Bab 3

1636 Words
"Hei, Sayang." Aku bersuara lembut menyapa putriku, Isabella, ketika ia tertidur nyenyak di boksnya. Pemandangannya sudah cukup untuk membuatku melupakan semua beban masalahku. "Tinggalkan dia." Ibuku berbisik dari arah belakangku, mengejutkanku. Aku bahkan tidak memperhatikan kapan ia masuk. Memberikan kecupan lembut di kening Isabella, aku pun meninggalkan kamarnya dengan ibuku yang mengikuti di belakangku. Kami berjalan ke arah ruang tamu, dan begitu aku yakin bahwa kami berdua cukup jauh untuk tidak membangunkan putriku, aku berhenti berjalan dan menghadap ibuku. "Terima kasih sudah menjaga Bella hari ini, Ibu." Aku menghela nafas, mengingat hari berat yang kualami. Kerutan di wajah ibuku mengkonfirmasi kecurigaanku akan ketidaksenangannya. Ia melipat tangannya di d**a, seiring dengan ekspresi menghina di wajahnya. "Apa kau tidak malu pada dirimu sendiri? Contoh apa yang kau berikan pada putrimu, Eira?" Bagus, lagi-lagi ceramah panjang. "Ibu, tolong, aku sedang tidak ada mood untuk bertengkar." Aku mulai berjalan menuju kamarku untuk melarikan diri dari apa yang akan terjadi, karena aku tahu bahwa percakapan ini tidak pernah berakhir dengan baik. Tapi ibu tidak menyerah, melainkan tetap mengikutiku seperti jaguar yang mengejar mangsanya. Ia meraih lenganku dan memaksaku untuk menghadapnya. "Kau bekerja sebagai wanita jlang yang menjijikkan, dan kau berharap aku bertepuk tangan untukmu? Bella berusia dua tahun hari ini, semua temannya muncul untuk pesta ulang tahunnya, bahkan orang tua mereka datang, tapi bagaimana denganmu? Di mana kau berada, Eira? Kau ini ibunya! Ibu kandungnya!" Kata-katanya berhasil menabrak dinding rasa sakit di hatiku. "Ucap wanita yang meninggalkanku ketika aku masih bayi, yang baru muncul kembali ketika aku berusia dua puluh satu tahun," geramku, "setidaknya aku melakukan semua yang kubisa untuk merawat anakku, Ibu. Dan aku berharap Ibu juga bisa mengatakan hal yang sama padaku." Ia berhenti. Matanya secara perlahan menjadi basah karena air mata. Hal itu membuatku tersadar. Aku baru saja membuka luka lama tanpa pikir panjang, yang seharusnya telah kami berdua sepakati untuk tidak kembali mengungkitnya. Tapi apa yang bisa kulakukan? Ibu tidak akan pernah berhenti menggangguku, walau sekarang aku merasa bersalah karenanya. "Ibu, aku minta maaf-" "Jangan sentuh aku! Kau benar, tidak ada gunanya aku ada di sini." Ia berjalan kembali ke ruang tamu, dan kali ini aku mengikutinya. "Ibu, aku tidak bermaksud seperti itu. Tolong, maafkan aku-" "Aku akan keluar dari kehidupanmu besok, jadi kau tidak perlu khawatir lagi." Ia sampai di kamar tamu dan menutup pintu tepat di depan wajahku. "Ibu! Tolong, aku benar-benar tidak bermaksud mengungkit masa lalu. Maafkan aku, Ibu!" Aku memohon, berharap ia akan membuka pintu dan kami hanya akan bertindak seolah argumen kecil ini tidak pernah terjadi. Tetapi ternyata itu tidak berhasil. Setelah mengemis selama setengah jam dalam kesia-siaan, aku akhirnya memutuskan untuk kembali ke kamarku. Yah, selamat datang di duniaku. Aku adalah seorang single parent dari seorang gadis kecil yang cantik, berjuang untuk menjaga putriku jauh dari kehidupan yang kumiliki ketika aku masih seusianya dulu. Yang meminta dengan putus asa untuk dicintai oleh seorang wanita yang meninggalkanku, seorang wanita yang seharusnya menjaga dan merawatku sejak ia melahirkanku ke dunia. ______ Sesuai dengan kata -katanya, ibuku menghilang pada pukul enam pagi di hari berikutnya. Tapi hidup harus terus berlanjut. Baik Isabella maupun aku harus terus bertahan hidup meskipun ibuku pergi. Aku pergi ke kamar putriku dan memutuskan untuk membawanya ke penitipan anak selama aku pergi bekerja. Ia membuka matanya yang besar, dan bola-bola biru itu menatapku. Senyum indah muncul di wajah malaikatnya, dan ia melompat ke arahku. "Mommy!" "Hei, Sayang!" Aku menggendongnya dan menciumi wajahnya, dengan lembut menyelipkan beberapa helai rambut pirangnya ke belakang daun telinganya. Ia mulai mengoceh dengan riang, berusaha sebaik mungkin untuk berkomunikasi denganku. Dan tentu saja, aku mendengarkannya. Seorang ibu selalu tahu apa yang dikatakan bayinya bahkan ketika kedengarannya tidak koheren bagi orang lain. Melanjutkan percakapan unik kami, aku membawanya ke kamar mandi dan memandikannya. Aku mungkin hanyalah seorang wanita jlang yang menjijikkan, tetapi aku selalu memastikan putriku dirawat dengan baik. Setelah mendandaninya, kami sampai di dapur dan sarapan bersama. "Ayo, Bella, kita berangkat," kataku dengan suara nyanyian ketika kami berjalan ke mobilku, kendaraan yang kubeli dari Tn. Alfredo yang tinggal di seberang jalan. Aku memastikan putriku diikat dengan baik di kursi mobilnya sebelum mengambil tempatku di sisi pengemudi. Dan kami melesat pergi setelahnya. _______ "Eira!" "Ya?" Aku mendongak dari komputerku. Tn. Summer tampak sengsara seperti biasa. Setelan coklat usang itu akan selamanya merusak pemandangan. "Ke ruanganku, sekarang." Kumisnya menari ketika ia berbicara, dan tentunya itu bukan jenis tarian yang menyenangkan. Ia berbalik dan berjalan kembali ke kantor kecilnya di lorong. Aku memutar mataku dan bangkit dari mejaku mengikutinya. Sudah cukup buruk sehingga aku merasa mati lemas berada di bilik kecil ini, dan sekarang aku harus duduk di seberang bos botakku dan berpura-pura mendengarkan nasihat hidupnya. Aku menyapa Tania, asistennya yang berusia lima puluhan, seorang wanita yang baik, lalu aku memasuki kantornya dan duduk di meja kayu kecil miliknya. "Eira...." Tn. Summer menyeringai, menunjukkan gigi kuningnya. Matanya yang mengingatkanku pada seekor ikan mati, kini tampak meluncur ke dadaku, lalu kembali naik ke wajahku. "Apa yang Anda inginkan, Tuan Summer?" Aku bertanya dengan cara yang paling tidak antusias. "Aku punya lebih dari tiga ratus laporan yang masuk ke komputerku. Semakin banyak waktu yang kuhabiskan di sini denganmu, maka akan semakin sedikit waktuku untuk menyelesaikan pekerjaanku sebelum akhir hari ini". Aku tidak peduli bahwa ia adalah bosku. Pria ini harus bersyukur aku tidak menggugatnya atas pelecehan seksual karena cara dirinya yang menatapku. Sebelum menjawab, ia menyandarkan punggungnya di kursinya. "Kau tahu, ada sesuatu yang disebut kerja lembur, bukan?" "Tapi aku tidak ingin bekerja lembur, Tuan Summer." Aku dengan sopan menyatakan. "Seorang wanita cantik sepertimu seharusnya tidak melakukan pekerjaan seperti ini, Eira." Ia merapatkan bibirnya, berusaha tampil misterius. "Yang perlu kau lakukan hanyalah mengatakan ya padaku, dan semua impianmu akan menjadi kenyataan." "Jika aku boleh bertanya, mimpi apa yang Anda maksud, Tuan Summer?" Ekspresinya berubah menjadi sombong. "Impianmu untuk dimanjakan oleh pria kaya sepertiku, tentu saja." Aku mendapati diriku terhibur dengan kata -katanya. "Aku yakin Evelyn, istri Anda sudah menjalani mimpi itu, Tuan Summer. Jangan khawatirkan aku, aku baik-baik saja sendirian." Usai mengatakan hal itu, aku pun bangun. "Sekarang, jika tidak ada hal penting lainnya, aku ingin kembali bekerja, jika Anda tidak keberatan, Tuan Summer?" Ia tampak mendesah penuh kekalahan. "Tentu saja, Nona Eira." Aku meninggalkan kantornya dan kembali ke bilikku, melewati lima rekanku, di mana mereka masing-masing memberiku tatapan mengerti. Yah, semua orang tahu betapa konyolnya bos kami. Aku duduk kembali ke tempatku, dan tepat ketika aku akan melanjutkan pekerjaanku, aku melihat sebuah amplop putih tergeletak di sebelah cangkir kopiku. Aku pun mengambilnya dan membukanya, mengeluarkan selembar kertas kecil di dalamnya. 'Bersiap-siaplah pukul 10 malam ini. Akan ada yang menjemputmu.' Aku mendesah panjang. Aku tahu surat ini mungkin dari Chris, memberitahuku bahwa aku punya klien lagi malam ini. Tapi mengapa ia harus menyampaikannya melalui surat alih-alih lewat telepon seperti biasanya? Tapi aku tak ingin ambil pusing dan memasukkan surat itu kembali ke dalam amplop. _____ Jika para ibu di luar sana selalu bisa membuat putri mereka tidur hanya dengan lagu pengantar tidur, maka mereka sangatlah beruntung. Bahkan tidak satu lagu pengantar tidur pun di dunia ini yang mampu membuat putriku menutup matanya sejenak. Atau mungkin saja karena akulah yang memiliki suara yang buruk. Entahlah. Setelah hampir satu jam lamanya, ia pun akhirnya tertidur. Aku memeriksa waktu, dan saat itu telah menunjukkan pukul 21:27 malam. Layaknya berjalan di atas es tipis, aku berjingkat keluar dari kamar putriku dan menuju ke pintu. Aku langsung berjalan menuju pintu utama dan membukanya, dan aku segera menemukan senyum indah milik sahabatku, Natasha. Ia masuk dan aku mengunci pintu setelahnya. "Terima kasih, Nat, kau sudah bersedia melakukan ini untukku," ucapku padanya. "Oh, ayolah, jangan berlebihan." Natasha berjalan ke arah sofa dan duduk, lalu melepaskan jaket denimnya. Atasan bunga dan celana jinsnya memeluk lekuk tubuhnya dengan sempurna. "Bella sudah tidur?" tanyanya. "Ya." Aku bergabung dengannya di sofa. "Walaupun sedikit sulit, tapi aku berhasil membuatnya tertidur". "Yah, kamu seorang wanita yang beruntung karena bisa memiliki malaikat kecil seperti itu." Sedikit kesedihan melintas dalam sorot mata Natasha. Ya, setelah melakukan berbagai macam usaha untuk hamil dan selalu berujung gagal, merawat Isabella adalah sumber kegembiraan baginya. Natasha seperti ibu kedua bagi putriku. Dalam upaya untuk menghindari subjek yang sensitif, aku pun memutuskan untuk mengubah topik. "Oke, jadi-ada pasta di dapur, seandainya kamu lapar nanti. Terima kasih sekali lagi karena telah membantuku malam ini." "Oke." Ia mengangguk. Aku pun bangun dan menuju kamarku untuk mandi sebentar, bersiap-siap, dan kembali ke ruang tamu. Raut wajah Natasha yang terkejut ketika ia melihat pakaianku membuatku tertawa ringan. "Kau sangat cantik, Eira." Ia berjalan ke arahku dan menyesuaikan leher gaun merahku, yang merupakan pemberian dari Chris. Natasha berhenti sejenak dan menatapku. "Kuharap kau tidak harus melakukan ini terlalu lama." Aku menghela nafas panjang. "Yah-kau tahu aku harus melakukan ini, Nat." Gelombang rasa malu yang tiba-tiba melandaku. Bagaimana putriku akan menatapku ketika ia mengetahui bahwa ibunya melakukan sesuatu seperti ini? Natasha adalah satu-satunya yang tahu tentang rahasiaku, dan ia tidak pernah menghakimiku. "Hei, aku mengerti, jadi jangan merusak riasanmu, oke? Ngomong-ngomong, pukul berapa mobil akan datang menjemputmu?" tanya Natasha pula. Aku memeriksa layar ponselku yang menunjukkan pukul 21:52. "Di catatannya bilang aku harus bersiap pukul sepuluh malam ini." "Oh, itu 8 menit dari sekarang. Oke, jadi, apa yang perlu kau selesaikan?" "Uhm, jika Bella bangun di malam hari nanti, semua yang kau butuhkan untuk makanannya ada di-" "Lemari," potongnya. Aku mengangguk. Mengapa aku harus repot -repot menjelaskan? Natasha jelas tahu di mana aku menyimpan semuanya. Aku menyempatkan diri untuk pergi ke kamar putriku terlebih dahulu dan memberikan kecupan lembut di keningnya. Dan itu cukup untuk membantuku melewati malam yang tidak pasti. "Sudah jam sepuluh." Natasha mengingatkanku. Aku pun berjalan keluar pintu dan menunggu di depan rumahku. Tepat pukul sepuluh malam, sebuah SUV hitam ramping berhenti di depanku. Sopir keluar dan membuka pintu untukku. Tanpa basa-basi, aku masuk dan langsung duduk kursi belakang sebelum kami akhirnya melesat pergi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD