetar hebat melihat senyuman lembut yang pria itu perlihatkan berubah menjadi tatapan tajam yang dipenuhi aura kebencian. Bianca beranjak dari kursi yang ia tempati dengan perasaan takut. Dadanya bergemuruh cepat, keringat dingin kembali memenuhi tubuhnya sehingga membuatnya lemah dan susah bernapas. “Bi.. Bi.. Bangun.” “Hya!..” teriak Bianca bangun dari tidurnya. Menatap ketakutan sekelilingnya. Tubuhnya dipenuhi keringat dingin, napasnya memburu membuat Tari yang ada di depanmenatapnya khawatir. “Kamu kenapa?” tanya Tari memeluk tubuh adiknya itu. Bianca menerima pelukan kakaknya itu dalam diam. Tangisannya pecah, tubuhnya bergetar hebat membuat Tari mengelus punggungnya lembut. “Tenanglah itu cuma mimpi buruk.” Bianca mencoba menenangkan diri. Mimpi buruk itu datang lagi. Satu dari beberapa mimpi buruk yang menghantui pikirannya beberapa tahun terakhir. Hal yang ingin ia lupakan muncul kembali dan menebar ketakutan yang sangat besar bagi Bianca.    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD