7. Lagi? s**t!

1287 Words
ESTU POV Jadwal kuliahku sekarang hanya sedikit, karena waktuku banyak kuhabiskan di tempat Magang. Aku baru keluar kuliah Remediasi yang diajar oleh dosen sombong, ganteng dan selalu menyuruhku menjawab setiap pertanyaan. Tau siapa? Yak! Daruprada Beswara, dia kayanya punya dendam tersendiri padaku, entah kenapa. Minggu kemarin, saat aku sakit, dia memberikan tugas banyak sekali untuk menebus alfa-ku, aku penasaran, dia jahat gini suruhan Ardra bukan sih? Sebelumnya kan gak kaya gini. Oke, oke! Lupakan Ardra dan Kakaknya, aku punya tugas jemput Mama di distro siang ini. Sore sih harusnya, tapi karena Matkul Pengelolaan Proyek kosong ada baiknya aku sekarang ke sana. Kali aja Mama mau bayarin delivery makanan, jadi uang jajanku aman. Meninggalkan teman-temanku yan berbelok ke kantin, aku langsung mengarah ke parkiran, menjalankan mobilku ke arah distro. Begitu sampai, aku langsung masuk ke dalam, ada Mas Kiki yang sedang berjaga dan Mas Farhan menjaga kasir. "Siang Mbak Estu." Sapa mereka bersamaan. "Siang Mas, Mama ada?" Tanyaku. "Ada di atas, sama temennya tadi." Ujar Mas Kiki. "Oke, saya ke atas ya!" Kataku. Mereka tersenyum, lalu aku naik ke atas. Di atas kembali aku disapa oleh penjaga lantai dua, aku tersenyum kepada Mbak Dina lalu mengetuk pintu ruangan Mama. "Masuk!" Seru Mama. Begitu membukanya, aku terkejut melihat si Megalomen duduk di bangku seberang Mama. Anjir! Kok? Mereka berdua lagi? "Estu bilang Papa kali ini!" Seruku. Aku udah gak peduli. Mau urusan bisnis kek, mau urusan apa kek. Aku udah gak percaya sama Mama dan si monyet itu. Aku udah gak sanggup kaya gini! Turun dengan cepat, aku langsung mengendarai mobilku ke rumah makan Papa di daerah Tajur, tadi pagi Papa bilang hari ini bakal cek di sana soalnya. Dua puluh lima menit kemudian, aku sampai di resto, lalu masuk ke dalam. Langsung masuk ke ruangan Papa, kutemukan Papa sedang sibuk dengan berbagai kertas di mejanya. "Kakak? Bikin kaget aja! Kenapa kamu nangis?" Tanya Papa. Aku langsung menghampiri Papa, berlutut dan memeluk pinggangnya. "Pa maafin Estu!" Kataku. "Apa? Kamu bikin salah apa? Nabrak orang? Apaan sih?" Tanya Papa bingung. Aku mempererat pelukan dan menumpahkan air mataku. Papa menarikku lalu memangkuku. "Kenapa sih?" Tanya Papa sambil mengusap air mataku. "Mama, Pa!" Kataku. "Kenapa? Mama kamu kenapa?" Papa tambah panik. Aku memeluk Papa seerat mungkin, aku belum sanggup jujur, tapi aku gak sanggup juga menutupi ini terus. "Kakak? Jangan bikin Papa bingung gini ah!" "Papa jangan marah sama Estu ya?" Kataku. Papa mengangguk. "Mama, duh Mama affair Pa, sama Om Reyhan. Maaf Estu gak langsung bilang! Pas Estu tau Mama janji mau berubah, pas Ardra gebugin Om Reyhan, itu karena Om Reyhan godain Mama. Mangkanya Estu marah dan Ardra yang turun buat hajarin dia. Di rumah sakit, Mama janji kalo gak bakal lagi, kalo gak bakal ada urusan lagi baik itu bisnis atau apapun. Tapi kayanya engga. Tadi di distro, Estu liat Mama lagi sama monyet itu." Akhirnya itu keluar dari mulutku. Papa terlihat syok, aku langsung memeluknya lagi erat. Papa membawaku berdiri, berusaha melepas rangkulanku. Begitu terlepas Papa langsung keluar dari ruangan ini sambil menyambar kunci mobilnya. Aku menjatuhkan diri di lantai. Ini yang aku takutkan, kehancuran keluargaku. Aku menangis sejadi-jadinya, aku gak tahu harus bagaimana sekarang. Aku takut. Kukuatkan diriku sendiri lalu bangkit, banyak para pegawai Papa yang melihatku dengan tatapan heran. Kuarahkan kembali mobilku ke distro, aku harus menghentikan Papa sebelum Papa melakukan hal yang macam-macam. Begitu aku sampai, distro ditutup, aku bahkan gak lihat mobil Papa di mana pun. Jadilah aku meneruskan jalan menuju rumahku. Aku lega melihat mobil Papa terparkir asal di garasi. Aku parkir di luar rumah karena gak muat garasi kalau Papa parkir asal begitu. Setelah itu aku keluar mobil, dengan langkah berat aku masuk ke dalam. Tangisanku pecah kembali saat melihat ruang tengah rumahku berantakan. Meja tempat biasa aku belajar pecah, dan ada beberapa barang juga pecah. Lalu, aku juga mendengar beberapa teriakan dari dalam kamar Mama. "Maaf Ton, maaf!" "Pergi Sonia! Biarin aku mikir dulu! Pergi sebelum aku malah ngelakuin hal yang gak kamu kira! Jadi pergi! Pulang sana ke keluarga kamu!" Aku memejamkan mata, meskipun terpejam air mataku tetap keluar. Aku gak sanggup melihat rumahku seperti ini, aku gak sanggup mendengar Mama dan Papa berdebat. Aku akhirnya berdiri, berlari dan masuk kembali ke mobilku. Aku menyetir, mengarahkan mobilku ke tempat yang jauh. Aku sebenarnya tak tahu akan kemana, tapi aku tak punya tujuan lagi untuk menemuinya. Aku hanya tahu satu tempat. Hampir 90 menit aku menyetir, mobilku berhenti di sebuah rumah berwarna biru telur asin, mendadak aku tenang saay melihat mobil dan motornya terparkir di halaman yang sempit itu. Kuberanikan diriku turun, lalu berjalan mendekat ke rumah yang tampak asri ini. "Per.. permisi!" Seruku dengan suara parau. Tak lama terdengar sahutan dari dalam rumah, jantungku langsung berdetak liar. Dan aku kaget saat melihat orang yang keluar rumah. "Eh, Estu??" "Pak Daru.. Ardra ada Pak?" Tanyaku dengan nyali seadanya. "Ada, ayo masuk dulu." Ajaknya tapi aku menggeleng. "Tu.. tunggu sini aja." Kataku. "Yaudah bentar ya! Dia tadi lagi ngumpulin laundry." Kata Pak Daru, lalu beliau berbalik dan masuk kembali ke dalam rumah. Melihat rumah ini, membuat air mataku mengalir deras. Harusnya dari dulu aku ke sini, harusnya sudah sejak lama aku datang menemui Ardra dan minta maaf kepadanya atas apa yang tidak kulakukan, karena tidak membelanya. Dan berdiri di sini, kakiku bergetar hebat, aku merasa tak layak ada di tempat ini setelah apa yang keluargaku lakukan kepada Ardra. Tak lama menunggu, Ardra keluar, tampangnya terlihat panik. Dia langsung menghampiriku. Tanpa banyak berkata, aku memeluknya. "Hey? Kenapa kamu?" Tanyanya. Aku tak menjawab, aku hanya bisa menangis. "Masuk deh yuk?" Ajaknya, kali ini aku menggeleng. "Kamu ke sini naik apa?" Tanyanya, aku langsung menyerahkan kunci mobilku. "Yaudah, ikut aku deh yuk?" Katanya. Aku mengangguk. "Sebentar!" Ia menjauhkan tubuhnya dariku lalu berjalan ke arah rumah. "Kak! Gue keluar! Gak balik kayanya. Bilang Ayah!" Serunya dari teras sambil memakai sepatu, setelah itu ia kembali ke arahku. Ia merangkulku dan membawaku ke mobil. "Udah makan siang?" Tanyanya sambil menyetir. Aku menggeleng. "Mau makan?" Aku menggeleng lagi. "Ini udah jam setengah 4, kamu nangis berapa lama? Cape kali, kan biasanya kamu yang rewel nyuruh makan." Aku senang mendengar suaranya, aku senang ia membaweliku. "Untung hari ini aku di rumah, gak kemana-mana gara-gara mules, jadi kamu langsung ketemu aku. Coba aja kalo aku berangkat ke ruko, pasti kamu pusing ya nyariinnya?" Ujarnya santai. Aku tahu apa yang ia lakukan, ia berusaha menenangkanku. Ia berusaha membuat pikiranku sibuk dengan bawelannya agar aku tak memikirkan masalahku. Ia selalu begitu, tidak berubah. Lalu, kami sampai di sebuah ruko, Ardra memarkirkan mobil di samping bangunan ini. Semua ruko yang berjejer di sini rata-rata sudah tutup, yang masih buka hanya tempat bimbingan belajar. "Yuk!" Ajaknya. Tapi aku diam. Ardra membukakan pintu penumpang dari luar, ia masuk dan menunduk untuk melepas seatbelt yang kukenakan lalu dengan lembut menarikku keluar. Ia membimbingku menuju pintu kecil yang ada di samping ruko lalu mengajakku masuk. Bagian dalam ruko ini terasa familiar walaupun tempatnya asing. Ardra membawaku menaikki tangga, diujung tangga ada sebuah pintu yang tertutup, Ardra membukanya dengan kunci saat kami berada di puncak anak tangga teratas. Lagi-lagi, ruangan ini terasa familiar meskipun lebih kecil dibanding tempat yang dulu kukenal. Ardra membawaku ke sofa abu-tua yang sangat nyaman ini. Begitu duduk, aku langsung memeluknya, kali ini ia membalas pelukanku. Dan aku mendadak merasa aman, damai dan nyaman. "Mimpi apa ya aku semalem? Sampe dipeluk gini sama kamu, Bey!" jantungku berdetak tak kauruan. Ia masih memanggilku bey! Ya lord! Tolong hentikan waktu saat ini. Aku ingin seperti ini, selamanya. "Kamu mau cerita? Apa mau makan?" Tanyanya. Aku menggeleng. Aku hanya ingin berdua dengannya, memeluknya dan tidak melakukan apapun. Karena saat bersamanya, doing nothing is the best activity. "Makan ya? Aku pengin kamu punya tenaga buat cerita. Oke? Oke yaa?" Akhirnya aku mengangguk. Ardra tersenyum manis lalu mengeluarkan ponselnya. Sibuk beberapa menit, ia meletakkan ponsel di meja lalu menatapku. "Jadi kamu kenapa, sayang?" Tanyanya membuat aku merinding mendengarnya. "Aku mau makan dulu, biar punya tenaga buat cerita." Kataku. Ardra mengangguk, ia langsung menarikku ke dadanya dan ingin rasanya aku tenggelam ke dalam situ, ke hatinya, tempat ia menyandra sebelah hatiku selama ini. Aku ingin karam di dalam situ, lalu menjadikan hatinya makam terindah untuk hati ini. Ardra, you're always in my mind and I dont mind. I love you. *** TBC Thanks for reading
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD