8. Dear N

1585 Words
ARDRA POV Sebenarnya aku bingung, aku takut tapi aku bahagia. Aku takut akan apa yang dialami Nares sampai ia berakhir di halaman rumahku sambil menangis, aku takut kalau ia terluka. Tapi, secara fisik ia baik-baik saja. Dan, tentu saja aku bahagia, aku bisa melihatnya dari dekat, memeluknya dan melipat semua jarak hingga yang menjadi pembatas kami adalah baju yang kami kenakan. Kami habis makan, dan Nares sekarang sedang tiduran sofa, aku yang duduk di ujung sofa bingung. Dari tadi dia cuma mandangin langit-langit gak mau ngomong. Aku anaknya gak doyan maksa, jadi mending didiemin aja. Kurapikan bungkus-bungkus burger sisa makan kami, memasukannya dalam kantung plastik lalu berjalan turun. "Mau kemana?" Aku menoleh, Nares sedikit bangkit dari posisinya. "Buang sampah, sebentar ya." Kataku, ia mengangguk lalu merebah kembali. Aku turun ke lantai satu, membuang sampah di trash-bag besar yang ada di dekat kamar mandi bawah. Lalu, aku mengunci pintu bawah. Nares kayanya gak ada niat balik hari ini, aku pun, jadi lebih baik kunci dan amankan lantai satu dulu. Aku naik lagi ke lantai dua, kali ini ke arah balkon dan membuka pintu kaca, membiarkan sisa-sisa matahari petang ini masuk walau hanya sebentar. Kembali ke sofa, Nares masih memandang langit-langit, aku mengangkat kepalanya, menarik bantal sofa yang ia kenakan lalu menggantinya dengan pahaku, kumainkan rambutnya. Ia tersenyum dan menatapku. "Udah makan, udah punya tenaga berarti ya buat cerita?" Kataku. Senyumnya mengembang. "Tapi kalo gak mau cerita gak apa kok." Kataku. "Sebenernya aku takut kalau cerita." Katanya. "Kenapa? Gak usah takut, kan ada aku." Aku sedikit memberikan pijatan di kepalanya agar ia rileks. "Kalo ada cerita keluar dari mulut aku, itu sama aja aku membuktikan kalau ini semua nyata, bukan mimpi." "Aku gak ngerti kamu lagi bahas apa." Kataku. "Keluarga aku, Dra." "Keluarga kamu kenapa? Bukannya udah baik-baik aja? Aku menjauh karena itu, bey, supaya semua baik-baik aja." Nares langsung bangkit, ia memutar tubuhnya dan menghadap ke arahku. "Tapi nyatanya engga Dra! Aku! Aku gak baik-baik aja!" Katanya. Aku mendekat lalu memeluknya. "Aku tahu, Vizar laporan sama aku semua tentang kamu." Kataku di belakang telinganya. "Pijar cepu yaa ternyata!" Katanya. Aku tertawa dan melepas pelukan ini. "Berhenti ngerokok bey, please!" Pintaku. "Asal kamu juga." Aku mengangguk. Apapun, apapun selama ia kembali straight edge. Nares diam, lalu ia tiba-tiba mendekat dan mengecup bibirku, hanya sebentar. Sebentar tapi mampu menghidupkan lagi percikan api yang selalu kurasakan saat menciumnya. "Kamu tahu? Aku kangen rasa manis-pahit bibir kamu kalau kamu habis merokok. Mangkanya aku ngerokok, emang sih rasanya beda sama ngicipin langsung di bibir kamu. Tapi ya... daripada gak sama sekali." Katanya. Aku mengangkat sebelah alis, bingung karena pemikirannya. Jadi dia merokok supaya bisa merasakan after taste dari rokok yang menempel di bibirku? Serius? Kalo emang dia suka, aku rela deh ngerokok sampe paru-paruku menciut. "Jangan gila!" Kataku. Akhirnya, ia tertawa. Ya Tuhan, rasanya sudah berapa abad berlalu sejak terakhir aku mendengar suara tawanya yang menyenangkan. "Aku akhirnya bilang ke Papa, Dra. Aku bilang kalau Mama selingkuh." Katanya di sela-sela tawanya, ya, ia tertawa tapi jauh di dalam sana, aku tahu ia masih menangis. Lagi-lagi aku memeluknya, berusaha menenangkannya dengan pelukan, aku merasa Nares menangis. "Jangan nangis." Bisikku. "Aku pulang ke rumah, ruang keluargaku berantakan, meja pecah, barang-barang pecah, aku denger Mama sama Papa teriak-teriak. Aku gak suka, itu bukan rumah lagi, makanya aku pulang ke kamu." Katanya sambil terisak. "Udah, kamu di sini dulu aja yaa!" Nares mengangguk tapi terus menangis. "Jangan nangis." Pintaku. "Pedih, Dra. Aku gak mau kaya gini, gak mau Papa sama Mama berantem, aku gak mau mereka pisah. Aku, aku takut mereka berdua bakal tinggalin aku, kaya dulu orang tuanya Mama, mereka bawa Mama ke panti asuhan. Gak mau Dra, aku gak mau sendiri." Aku merasa betul ketakutannya, takut ditinggalkan, takut dibuang, takut tak memiliki apa-apa lagi. "Pertama, aku yakin mereka gak akan ninggalin kamu, apalagi Papa. Papa sayang banget sama kamu, bey, aku tahu itu. Kedua, kamu gak akan berakhir di panti asuhan, kamu udah 21 tahun sayang, gak ada anak legal age di panti. Terakhir, kamu gak akan sendirian. Aku janji gak akan pergi, aku gak akan menghindar, aku bakal temenin kamu. "Jangankan dilarang Papa kamu, dilarang Tuhan juga bakal aku langgar." Kataku berusaha menenangkannya. Aku melirik jam di tangan kiriku, sudah pukul setengah sembilan. Gila, curhat ini doang gak berasa yaa, pantes aku laper lagi. "Bey??" Panggilku sambil melepas pelukan. "Kenapa?" "Aku laper, tapi aku udah kunci pintu bawah. Bingung." Kataku. "Gara-gara makanan aja kamu bingung?" Aku mengangguk. "Mau beli?" Tanyanya. "Keluar dengan mata kamu yang merah bengkak kebanyakan nangis gitu? Digebugin aku sama orang-orang nanti, sangkanya aku ngapa-ngapain kamu." "Gak bakal aku biarin kamu digebugin orang." Katanya. Aku tersenyum, lalu pandanganku jatuh ke lengannya, ada bekas luka besar di sana. Refleks, aku mengelusnya, ini pasti bekas saat ia jatuh beberapa minggu yang lalu. "Aku dijambret sama orang, keseret di aspal, eh pingsan, terus sadar-sadar di rumah sakit. Pasti kamu gak tau kan?" Ujarnya. "Jadi kamu dijambret?? Pantes aku heran, kalo kamu ditabrak masa lukanya begini??" "Kok kamu tahu?" "Aku ada di TKP, sayang. Aku yang bawa kamu ke Azra." Kataku. "Kok aku gak liat kamu?" "Aku pergi, maaf." Nares menggeleng, menatapku seolah-olah aku orang paling sinting di dunia. "Kenapa kamu bilang ke orang-orang kalau kamu ditabrak?" Tanyaku. "Aku gak mau panjang urusannya." Katanya. "Aku laper." Kataku lagi. "Pesen makanan aja." Aku mengangguk, mengambil ponselku dari meja lalu kuberikan padanya. "Pesenin, bebas apa, gofood aja." Kataku. Nares mengangguk lalu membuka ponselku untuk memesan makan. Sementara itu, aku menyalakan televisi, mengecilkan volumenya seperti jaman dulu. Lalu aku duduk kembali, Nares sudah selesai memesan, ia memeluk pinggangku dan menyelipkan wajahnya di sela-sela leherku. Percayalah aku ini normal dan... ah sudah lah, kalau sama Nares aku harus banyak-banyak tarik nafas untuk menahan diri. Pelukan kami buyar karena dering ponsel Nares, ia mengambilnya lalu meletakkan kembali di sofa. "Siapa?" Tanyaku. "Papa." "Angkat, bey." "Gak, aku gak mau." "Papa kamu gak salah apa-apa." "Papa ngusir Mama, Dra." Aku menarik nafas, Nares udah jelasin secara rinci gimana masalahnya, dan yang aku tangkap, Pak Anton gak usir Tante Sonia, beliau hanya butuh waktu untuk sendiri, waktu untuk berfikir. "Angkat! Loudspeaker, bilang ke Papa kalau kamu gak apa-apa, jangan bikin pikiran Papa tambah njelimet." Kataku dengan nada tegas, Nares memasang tampang kesal tapi ia menggeser layar ponselnya. "Kakak?? Kakak di mana? Kok belum pulang?" Suara Pak Anton terdengar panik. "Estu gak mau pulang, Estu baik-baik aja kok, Pa!" "Kak? Jangan bikin Papa pusing juga, pulang sayang." "Gak mau!" "Kak! Jangan biarin Papa sendirian dong ngadepin masalah ini, Papa butuh Kakak." Nares kembali menangis mendengar itu. Aku meminta ponselnya tapi ia menahannya, sembari mengusap mata, ia menyahuti Papanya. "Nanti aku pulang Pa, tapi gak malem ini, bisa besok atau lusa. Estu gak mau pulang kalau rumah udah gak kaya rumah Pa. Estu gak suka ruang keluarga kita berantakan, Estu gak suka tempat yang Estu anggap aman jadi gak nyaman." Katanya sambil terisak, untuk kesekian kalinya aku menarik Nares ke dadaku. "Kakak tadi pulang? Maaf ya Kak, maaf kamu harus liat yang kaya gitu." "Yaudah Pa, Estu gak marah sama Papa, Estu cuma gak mau pulang malem ini." "Jangan tinggalin Papa kelamaan ya Kak? Papa butuh Kakak. Kakak di mana sekarang?" Nares memutus panggilan tersebut lalu mematikan ponselnya, ia lanjut menangis. Aku hanya menarik nafas panjang, berusaha menguatkannya, kukecup rambutnya, mengusap pundaknya dan menenangkannya. "Aku laper Dra." Katanya. "Iya, nangis emang butuh energi banyak. Kita tunggu gojeknya dateng aja ya?" Nares mengangguk. ** Pukul setengah dua belas malam, aku dan Nares sudah pindah ke kamar. Lagi-lagi godaan terberat dalam hidupku. Nares memelukku erat, menjadikan lenganku sebagai bantalnya, ia bahkan menyilangkan kaki kami, membuat kami tak berjarak, membuatku bangun. "Kamu pasti cape seharian nangis, tidur gih." Kataku. "Gak bisa." "Lampunya udah mati, mau apa? Mau puter lagu?" "Gak, aku gak mau ganti posisi, aku mau kaya gini. Terus kaya gini. Udah ratusan malem aku habisin buat kangenin kamu, aku mau kaya gini." Katanya. Aku mengangguk, sebelah lenganku kugunakan untuk mengusap-usap rambutnya. "Dra?" "Ya?" "Jangan pergi lagi." "Iya, gak bakal." "Jangan biarin aku sendiri." "Siap boss!" "Dra?" "Ya?" "Nyanyi dong!" "Mau pake gitar?" "Engga, kalo pake gitar kamu harus duduk, kamu nyanyi aja, aku pengin kaya gini semaleman." "Oke!" "Ayo nyanyi." Pintanya. Aku memutar beberapa playlist lagu di otakku, lalu berhenti di lagu Dear Ndut milik Still Virgin, kemudian kunyanyikan padanya. Air mataku sedikit menetes saat lagu itu selesai, dan itu tak luput dari perhatian Nares, ia mengusap sudut mataku. "Kenapa?" Tanyanya. "Aku sayang sama kamu." Kataku. Nares mengelus pipiku, ia sedikit bangkit, bertumpu pada sebelah langannya lalu pelan dan pasti, ia mendaratkan bibirnya di bibirku. Kali ini tak hanya sekecup, ia menekan bibirku lama, jadi aku membalas kecupannya, membuka bibirnya agar aku bisa masuk. Nares membalas semua gerakanku, aku makin leluasa menjelajah mulutnya, sesekali aku menggigit ujung bibirnya membuatnya mengeluh, tapi ia juga melakukan hal yang sama. Aku menarik diri ketika merasa ciuman ini sudah terlalu jauh. "Tidur." Kataku, berusaha mewaraskan diri dan menetralkan ketegangan di bawah sana. "Kamu gak mau lanjut?" Tanyanya, matanya sudah terlihat sayu. Aku hanya tersenyum. Tentu saja aku mau. Tapi aku belum siap memulai tahap itu. Aku takut melukai Nares, aku takut melakukan sesuatu untuk orang lain yang dampaknya permanen. Dan lagi, jika melakukannya, itu sama-sama pertama untuk kami. Jadi, aku ingin kalau itu terjadi, kami melakukannya dengan cara yang spesial. Bukan seperti ini, saat banyak masalah menghatam bahunya. Aku tak ingin itu menjadi pelariannya. "Jangan sekarang." Kataku. Nares mengangguk, lalu memelukku. "Tidur." "Iya ini mau!" ***** TBC thanks for reading
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD