Aku masih terkunci di dalam kamar tersebut selama beberapa jam ke depan. Ponselku hilang, dan hal itu tidak memungkinkanku bisa berhubungan dengan dunia luar.
Setelah waktu berlalu seperti selamanya, pintu pun akhirnya terbuka. Aku melompat berdiri dan berjalan ke arah siapa pun itu untuk memberi mereka sepotong pikiranku yang dipenuhi oleh makian kesal.
"Beraninya kau mengunciku di dalam sini!"
Akan tetapi ketika orang itu masuk, aku sedikit tertegun karena bingung. Pria ini berpakaian seperti seorang bodyguard, dengan setelan jas hitam dan earphone di satu telinga.
"Apakah Anda lapar, Nyonya?" Ia bertanya dengan nada sopan.
"Aku ingin pulang! Di mana pria bernama Bambi atau apa pun namanya?" Aku balik bertanya.
Pria itu mengangkat alis bingung pada 'nama' yang kusebut, tetapi ia dengan cepat mendatarkan ekspresinya kembali.
"Rosaline akan segera berada di sini dengan makanan Anda. Dan Bos akan kembali ketika dia selesai dengan pertemuannya."
"Aku ingin pulang!" Aku berteriak jengkel.
"Maaf, Nyonya. Tapi aku tidak bisa membiarkan Anda pergi."
Setelah mengucapkan kata-kata itu, pria itu pun beranjak pergi dan menutup pintu kembali. Beberapa saat kemudian, pintu dibuka lagi dan seorang wanita yang kurasa bernama Rosaline pun masuk. Ia membawa nampan di tangannya yang ia letakkan di tempat tidur.
Aku mengambil kesempatan itu dengan melesat ke pintu dan bermaksud untuk melarikan diri. Akan tetapi ketika aku berlari ke lorong, mataku langsung mendarat pada pengawal yang sebelumnya, yang kini terlihat sedang berjaga bersama dua pria lainnya di ujung lorong-tampak begitu tinggi dan mengintimidasi. Aku menelan salivaku dengan susah payah ketika nyaliku mendadak menciut seketika.
Salah satu dari mereka melihatku, dan dalam sekejap saja, para penjaga lainnya pun turut menoleh ke arahku. Seolah terhipnotis, aku hanya mampu berdiri membeku di tempatku, tak mampu bergerak sedikit pun dari tempat di mana kedua kakiku berpijak.
Lantas, terdengar dari arah belakangku sebuah suara stiletto yang melakukan kontak dengan lantai ubin dalam tempo yang cepat. Dan ketika aku berbalik, aku segera melihat Rosaline yang berlari ke arahku. Melihat sosoknya, aku seolah mendapatkan kekuatanku kembali dan memutuskan untuk berlari kembali ke arahnya, sebab dialah satu-satunya orang di sini yang paling terlihat tidak mengancam sama sekali. Ibaratnya, aku sedang terjebak di antara iblis dan laut yang dalam, dan aku lebih memilih iblis karena aku tidak suka tenggelam di dalam air.
Begitu aku dekat dengan Rosaline, aku langsung menyelinap tepat di bawah lengannya dan terus berlari menuju ke ujung lorong.
"Nyonya, tolong berhenti!" Ia memohon dengan suara rendah, bahkan para pengawal itu pun memintaku untuk berhenti. Tetapi aku tidak peduli.
Ya, kenapa pula aku harus mendengarkan orang-orang yang berusaha untuk menculikku?
Saat aku terus berlari, sebuah pintu kamar lainnya terlihat olehku tepat di hadapanku. Dan begitu aku mencapainya, aku langsung membuka pintu dan masuk begitu saja, lalu menguncinya dari dalam dengan cepat.
Mereka terus memohonku dari luar pintu agar aku keluar, tetapi aku menolak. Sebaliknya, aku mulai fokus melihat sekeliling ruangan untuk melihat apakah aku bisa melarikan diri melalui jendela atau semacamnya. Namun, dari sudut mataku, aku mendadak melihat sebuah pergerakan di bawah lembaran putih di tempat tidur. Aku melihat ke arah itu, dan jantungku berdetak kencang karena was-was dengan keberadaan seseorang di sana. Lantas, hal berikutnya yang kudengar adalah tangisan paling keras yang bisa dibayangkan.
Penutup tempat tidur putih itu terdorong hingga akhirnya menunjukkan seorang bocah laki-laki yang berusia sekitar empat atau lima tahun di sana. Rambut hitamnya yang ikal menempel di dahinya karena keringat.
"Oh, Sayang. Sshh.... Tenanglah, tidak apa-apa." Aku bergegas pergi dan duduk di sampingnya.
Bocah itu menatapku seolah-olah aku adalah orang asing baginya. Oke, karena aku memang orang asing di tempat ini, dan tidak ada argumen tentang hal itu.
"Jangan menangis, oke?" Aku mengangkat tanganku tanda menyerah, untuk menunjukkan kepadanya bahwa aku tidak bermaksud untuk menyakitinya.
Ketika ia mulai benar-benar terjaga dari tidurnya, aku meletakkan jari-jariku di pipinya yang lembut dan menyeka air matanya.
"Maaf, Sayang, aku tidak bermaksud membuatmu terbangun." Aku membujuknya dengan nada keibuanku.
Bocah itu menatapku dengan tatapan sendu, dan aku sedikit terkejut ketika ia mendadak menghambur memeluk pinggangku begitu saja. Dalam keterkejutan, aku pun hanya mampu membalas pelukan itu dan mengusap-usap kepalanya dengan lembut.
Bersamaan dengan itu, tiba-tiba saja pintu mendadak terbuka dari luar dengan kunci cadangan-kurasa, dan seorang pria dengan tuksedo terlihat melangkah masuk ke dalam. Aura di sekitar pria ini misterius, tapi terasa familiar bagiku. Aroma parfumnya memenuhi lubang hidungku, dan itu mengingatkanku pada malam sebelumnya. Kedua pipiku secara naluriah memanas ketika insiden semalam kembali memenuhi pikiranku dalam sekejap. Orang ini pastilah pria Bambi tersebut. Klien yang membuatku terkunci di dalam kamarnya.
Aku bangun dengan bocah itu yang masih berada di gendonganku dan berjalan ke arah pria tersebut.
"Bagaimana bisa kau membuatku terkunci di dalam sana selama berjam-jam? Pria macam apa kau ini? Apa kau tidak berpikir kalau aku juga punya kehidupan untuk kembali, hah?" Aku berteriak padanya.
Seolah mengabaikan makianku, sepasang iris cokelat miliknya yang gelap kini justru terpaku pada bocah kecil yang masih berada di lenganku.
"Bagaimana bisa kau membuatnya tetap tenang?" Ia balik bertanya padaku.
Aku menatap bocah itu dan mengembalikan perhatianku pada pria tersebut.
"Oh, apa maksudmu kau juga menculik bocah ini dari ibunya? Dengar, Tuan. Aku memperingatkanmu untuk membiarkan kami berdua pergi, sekarang juga!"
Bocah itu menggeliat di lenganku dan memalingkan kepalanya pada pria di hadapan kami.
"Daddy?" Ia memanggil dengan suara lembut, dan hal itu membuatku tercengang di tempatku.
Daddy, katanya?
"Ya, Sayang. Kemarilah." Pria itu mengambil bocah tersebut dariku, dan ia tidak ragu untuk melompat ke pelukan pria yang ia panggil Daddy.
Pria itu kembali menatapku seolah-olah aku baru saja melakukan sebuah trik sulap.
"Dia tidak pernah membiarkan siapa pun menggendongnya seperti ini sebelumnya," ucapnya kemudian.
Aku hanya bungkam, masih mencoba mencerna semua hal yang terjadi di sini. Pria itu berbalik ke arah pintu dan mulai berjalan keluar.
"Ikut aku," ujarnya lagi, membuatku tersadar dari pikiranku.
Aku pun lantas beranjak mengikutinya, dan kami berjalan melewati ketiga pengawal dan Rosaline yang terlihat kesal. Kami turun ke ruang tamu, dan aku mengambil tempat duduk di sofa di seberang pria tersebut, sementara bocah itu masih berada di pelukannya.
Aku benci mengakui ini, tapi ya, orang ini adalah pria paling tampan dan menawan yang pernah kulihat. Ia memiliki rambut hitam pendek yang terawat sempurna, rahang tajam, alis tebal, hidung mancung, bibir tipis yang terlihat menggoda, dan jenggot tipis yang sedikit menghiasi dagunya.
Aku memutuskan untuk berhenti menatap wajah menawan pria itu dan memusatkan perhatianku pada sekitarnya. Dinding, lantai, serta furniturnya yang tampak sangat mahal dan seolah menjeritkan kekayaan mutlak. Pintu masuknya adalah pintu ganda yang besar. Dan di sebelah kananku, di ujung ruang tamu terdapat meja makan yang panjang dengan begitu banyak kursi di sekitarnya.
Rosaline muncul dengan beberapa makanan ringan, dan ia menawariku beberapa makanan, tetapi aku menolaknya.
"Kau belum makan sejak pagi. Makanlah." Suara pria itu tegas tapi mempesona. Aku berani bertaruh bahwa mungkin aku bisa mendengarkan dirinya berbicara sepanjang hari.
"Aku ingin pulang, aku tidak lapar," sahutku pula. Mengabaikan kekagumanku.
"Baiklah. Kau bisa pergi sekarang jika itu yang kau inginkan."
Aku tertegun sejenak saat mendengar persetujuannya yang terlampau cepat itu, tapi tetap menghela napas lega karenanya.
Segera setelah kata-kata itu meninggalkan mulutnya, pengawalnya pun muncul dan menyerahkan barang-barangku yang kupikir telah lenyap, lalu mengantarku keluar dari rumah mewah tersebut.
Namun, begitu aku keluar dari tempat itu, entah mengapa aku merasa bahwa ini seolah masih belum berakhir sepenuhnya.
Maksudku-mengapa ini terasa terlalu mudah? Apakah aku melewatkan sesuatu tanpa kusadari?