Bab 6 - The Girls Talk

1702 Words
“Americano, Double Shot kayak biasa,” pinta Bianca kepada pelayan Café sebelum akhirnya berjalan menuju salah satu tempat duduk yang berada di sudut ruangan. Kursi Favoritenya yang harus selalu kosong jika dia datang ke Kafe yang dimiliki oleh Kakak sepupu dan kakak iparnya setelah mereka memutuskan untuk berhenti bekerja. Café bertema vintage dan Shabby chic membuat Bianca nyaman untuk menghabiskan waktu jika sedang stress seperti sekarang. Dia menghempaskan tumpukan map hitam dengan keras sehingga menimbulkan bunyi yang membuat semua orang yang ada di kafe itu terkejut dan menatap ke arahnya. Bianca tak peduli, dia menghempaskan tubuhnya duduk sembari mengacak rambutnya kasar. Kekesalannya semakin memuncak. Kelas menyebalkan itu dan juga revisi wedding planner yang sedang dia kerjakan membuat amarahnya menjadi menjadi-jadi. “Kenapa sih, Bi?” tanya Rani meletakkan jus jeruk ke depannya. “Aku tadi mesan Americano Double Shot, Mbak..” rengek Bianca melihat kakak iparnya yang terlihat cantik dengan one piece floral dress yang digunakannya. “Mbak ganti, nggak baik minum kopi pahit kayak gitu. Minum aja ini,” ucap Rani membuat Bianca berdecak sebelum akhirnya meminum jus jeruk itu sebelum akhirnya tersenyum saat menyadari jus itu sedikit asam memberikan rasa segar pada dahaganya. Rani selalu mengetahui kesukaannya. Dia memang tak terlalu menyukai jeruk yang terlalu manis. Kakak iparnya itu menatapnya sejenak sebelum akhirnya melirik ke arah Aurora, istri dari Alan, sepupu suaminya yang berada di berada di belakang Rani mengerenyitkan kening melihatnya yang menekuk dagu. “Revisian lagi?” tanya Aurora membuat Bianca mengangguk. “Yang cewek pengen ngubah konsep ala-ala Perancis. Ya ampun ini kapan sih Fix-nya,” keluh Bianca kesal membuat Aurora dan Rani terkekeh mendengarkan adik bungsu mereka ini. “kamu kesalnya karena revisian ini atau kelas masak yang kamu ikutin sih, Bi,” ledek Aurora membuat Bianca mendesis kesal. “Ah kan, Mbak Ora ngingetin lagi,” rengeknya kesal membuat Bianca kembali meminum jusnya hingga tandas. Dia kesal, tatapan yang tak bersahabat yang diperlihatkan chef menyebalkan itu terus mengganggu pikirannya. Sebenarnya apa yang ada di benaknya, mereka baru pertama kali bertemu di parkiran waktu itu tapi, Chef menyebalkan itu terus menaruh genderang perang kepadany. “Mbak, Kopi boleh? Es jeruk nggak cukup ini,” rengek Bianca kepada Rani yang dijawabnya dengan delikan mata sebelum akhirnya berjalan ke arah bar, dan meminta baristanya untuk membuatkan apa yang adik iparnya minta. Bianca tersenyum melihat kakak iparnya berjalan membawa segelas kopi dengan sepotong kue mendekatinya. “Makan ini dulu, Mbak Ora bikin menu baru. Lemon Cake, bisa sedikit menghilangkan stress kamu. Lalu ini…” Rani meletakkan segelas americano ke depan Bianca yang langsung disambutnya dengan gembira. “Cuman satu shot loh. Mbak nggak mau kamu ketagihan kayak masmu,” decaknya yang dijawab anggukan Bianca.  Bianca menyesap kopinya sebelum akhirnya menatap kakak sepupu iparnya yang menatapnya penuh dengan keingintahuan. “Mbak Ora ngapain ngelihatin segitunya?” tanyanya sembari menyuap potongan kue lemon itu ke mulutnya lalu menggerakan badan saat kue yang dimakannya terasa begitu enak. “Kamu beneran nggak bisa masak, sampai segitunya?” tanya Aurora menggelengkan kepala melihat banyaknya plaster luka di tangan Bianca. “Nggak usah dibahas deh mbak…” rengeknya kesal. “Ya kali, Bi… kamu sampai ngehancurin tangan kamu sampe segitunya.” Aurora meringis saat melihat adik sepupunya itu membuka kedua tangannya. Selain buku-buku tangan, beberapa tempat di telapak tangannya terlihat mengelupas. “Itu Chef beneran nyebelin tahu nggak?!” pekik Bianca kesal membuat beberapa pengunjung memandang ke arah mereka membuat Rani dan Aurora mengucapkan kata maaf karena mengganggu waktu mereka. “Ish… itu mulut. Dipelanin dikit. Ini Café bukan rumah mamah,” delik Rani membuat Bianca menutup mulutnya kemudian menganggukan kepala. “Ya habis …. Kesel tahu nggak, mbak. Dia itu nunjukin aura permusuhan banget sama Bianca. Kenal aja baru tapi itu, gitu banget. Bikin kesel, Sumpah!” “Chef itu naksir kali sama kamu, makanya kayak gitu,” ledek Aurora membuat Bianca menggeleng geli. “Idih.. amit-amit deh, Mbak. Cukup deh, aku udah dibikin gedek sama dia. Nggak mau deh deket-deket sama cowok kayak gitu.” Rani terkekeh melihat adiknya yang terus menggelengkan kapala seolah jijik memikirkan apa yang dikatakan mantan atasannya yang juga istri dari kakak sepupu suaminya ini. “Nggak boleh kayak gitu. Mbak udah pernah bilang kan di rumah mama. Antara Cinta sama Benci itu tipis banget… Kamu bisa nih sekarang bilang kayak gini, siapa tahu nanti ketula, terus kamu bakalan cinta benget sama itu chef,” kata Rani ikut memanas-manasin Bianca membuatnya mencibir. “Ih.. Mbak udah ah, nggak usah dibahas lagi bikin gedeg aja. Ini aku pusing sama Wedding Project kita.  Mempelai wanita terus minta ganti tema, mana waktu udah mepet,” ucapnya mengalihkan pembicaraan membuat Rani dan Aurora akhirnya fokus menatap tumpukan map yang sedari tadi tanpa sengaja terabaikan. Bianca menghela napas dalam sebelum kemudian membuka map yang dia bawa. “Aku udah ngehubungi Tari, katanya nggak ada masalah sama dekorasi karena dia udah nyiapin beberapa tema sebelum itu. Masalah gaun, aku lagi ngusahain buat buat rombak gaun sesuai yang dia minta. Yang jadi masalah sekarang, makanan.” Bianca menghancurkan tatanan rambutnnya kemudian menariknya ujungnya kesal. Rani meringis melihat adik iparnya kemudian merapikan rambut Bianca yang berantakan dengan penuh kasih sayang, sebelum kemudian mengambil beberapa kertas yang Bianca bawa kemudian membacanya. “Kita belum pernah bekerja sama dengan Chef masakan Perancis sebelumnya. Mbak punya kenalan atau rekomendasi sebelumnya?” tanya Bianca menatap Aurora yang membaca satu persatu file yang Bianca perlihatkan mengenai wedding planner yang mereka kerjakan. Wedding Planner ini memang usaha sampingan yang mereka lakukan untuk mengisi waktu luang. Ramo dan Aurora yang mengurusi tentang budget dan marketing, Tari mengurus bagian dekor, Bianca yang mengurus bagian gauh dan segala urusan dengan penampilan kedua mempelai dan keluarganya, dan juga Patricia, kakak ipar Aurora itu bekerja sama sebagai Pattisier. “Ah, bilang sama Mbak Cia buat ganti kue pengantinnya. Mereka minta Croquembouche. Mbak Cia bisa buat kan?” tanya Bianca memikirkan bisakah kakak ipar Aurora itu membuat Kue pengantin tradisional Perancis itu yang terkadang susah untuk dibuat. Kue itu memang hanya berbentuk bulat yang dibuat membentuk gunungan segitiga. Tapi itulah tantangannya, bagaimana membuat kue kecil itu menarik dan indah seperti kue pengantin lainnya. Aurora mengangguk, “kamu tenang aja, buat kue pengantin sama makanan biar aku yang ngurus. Kak Cia punya beberapa kenalan Chef masakan Perancis. Kamu fokus sama gaun pengantin sama hal lainnya aja,” jawab Aurora membuat Bianca menghela napas lega. “Tari gimana?” “Dia cuman bisa buat rancangan dekorasi.. Mas Bintang udah ngasih kartu kuning buat dia. Mau nggak mau sisanya aku yang ngurus.” Keluhnya Bianca bergedik ngeri saat mengingat wajah Bintang yang memerah karena memarahinya saat mereka ketahuan melakukan projek ini. Bintang yang biasanya tak pernah marah dan selalu mengikuti permintaan Tari berubah menakutkan saat menyadari bahwa istrinya yang sedang berbadan dua melakukan pekerjaan melelahkan ini lagi. “Makanya kamu cepet nikah, biar nggak disuruh-suruh ngelakuin semuanya,” ledek Aurora tiba-tiba membuat Bianca mengerenyitkan kening. “Apa sangkut pautnya Mas Bintang sama nikah sih, Mbak?” delik Bianca kesal “Ada lah,” jawab Aurora tak mau kalah. “Rani punya Alfian, Tari punya Bintang, Aku punya Alan. Setidaknya kami punya orang buat bersandar di saat lelah, nggak Cuma ngeluh sana-sini.” “Ye yang ngeluh sana-sini siapa?” decak Bianca kesal.  “Lagi pula kalau Cuma buat bersandar. Aku juga punya…” Kata Bianca menarik perhatian Rani dan Aurora. “Beneran?” tanya Rani penuh minat. “Iya,” ucap Bianca yakin. “Noh tu sama tembok rumah, udah lebar, dingin, gede lagi. Enak buat senderan,” kata Bianca lagi membuat Rani dan Aurora menggelengkan kepalanya mendengar ucapan gadis bungsu Abiyaksa ini. Mereka hanya bisa tertawa dan saling pandang. Mereka tak akan pernah menang jika berdebat dengannya. “Lagipula ini yah, mbak-mbak semua, ya…. Aku masih pengen bebas dan nikmati masa mudaku selagi bisa. Menikah itu bukan standar kebahagiaan seseorang. Iya kalian bertiga beruntung mempunyai suami yang pengertian, tapi gimana rumah tangga yang lain, belum tentu,” jawabnya kembali meminum americanonya hingga tandas, membiarkan rasa pahit minuman itu membangunkannya. Dia menatap Aurora dan Rani bergantian. Memikirkan betapa beruntung Kakak sepupu iparnya ini yang bisa menikah dengan pria tampan seperti Alan yang tak pernah sekalipun mempermasalahkan berat badan istrinya, lalu Rani, walaupun Alfian pernah melakukan kesalahan, abangnya itu membuktikan kesungguhannya dengan terus membahagiakan istri dan kedua anaknya dan tak pernah membuat mereka terluka. Lalu, Tari, kakak seayahnya itu beruntung memiliki pria seperti Bintang yang mau merubah sifatnya yang dulu egois dan selalu ingin menang sendiri, menjadi family man dan orang yang menomor satukan keluarga. Bagi Bianca ketiga tipe pria seperti itu mustahil untuk dia temukan lagi, Dia terlalu skeptis dengan hubungan bernama pernikahan. Dan dia sendiri tak mengerti kenapa. “Aku masih ingin membangun karirku, memperjuangkan hal yang sudah dengan susah payah aku dapatkan, baru setelah itu aku memutuskan untuk menikah,” jawab Bianca panjang lebar membuat kedua kakanya menghela napas. “Nikah itu bisa berjalan seiringan dengan karier, Bi. Kamu cuman perlu laki-laki yang tepat untuk mendukung kamu nanti.” Bianca menatap Rani dan Aurora bergantian. Sebelum kemudian terkekeh, menertawakan dirinya sendiri yang tak percaya dengan ucapan Rani. Menurutnya tak gampang untuk mendapatkan pria yang seperti itu, Kedua kakaknya atau bahkan Aurora begitu beruntung mendapatkan pria yang bisa mendukung mereka mengerjakan yang mereka suka. Tapi, pria seperti itu tak banyak. Dia bahkan pesimis ada pria seperti itu lagi di Dunia ini. Menurutnya, Pria adalah makhluk egois dengan harga diri super tinggi yang akan merasa tersaingi jika pasangannya memiliki karier yang lebih bagus darinya. Bianca mengelengkan kepala membuang pikirannya itu sebelum kemudian kemudian menyunggingkan seringai, “Mbak, bisa bikinin aku nasi goreng super pedas? Aku laper banget ini,” pinta Bianca pada Aurora yang membuatnya mendelik sebelum kemudian menggerutu karena Bianca selalu bisa mengalihkan pembicaraan. “Tunggu di sini, mbak bikinin,” ucapnya menjitak kepala Bianca dengan sedikit keras sehingga membuatnya kembali berteriak dan sontak mengusap keningnya yang memanas. Rani hanya bisa menggeleng melihat adik iparnya ini sebelum kemudian melirik jam tangannya. Jam sudah menunjukan pukul dua siang. Dia yakin adik iparnya ini belum memakan makan siangnya. Bianca memang tak pernah bisa makan sendiri, itulah yang membuatnya selalu pergi ke rumahnya, rumah Tari atau bahkan ke café ini untuk minta ditemani makan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD