Bab 5 - The Devil Chef

2711 Words
Hentakan stiletto mahal Bianca terdengar kesal memasuki ruangan yang berisi dengan beberapa manequin yang sudah mengenakan pakaian jadi dan hampir jadi yang Bianca rancang. Helaan napas bercampur dengusan menggelegar memenuhi ruangan ini. Dihempaskan p****t seksinya di kursi, kembali memikirkan ancaman mamanya kalau tidak mengikuti kelas memasak itu. Ada satu alasan lagi kenapa kelas itu jadi Neraka. Jika pertama karena dia benar – benar tidak suka memasak, tapi sekarang juga karena cowok senga, judes, bahkan menyebalkan yang menjadi Head Chef yang mengajar di kelas itu.  “Plaster di tangan jadi trend sekarang ya, Mba?” pertanyaan Nadya membuat Bianca tersadar.  Dia menatap ke arah asistennya yang menatap ke arah buku-buku jarinya yang penuh dengan plaster “Kamu orang kesekian kalinya yang menanyakan plester ini. Ini semua karena kelas memasak sialan itu!” dengus Bianca sembari menatap jemarinya. Hampir di seluruh jari tangan kirinya di penuhi plaster yang berselang-seling layaknya kumpulan cincin.  “Beneran, Mbak?” tanya Nadya sembari tertawa keras. Membuat Bianca kembali menatap kesal.  “aku beneran ngira itu bakalan jadi trend kok, kayak biasanya.”  Bianca terdiam kembali menatap jemari tangannya. Matanya memutar memikirkan sesuatu, hingga senyum sumringah menghiasi wajahnya. “Nad, nanti bisa hubungin Desaigner Perhiasan langganan kita? Kayaknya kamu benar, hal ini bisa di jadikan Trend tahun ini.” Nadya mengangguk senang karena atasannya ini memang selalu kreative. “Oh iya, Mbak. Kita masih perlu beberapa baju untuk di ikutkan di Indonesia Fashion Weeks, terus saya sudah menghubungi Main model.yang akan mengenakan pakaian utama dari rancangan Mbak nanti.” “Masalah baju, saya sedang mengusahakannya.” Tatap Bianca pada beberapa manequin yang ada di salah satu sudut ruangan. “Masalah Main Model, usahakan saat dia datang perlakukan dengan sebaik-baiknya.”  “Kamu boleh pergi.” Bianca menatap kepergian Nadya dengan kembali menghela napas. Matanya kembali menatap pekerjaannya yang belum selesai. Back to work. Again.  ***** “Iya, Ma. Bianca udah sampai di sini. Mama nggak perlu nelponin Bianca setiap waktu untuk ngecek Bi datang apa nggak.” Keluh Bianca menutup teleponnya sepihak. Bukan bermaksud durhaka atau apa, tapi melihat bagaimana menyebalkan mamanya itu membuat Bianca tak ingin berlama-lama berbicara dengan beliau. Mamanya itu seolah tak mengerti pekerjaan Bianca sedang dalam tahap begitu sibuk. Indonesian Fashion Week yang akan diadakan beberapa waktu ke depan membuatnya kelimpungan. Seharusnya sekarang, ia berada dalam ruang kerjanya, kembali mengerjakan rancangan yang belum sempurna, bukan membuang waktu dengan belajar memasak seperti ini. Langkah kakinya terasa berat melangkah memasuki bangunan tingkat dua dengan tipe vintage Perancis di depannya.  Hembusan napas Bianca begitu berat tiap kali ia mengingat nama tempat ini. B’licious. Gubahan kata dari Delicious yang berarti enak. Dari namanya saja ia sudah tau pemiliknya memiliki pemikiran yang hampir sama dengannya. Brand Fashion yang ia miliki juga berupa gubahan dari Fabulous dan namanya Bi. Tapi, entah mengapa Bianca merasa ada sedikit mengganjal di hatinya saat mendengar nama tempat itu. Kepalanya terus menunduk seraya berjalan lemah, tanpa ada keinginan sama sekali untuk memasuki kelas memasak yang baru satu kali ia ikuti. Ia tak pernah peduli dengan betapa tampannya Chef yang mengajar di kelas itu. Yang ia tau pasti, ia tak pernah menyukai Chef yang katanya tampan dan seksi itu, tidak pernah menyukai memasak dan segala t***k bengeknya, termasuk Chef senga itu. Langkahnya terhenti, keningnya merenyit, tangannya menyentuh hidung mancungnya yang baru saja menabrak sesuatu yang keras. Diusap hidungnya yang masih nyeri sembari mengangkat kepala. “LO LAGI?!” Pekiknya, setelah helaan napas kesal saat kembali menatap sesuatu yang ia tabrak tadi, ternyata d**a bidang Chef yang baru saja ia hardik dalam pikirannya. “ Lo punya mata ga sih. Udah tau lo yang salah main nabrak gue. Eh, malah elonya yang sewot!” “Gue yang salah?!” Bianca menatap kesal pria yang ada di depannya. Tangannya mengacak pinggang tak rela pria fashion terrorist bin menyebalkan ini menyalahkannya. “Lo nggak ngaca?! Huh,” dengusnya. “Gimana gue ga sewot. Lo nggak nyadar kalau masih ada di lorong yang notabene buat jalan. Ngapain lo berhenti tanpa ngelihat ada orang di belakang lo apa nggak!” tungkas Bianca kesal “LO!” “APA?!” balas Bianca. Aura kebencian, efek dari kejadian di parkiran kemarin, ditambah lagi dengan kelas memasak menyebalkan yang akhirnya membuat semua jarinya terluka, belum lagi dengan ucapan tidak menyenangkan yang pria itu katakan tadi membuat emosi dan kebencian itu memuncak. Bianca berusaha menantang Pria itu yang menatapnya dengan amarah yang sama.  “Kamu nggak berminat masuk kelas? Sebentar lagi kelas dimulai.” suara lembut perempuan di belakang Bianca membuat tatapan kesal di antara keduanya buyar. Bianca membalikan badan dan menatap wanita cantik dengan wajah khas Indonesia sedang menatapnya dengan senyum terukir. Bianca mengetahui siapa wanita itu. Wanita yang ia ketahui sebagai asisten Chef senga yang ada di depannya. Otaknya mulai berpikir, bagaimana wanita cantik, dengan senyum menawan ini sanggup bertahan berada dekat dengan pria menyebalkan di depannya.  “Chef Bian, kamu sepertinya juga harus ganti pakaian kamu. Kelas akan dimulai,” ucap Wanita itu membuat Bianca mengalihkan perhatian kembali menatap penampilan Chef senga itu. Hampir saja ia menyemburkan tawa saat melihat pakaian yang dikenakan Pria di depannya. “You’re totally fashion terrorrist,” gumam Bianca tanpa sadar. “What?!” Pekik Chef itu membuat Bianca menggeleng cepat saat melihat pria itu mendelik kesal kepadanya. Ditampilkan senyum bloonnya membuat Pria itu mendengus, kembali menatapnya kesal sebelum akhirnya berjalan meninggalkannya. “ Haha..” tawa renyah seseorang membuat Bianca mengalihkan pandangan dan menatap asisten Chef senga tadi yang masih berada di dekatnya. “Ups, aku kelepasannya,” ucap Wanita itu membuat Bianca mengangguk sungkan. “Kamu satu-satunya orang yang bisa membuatnya berbicara panjang lebar bukan masalah memasak dengan dia.” Wanita itu menghapus air matanya yang keluar karena tertawa tadi. “Ah iya, aku belum memperkenalkan diri. Nisya, asisten Chef Bian,” ucap wanita itu sembari menyodorkan tangannya, Bianca memandang sebentar senyum sumringah yang dipancarkan wanita itu lalu membalas sodoran tangan wanita itu. “Bianca,”  “Wow,” ucapnya tersentak mendengar nama Bianca. “Pantes aja kemarin kamu menoleh pas manggil Bian kemarin.” Bianca mengangguk pelan lalu tersenyum. Kembali di tatapnya wanita itu, pakaian Chef  berwarna putih yang dikenakannya membuatnya terlihat keren, rambut panjangnya yang ia ikat ponytail rendah yang bagian depannya mengenakan bandana lebar agar rambutnya tak jatuh. Senyum manis dan wajah cantik khas indonesia yang ia miliki membuat siapa saja akan menyukainya. “Senang berkenalan dengan-mu,” “Aku juga, walaupun sepertinya aku sudah sangat mengenalmu,” guman Nisya. “Eh,”  “Nothing,” geleng Nisya pelan sembari tersenyum penuh arti membuat Bianca merenyitkan kening. “Maaf kalau Chef  Bian keterlaluan dengan kamu kemarin, sampai buat jari tangan kamu jadi kayak gitu,” ucap Nisya menatap jemari Bianca membuatnya menyembunyikan tangan.  “Nggak kok, saya nya aja yang nggak bisa masak. Makanya jadi kayak gitu, hehe,” ucap Bianca mencoba tertawa menutupi rasa kesalnya kepada Chef Senga itu. “Sebaiknya kita masuk. Kelas sudah mau dimulai. Jangan sampai Head Chef itu bakalan membuat hidupmu bagai neraka lagi,” ucap Nisya membuat Bianca menangguk setuju. Ia tersenyum menatap Nisya yang sedang berjalan di sampingnya. Setidaknya ia bisa dekat dengan seseorang di tempat bagai neraka ini.  *****  “Chef di sini ganteng banget. Nggak nyesal saya daftar kelas masak di sini.” “Iya, Mbak. Rasanya pandangan mata saya nggak bisa berpaling darinya.” Tubuh Bianca merinding mendengar pujian-pujian ibu – ibu mid-thirties yang ada di sekelilingnya. Geli mendengar bagaimana ibu-ibu memuji pria senga setengah mati yang menbuat hidupnya bagai neraka itu. “Mbak nggak pengen jadiin dia pacar?” tanya salah satu diantara mereka kepada Bianca membuatnya membulatkan mata.  “Iya, mbak. Nggak pengen apa jadiin dia pacar. Chef Bian itu tampan, pintar masak keren lagi, kalau saya belum punya suami. Udah saya pepetin deh dia,” ucap ibu-ibu yang lain membuat Bianca mendengus. “Keren dari mana,” dengus Bianca membuat ketiga ibu-ibu itu mengelilinginya. “Kalau tampan sih. Ehm, boleh lah. Tapi kalau keren—“ Bianca terkekeh geli mencoba membayangkan seperti apa kata keren yang baru saja diucapkan ibu-ibu setengah tua ini untuk menggambarkan Chef Senga itu. “Dia keren pas pake Chef Jacket aja. Coba kalau ibu-ibu semua ngelihat bagaimana penampilan tanpa jaket chef itu. Uhhh..” komentarnya geli sembari menggosok kedua tangannya. “Seharusnya ibu lihat gimana penampilannya tadi, ih. Nggak banget pokoknya.” “Nggak banget gimana, Mbak?” tanya salah satu ibu mulai kepo mendekatkan tubuhnya kepada Bianca, diikuti kedua ibu lainnya . “Kemeja lengan panjang hitam dengan kancing 3 kancing terbuka.”  “Bukannya itu keren, mbak? Kita jadi bisa ngelihat dadanya yang WOW!” pekik salah seorang ibu yang paling muda di antara yang lain. Membuat ibu-ibu yang lain menggerakan tubuhnya seolah begitu menginginkan melihat apa saja yang Bianca lihat. “Eh, ibu jangan salah. Cuma ada dua tipe laki-laki yang mengenakan pakaian seperti itu,” bisik Bianca membuat ketiga ibu itu kembali menatap Bianca penuh tanya.  “Pertama, dia itu sebenarnya mafia meksiko yang menyamar jadi Chef, lalu—“ Bianca menghentikan ucapannya lalu menundukan wajahnya sehingga membuat ketiga ibu itu mendekatinya. “Lalu—“ tanya ketiga ibu itu penasaran. “ Dia seorang Gay,” bisik Bianca pelan membuat ketiga ibu itu membulatkan matanya, lalu saling pandang.  “Setau saya, saya masih normal dan menyukai wanita.” Tubuh Bianca membeku mendengar suara berat di belakangnya, dengan cepat ia membenarkan posisi tubuhnya dan menoleh ke belakang. Dilihatnya orang yang baru saja ia gosipkan tadi berada di hadapannya dengan menyilangkan kedua tangan lalu menatap Bianca kesal. Pakaian hitam-hitam ala mafia Meksiko yang ia kenakan tadi, berganti dengan Chef Jacket berwarna hitam berlengan pendek, dengan celemek putih yang melingkar di pinggangnya. “Saya baru tau kalau orang yang mengenakan kemeja dengan 3 kancing di lepas kalau tidak Mafia, berarti dia Gay. Menurut kamu, tipe seperti apa saya?” tanya Pria itu sarkatis GLEK Bianca menelan air liurnya. Nada formal yang dilontarkan Pria itu membuat Bianca tak dapat membalas perkataannya. Ketiga ibu yang sedari tadi bergosip dengannya melarikan diri dan berpura-pura sibuk sendiri, seolah tak mau ambil bagian dari gosip yang mereka lontarkan.  “Saya permisi ke meja saya dulu,” kata Bianca mencoba melarikan diri dari situasi tidak mengenakan ini.  “Tunggu!” perintah Pria itu membuat kaki Bianva terhenti. Meruntuki kebodohannya tadi yang akhirnya akan membuatnya dibully oleh pria menyebalkan ini.  “Kamu pindah ke meja di depan saya. Kebetulan ada yang mengundurkan diri.” “Si-siapa? S-saya?” tanya Bianca tak percaya. “Siapa lagi kalau bukan kamu. Ayo!” perintahnya menbuat Bianca meringis, sebelum akhirnya berjalan menuju meja persis di hadapan Chef senga itu. Ia dapat mendengar pekikan dan desahan mengutarakan kecemburuan dari teman-teman sekelasnya.  “Jika aku bisa menukar mejaku dengan milik kalian, pasti akan aku lakukan,” ringisnya pelan. Kembali mendesah, saat melihat Chef Senga Bin Meyebalkan itu berada di meja masaknya sendiri. Dengusannya kembali terdengar, rasanya tak rela matanya menatap langsung Chef itu. “Kemarin kita belajar tentang cara mengupas yang benar,” ucap Chef Senga itu berkacak pinggang. Matanya tetap saja menatap Bianca kesal membuat yang ditatap menunduk tak nyaman. “Sekarang, saya akan mengajarkan cara memotong yang benar. Jadi perhatikan bagaimana cara saya menggunakan pisau dan bagaimana tangan satunya menahan bahannya.”  Bianca hanya berdecak kesal saat melihat Chef Senga itu memamerkan kemampuannya dalam memotong cepat bahan-bahan yang telah dipersiapkan. Decakan kagum teman-teman sekelasnya membuatnya tak suka. Otaknya mulai berpikir bagaimana berhenti dari kelas memasak menyebalkan ini tanpa mendapat ancaman dan cacian dari mamanya. “Kamu ikut kelas ini mau belajar atau melamun.” “Eh,” lamunan Bianca buyar saat melihat Chef Senga itu berada di depannya sembari mengacak pinggang.  “Ini,” ucapnya menyodorkan kembali satu baskom penuh berbagai bahan yang akan di potong – potong. “Saya yakin kamu sudah pintar memotong sayuran, makanya saya kasih bonus special tambahan buat kamu.”  Mata Bianca melebar menatap keranjang sayuran itu, lalu beralih menatap Chef yang bahkan tidak ingin ia sebutkan namanya itu menatapnya dengan senyum kemenangan. Oh, God. Jangan lagi. Batin Bianca meringis menatap jemarinya yang masih penuh dengan plester   **** Bianca meringis saat melihat luka yang kembali memenuhi bukan hanya buku-buku jarinya, tapi juga telapak tangannya. Dengan cepat, dia mengambil plaster luka yang diberikan Sky saat mengantarnya kemarin. Dia memang selalu menjadi orang yang pertama kali mengetahui segala hal, termasuk plaster luka yang memang sangat dia perlukan sesaat setelah ikut kelas memasak ini. Dia sekarang sendirian menunggu taksi online pesanannya di salah satu sisi taman restoran. Menghirup aroma segar bunga-bunga yang ditanam di sana. Setidaknya, design taman restoran membuatnya sedikit betah.  Dia menarik napas dalam mengisi paru-parunya yang seolah kosong karena pertengkarannya dengan Chef menyebalkan itu. Dengan satu tangan, Bianca membuka bungkus plaster putih itu. Dia menghela napas saat kesulitan menjangkau tempat luka, dan beberapa kali membuat plasternya menekuk. “Aku bantu,” sapa sesorang dari depan membuat Bianca mengangkat kepala. Dia tersenyum sungkan saat melihat Nesya, Asisten Chef menyebalkan yang tadi baru saja berkenalan dengannya. Tanpa menunggu jawaban, gadis itu mengambil plaster yang ada di tangan Bianca lalu memasangkannya di telapak tangan Bianca yang terluka. “Baru pertama kali belajar memasak?” tanya Nesya membuat Bianca mengangguk. Dia meletakan tanganya di samping tubuh sebelum kemudian menatap tanaman yang terlihat menyegarkan mata dengan rumput yang dipotong rapi. “Aku bahkan terakhir kali menggunakan pisau zaman SD saat praktek prakarya,” jawab Bianca cepat , ..”Dan.. tentu saja, hal itu membuat tanganku seperti sekarang.” Nesya terkekeh, sebelum kemudian menatap Bianca lekat seolah ada yang ingin dia utarkan namun dia tahan. “Ada yang aneh dengan mukaku?” tanya Bianca yang dijawab kekehan Nesya. “Aku hanya kagum, kenapa ada wanita dengan rasio wajah sempurna seperti kamu,” ucapnya membentuk jarinya dengan huruf C seolah mengukur wajahnya dari dahi, bagian hidung kemudian bagian dagu.” “Well, Thanks for my parents for that,” ucap Bianca dengan penuh percaya diri membuat Nesya kembali tertawa, “Have we met before?” tanya Bianca saat merasa familiar dengan Nesya seolah mereka pernah bertemu atau mungkin ada yang pernah mengenalkan mereka. Nesya terdiam sejenak sebelum kemudian tersenyum, “Yes, We have..” “Eh?” tanya Bianca tak mengerti, dia mulai menggali pikirannya, mungkinkah dia pernah bertemu dengan Nesya sebelumnya. Dia mencoba memikirkan hal itu namun gagal. Tak ada satupun ingatannya bertemu dengan Nesya sebelumnya. “We met… a week ago, in here,” jawab Nesya membuat Bianca tertawa. “That’s a silly question, right?” tanya Bianca yang kembali dijawab anggukan oleh Nesya. Memperhatikan salah satu asisten Chef menyebalkan ity. Perawakannya tidak terlalu tinggi seperti dirinya, mungkin tingginya hanya 158 cm sampai 160 cm, tapi wajahnya yang kecil dengan baby fat di bagian pipi membuatnya terlihat menggemaskan. Caranya tersenyum membuat Bianca juga ingin tersenyum sejenak melupakan kekesalannya dengan Chef menyebalkan itu. “Kamu udah lama balik ke Indonesia?” “Hah…” Bianca bingung saat mendengar ucapan Nesya yang mengetahui bahwa dia belum lama kembali ke Indonesia. “Bagaimana kamu tahu kalau aku baru balik ke Indonesia lagi?” tanya Bianca membuat Nesya sedikit gelagapan. Nesya terdiam seolah memikirkan jawaban yang tepat sebelum akhirnya kembali tersenyum canggung. “Eh… dari tante Ambar, mama kamu kan? Dia bilang anaknya yang baru balik dari luar negeri pengen ikut kursus masak.” Bianca menghela napas mendengar ucapan Nesya. Tak habis pikir kenapa mamanya seolah memberitahu semua orang bahwa dia tak pernah belajar masak. Bianca hanya menangguk-angguk sebelum akhirnya mengerenyitkan kening saat melihat Nesya mengulurkan tangannya. “Friend?” tanya Nesya membuat Bianca menatap senyuman manis Nesya sebelum kemudian beralih menatap uluran tangan Nesya. “Nice to meet you,” ucap Bianca membalas uluran tangan itu bersamaan dengan suara ponsel pintarnya yang berdering. Dengan cepat, Bianca memberi kode Nesya untuk menganggkat telepon. Dia mengangguk saat taksi online yang dia pesan sudah berada di parkiran restoran. “Aku pikir aku harus pergi, taksi yang aku pesan sudah datang,” kata Bianca yang dijawab anggukan Nesya. “Have a nice day,” jawabnya saat Bianca pergi menuju arah parkiran. Tatapan Nesya berubah sendu menatap punggung Bianca yang pergi menjauh sebelum kemudian beralih ke arah lorong restoran dan melihat Fabian berada di sana memperhatikan interaksinya dengan Bianca dengan pandangan yang Nesya mengerti bahwa Fabian dan Bianca memiliki keterhubungan, bukan hanya karena nama mereka yang memiliki panggilan yang sama
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD