TIGA

2986 Words
Dua minggu pun berlalu dari waktu yang diberikan Fibra. Tapi, Zivanya masih belum bisa mendapatkan uang yang dia minta. Jangankan mendapatkan uang. Mendapat solusi pun dia tak bisa. Makanya ketika Fibra datang hanya helaan nafas frustrasi yang bisa dia berikan. "Mana uang yang saya minta?" Kata Fibra ketika mereka hanya tinggal berdua di tempat yang dua minggu lalu mereka tempati. Untuk membahas masalah yang sama. "Maafkan gue, gue tidak bisa mendapatkan uang yang kamu minta." keluh Zivanya. Baru kali ini dia bisa mengeluh pada orang lain. Apalagi orang ini orang baru dan penagih hutang juga. "Kalau begitu, saya tahu apa yang harus saya lakukan." Fibra mengeluarkan handphonenya hendak menelepon seseorang. "Apa yang akan kamu lakukan?" Sergah Zivanya membuat Fibra berhenti menekan tombol hijau. Ada seulas senyum samar di mukanya yang bisa saja menimbulkan banyak arti. "Saya ingin menelepon bawahan. Melaporkan perampokan yang orang tua dan komplotanmu lakukan." Kata Fibra sambil melipat tangan di d**a. "Ya ampuuun. Kamu ini, begitu berengsek, ya!" Zivanya melotot sedangkan Fibra mengangkat alisnya. Mendengar makian Zivanya. "Ok, ok. Gue salah. tapi dengar, ya! Apakah kamu tidak bisa memberi gue waktu lagi? Se, setidanya, setidanyaaaa, sampai satu bulan. Ya, satu bulan saja." Zivanya berharap dengan cemas. Walaupun itu percuma, karena pastinya akan sama saja dengan hari ini. "Tidak! Karena saya sudah memberikan kebaikan padamu. Tapi kamu, tidak memanfaatkannya." Kata Fibra kembali akan menekan nomor temannya. "Jangan, gue mohon, jangan! Kasihan mereka. Mereka melakukan itu hanya untuk sesuap nasi dan membayar kebutuhan orang-orang yang mereka sayangi." Kata Zivanya dengan mata yang memohon. Baru kali ini dia memperlihatkan kesedihannya di depan orang lain, untuk meminta kemurahan hatinya. Alis Fibra terangkat kembali, dia merasa heran dengan wanita ini. "Baru kali ini aku melihat orang yang begitu tulus membantu orang lain. Sampai dia mau memohon padaku, padahal mereka bukanlah keluarga." Batin Fibra merasa terharu. "Lalu apa yang akan kamu berikan padaku. Untuk mengganti semua kerugianku. Karena kalau minta waktu lagi, jelas aku tidak akan memberikannya. Kamu sudah punya cukup waktu dari dua minggu lalu, malahan dari bulan-bulan yang lalu pula.” Ucap Fibra tegas. "Aaaah! Aku itu tidak tahu, kalau orang tuaku melakukan itu padamu juga.” Keluh Zivanya karena pusing. “Aaah, baiklah, Aku akan melakukan apa pun keinginanmu. Asal kamu tak melaporkan mereka!" Zivanya mengacak rambutnya karena tak tahu harus berbuat apa lagi. Dia berharap semua ini bisa menjadi solusi untuk sementara waktu. "Benar apa saja! Kamu akan melakukannya?” Fibra bangun dari duduknya dan mendekati Zivanya. “Apa kamu sadar dengan apa yang kamu katakan? Dan Kamu mau melakukan apa pun itu semua, hanya demi orang yang belum tentu menyayangimu?" Tanya Fibra meyakinkan sambil menatap mata coklat Zivanya yang penuh dengan putus asaan. Zivanya memejamkan mata dan menarik nafas dalam, setelah itu mengeluarkannya perlahan. Membuat Fibra yang melihatnya ingin sekali mencium dan melumat bibirnya. “Ya, aku yakin dan aku sadar! Aku itu Bos di dalam kelompok, jadi itu bisa dibilang menjadi tanggung jawabku, jadi semua ini harus aku ambil demi menjaga bawahanku." Kata Zivanya setelah bisa meredam emosinya. "Waw, kamu hebat sekali! Padahal seorang Bos biasanya raja. Bukan Bos yang berani bertanggung jawab demi bawahan, tapi bawahanlah yang harus berani demikian." Fibra mengagumi tindakan Zivanya. "Itu namanya Bos bodoh! Masa mereka berani mati demi kita dan kita tak berani mati demi menjaga mereka." Kata Zivanya kesal. "Aku salut padamu." Puji Fibra. "Jangan banyak memujiku, nanti aku bisa terbang. Mending kalau selamanya di terbangkan. Kalau langsung di hempaskan, bisa-bisa aku mati mendadak!" Kata Zivanya sambil melipat tangan di d**a. Fibra tertawa lepas, mendengar apa yang dikatakan Zivanya. Baru kali ini dia merasanya nyaman berbicara dengan seorang wanita, apalagi Zivanya bisa di bilang wanita baru dia kenal. Entah kenapa di depan Zivanya, Fibra tidak bisa menutupi sifat aslinya yang sering dia tutupi dengan wajah datar bila di depan orang lain. "Kamu bisa melawak juga ternyata! Aku kagum, dalam ketegang masalah hutang, kamu masih bisa bercanda." Kata Fibra masih dengan tawanya. "Bercanda itu haruuus, supaya kita tidak cepat terlihat tua." Sanggah Zivanya. Fibra kembali tertawa mendengar penuturan Zivanya. Dasar wanita bodoh! "Ok! Sekarang apa yang ingin kamu lakukan untuk membayar hutang mereka?" Fibra malah memberi pernyataan tentang apa yang Zivanya inginkan. "Bagai mana kalau kamu jadikan aku seseorang yang bisa membuat hutang mereka lunas?" "Baiklah, asal selama itu tak merugikan bagiku dan masuk akal. Kenapa tidak!" Kata Fibra sambil menjauhi Zivanya dan kembali duduk bersender di kursi. "Emmm, kalau begituuu," Zivanya mengetuk-ngetuk ujung mulut dengan telunjuk. "Ah! Bagaimana kalau aku jadi, pelayan di rumahmu!" Kata Zivanya sambil tersenyum karena mendapatkan ide yang lumayan. Walupun dia tahu entah sampai kapan itu bisa lunas. "Tidak! Aku tak setuju dengan semua itu." Kata Fibra sambil melipat tangan di d**a. "Kenapa? Aku kerja tak usah di bayar. Karena gajihku untuk mencicil hutang padamu. Baguskaaan!" Zivanya meyakinkan Fibra. "Pokonya tidak! harus kerja berapa tahun bisa lunas. Bisa-bisa sampai mati sekalipun, kamu belum tentu bisa melunasi hutang. Bisa rugi aku! Dan lagi, pelayan di rumahku sudah banyak. Malahan mereka sering menerima gaji buta karena tak ada yang harus di kerjakan. Pokonya aku tidak setuju!" Fibra menolaknya dengan tegas. Zivanya mendengus mendengar penuturan laki-laki itu. Dasar laki-laki sombong! "Kalau begituuu, perkerjakan aku di kantormu!" Putus Zivanya, walaupun dia tidak tahu apa-apa soal kantor, tapi setidaknya menjadi tukang bersih-bersih dia masih bisa. "Kamu tidak ingat! Kalau kamu itu masih sekolah! Bagai mana kamu mau bekerja di kantorku! Dasar bodoh!" Ejek Fibra sambil mendengus. "Hey! Aku tak bodoh. Dasar laki-laki arogan sombong!" Zivanya makin kesal karena Fibra kembali menolak permintaan yang Zivanya usulkan. "Terus aku harus apa! Supaya aku bisa melunasi hutang mereka." Zavinya kembali dibuat frustrasi dan mengacak rambutnya. "Hey, apa yang kamu lakukan. Itu terlihat sangat menakutkan." Kata Fibra sambil memegang tagan Zivanya supaya berhenti mengacak rambutnya. "Aku kesel! Ini tak boleh, itu tak boleh! Lalu apa yang bisa membuat aku melunasi hutang orang tua dan bawahanku!" Kata Zivanya sedikit mendelik karena kesal. "Aku punya satu solusi yang sangat ampuh!" Fibra mendekatka kepala pada telinga Zivanya, sampai deru nafasnya terasa di pundak Zivanya. "Ok! Apa itu. Aku pasti akan melakukannya. Merampok, copet atau___" "Menikahlah denganku! Hutangmu akan lunas seketika." Ucap Fibra sambil mengecup pundak Zivanya. "Ini sangat menyenangkan." Fibra berkata dalan hati. Zivanya menganga karena sok mendengar apa yang barusan Fibra katakan, dan juga dengan apa yang Fibra lakukan padanya. Sungguh, ini sungguh sangat tidak masuk dan jauh dari perkiraan Zivanya. "Ayo kita NENIKAH!" Fibra kembali bicara dan menekankan kata 'menikah' di akhir kalimatnya. “Apa itu harus?” Zivanya benar-benar tidak bisa berpikir untuk saat ini. Fibra menganggukkan kepala, menjauh, dan pergi meninggalkan Zivanya yang diam mematung. Sungguh, Fibra pun tidak menyangka kalau dia akan berkata demikian. Tapi ini tidak buruk, karena Zivanya terlihat sangat layak untuk Fibra nikahi. *** Ayo kita menikah! Kata itu terus saja terngiang di kepala Zivanya. Tiga kata yang membuat dia terkejut dengan apa yang dia dengar. Apalagi kata itu di lontarkan dari mulut orang yang belum sampai satu bulan dia kenal. Drrrrt ..., Drrrt ... Suara handphone di sampingnya membuat dia kembali ke alam nyata. Tanpa melihat siapa yang menelepon, Zivanya mengangkatnya. "Sayang, apa kamu baik-baik saja!" Terdengar Suara Bundanya kawatir dari seberang sana. "Bundaaa." Jerit Zivanya karena akhirnya ada telepon dari sang Bunda yang sudah lama menghilang. "Aku baik, Bundaaa. Bagai mana dengan, Bunda?" Wajah berseri di perlihatkan Zivanya. Walaupun dia tahu orang tuanya tidak akan bisa melihatnya. Namun ini benar-benar membuat hatinya senang. "Bunda, sakit sayaaang, malahan bunda butuh uang. Karena Abimu tak bisa bekerja." Suara menyedihkan terdengar dari seberang sana. Kening Zivanya berkerut. Apa yang terjadi dengan orang tuanya. Biasanya mereka tidak akan mengeluh apa pun padanya. Walaupun dalam keadaan sakit sekalipun. Apalagi mereka sudah pergi dengan uang yang lumayan besar. Apakah, uang 2 milyar yang mereka bawa tanpa sepengetahuan dirinya. Tak bisa membawa ibunya untuk berobat! Itu tak mungkin. "Sayaang, apa kamu masih di sana?" Bela sang Bunda kembali berkata. "Iya, Bunda. Aku masih di sini. Bunda sakit apa?" Zivanya memberanikan bertanya, walau di tahu, kalau tidak akan pernah ada jawaban. "Oh syukurlah! ada yang ingin Bunda tanyakan? Apa kamu menerima ke keinginan Bos Fibra, sayang? Bunda harap kamu menerimanya dan setelah itu mintalah uang padanya. Karena Bunda butuh uang untuk sakit Bunda, sayang,” kata Bunda, dan benar saja, tanpa menjawab pertanyaan Zivanya. Zivanya di buat bingung dengan perkataan sang Bunda. "Dari mana mereka tahu!" ini terasa bukan Bundanya yang selama ini begitu menyayangi dan mencintainya. Melaikan Bunda yang pemaksa, dan menginginkan harta dengan cara menukar dia dengan uang dari Fibra. Sebenarnya dari mana mereka tahu masalah kesepakatan dia dengan Fibra. "Apakah ada yang mengatakan pada mereka?" Zivanya makin bingung dengan semua yang terjadi. "Bunda, jawab duluuu, Bunda sakit apa?" Zivanya kembali bertanya soal penyakit Bundanya. "Hai, sayang. Aku ingin makan! Cepat buatkan aku makan." Terdengar suara Randi di seberang sana. "Nanti, aku sedang___" "Sudahlah! Biarkan anak itu menjalani hidupnya. Sudah lelah aku mengurusnya dan berpura-pura baik padanya selama ini." "Tapi kita harus paksa dia supaya mau menikah dengan Bos Fibra supaya kita tidak di penjara. Karena sekarang saatnya dia membalas semua kebaikan kita. Karena dulu kita tak jadi menjualnya." Ucap Bela yang terdengar jelas. Deg! Jantung Zivanya terasa mau copot ketika mendengar apa yang di bicarakan Bunda dan Abi nya. Sepertinya mereka tak sadar kalau belum mematikan sambungan telepon. Atau bisa saja itu di sengaja supaya Zivanya mendengarnya. Zivanyapun bukannya mematikan teleponnya, dia malah terus mendengar percakapan orang di seberang sana. Dengan hati gundah dan sedih. Ternyata yang di katakan orang-orang itu benar, kalau Zivanya hanya anak angkat mereka berdua. Dan kasih sayang mereka itu palsu adanya. "Tekan saja! Karena dia kita menjadi susah. Andai saja pembantu itu tak membawanya, pasti kita tidak akan sesusah ini! Dasar wanita sialan, sudah tahu dia sakit dan miskin. Masih sok-sokan mengambil anak itu!" Randi terdengar marah-marah. Zivanya tak bisa membendung rasa sedih dalam hatinya. Cairan bening pun meleleh membasahi pipinya. Dia tak sanggup lagi mendengar percakapan orang di seberang sana. Kakinya terasa lemah tak bisa menopang berat badannya. Zivanya melorot akan jatuh ke lantai. Namun, tangan kekar cepat melingkar di pinggangnya dan menopang dia supaya tak jatuh. Tanpa berpikir panjang Zivanya membalikkan badan menghadap d**a orang itu. Dia menangis meraung-raung sambil membenamkan kepalanya di dadanya. Sambil mencengkeram baju belakang orang itu, meluapkan kesedihan yang dia rasakan. "Apa kamu sudah puas menangis?" Suara berat memenuhi gendang telinga Zivanya. Setelah cukup lama Zivanya menangis. Dia mendongak karena suara yang dia dengar bukan suara yang dia harapkan. Mata Zivanya melotot, bola matanya hampir mau keluar. Ketika sadar kalau orang yang dia peluk dari awal menangis bukanlah Ruta . Tapi orang yang mengajaknya menikah. "Kamu bernafsu sekali memelukku. Sampai ingus pun kamu usap pada jasku.” Suara berat itu mengejek. "Bawakan aku jas baru, dan buang ini!" Fibra memerintahkan anak buahnya sambil melempar Jas yang tadi dia kenakan. Seketika tangisan Zivanya berhenti dan diganti dengan geraman tak suka. "Kenapa kamu ada di sini! Ini rumahku. Kau masuk seperti maling saja!" Zivanya menunjuk Fibra kesal. Namun Fibra hanya mendengus dan duduk santai di kursi. "Apa kamu lupa, kalau kamu masih punya hutang! Jadi aku bisa sesuka hati masuk ke rumahmu, atau bisa saja ini rumah jadi milikku, iyakan!" Kata Fibra enteng sambil menaikkan kaki ke atas meja. "Dasar laki-laki arogan, penindas, tak punya hati! Dengan rumah reot juga masih bernafsu." Kata Zivanya sambil bertolak pinggang. Fibra hanya menghentakan pundak. "Tapi tanahnya, bisa aku jual, atau aku dirikan bangunan lain." Ucap Fibra enteng. "Tidak! Rumah ini persinggahan anak-anak lain. Dan nantinya akan aku jadikan tempat istirahat mereka." Tolak Zivanya tegas. "Boleh juga tuh!" Gumam Fibra. "Bagaimana, apa kamu sudah mengambil keputusan?" Tanya Fibra sambil menatap Zivanya. "Oh tidak aku belum mengambil keputusan!" Zivanya terdiam ketika ingat tentang tawaran Fibra padanya. "Kenapa kamu diam? Apa kamu tak bisa menjawab." Fibra terus mendesak. Zivanya menarik nafas panjang dan mengeluarkannya perlahan untuk menenangkan pikiran yang kalut. "Berapa lama aku harus ada dalam kurungan pernikahan?" Akhirnya Zivanya menyerah. Fibra mendengus kesal. Bukan itu yang dia inginkan dari mulut wanita yang ada di depannya. "Seumur hidup!" Jawab Fibra dengan menahan kekesalan. "Heeey, itu tak adil! Aku mau menikah denganmu karena hutang, bukan karena Cinta! Jadi pasti ada batas waktunyakan." Kekeh Zivanya. "Jadi kamu siap untuk menikah denganku?" Seulas senyum di bibir Fibra. "Tidak, tidak! Aku hanya ingin tahu dulu berapa lama waktunya, bukannya langsung meng-iyakan!" Bantahan Zivanya membuat Fibra kesal. "Baiklah! 2 tahun. Itu sudah cukup." Kata Fibra frustrasi karena tak bisa menaklukkan Zivanya. Zivanya diam sambil mengetuk-ngetuk dagu. "Tapi aku punya syarat yang harus kamu penuhi." Zivanya masih ingin bernegosiasi. "Baiklah -baiklah apa yang kamu inginkan!" Pasrah Fibra. Karena dia sudah tak sanggup meladeni Zivanya. "Ok! Aku tak ingin publik tahu siapa aku. Dan aku tak ingin ada hub__" "Tidak! Untuk apa aku menikahimu kalau aku tak bisa bersenang-senang denganmu! Aku tak setuju dengan syarat yang ke dua. TITIK!" Fibra menekankan kata terakhir. "Tapiii." "Tak ada kata tapi!" Putus Fibra pinal. "Enak saja, kenap aku harus setuju. Kalau begitu kenapa kamu setuju untu jadi istri, kalau menyuruhku harus tetap jajan. Buang-buang uang saja. Zivanya menarik nafas "tadinya aku ingin memberikan itu pada orang yang aku cintai. Tapi kalau harus, baik laaaah, aku akan melakukannya." Jawab Zivanya dengan terpaksa. Seringai licik yang tidak bisa di artikan tercetak di bibir Fibra. "Akhirnya, aku bisa menaklukkanmu, Fibra kembali berkata dalam hati. "Hey, tapi masih ada syarat yang harus kamu penuhi!" Kata Zivanya sambil melipat tangan di d**a. "Masih ada! Aaah, sebenarnya dia wanita apa makelar sih! Banyak sekali syaratnya." Fibra sedikit menghembuskan nafas kasar. "Kamu jangan kesal! Karena ini sangat menguntungkan bagi kamu." Zivanya mengulum senyum. "Iya,iya. Terserah kamu saja! Cepat katakan!" Fibra bicara dengan kesal. "Aku ingin, kamu membuat sebuah mall yang dapat menampung bawahanku untuk bekerja." Zivanya bicara enteng. "APA!!" teriak Fibra kaget. "Hey! Aku tidak tuli, jadi tidak usah berteriak, ok!" Kata Zivanya sambil membuka telinga yang di tutup ke tika terdengar teriakan Fibra. "Ya, kamu pikir aku tidak tahu! Lagian, Masa aku harus bikin mall. Untuk bawahanmu lagi!" Dengus Fibra kesal. "Heeey,kalau bawahanmu mau juga, apa salahnyaaa, lagian itu bisa menguntungkan juga, kan!" Kata Zivanya tenang. "Kalau kamu tak suka, ya sudah! Kita tidak jadi menikah. Lagian itu sebanding dengan apa yang kamu ambil dari diriku." Kata Zivanya merasa menang. Fibra menganggukkan kepala sambil tersenyum "Oooh, jadi tidak mau menikah yaaah." Fibra mengambil handphonenya di atas meja. Melihat itu senyum Zivanya mulai luntur, di ganti dengan keterkejutan yang tak bisa di hilangkan apalagi di tutupi. "Wow, wow. Santai laaah, jangan tega begituuu. Aku kan hanya bercanda." Kata Zivanya dengan suara gemetar. Senyum Fibr tercetak kembali, karena Fibra bisa menarik Zivanya ke kubangan miliknya kembali. "Jadiii." Fibra bangun dari duduknya. "Emmm, jadi?" Zivanya minta penjelasan sambil beringsut mundur sedikit, sedikit untuk menghindari Fibra. "Jadiii." Fibra masih tak berhenti melangkah mendekati Zivanya yang mulai memasang wajah waspada. Sinyal SOS dalam diri Zivanya bereaksi. Dia sedikit was-was dan cemas "Jadiii, apa kamu sudah setuju tentang pernikahan kita?" Kata Fibra masih dalam langkah mendekati. "Ya bakffftthhh." suara Zivanya terendam oleh ciuman Fibra. Zivanya berontak tak suka apalagi itu ciuman pertamanya. Zivanya kesusahan untuk melepaskan bibirnya, tapi dia tidak hilang akal, dengan berani Zivanya menggigit kuat bibir Fibra sampai dia melenguh. Setelah bibir Fibra, Zivanya gigit. Barulah bisa terlepas. "Kamuuu!" Fibra meringis dan menatap tajam Zivanya. Dia tidak menyangka kalau wanita yang ada di depannya akan menggigit ketika dia menciumnya. Biasanya setiap wanita akan selalu minta lebih setelah dicium olehnya. Malah dengan senang hati akan mengangkang dan menurunkan celana dalamnya. Demi di tiduri Fibra. "APA! DASAR LAKI-LAKI m***m, AROGAN, TAK PUNYA RASA MALU, SOMBONG! DAN AAAH! m***m, m***m, m***m!" Emosi Zivanya meledak. Dia bicara sambil tersengal-sengal karena merasa sesak akibat kelakuan Fibra. Melihat itu Fibra malah tersenyum. Dia merasa lucu ketika melihat Zivanya. Berteriak sambil tersengal-sengal karena ciuman yang dia lakukan. "Kenapa kamu malah tersenyum!" Zivanya makin marah. "Hahahaha, kamu lucu! Kalau memang capeeek, diam dulu sajalaaah. Jangan teriak-teriak begitu. Lihat tuh! gundukan kembarmu, tersungkap-sungkal ke depan." Fibra menunjuk buah d**a Zivanya Refleks Zivanya menutup buah dadanya "FIBRAAA! DASAR MESUUUM!!" Zivanya kembali berteriak. Fibra bukanya marah, dia malah makin tertawa lepas. Fibra tak tahu kenapa dia malah terhibur. Biasanya dia suka marah kalau ada orang yang meneriaki namanya, tapi ini malah terasa menyenangkan. Zivanya makin dibuat kesal. Tanpa sadar dia memukul Fibra dengan bantal kursi bertubi-tubi. "Dasar orang m***m tak tahu diri tak tahu sopan santu!" Kata Zivanya masih dalam memukul Fibra. "Hey hentikan! Kalau kamu tak berhenti, aku akan menikahimu dua minggu dari sekarang!" Ancam Fibra sambil terus menahan pukulan Zivanya. "Enak saja, kamu! Memangnya kamu siapa, mengharuskan aku setuju pada perintahmu." Zivanya terus saja memukul membabi buta. "Hey! Satu minggu kamu harus menikah denganku." Fibra masih memperingatkan Zivanya. "Tidak mau dan tidak akan pernah mau!" Tolak Zivanya sambil terus memukuli Fibra. "BESOK KITA MENIKAH!" Teriak Fibra Zivanya berhenti ketika mendengar itu dan mendengus. "Kamu siapa, memberi keputusan se-enak jidat sendiri." Kata Zivanya sambil melempar bantal ke muka Fibra. "Aku bosmu! Karena kamu akan melunasi hutang dengan menikah. Jadi diam saja, kamu." Ucapan itu lolos dari mulut Fibra sambil menangkap bantal kursi yang di lempar Zivanya. Zivanya tersenyum di paksaan. Ketika mendengar Fibra berkata demikian "Yaaa, aku tahu! Aku hanya alat pembayaran hutang. Tapi aku ingin kamu juga menghargai aku. Bukan malah memaksa dengan seenaknya. Setidaknya, kamu hargai dan menjaga privasi aku juga." Senyum Zivanya luntur diganti dengan amarah yang membeludak. "YA! AKU MEMANG ALAT PEMBAYAR HUTANG ORANG TUAKU!" kata Zivanya sambil masuk kamar dan membanting pintu. Namun tak lama Zivanya mengeluarkan kepalanya "Pintu keluar ada di sana!" Brak! Pintu kamar kembali menutup. "Dasar wanita bar-bar!" "FIBRAAA AKU DENGAR UMPATANMU! SEKALI LAGI AKU DENGAR,AKU TENDANG BOKONGMU!" Teriak Zivanya dari kamar. Fibra terkejut dengan refleks dia mengusap bokongnya, dan sedikit meringis. Soalnya dari kecil sampai setua ini belum pernah ada yang berani demikian padanya. “Ya ampuuun, kamu memang wanita bar-bar.” Fibra berkata sambil cepat-cepat pergi karena takut Zivanya melakukan apa yang dia katakan. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD