9. Selamat Pagi

1582 Words
ESTU POV Aku sedang asik memandang Ardra yang masih terlelap. Ia tidur tanpa mengenakan baju, hanya celana pendek. Curang! Padahal aku pake baju lengkap loh, bahkan aku masih pake jam tangan. Harusnya kami samaan, tapi aku lebih suka ngikutin Ardra sih dari pada Ardra ngikutin aku. Aku mencium dadanya yang telanjang, tepat di tato tulisan I Was Not Afraid To Die miliknya, lalu membayangkan banyak hal yang bisa kami lakukan di atas kasur ini. Ya, aku udah 21, boleh dong ya aku macem-macem?! Tapi, Ardranya gak mau! Dia tato doang banyak, aslinya cemen. Aku kembali menelusuri garis wajah Ardra dengan jariku, lalu mengusap rahangnya yang dulu Papa katain bengkok. Huh! Bengkok dari Zimbabwe? Orang rahangnya tegas begini. Bikin pengen ngelus terus, Papa mah suka sotoy. Jariku berlama-lama di bibirnya, Ardra nih perokok kelas berat, tapi bibirnya gak item, bibirnya malah kiss-able deeh, dan karena rokok, bibirnya jadi punya rasa. Manis-pahit yang jadi candu untukku. Tiba-tiba Ardra terbangun, ia menggeliat lalu membuka mata. Saat pandangannya terfokus padaku ia tersenyum. "Selamat pagi!" Sapaku lalu mengecup bibirnya cepat dan pelan. "Gosh! Ini mimpi gak sih?" Ucapnya. Aku mengecupnya lagi, Ardra tertawa sekarang lalu menarikku untuk menempel di dadanya, tempat favoritku. "Mata kamu bengkak bey." Katanya. "Gak apa, nanti juga kempes." "Laper gak?" "Laper, di meja depan masih ada makaroni sama pizza semalem, makan itu aja ya?" Kataku. "Iya." "Mandi gih!" Kataku. "Kamu engga?" "Gak ada baju ganti." "Pake baju aku, mau?" Tawarnya. "Dalemannya?" "Mau aku beliin daleman sekali pake di mini market?" "Boleh deh." "Yaudah, aku mandi." "Aku mau cuci muka!" Kataku. "Iya ayok bareng!" Aku tersenyum lalu bangkit dari kasur, Ardra juga bangkit ia langsung berjalan ke kamar mandi, aku menyusulnya. Setelah aku cuci muka, Ardra mengusirku dari kamar mandi, aku tertawa saat ia mendorongku keluar lalu mengunci pintu dari dalam. Aku duduk di sofa, menyalakan TV dan menonton acara apa saja. Tanganku terus mencari channel yang setidaknya menampilkan acara seru, tapi belum dapat acara seru, aku terhenti di saluran yang menayangkan gosip. Ada foto Mama di layar dan foto si Megalomen. Apa-apaan? Kenapa bisa masuk acara gosip? Okelah, Megalomen emang model pria terkenal, cuma?? Seterkenal itu dia sampai masuk TV? Waah ini sih wartawannya aja kehabisan bahan gosip. Aku mengeraskan volume TV dan mendengar dengan seksama si pembawa acara ini menyampaikan betita. "---, diketahui telah mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan dari suami desainer ternama tanah air Sonia Patricia yang beberapa waktu lalu baru memamerkan karya tunggalnya. Kabar yang berhembus mengatakan adanya hubungan spesial antara Sonia dan Reyhan--" Aku langsung mematikan TV dan membanting remote. "Kamu kenapa?" Pintu kamar mandi terbuka dan Ardra keluar hanya dengan berbalut handuk. "Gosip, bikin emosi." "Ya jangan ditonton, sebentar aku ganti baju dulu." "Mau ikut!" "Wow! Gak!" Katanya. Ia berlari ke kamarnya dan terdengar bunyi anak kunci yang diputar sekali. Tak lama di kamar, Ardra keluar, sudah memakai baju. Kaus biasa dan celana jeans pendek, terlihat santai dan aduhai. "Wangi bangeeet!" Seruku. "Iya dong, biar kamu betah." "Udah betah, aku nginep lagi ya?" "Cobaan apa ini Tuhaan?!!" Serunya sambil tertawa, aku pun tertawa bersamanya. "Jadi beli apa aja nih?" Tanyanya. "Ya beli daleman." "Emang ada bra di minimarket?" "Gak tau." "Terus kamu gak bakal pake bra?" "Ide bagus." Kataku. "Gue beliin miniset juga deh lo!" Serunya sambil berjalan ke arah tangga. "Ih? Kok tau miniset? Pernah pake ya??" "Pernah nyuri punya tetangga!" Serunya asal. Ia sudah ada di bawah tangga ketika terdengar langkah kakinya berbalik ke atas. "Apa?" Tanyaku. "Pinjem mobil dong? Aku males jalan, jauh!" Aku melemparkan kunci mobilku yang tergeletak di meja padanya. Dengan sigap ia menangkapnya dan berbalik ke arah tangga lagi. Aku pengin deh kaya gini terus sama Ardra. Nikah aja apa ya?? Seru kayanya, jadi ada yang temenin aku begadang bikin laporan hasil magang. Ah nikah ah! Aku mau bilang ke Papa. Kalau keluargaku sudah tak bisa dipertahankan lagi, itu tandanya kode buatku untuk bikin keluarga sendiri. Rencana Tuhan memang selalu diluar dugaan. Hohoho! Thank God. Aku mencomot pizza dingin yang ada di meja, memakannya dengan tambahan ekstra saus tomat. The best lah! Dingin aja enak, apalagi anget? Setelah makan, aku merapikan sampah-sampah yang berserakan di meja, mengumpulkannya dalam satu plastik ukuran sedang, lalu, aku turun ke bawah untuk membuang sampah. Dulu, tong sampah biasanya ada di dekat kamar mandi, sekarang pun sama, hanya saja tong sampah diganti dengan trash bag raksasa. "Setaaaaaan!!!" Seru seseorang. "Aaaaa!" Aku teriak sambil lari ke bagian luar. "Mbak setan??" Tanya orang ini takut. "Mana??" Tanyaku. "Mbak siapa?" "Kamu siapa?" "Saya Rudi, karyawannya Mas Ami, Arvan sama Mas Andra." "Ardra, bukan Andra." Ralatku. "Iya itu. Mbak napak, mbak bukan setan kan?" "Sembarangan!" "Abis Mbak di deket kamar mandi berdiri gitu, rambutnya panjang, kusut, kan saya ngeri." Ujarnya. "Saya lebih takut pas kamu teriak setan!" Kataku, gak tau apa dia aku hampir jantungan! "Kenapa ini?" Ardra kembali di lengannya ada dua tas plastik ukuran sedang. "Maap Mas Andra, saya kira Teteh ini setan." "Ardra!" Kataku. "Hahahaha! Ini mah bidadari atuh Masrud, bukan setan!" Ujar Ardra. "Maap ya Mbak." Si Rudi ini meminta maaf. "Ke saya manggil Mbak, kok ke Ardra bilangnya teteh?" Protesku. "Maunya apa Teh?" Tanya Rudi. "Sayang aja, biar gampang." Kataku. Ardra langsung mendecak sebal. "Becanda dia Rud, udah panggil aja Embak! Oke?!" Ujar Ardra. Rudi mengangguk lalu Ardra meraih lenganku, mengajakku kembali ke atas. "Rud kalo ada Ami sama Arvan bilangin saya lagi sama Estu. Oke?" "Oke boss hihihihihihi!" "Lha? Ngapa dia cekikikan?" Tanyaku. "Udah, emang orangnya gitu." Bisik Ardra sambil menutup pintu di ujung tangga. "Dia karyawan baru?" Tanyaku. "Ya, yang lama ada yang keluar, jadi rekrut lagi deh, tapi dia merangkap OB, makanya datengnya pagi." Aku mengangguk mendengar penjelasannya, lalu Ardra memberikanku plastik yang sedari tadi ia jinjing. "Egila! Banyak amat ini CD?" Seruku. "Selusin, biar enak ngitungnya." "Gak ada bra?" "Gak ada, nanti kamu aku kasih baju tebel yang gede aja, biar gak keliatan." "Aku gak keberatan kalau kamu yang liat." Kataku. "Stop flirting on me!" Serunya dengan nada frustasi. "Kenapa sih? Kita pacaran kan??" "Kamu kenapa sih? Dulu kayanya kamu gak gini?" "Dulu aku belum pernah kehilangan kamu, jadi aku santai. Sekarang, aku udah ngerasain kehilangan kamu, jauh dari kamu, dan aku gak mau gitu lagi. Jadi aku memanfaatkan semua situasi biar kita sama-sama terus, oke?" Ardra tersenyum prihatin, ia mendekat lalu mengacak rambutku. "Aku udah bilang kalau aku gak bakal ngejauhin kamu lagi. Oke? Jadi santai aja. Aku gak bakal kemana-mana." Aku mengangguk. Tapi tidak, aku akan tetap seperti ini. Aku gak mau dia jauh. Bahkan, aku rela kalau harus mengulang aib yang dibuat Papa-Mama dulu kalau itu bisa bikin aku terus sama Ardra. "Ngelamun! Sana mandi, aku siapin baju." Katanya. "Makasih sayang!" Kataku lalu menciumnya sedikit, baru beranjak ke kamar mandi. "Anytime my little N." Sahutnya. *** Ardra memberiku celana jeans pendek robek-robek, sama seperti yang ia kenakan, lalu memberi sweater gombrong warna abu-abu. Celana dan swaeter ini kegedean, untuk sweater gak masalah, tapi celana? Ardra sampe iketin pake tali kur tau gak?! Rusuh emang. "Sini yuk di balkon, kita moyan. Jarang-jarang aku mandi pagi nih." Ajaknya. Ardra menggeser pintu kaca lalu keluar, aku membuntutinya. Di luar ada kursi kecil, terlalu luas untuk seorang, tapi terlalu sempit untuk dua orang. Ardra duduk dan tanpa ragu, aku duduk di pangkuannya, melingkarkan lenganku di lehernya.          "Mau bilang apa kamu sama Papa nanti pas pulang?" Tanyanya. "Bilang apa? Aku gak ada di posisi yang harus menjelaskan." "Kamu gak pulang 2 hari, Papa pasti khawatir." "Papa lagi sibuk mikirin masalahnya, gak bakal sempet pikirin aku!" Seruku. "Ngaco aja! Papa tuh sayang sama kamu, banget! Sebesar apapun masalahnya, kamu pasti tetep prioritas." "Sok tau!" "Emang tau." "Kamu udah putus sama pacar kamu yang waktu itu?" Tanyaku. "Hah? Pacar? Pacar yang mana?" "Itu loh yang gandeng-gandengan tangan di dufan." Aku mengungkap lagi momen di mana aku menyerah akan hubungan ini. "Ciye cemburu!" "Siapa ihh??" "Apa sihh??" Ujarnya dengan nada tak suka. "Hih! Kamu gak mau jawab?" Aku melepaskan pelukanku, berdiri dari pangkuannya dan memilih duduk di lantai. Ardra tertawa, ia menarikku kembali. "Apa?!" Seruku. "Itu Dara, cem-cemannya Kak Daru, waktu itu lagi sama aku karena aku promosiin si Daru buat dia." "Promosiin sambil pegang-pegangan tangan?" Tanyaku. "Hahaha kamu lucu!" "Jawab lah!" "Itu dia sakit, mabok gitu abis naik kicir-kicir, dari pada gubrak, ya mendingan aku pegangin." Jawabnya. "Bohong! Paling dia modusin kamu." "Dia sama Kak Daru." Ujar Ardra tegas. "Bagus lah, awas aja kalo dia ganjen sama kamu ya!" "Nareswari! Aku mah gak peduli mau ada yang ganjen sama aku. Mau ada sejuta orang naksir aku juga gak ngaruh, itu masalah mereka. Yang ngaruh buat aku tuh ya perasaan aku ke kamu dan perasaan kamu ke aku. Udah itu aja." "Gombal." "Hahhaa seriusan sayang! "Masa serius pakai hahaha!" "Iyaa serius sayangku!" Ulangnya. "Kita balikan nih?" Tanyaku. "Emang kita pernah putus?" "Huh kamu kan ngilang, nomor aku diblokir, aku samperin ke rumah kamu eh rumahnya dijual. Kan b*****t!" Ardra tertawa mendengar itu, ia mengecup ujung daguku. Sambil mengacak-acak rambutku. "Aku seneng bisa bareng kamu lagi." Katanya. "Sama, aku juga." "Kamu apa kabar selama ini? Seriusan?" "Gak tau, aku cuma berusaha jalanin hidup sebisa aku. Living my life day by day." Jawabku. "Maaf yaaa!" "Itu pilihan aku Dra, aku yang harusnya minta maaf." "Kamu gak salah apa-apa." Katanya. "Aku salah karena gak melakukan apapun untuk hubungan kita. Maaf." "Gak usah, kalau ada yang harus disalahkan, itu aku. Aku bikin gigi kamu lepas." Katanya sambil memelukku. "Aku udah pasang gigi palsu, santai." "Aku tahu, kan aku ngecek pas kita ciuman." "Dihh!" "Pindah yuk? Panas lama-lama." Ajaknya. Kami pindah ke ruang tengah, TV masih menyala tapi volumenya lebih kecil, kali ini menampilkan acara talkshow gosip, sama sekali gak bermutu. Kemudian ponsel Ardra berdering nyaring, karena aku lebih dekat, aku yang mengambil, ternyata itu alarm donor darahnya. Ardra nih rutin donor darah, setiap 6 bulan sekali, menurut dia sih donor darah untuk manusia itu sama kaya ganti oli untuk mesin. Darah lama ia sumbangkan agar tubuhnya memproduksi darah baru. Alasan lain Ardra mendonorkan darahnya adalah untuk meyakinkan kalau ia sehat. Orang bertato diperbolehkan mendonorkan darahnya jika ia benar-benar sehat, bebas HIV/AIDS, Hepatitis B dan penyakit menular lainnya. Ardra ingin membuktikan ke Ayahnya kalau ia sehat sekalipun ia bertato, dan Ardra juga ingin membantu orang lain yang butuh darahnya, golongan darahnya AB negatif, salah satu golongan darah terlangka di dunia. "Jadwal kamu nih." Kataku, memberikan ponselnya. "Eh iya, temenin yuk?" "Yok!" "Mau juga gak?" Tanyanya. "Gak, aku lagi cape." "Oh iya, abis nangis yaaa??!" Ardra meledek. Aku mencubit lengannya, ia menarikku ke dadanya. Sumpah demi apapun, aku mau nikah sama Ardra, ya lord! **** TBC  Thanks for reading
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD