"Kamu di mana?”
“Ini baru mau masuk,” gerutu Bianca mematikan panggilan handphone-nya sepihak. Matanya menatap plang nama yang ada di depannya. Tempat yang beberapa hari ini berhasil ia jauhi sekarang harus kembali ia masuki.
Ini semua karena mamanya. Ambar kembali menebar teror sehingga membuatnya dengan terpaksa pergi ke tempat ini untuk menemui mamanya. Bayangkan saja, Ambar mengiriminya foto kain, korek api, bahkan satu jerigen penuh bensin dengan ancaman akan membakar butiknya jika ia tak mengikuti perintahnya.
Bianca menelan air liurnya, memejamkan mata sejenak sebelum akhirnya memasuki restoran tempat janjian dengan mamanya.
“Mama apaan sih nyuruh Bianca kesini,” gerutu Bianca tak lama setelah menemukan keberadaan Ambar. “Sudah Bianca bilang, kalau Bi nggak bakalan mau lagi kursus masak dengan Chef Senga, sombong, sarkatis macam dia,” ucap Bianca kesal membuat Ambar salah tingkah, meminta Bianca untuk diam dan duduk di sampingnya.
“Kenapa sih?” tanya Bianca bingung saat Ambar memberi isyarat kepadanya untuk diam.
Suara tawa renyah dari depan Ambar menyadarkan Bianca bahwa mamanya tak sendirian. Ia menoleh dan menemukan wanita seumuran mamanya sedang duduk di depan Ambar.
Bianca menatap tanpa kedip wanita itu. Wajahnya masih saja terlihat begitu cantik di usianya yang ia yakini lebih dari 50 tahun. Pakaian layaknya perempuan bangsawan Inggris yang beliau kenakan tampak begitu sempurna. Bianca kembali menatap wajah wanita itu, merasa begitu Familiar dengan beliau.
“Duduk Bi, kenalkan Tante Arta, teman mama.”
“Bianca, Tante.” Bianca menyodorkan tangannya lalu mencium tangan Tante Arta santun membuatnya tersenyum.
“Anak bungsunya, Jeng? Model?” tanya Tante Arta ramah pada Ambar tak dapat menutupi kekaguman melihat Bianca yang cantik, ramah, bahkan begitu santun padanya.
“Bukan, Jeng. Dia perancang busana.”
“Beneran? Saya kira dia model wong cantik banget sama semampai gini.” Puji Arta membuat wajah Bianca memerah, rasanya jiwanya melayang jauh mendengar pujian wanita setengah baya di depannya.
“Buat apa cantik sama semampai, Jeng. Kalau dianya nggak bisa masak. Lah, dia masak air aja gosong.”
Wajah ceria yang Bianca perlihatkan tadi berubah masam mendengar ucapan Ambar. Baru saja ia melayang mendengarkan pujian Arta, namun saat Ambar mengucapkan kata-kata itu, ia seolah kembali ditarik paksa sehingga membuatnya terjatuh.
“Saya malah pengen punya anak nggak terlalu cantik tapi bisa masak, daripada dia. Nol besar kalau di suruh masak, Saya malah pengen punya anak kayak anak Jeng yang bisa masak,” gerutu Ambar membuat Arta tertawa.
“Yah.. walaupun anak saya senga, sombong bahkan sarkatis?” canda Arta membuat Bianca membulatkan mata indahnya.“Kamu bukan satu-satunya orang yang merasa Fabian seperti itu. Dia memang menyebalkan,” kekeh Arta.
Bianca terpaku. Telinganya seakan tak dapat mendengarkan apapun kecuali dua kata yang dikeluarkan mamanya dan Arta.
Anak? Fabian?
Bianca menatap horror saat mengetahui kesalahannya. Mukanya bersemu mirip tomat, matanya tak berani kembali menatap Arta.
“Kamu tenang aja. Saya sudah mengetahui bagaimana menyebalkannya Chef senga itu,” kekeh Arta mengedipkan mata membuat Bianca meneguk air liurnya.
“Kita makan siang bareng. Perancang busana nggak buat kamu diet macam model, kan?”
“Nggak usah, tante. Saya udah makan.” Bianca menghela napas mendengar kebohongan yang baru saja ia ucapkan. Ia belum makan sama sekali. Sarapan yang disediakan Tari tadi pagi tak ia sentuh sedikitpun. Mimpi buruk yang ia alami tadi malam membuat selera makannya hilang seketika.
“Jangan bohong. Mama tau kamu belum makan. Kata Tari tadi kamu nggak sarapan dan Mama tau, kamu bukan orang yang suka makan sendirian,” ucap Ambar telak membuat Bianca mendengus.
Biasanya, ia lebih suka skip makan siang saat Alfian, Tari atau bahkan Sky absen mengajaknya makan.Ia tak begitu menyukai makan dengan hanya fokus pada makanannya tanpa ada teman untuk menggobrol.
Tatapannya menatap restoran bergaya vintage ala Prancis yang ia tempati, meneliti bagaimana ekslusive-nya semua furniture yang ada. Meja dan kursi yang terbuat dari kayu pilihan yang di cat putih. Gelas–gelas krystal yang ada di atas meja menambah kesan mahal restoran ini.
“Kamu tenang aja. Tante udah mesan makanan special restoran ini.”
Bianca menatap Arta lekat. Ada rasa nyaman yang merasuk ke dalam hatinya mendengar kata-kata lembut yang Arta ucapkan kepadanya.
“Dimakan. Bi,” ucap Arta memanggil Bianca dengan nama kecilnya membuat Bianca menangguk
Bianca menatap makanan yang tersedia, meneguk air liur saat melihat makanan mewah yang terbuat dari daging domba muda yang disiram sejenis saus. Tangannya bergerak mengambil pisau dan garpu tak sabar untuk mencicipi masakan itu.
“Mama ngapain di sini.” Suara berat seseorang yang tak ingin ia dengar menghancurkan napsu makan Bianca. Pisau dan garpu yang sudah Bianca pegang terhempas begitu saja membuat semua orang menatap kepadanya.
Dilihatnya Fabian sedikit terkejut dengan kehadirannya. Namun, dengan cepat ia tutupi lalu menatap mamanya.
“Mama cuman mau ngajak teman mama dan anaknya makan siang di sini, Salah?”
“Salah kalau mama nge-booking seluruh restoran dan membuat bisnis aku hancur,” ucapnya kesal yang di balas Arta dengan mengangkat bahu tak peduli.
Bianca menatap sebal pria berpakaian putih ala chef yang ada di depannya. Entah mengapa, pria ini hanya terlihat menarik saat mengenakan seragam chef seperti ini.
Menarik.
Bianca geli saat kata ‘menarik’ muncul dalam pikirannya. Bagaimana mungkin ia berpikir bahwa Chef menyebalkan di depannya ini terlihat menarik?
“Tangan kamu kenapa?!” pekik Arta saat melihat Bianca mengusap wajahnya dengan tangan kiri.
Ia tersentak saat tangan kirinya ditarik. Arta mengusap jemarinya yang penuh dengan plaster, sedikit meringis saat melihat jari telunjuk Bianca diperban.
“Kamu ngapain anak orang sampe bikin tangan dia luka parah kayak gini. Kamu sebenarnya ngajar masak atau cuman marahin mereka nggak jelas,” gerutu Arta mendelikan mata menatap Fabian.
“Bukan salahku. Dianya aja yang meleng bukan motong bahan malah motong tangannya sendiri,” ucap Fabian asal membuat emosi Bianca hampir tersulut jika tidak mengingat sekarang ia bersama mamanya dan Mama Chef senga ini sekaligus.
“AWWW MA!” pekik Fabian saat mamanya memukul bahunya keras.
“kamu harusnya minta maaf ke Bianca.”
“Ngapain aku minta maaf. Itu bukan salah aku, lagipula luka kecil gitu juga.”
“Kecil?!” Arta kembali memukul Fabian keras sehingga membuatnya mengusap bahunya. “Bagi laki-laki luka begini emang nggak papa, tapi bagi perempuan… kamu nggak berpikir bagaimana dia nantinya kalau luka itu berbekas!” amuk Arta membuat Fabian terdiam.
“Udah Jeng. Jangan disalahin terus nak Fabiannya. Ini murni kesalahan Bianca, kok. Ni anak nggak pernah megang pisau sama sekali, yang dipegang cuma kertas sama pena. Jadi maklum aja sekalinya pegang, tangannya jadi korban,” ucap Ambar membela Fabian membuat Bianca mendelik, menatap tajam mamanya.
“Ngomong-ngomong, ternyata kamu lebih tampan dari yang Tante lihat di televisi,” puji Ambar centil membuat Bianca menghempaskan tubuhnya ke punggung kursi, mendengus melihat sikap mamanya yang ia anggap begitu menjijikkan.
Arta melihat perubahan mimik muka Bianca hanya tersenyum, mendekatkan piring berisi makanan, “Makan, Bi,” ucapnya lembut membuat Bianca tersenyum.
Bianca memotong daging domba itu dengan kesal. Matanya terus mendelik menatap mamanya yang terus menjejar chef senga itu dengan pertanyaan menjijikkan yang ia tak ingin terlibat di dalamnya. Beberapa kali ia menggaruk punggung tangannya yang tiba-tiba terasa gatal.
Merenyitkan keningnya saat rasa gatal yang ia rasakan mulai menyebar ke bagian leher, dadanya tiba-tiba terasa sesak. “Ma..” panggil Bianca pada Ambar yang sedang asyik bertanya pada Fabian.
“uhuk…,uhuk…, uhuk…” beberapa kali ia terbatuk berusaha bernapas dengan benar, sembari terus menggaruk daerah tangan dan lehernya.
“JANGAN DIMAKAN!” pekik Fabian membuat Bianca menatapnya bingung, begitu pula Ambar dan Arta.
“Sudahku bilang jangan dimakan. Aku menggunakan udang untuk sausnya.”
Tangan Bianca yang ingin menyuap terhenti. Sendok dan garpu yang ia pegang tadi terjatuh hingga membuat dentingan. Rasa gatal yang ia rasakan semakin menyebar bersamaan dengan kepanikan mendengar bahan pembuat saus merupakan pantangan terbesar untuknya.
“Ma…” panggil Bianca pada Ambar di tengah usahanya bernapas normal. Napasnya tercekat, saluran pernapasannya mulai membengkak.
“Ya Allah, Bi!” pekik Ambar sontak menahan tubuh Bianca yang roboh. Panik melihat wajah, tangan bahkan sekitar leher anak bungsunya mulai berwarna merah dan membengkak.
“O-bat.. Tolong carikan obat anti-Alergi Bianca di tasnya,” pinta Ambar pada Fabian. Ia panik dan ketakutan melihat Alergi Bianca kembali kambuh. Terakhir kali, Bianca seperti ini saat SD, itupun karena ketidaktahuannya akan alergi yang Bianca derita membuatnya hampir kehilangan anak bungsunya itu.
*****
“Dia akan baik – baik saja setelah diberi Infus dan Pheniramine. Jangan khawatir.”
Perkataan Dokter membuat semua orang yang menunggu di depan ruang rawat Bianca menghembuskan napas lega, termasuk Fabian yang sedari tadi menutupi rasa cemas yang ia rasakan.
“Kalian bisa masuk. Dia sedang tidur karena pengaruh obat.”
Ambar memasuki ruang perawatan Bianca dengan d**a berdegup kencang. Air matanya ingin kembali terjatuh saat melihat Bianca tertidur pulas. Masih terlihat jelas bercak kemerahan, bahkan beberapa peradangan di sekitar leher dan wajahnya.
Anak bungsunya ini memang selalu membuatnya khawatir. Terlalu lama tinggal berjauhan darinya membuatnya tak dapat melupakan bagaimana anak bungsunya itu begitu pemilih dalam hal makanan, bukan karena tak suka, melainkan tubuhnya terlalu rentan akan alergi. Kacang dan beberapa jenis seafood menjadi pantangan terbesarnya.
“Fabian, bisa tolong Tante?” tanya Ambar tiba-tiba membuat Fabian yang sedang menatap Bianca tersentak. “Bisa jaga Bianca sebentar. Tante perlu mengurus administrasi. Biarkan dia tidur sejenak. Beberapa hari ini, kelihatannya dia tak bisa tidur nyenyak.”
Fabian menatap mamanya yang berada di samping Ambar. Arta mengangguk pelan menyetujui ucapan Ambar, berusaha membujuk anaknya untuk menuruti permintaan temannya itu. Fabian mengalihkan pandangannya menatap Bianca sebelum akhirnya mengangguk pelan. Dia mendesah pelan saat mamanya dan Ambar keluar dari ruang perawatan Bianca. Wajah datarnya berubah nanar menatap wanita yang sedang tertidur pulas dengan jarum infus di tangan kanannya.
Kakinya bergerak mendekat, menarik kursi yang berada di samping ranjang lalu menatap wajah cantik wanita itu. Fabian menatap Bianca dalam, seolah banyak pikiran yang berkecamuk di kepalanya. Tatapan itu berubah sendu saat melihat kedua tangan Bianc yang berada di atas perut penuh denga luka. Sepertinya, dia benar-benar sudah keterlaluan saat itu sehingga membuat jari lentiknya berubah penuh plaster luka seperti ini.
Seharusnya, ia tau bahwa tidak semua wanita ditakdirkan untuk bisa memasak, ada beberapa wanita yang menganggap memasak adalah aktivitas terlarang yang tak akan pernah mereka lakukan, dan Bianca adalah satu dari sekian wanita yang beranggapan bahwa memasak itu merepotkan.
Tatapan Fabian terhenti melihat bracelet dengan aksesoris paris menghiasi pergelangan kirinya. Pergerakan tangan kiri Bianca yang bergerak ke samping ranjang membuat Fabian dapat melihat bracelet itu terlihat begitu cantik menghiasi tangan putihnya. Wajah Fabian membeku saat melihat bracelet itu sedikit turun dan memperlihatkan garis layaknya luka yang memudar yang sengaja ditutupi dengan bracelet paris.
Tangannya bergerak ingin menyingkap bracelet itu, sebelum akhirnya terhenti saat melihat perubahan yang terjadi pada Bianca. Tidur pulasnya berubah menjadi gusar. Keringat dingin bahkan pergerakan tak nyaman dari wanita itu menandakan mimpi buruk yang ia alami.
Fabian beranjak dari tempat duduknya, ingin bergerak membangunkan wanita itu, tapi tak tega. Ia berusaha mengusap keringat dingin yang keluar di dahinya, sebelum akhirnya Bianca membuka mata lebar.
Fabian segera menjauhkan tubuhnya saat melihat Bianca langsung beranjak duduk, menatap panik memperhatikan keadaan sekitarnya.
“Ini di mana?” tanyanya gusar.
“Rumah sakit.”
Mata Bianca berubah pias saat mendengar Fabian mengucapkan kata ‘rumah sakit’. Pandangannya beralih menatap tangan kanannya yang diinfus.
“Apa yang kamu lakukan?!” pekik Fabian saat melihat Bianca menarik paksa jarum infusnya sehingga membua darah mengucur dari tangannya.
“Bukan urusanmu.”
Bianca menyibakan selimuti putih yang menutupi kakinya. Dengan segera mengenakan kembali sepatu hak tingginya. Ia ingin segera keluar dari tempat ini.
“Mau kemana?” tanya Fabian menahan tangan Bianca.
“Sudah kukatakan itu bukan urusan kamu” ucapnya dengan nada sengit melepaskan cekalan tangan Fabian.
“Kamu perlu istirahat. Kamu belum sembuh benar,” ucap Fabian melemah menatap Bianca yang dibalasnya acuh.
“Berada di sini bukan membuatku sembuh, malah membuatku semakin sakit, permisi,” ucap Bianca sinis meninggalkan Fabian.
Pintu ruang perawatan terbuka bertepatan dengan Bianca yang ingin keluar.
“Kamu mau kemana?” tanya Ambar melihat anaknya sudah berdiri tegak. Wajahnya masih terlihat lemah dan memerah membuatnya kembali khawatir.
“Bi mau pulang.”
“Kamu masih perlu istirahat.”
“Bianca bisa istirahat di rumah. Mama tau kalau Bi nggak pernah suka rumah sakit.”
Ambar kembali melihat raut tak suka yang diperlihatkan anaknya. Ia menghela napasnya dalam saat anaknya itu kembali menunjukan kekeras kepalaannya.
“Kami pulang, Jeng. Sepertinya Bianca ingin beristirahat di rumah saja. Kata dokter juga dia udah bisa keluar kalau infusnya habis,” ucap Ambar tak nyaman menatap Arta yang tersenyum maklum.
Arta menyuruh Fabian mengambilkan tas Bianca yang tertinggal di nakas samping ranjang. Tangan Fabian berada di saku celananya, menatap datar Bianca dan mamanya berjalan pelan meninggalkan ia dan mamanya.
“Menurutmu, Bianca orangnya gimana?” tanya Arta membuat Fabian mengalihkan pandangan menatap mamanya itu.
“Maksud mama?” tanya Fabian bingung saat mendengar mamanya menanyakan hal itu.
“Dia terlihat kuat di luar, namun begitu rapuh di dalam. Terlihat selalu ceria, tapi sepertinya ada kesedihan yang mendalam yang ia sembunyikan dari dirinya sendiri dan keluarganya.”
Arta tersenyum menatap anaknya yang terdiam mendengar ucapannya. Mata Fabian terlihat menerawang seolah sedang memikirkan sesuatu.
“Kamu mau pulang atau balik ke resto?” tanya Arta menyadarkan Fabian.
“Bian kembali ke resto aja. Aku perlu merapikan resto kembali setelah semua kekacauan yang terjadi,” ucap Fabian dingin. Arta hanya mengangguk, mengecup pipi anaknya itu sebelum meninggalkan Fabian.
Fabian menatap kepergian mamanya dalam diam. Tangannya merogoh saku celana dan mengambil botol obat plastik berwarna putih s**u yang ia ambil dari handbag milik Bianca tadi.
Obat dengan merk berwarna biru keunguan itu membuat Fabian merenyit. Nama obat itu membuatnya sangsi bahwa obat ini adalah obat anti-alergi. Dia pernah melihat obat yang sama dan tau bahwa obat itu salah satu obat anti-depresan berdosis tinggi.
Fabian mencengkram kuat botol obat itu. Dia tahu orang yang bisa ia tanyai kegunaan obat itu. Setidaknya ia harus mengetahuinya sehingga membuat rasa penasarannya akan wanita bernama Bianca Calista dapat teratasi.