"Hei, ngomong-ngomong, kemana kita akan pergi?" Aku bertanya kepada pria yang menjemputku dengan mobilnya.
Tapi ia mengabaikanku seolah-olah aku tidak ada di sana. Dan ketika aku mulai bosan terus mencoba memulai percakapan, aku akhirnya berhenti berusaha.
Perjalanan mobil seolah tidak berakhir, dan aku pun mulai menyalakan GPS di ponselku untuk mencari tahu di mana kami berada. Namun, tepat saat itu aku melihat sebuah tanda di jalan, yang bertuliskan selamat datang di Córdoba. Kecemasanku sontak menjulang ke langit. Córdoba jelas adalah kota lain.
"Hei, sebenarnya kemana kau membawaku?!" Aku berteriak pada pria itu, tetapi ia tetap mengabaikanku sama seperti sebelumnya.
Tanpa pikir panjang, aku pun segera memutar nomor Chris, dan ia langsung mengangkatnya.
"Eira?" Suaranya datang dari ujung yang lain.
"Ke mana sopirmu akan membawaku, Chris?!" Aku tidak peduli tentang hal lain pada saat ini, jantungku berdetak kencang.
"Tenang, Eira."
"Ini bukan bagian dari kesepakatan, Chris! Aku seharusnya tidak meninggalkan Madrid!"
"Shhh, jangan berteriak. Klien-ku kali ini sangat kaya, dia bersedia membayar banyak uang hanya untuk memilikimu selama seminggu."
"Apa katamu? Seminggu?! Tidak, kau pasti bercanda! Lelucon sakit macam apa itu, Chris?!" Kepalaku akan meledak. Beraninya dia? Seminggu katanya?
"Eira sayang, bukankah kau ingin melunasi hutangmu sesegera mungkin?" Suaranya yang tenang namun tegas kembali berkata.
Aku terdiam sejenak.Air mata nyaris mengalir di pipiku, tapi aku menahan diri.
"Chris, tolong, satu minggu tanpa putriku ... aku tidak bisa melakukannya, tolong beritahu sopirmu untuk kembali...." ratapku.
"Itu bukan sopirku, Eira. Aku tidak bisa memberinya perintah. Tidak ada yang bisa kau katakan untuk menghentikannya karena misinya adalah mengantarkanmu kepada bosnya, hidup atau mati."
"Apa...?" Sebelum aku bisa bertanya lebih lanjut, Chris menutup telepon begitu saja. Hal itu membuatku semakin meradang.
Aku menoleh pada pria yang mengemudi di depanku, yang masih belum mengalihkan pandangannya dari jalan. Aku mencoba memohon padanya dengan segala cara yang aku miliki, tetapi ia tetap saja tidak bergerak.
Tuhan, apakah ini akan menjadi akhir dariku?
Bella, maafkan aku.
_____
Mobil akhirnya berhenti di depan sebuah bangunan mansion besar yang memiliki air mancur berbentuk patung malaikat raksasa di depan. Suara air yang mengalir keluar dari patung adalah satu-satunya hal yang memberi kehidupan pada tempat ini. Pria itu kemudian membuka pintu belakang untukku.
Dengan perasaan tak menentu, aku turun, dan ia membawaku masuk ke dalam bangunan besar tersebut. Ruang tamunya dibentuk dengan perpaduan antara gaya tradisional dan modern. Pada dinding putih terdapay foto hitam putih seorang pria berjas hitam, yang membuat bulu kudukku merayap keluar. Kursi-kursi itu bernuansa vintage kerajaan dengan desain langka, dan semuanya tampak begitu mahal. Tidak, aku tidak akan menyebut benda-benda itu kursi, melainkan singgasana adalah sebutan yang lebih tepat. Lantainya sangat mengkilap bersih hingga seolah mampu membuat orang lain takut berjalan di atasnya. Lembam besar dan vintage digantung dari tengah langit-langit, menerangi seluruh ruangan.
Aku meperhatikan beberapa pria lain berpakaian seperti pria sopir yang membawaku ke sini, dan mereka semua mengingatkanku pada salah satu film alien jadul berjudul Men in Black. Ada seorang pria yang ditempatkan di setiap pintu sejauh mataku bisa melihat. Dari pintu masuk, pintu dapur, pintu belakang, dan mungkin pintu-pintu lainnya.
Saat itulah aku mendengar suara langkah kaki dari arah tangga, langkah kaki cepat yang tampaknya bukan milik orang dewasa karena seberapa ringan mereka terdengar. Beberapa detik kemudian, seorang bocah laki-laki pun muncul. Aku tertegun di tempatku karena ia tampak tidak asing bagiku. Benar. Itu adalah bocah kecil yang terbangun dan menangis pada malam itu. Tapi kenapa ia ada di sini?
Begitu matanya tertumpu kepadaku, senyum bocah itu melebar. Ia segera berlari ke arahku dan langsung memeluk pinggangku begitu saja.
Untuk sesaat, aku membwku sejenak di tempatku, berusaha mencerna apa yang terjadi saat ini. Akan tetapi setelahmya, aku pun membalas pelukan itu dan dengan lembut mencium kepalanya. Bayangan Isabella langsung memenuhi pikiranku, dan hatiku langsung sakit saat mengingat putri kecilku di rumah. Aku tahu bahwa Natasha akan merawatnya, tetapi pikiran untuk tidak melihatnya selama seminggu penuh menghancurkan jiwaku.
"Kenapa menangis?" Bocah kecil itu bertanya, membawaku keluar dari pemikiranku yang mendalam.
"T-tidak. Aku tidak menangis." Aku mengusap rambutnya dengan tanganku. Senyuman manisnya menular.
"Selamat datang."
Suara yang berat dan familiar tiba-tiba datang dari arah belakangku. Tidak dapat disangkal bahwa tubuhku langsung menanggapi suara itu.
Aku berbalik hingga akhirnya berhadapan dengan seorang pria yang kini tebgah berdiri di kaki tangga. Pria bernama Bambi atau siapa pun itu. Seperti para pria di tempat ini, ia juga mengenakan setelan hitam, tetapi miliknya terlihat lebih pas seperti setelan yang dirancang khusus oleh desainer.
Pria itu berjalan ke arahku, dan ekspresinya tampak sedikit lebih lembut dibandingkan terakhir kali aku melihatnya. Sepasang iris hazel cokelat miliknya mengalir di sepanjang gaunku.
"Kau suka gaun itu?" Aksennya menyapuku, dan aku sempat tidak memproses apa yang ia katakan dengan segera.
"Um, kau yang membeli ini?" Aku menatap gaunku seolah-olah baru melihatnya untuk pertama kalinya.
"Aku menyuruh Chris untuk memberikannya padamu." Pria itu menjawab dengan jujur.
"Apa itu berarti kau juga yang mengirim surat yang kutemukan di–"
"Mejamu," selanya, "aku sendiri yang meletakkannya di sana."
Aku tertegun sejenak mendengarnya. Tunggu. Dari mana ia tahu di mana tempatku bekerja?
"Bagaimana putrimu–Bella?"
Kedua mataku kini melebar karena terkejut. Jantungku mulai berdebar kencang. Pria ini jelas tahu semua hal tentangku. Apa sebenarnya yang ia rencanakan? Apakah ia bermaksud ingin mengancamku atau semacamnya?
"Mommy! Ayo kita ke atas!" Bocah laki-laki itu berkata dari sampingku, menarik tanganku agar aku bisa berjalan bersamanya.
Tapi tunggu. Apa katanya tadi? Mommy?
"Tunggu sebentar, Giovanni." Sang ayah menyelanya. "Mommy akan pergi dengan Daddy malam ini, apa kau baik-baik saja tinggal dengan Maria malam ini?"
Oke. Sekarang aku semakin bingung kenapa ayah dan anak ini bertingkah seolah aku adalah bagian dari keluarga mereka.
"Tapi Daddy, tolong biarkan Mommy tinggal bersamaku. Aku sudah lama tidak bertemu dengannya." Bocah itu cemberut, dan aku langsung terpikat olehnya.
"Aku akan tinggal bersamamu, Sayang." Aku segera berkata tanpa pikir panjang. Ya, bagaimanapun aku jauh lebih memercayai bocah kecil itu dibandingkan ayahnya.
Bocah itu–Giovanni–lantas membawaku ke atas ke kamar tidurnya, yang ukurannya dua kali lebih besar dibandingkan ukuran ruang tamuku. Kamarnya terlihat seperti kamar anak laki-laki pada umumnya, di mana terdapat beberapa poster bergambar superhero yang menempel di dinding. Kemudian di atas meja terdapat fotonya yang berbingkai bersama ayahnya.
Bocah itu melompat di tempat tidurnya, dan aku duduk di sampingnya.
"Mommy, ayo kita main." Ia melompat dan berlari ke lemari pakaian raksasa miliknya, lalu mengeluarkan sebuah papan dan meletakkannya di kasur.
"Kamu bisa bermain catur?" Aku bertanya, terkejut.
"Ya, Daddy yang mengajariku. Sekarang, ayo kita bermain."
Aku ternganga, ini sama sekali bukanlah sesuatu yang bisa disebut untuk bersenang-senang. Tapi aku tetap mengikuti keinginannya. Dan ironisnya, belum apa-apa aku sudah merasa ditampar oleh seorang bocah berusia lima tahun, karena ia berhasil mengalahkanku dalam permainan catur. Ini bukan karena aku yang mengalah, melainkan murni karena aku kalah.
Akhirnya, ia tertidur dan aku menyelipkannya di bawah selimut. Memberikan kecupan lembut di dahinya, aku pun berjalan pergi meninggalkan kamarnya.
Kedua kakiku melangkah ke lorong hingga menemukan sosok ayahnya di luar pintu.
"Apa dia sudah tidur?" tanyanya.
"Ya."
"Itu cepat. Tidak ada seoramg pun di dunia ini yang bisa membuat Gio tertidur secepat ini." Terdapat cinta yang tulus di mata pria ini ketika ia berbicara tentang putranya.
"Sama dengan Bella." Tanpa sadar aku bergumam, kembali sedih hanya dengan memikirkan putriku.
"Ada apa, Mira?"
Aku mendongak sesaat, dan menemukan matanya menatapku. Helaan napas panjang keluar dari rongga pernapasanku, mendengar dirinya masih memanggilku dengan nama itu.
"Katakan padaku, kenapa kau ingin aku tinggal di sini selama satu minggu?" tanyaku pula.
"Aku akan melunasi semua hutangmu jika kau setuju untuk tetap bersamaku selama seminggu." Ia menjawab tanpa berkedip.
"Apa aku memiliki kebebasan untuk menolak?"
"Tentu."
Aku terdiam sejenak, memikirkan tawarannya. Melunasi hutangku kepada Chris akan membuatku menjadi wanita yang bebas, dan aku tak perlu lagi melakukan pekerjaan kotor seperti ini.
"Baiklah, aku akan tinggal bersamamu selama seminggu, tetapi dengan syarat bahwa kau akan membiarkanku melakukan panggilan telepon untuk memeriksa keadaan putriku," kataku pula.
"Tidak masalah, tapi kau hanya bisa menghubunginya lewat telepon rumah. Ponselmu tidak akan berfungsi di sini."
Aku memikirkannya sejenak, lalu mengangguk dan mengulurkan tanganku untuk berjabat tangan dengannya.
"Baiklah. Aku akan tinggal di sini selama satu minggu," kataku.
Senyuman kecil terukir di bibir tipisnya sebelum ia menyambut uluran tanganku dan berkata, "Bagus. Sekarang-kau harus ikut denganku."