Bab 4 - Makan Malam Keluarga Abiyaksa

1626 Words
 “Aunti Bi, emang cincin plaster jadi trend tahun ini ya?” celetukan Deeva yang tiba-tiba berdiri di depannya menghentikan tangan Bianca yang sedang mewarnai desain pakaian terbarunya. Ditutup buku sketsa miliknya lalu melirik ke arah jemarinya yang dipenuhi oleh plaster luka layaknya cincin di hampir seluruh jari tangannya. Bianca mendelik menatap keponakan cantiknya yang mulai remaja, di helanya napas dalam sebelum akhirnya merapikan buku sketsa miliknya. Mood-nya turun drastis mengingat dapur setan itu.  “Va! Jangan ganggu Aunti Bi lagi kerja!” Teriak Rani –kakak iparnya yang selalu menjadi penyelamat dari anaknya yang kepo dan memiliki banyak kemiripan dengan Oma-nya yang notabene mama Bianca. Deeva membalikan tubuh menatap mamanya, “Aunti Bi dari tadi nggak kerja kok, Mom. Dia dari tadi Cuma mewarnai gambar gaun dia aja, nggak kayak Oma, Mommy, sama Aunti Tari yang daritadi sibuk di dapur,” celetuknya membuat semua orang yang ada di ruang keluarga rumahnya tertawa. Bianca menggeram, mendelik melihat keponakannya yang terlihat cantik dengan gaun pastel simpel yang menghiasi tubuhnya yang sudah mulai remaja. Memikirkan kemana hilangnya sikap lucu yang sering diperlihatkan Deeva kecil yang berubah semakin menyebalkan sekarang. “Tuh, Deeva saja tahu kalau yang lain pada sibuk di dapur. Kamu malah asyik di sini sendirian.” Bianca mendengus kesal saat Ambar mulai mencemoohnya sembari membawa makanan hasil karya kakak dan kaka iparnya yang cukup pandai memasak, berbanding terbalik dengannya yang hanya bisa menikmati makanan itu dengan senang hati. Dia mendesah, pertemuan keluarga kali ini benar-benar menyebalkan. Dia sadar Ambar selalu saja merasa menang jika keluarganya berkumpul seperti ini, dia bisa mengeluarkan semua uneg-uneg tentangnya agar semua orang yang ada di rumah mendengar dan membuat mereka bisa ikut menegurnya. Dia menyesal menutup butiknya lebih awal hanya untuk ikut dalam makan makan keluarga seperti ini dan akhirnya hanya akan mendapatkan cemoohan dan teguran Ambar yang terkadang membuatnya ingin melarikan diri dari rumah ini. Seharusnya yang ikut kelas memasak menyebalkan itu Rani, bukan dirinya. keluhnya dalam hati melihat Rani yang terlihat menikmati saat-saat memasak, berbeda dengannya. “Mama kan tahu, aku nggak bisa masak.” “ Ya makanya mama masukin kamu ke kelas masak itu biar kamu bisa masak. Eh, ternyata hasilnya nihil. Pulang-pulang kamu malah bawa banyak plaster luka buat jari-jari kamu,” tegur Ambar membuatsemua laki-laki yang sedang duduk santai di ruang tamu tertawa keras. “Sia-sia kali, Ma. Dia nggak bakalan bisa masak juga nanti,” celetuk Alfian –Abangnya yang mengendong Revan, putra mereka yang sekarang sudah berusia lima tahun. Tatapan matanya terlihat meremehkan. Bianca berdecak kesal, berdiri mendekati abangnya kemudian mencubit keras perut abangnya yang tidak lagi rata efek terlalu banyak makan masakan istrinya. “Aduuh… duh.. Bi.. Sakit. Ini kasihan Revan,” keluh Alfian yang hampir saja menjatuhkan putra bungsunya karena serangan tiba-tiba Bianca.  “Ya Ampun Bi!!” teriakan mamanya menghentikan gerakan Bianca. “Kamu apaan pake pakaian kayak gitu, GANTI!” teriak Ambar kesal membuat Bianca menatap pakaian yang dikenakannya. Pakaiannya biasa-biasa saja. Kaos kentat berwarna pink yang ia padu dengan Hot pants super pendek adalah paduan pakaian rumahan yang digunakan hampir semua wanita di dunia. Lalu apa salahnya? “Kamu nggak sadar sekarang ada Alfian, Sky sama Bintang yang ikut makan malam di rumah. Masa kamu pake pakaian kayak gini. Kamu nggak malu?” “Ya elah, mama. Mereka kan Abang, Abang ipar plus teman Tari yang udah Bianca anggap seperti Abang sendiri. Ngapain Bi malu.” Balas Bianca membuat Ambar kembali geram. Dia menatap Bintang dan Sky yang masing-masing sedang menggendong Alpha dan Venus, kedua buah hati Tari yang baru berusia empat dan dua setengah tahun, lalu tersenyum menampilkan gigi rapi hasil dari kawat gigi yang menyiksa saat dia masih SMP. . “GANTI!” teriak Ambar lagi dengan nada perintah membuat Bianca mendengus mencoba kembali melawan, namun gagal saat melihat Alex berdehem. Bianca menghela napas. Dia selalu tak bisa melawan deheman ayahnya. Aura ayahnya terlalu kuat untuk dia lawan. Dengan berat hati, akhirnya dia menghentakkan kaki berjalan menuju kamarnya untuk berganti ‘pakaian yang lebih layak’ seperti kata Mamanya tadi.  “Aunti lucu, kayak Deeva kalau lagi ngambek.” Kikik Deeva membuat semua orang kembali tertawa. Bianca bergegas masuk kamar, dan kembali turun dengan pakaian yang lebih manusiawi. Kaos yang lebih longgar dan celana jeans ¾ yang menutupi bagian pahanya.  Menatap ke arah meja makan yang sudah dipenuhi pria dari keluarganya yang mulai membicarakan proyek terbaru mereka. “Bisa nggak bahas masalah proyeknya, nanti habis makan. Ruang kerja papa nggak dikunci, lebih baik kalian bicara di sana nanti,” keluh Bianca kesal mendengar istilah-istilah yang tidak dia mengerti sedari tadi. Semua orang memandang ke arahnya sebelum akhirnya terkekeh saat melihat anak bungsu Abiyaksa itu duduk di tempatnya sembari menyilangkan tangan di depan d**a. Minggu malam di awal bulan memang sudah menjadi agenda wajib keluarga mereka untuk selalu makan malam di rumah utama, sehingga membuat rumah yang awalnya sepi menjadi ramai dipenuhi dengan tawa anak kecil, bahkan pembicaraan rutin antara Pria di rumah mereka termasuk Sky yang selalu hadir. “Kamu nggak bantuin di dapur?” tanya Alfian yang dijawab gelengan cepat Bianca. “Udah banyak orang, ngapain aku bantuin. Aku itu tipe Wanita yang diam menunggu makanan datang,” katanya bercanda yang membuat Alfian mendengus kemudian mengacak rambut Bianca sehingga membuatnya memekik kesal. Pandangan mata Bianca beralih ke arah Deeva yang sedang bermain dengan Revan dan Alpha, melihat bagaimana putri kecil abangnya itu mulai beranjak remaja. Rasa sayang dan bijaksananya terlihat saat Revan dan Alpha mulai bertengkar memperebutkan mainan. Ancaman ringan yang tidak memperbolehkan memainkan mainan yang mereka inginkan, membuat Revan dan Alpha bungkam, dan mau bergantian memainkannya. “Ndoong…” Bianca tersentak saat menyadari Venus, anak bungsu Tari sudah berada di dekat kursinya minta untuk digendong. Bianca terdiam mendengar batita perempuan yang terlihat begitu manis dengan gaun pink itu memeluk kakinya. Venus terlihat penuh harap, merentangkan kedua tangannya meminta Bianca untuk menggendongnya. Bianca menatap ragu melihat keponakan bungsunya itu. Digelengkan kepalanya pelan, kemudian melepaskan tangan Venus yang memeluk kakinya dengan pelan sehingga akhirnya membuat Venus merengek. “Ve, gendong Papi, ya,” ucap Sky yang menyadari suasana akhirnya membuat Venus kembali ceria dan merentangkan kedua tangannya untuk digendong. Bianca menghela napas lega, lalu memberi kode terima kasih kepada Sky yang kembali menyelamatkannya. Dia kembali fokus mendengarkan pembicaraan Ayah dan abangnya yang kini membicarakan tentang olahraga yang mereka minati. Sedangkan di sisi lain, Tari menatap bingung dengan sikap Bianca yang acuh dengan putri bungsunya, berbeda dengan beberapa tahun yang lalu. “kenapa?” tanya Rani saat melihat Tari yang terdiam di tengah jalan dengan membawa piring makanan. “Mbak nggak merasa aneh? Bianca kok kayak nggak suka dengan Venus,” ucapnya membuat Rani mengarah ke Bianca. “Mungkin perasaan kamu saja. Mungkin tangan Bianca lagi sakit makanya nggak bisa ngangkat Ve…” ucap Rani masuk akal yang akhirnya dijawab anggukan Tari, namun dia tetap diam memperhatikan sikap adik bungsunya yang terlihat berbeda.   ***** “Ini Chef yang jadi pengajar kamu?” tanya Rani menyodorkan majalag food and Fashion ke atas meja yang membuat semua orang yang sedang berkumpul di ruang keluarga berebut ingin melihat majalah itu. “Ganteng gini, Bi… Fashionable pula. Pasti kamu betah belajar masak sama dia,” kata Rani sok tahu setelah berhasil merebut majalah itu dari suaminya. Bianca mendelik, menampilkan wajah jijik saat mendengar ucapan Tari, “Fashinable apaan, Fashion Terrorist iya. Dia gitu juka karena make Chef Jacket aja, coba deh lo lihat pas dia pake baju sehari-hari. Bikin eneg, iyuh…” Bianca mengusap bulu tangannya yang merinding membayangkan betapa mengenaskannya gaya berpakaian Chef senga itu. “Masa?” tanya Rani yang sedang memangku Revan, lalu memberikan anak bungsunya itu kepada Alfian yang menaruh perhatian pada pembicaraan perempuan Abiyaksa. “Kata orang. First Impression makes memory, and he made a bad memory for me,” keluhnya membuat semua orang memandangnya penuh tanya. “Lihat deh!” unjuknya memperlihatkan kedua jemarinya yang penuh dengan plaster. “Masa dia kasih aku seember penuh kentang buat dikupas, padahal yang lain cuman dikasih tiga sampai empat buah. Terus… dia bilang, ‘Seharusnya amu itu ngupas kentang, bukan bawang” ucap Bianca mengikuti nada senga Chef gila itu saat membentaknya tadi siang. “Loh, Aunti ngupas kentang jadi kayak bawang?” celetuk Deeva yang ternyata sejak tadi mengikuti pembicaraan mereka kembali membuat tawa menggelegar memenuhi rumah. Bianca mendelik kepada keponakan kesayangannya itu malah membuatnya mendelikan mata abu cantik milikmya, seolah tak mengerti kekesalan yang Auntinya rasakan. “Itu mah karena kamu aja yang emang nggak pernah megang pisau,” celetuk mama membuat Bianca manyun. “Kerjaan Bianca kan bikin baju, Mah. Bukan masak,” jawab Bianca membuat Ambar menggeram ingin menjitak kepala Bianca jika saja tidak dihalangi oleh Bintang. “Hati – hati loh, Bi… Nanti kamu malah kesemsem sama Chef tampan itu. Kata orang antara cinta dan benci itu setipis kertas. Tinggal balik, wush… langsung berubah seketika,” kata Tari membuat Bianca bergedik “Najis. Nggak bakalan!” Teriak Bianca tak suka membuat semua orang kembali tertawa. “Udah ah, Nggak ada habis-habis nanti kita ngomongin Bianca,” ujar Ambar menghentikan pembicaraan mereka. “Ah, Bi, jangan lupa …” Ambar menghentikan ucapannya membuat Bianca mengerenyitkan kening, dadanya berdegup kencang saat melihat mamanya memberikan tatapan yang mencurigakan. “…. Lusa kamu harus masuk ke kelas masak itu,” lanjut Ambar santai. “Ma…. Bianca berhenti aja ya, nggak ada gunanya. Bi nggak suka masak,” rengeknya “Nggak ada! Tuh, mama udah nyiapi jerigen isi bensin sama kain buat bakar butik kamu,” ancam Ambar membuat Bianca mendelik tak percaya. Dia mendengus kesal yang disambut tawa ledekan dari semua orang di ruangan itu, kecuali Sky. Teman Tari itu hanya menatap majalah tadi lalu memandang ke arah Bianca dengan tatapan yang tak dapat untuk diartikan
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD