DUA

1893 Words
Setelah penculikan itu, Zivanya tidak lagi bertemu dengan orang-orang yang menculiknya. Namun, sekarang dia malah di ganggu dengan sesuatu yang parah dan gangguan itu sudah terjadi selama satu bulan ini tanpa ada kata berhenti. Penagih. Ya, gangguan itu datang dari penagih hutang yang berdatangan ke rumah Zivanya. Tiap hari ada saja orang yang tidak dikenal datang. Baik itu pagi, siang, sampai tengah malam pun mereka masih datang. Sampai paling parahnya, tadi malam. Mereka bukan hanya menggedor dan berteriak lantang, memanggil kedua orang tua Zivanya. Tapi sampai menyandera anak tetangga, dan yang mereka cari hanya Bela dan Randi. Orang tua angkatnya. Ya! Bela dan Randi adalah orang yang selama ini di anggap sebagai ibu dan ayahnya. Ternyata hanya orang tua angkat, dan parahnya, Zivanya baru tahu berita itu dari desas desus orang di sekitar rumah setelah kejadian tadi malam yang membuat pikirannya makin kalut. Namun untung saja kejadian tadi malam, bisa di selesaikan Zivanya dengan bernego dan meminta waktu yang lumayan lama untuk bisa melunasi hutang orang tuanya. Karena Zivanya mengaku tidak tahu menahu soal hutang tersebut. “Anak Bos, kita hajar saja itu orang. Gue sudah kesel banget satu bulan ini. Tidak bisa diajak baik-baik itu orang, teruuus saja, ngotot dan nyolot.” Ucap bawahan Zivanya malam itu. Dia sudah mengepalkan tangan dan memasang wajah tidak kalah garang dari sang penagih hutang. "Kalian harus tahan, ingat! Kita juga selalu menyakiti orang lain. Karena kadang kita semua tidak pernah pandang bulu waktu merampok orang. Jadi, kalian harus tahan dan rasakan, beginilah hati orang yang kalian rampok.” Zivanya menatap bawahannya yang langsung terdiam. Mungkin mereka menyadari dengan apa yang Zivanya katakan. Walau memakan waktu cukup lama, namun akhirnya Zivanya bisa bernafas lega karena mereka pun setuju untuk memberikan waktu pelunasan. Pada awalnya Zivanya heran mengapa satu bulan ini orang tuanya tidak pernah pulang ke rumah, tapi setelah ada kejadian ini, dia sadar. Ternyata orang tuanya banyak hitang. Mungkin mereka sudah menyadari kalau akan banyak orang yang mencarinya, jadi mereka pergi. Namun itu hanya pikiran Zivanya, kalau kebenarannya, entahlah Zivanya pun tidak tahu. Karena meraka tidak pernah bica dan hanya sesekali menelepon untuk menanyakan kabar dan juga sekolahnya. Saat ini, rasa lelah dan letih sudah Zivanya rasakan dari pas pulang sekolah. Pikirannya melayang, memikirkan cara melunasi hutang orang tuanya yang tidaklah sedikit. Kepalanya benar-benar pusing, raganya pun terasa lelah dan juga letih. Dengan di tambah berita bawahan copetnya yang terkena masalah karena ketahuan ketika sedang beroperasi. Ya! Zivanya itu seorang kepala atau tuan yang di takuti dalam lingkungan pencopetan juga perampokan di seluruh wilayah kota. Walaupun usianya masih muda. Tapi dia sangat di hormati oleh semua orang di lingkungannya. Baik itu sebagai Zivanya ataupun sebagai si Camar. Sang ketua copet. Diwilayahnya siapa yang tak kenal dengan nama si Camar. Cewek bertopeng berambut merah yang sangat ganas dan kejam pada siapa saja yang menentang perintahnya. Apalagi sampai membuat ulah di lingkungan kekuasaannya. Tapi mereka tak tahu kalau si burung Camar adalah Zivanya yang sehari-harinya mengajar di sekolah anak jalanan dan hanya terlihat sedikit bar-bar dalam sikapnya. Padahal kalau mereka tahu, Zivanya, si Camar sanggup memukul seseorang sampai mati dalam satu jentikan jari. Selama ini, orang tua dan orang-orang yang paling dekat dengannya, selalu menutup rapat identitas Zivanya sebagai si Camar untuk keselamatan dirinya. Andai identitas Zivanya diketahui orang lain yang tidak bertanggung jawab, bisa saja mereka akan kehilangan gadis yang mereka sayangi dan paling berbakat dalam dunia pencopetan dan perampokan. Namun, bukan hanya itu yang akan terjadi, bila identitas Zivanya diketahui banyak orang, sekolahnya pasti akan terancam, begitu juga dengan nyawanya. Karena saat ini polisi tengah gencar mencari ketua pencopet dan perampok yang meresahkan masyarakat sebab mereka selalu memakai kekerasan sampai kadang tidak segan untuk membunuh korbannya dengan sadis. Padahal itu di lakukan orang lain yang menginginkan Zivanya si ketua di tangkap polisi. pernah Zivanya ingin sekali mencari orang-orang itu dengan identitas asilinya karena dia yakin itu ulah dari kelompok saingannya yang ingin menguasai kota. Namun, semua itu harus terhalang karena orang tuanya melarang keras. Padahal selama ini Zivanya, bisa bertemu dengan kelompok itu di waktu dia berstatus Zivanya anak sekolah yang hanya bar-bar jauh dari kata ganas dan mengintimidasi. Drrrt, drrrrt. Handphone Zivanya berbunyi, menyadarkan dia dari lamunan sampai matanya yang akan tertutup pun, harus terjaga kembali. Ternyata yang menghubunginya anak buah yang paling dekat dengan Zivanya, Ruta. "Ya, Halo, ada apa Rut?" "Hai Camar! Maaf bila Gue mengganggu istirahat. Tapi ada urusan yang mendesak. Gue harap Lu datang kesini." "Yaaa, baiklah. Tunggu Gue kira-kira setengah Jam." Sambungan telepon di putus secara sepihak. Dengan santai Zivanya turun dari kasur usangnya yang sudah termakan waktu, tapi masih layak di gunakan untuk saat ini. Sebenarnya, orang tuanya sudah beberapa kali ingin mengganti kasur tersebut, tapi Zivanya tolak karena dia merasa sudah merasa nyaman dengan kasur usangnya. Di kamarnya pun, hanya terdapat satu lemari pakaian, rak buku kecil, dan meja belajar yang sama pula sudah termakan waktu. Malahan sudah banyak yang mulai keropos dimakan rayap. Tidak ada hiasan dinding atau apalah yang memperlihatkan kamar wanita. Semuanya terlihat usang termakan waktu. Cat dindingnya pun sudah memudar. Tapi jangan salah, kamarnya tertata rapi dan bersih karena dia suka kebersihan. Zivanya masuk kamar mandi yang ada di sebelah kamarnya. Kebetulan di rumahnya hanya ada dua kamar mandi yang satu di dalam kamarnya sendiri dan yang satu di pinggir kamarnya yang bersebelahan dengan kamar orang tuanya. Zivanya pergi untuk mandi terlebih dahulu. Karena dia menyadari kalau sudah ada di markas, dia tidak akan pernah bisa mandi. Apalagi sudah berganti identitas, pastinya makin susah. 15 menit waktu yang di butuhkan Zivanya untuk mandi dan merubah penampilannya menjadi si Camar. Sungguh waktu yang lumayan singkat. Karena biasanya 15 menit tidak akan cukup untuk seorang wanita mandi. Tanpa menunggu lama, Zivanya pun keluar untuk siap-siap berangkat. Dengan terlebih dahulu mengeluarkan mogenya yang selalu menemani dia ketika menjadi seorang Camar. Setelah semua siap, dia pun pergi ke markas. Tidak kurang dari 10 menit, Zivanya telah sampai di tempat tujuan. "Kau sudah datang, Bos!" Sapa seorang laki-laki di pintu masuk. Zivanya hanya mengangguk dan masuk ke dalam pelataran rumah besar namun sedikit kumuh dari luar. "Hai, kamu sampai lebih cepat dari janji." Ucap Ruta. Orang yang tadi menelepon Zivanya tadi. "Gue enggak mau kalian menunggu lebih lama." Kata Zivanya sambil masuk rumah. "Ngapain Lu manggil Gue ke sini?" ucap Zivanya sambil duduk di kursi kebesarannya dan menatap Ruta sang bawahan juga sahabatnya. "Karena saya ingin bertemu dengan kamu!" Terdengar suara lain yang menjawab. Membuat Zivanya melihat ke samping tempat dia duduk, dia tercengang, dengan kedatangan ketua orang yang kemarin menculiknya. “Kenapa dia ada di sini!” Zivanya bergumam sambil menatap Ruta. "Aku, kesini ingin menagih hutang!" Kata orang itu, yang tidak lain itu Fibra dengan langsung pada intinya. "Kamu siapa?" Zivanya pura-pura tak kenal karena dia sedang menjadi Camar. "Kamu tidak mengenali, saya?" Satu alis Fibra terangkat. "Tapi, aku kemarin me___" "Keluar semua!" Zivanya memotong perkataan Fibra dengan lantang. Dia menyuruh semua bawahannya untuk pergi meninggalkan dia dengan tamunya. "Tapi__" "Tak apa Rut! Aku tidak akan kenapa-napa." Kata Zavinya meyakinkan Ruta dengan tersenyum. "Baiklaaah." Ruta pergi dari sana dengan sedikit jengkel karena Zivanya malah mengusirnya juga. "Bos!" Suara pengikut Fibra terdengar sedikit pelan namun tegas. "Kalian juga keluarlah! Ini urusan saya dan dia." "Baik, Bos!" Kata mereka dan keluar meninggalkan Bosnya dan Zivanya. "Apa maksud kamu ingin menagih hutang?" Kata Zivanya sambil membuka topeng dan rambut palsunya. "Oh iya! Gue belum tahu siapa nama kamu? Supaya gue tidak salah memanggil nama." Kata Zivanya sambil melangkah untuk membuat kopi bagi tamunya. "Nama saya, Fibra. Tapi, benarkah kamu tidak tahu nama, saya? Padahal saya selalu hilir mudik di TV, Koran, Majalah dan___" "Gue bukan orang yang tertarik pada hal yang seperti itu. Jadi maaf saja, kalau gue tidak mengenalnya." Potong Zivanya. Fibra mendengus sebal. Karena selama ini tidak ada yang berani memotong perkataannya, tapi, Zivanya! sudah dua kali memotong perkataannya. tidak tahu kenapa, dia pun merasa kecewa karena ternyata Zivanya tidak mengenalinya. Entah kenapa hatinya merasa kecewa, tapi perasaan itu membuat dia merasa, entahlah! Senang mungkin. "Yaaa, kalau masalah copet dan rampok pasti kamu tahu. Ya, kan!" Fibra berkata sinis. "Karena itu perkumpulan yang gue pegang, Tuaaan. Jadiii, gue pasti harus tahu sebesar debu sekalipun." Kata Zivanya sambil menaruh kopi di depan Fibra dengan tenang. "Kopi!" Kata Fibra sedikit aneh "Kami memang perampok dan copet. Tapi kami tak membiarkan barang laknat merusak hidup kami." Terang Zivanya seolah mengerti apa yang Fibra pikirkan. "Baguslah itu. Jadi kalian masih sayang nyawa." "Pasti! Karena nyawa tak bisa dibeli oleh uang!" Zivanya duduk di kursinya kembali. Fibra mengangguk kecil. Dia benar-benar mengagumi wanita yang tengah duduk di depannya. Walaupun orang-orang berkata kalau Zivanya itu kejam sampai mereka bilang, dia itu penjahat yang kejam. Tapi ternyata, semua itu bohong karena yang Fibra lihat, Zivanya itu bisa di ajak lembut. Bukan hanya itu, Fibra juga mengaguminya karena sebagai ketua kelompok dia mencontohkan hal yang baik untuk bawahannya. "Yaaa, jadi sekarang! Apa maksud perkataan kamu, ingin menagih hutang? Perasaan gue, baru kali ini kita bertemu, oh, maaf, mungkin yang kedua kalinya setelah kamu menculik gue tanpa tahu aturan jam." Zivanya mendengus ketika mengingat kejadian itu. Fibra malah diam, dengan santai dia meminum kopinya terlebih dahulu. "Ini enak sekali. Di bandingkan kopi yang sering aku beli di kedai terkenal." Gumam Fibra dalam hati sambil terus menyeruput kopinya. "Enakkan kopinya, apalagiii, ini gratiiis.” Zivanya tersenyum. Tidak tahu itu ejekan atau sebuah kebanggaan karena kopi yang dia seduh bisa di nikmati orang lain. "Ehem!" Fibra berdehem untuk membuyarkan lamunan dan menyamarkan rasa malunya. "Yaaan, saya kesini ingin menagih hutang. Karena ternyata orang-orangmulah, yang sudah merampok sekretaris saya. Sewaktu dia sudah mencairkan uang yang saya butuhkan." ucap Fibra sambil menyender. "Kemarin di tengah jalan, dia malah di rampok orang-orangmu, dan saya juga mau menagih hutang atas perampokan orang tuamu yang meraka lakukan pada Saya sendiri. Kamu tahu, mereka membawa uang saya sebesar 2 milyar." Fibra berkata dengan tenang dan kembali menyeruput kopinya sambil sekali-kali meniupinya. Sungguh tidak elegan bukan? Mata Zivanya melotot ketika mendengar kalau orang tuanya merampok uang sebanyak 2 milyar. Pantas saja orang tuanya tak pulang-pulang. Ternyata sedang berbahagia dengan uang rampokannya. “Kenapa kamu tidak melaporkannya!" Zivanya mulai lelah dengan banyaknya penagih hutang, sampai tidak disengaja mengeluarkan pertanyaan bodoh itu. Awalnya Fibra mengerutkan kening tidak percaya dengan apa yang Zivaanya katakan. Tapi setelahnya dia biasa lagi. "Karena saya tidak mau mereka di aniaya oleh bawahan yang ada di kepolisian. Tapi kalau kamu mengizinkan. Saya bisa melakukannya dengan senang hati." Jawab Fibra enteng. "Tidak! Tidak, tidak. Walau bagai mana pun mereka orang tua gue." Zivanya mulai merasa kawatir ketika mendengar apa yang Fibra katakan. “Apakah kamu bisa memberi waktu?” ucap Zivanya, walaupun dia tahu, tidak mungkin bisa melunasinya. Apalagi dia juga harus memikirkan hutang orang tuanya pada penagih yang kemari mengacau di tempatnya. "Baiklah. Saya akan memberimu waktu untuk melunasinya. Saya tunggu 2 minggu dari sekarang. Kamu harus melunasinya." Fibra berdiri dan melangkah pergi meninggalkan Zivanya sendiri tanpa harus mendengar persetujuan atau protes dari Zivanya terlebih dahulu. "2 milyar. Dari mana aku dapatkan uang begitu banyak! Lagian, jangankan punya, memegang pun aku tidak pernah!" Zivanya meratapi semua kejadian yang dia alami. Namun Zivanya kembali sadar, dia tidak bisa lama-lama dengan ratapannya karena bisa saja dengan nasibnya yang sekarang, akan membuat dia makin tegar, dan makin bersemangat untuk membuat anak-anak jalanan makin berpendidikan. *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD