ARDRA POV
"Ini sih aku beneran pake boyfriend jeans!" Nares keluar dari kamar setelah berganti celana.
"Muat gak pinggangnya?" Tanyaku.
"Longgar Dra."
"Celana kamu kotor banget emang?"
"Iya kan dipake tidur ih!"
"Yaudah singgah toko baju deh nanti ya? Sebelum ke PMI." Kataku.
"Oke! Ini taliin dulu dong!" Pintanya.
Aku melambaikan tangan agar ia mendekat, Nares duduk di sofa, lalu aku memasang tali mengelilingi pinggangnya.
Baju dan barang-barangku nih cuma sisa dikit di tempat ini, gak ada stok ikat pinggang, baju cuma sedikit, jadi yaa gak banyak pilihan baju buat Nares, karena aku pun pakai baju seadanya.
Setelah mengikatkan tali ke celana yang ia pakai, Nares balik lagi ke kamar, dan aku turun ke lantai satu. Di bawah sudah ramai, aku langsung menghampiri Azmi.
"Mi, gue tinggal gak apa nih?" Tanyaku.
"Yoi! Santai, lagian ini sabtu, kita cuma sampe jam 2."
"Thank you!"
"Masih idup lo Tu? Kemana aja?!" Seru Azmi saat Nares bergabung bersama kami.
"Iyalah hidup, ada aja, gue diasingkan sama si Ardra." Jawab Nares.
"Haha udah sana kalian main, kangen-kangenan! Kalian balik tempat ini kosong kok!" Ucapnya jahil.
Aku langsung menoyor kepala Azmi, eh dia malah ngakak. Karena malas meladeninya lebih jauh, aku menarik Nares untuk keluar dari ruko ini. Bahaya kalo kelamaan ngobrol sama Azmi tuh.
"Jalan-jalan ya abis kamu donor darah?" Pintanya saat kami sudah di jalan menuju PMI khusus donor darah di daerah Indraprasta. Baru saja kami mampir sebuah toko baju, dan Nares sekarang udah pake baju normal, pake daleman juga.
"Siap. Mau kemana permaisuriku?" Tanyaku.
"Dih? Apa-apaan?"
"Kamu gak tau emang? Nareswari itu artinya permaisuri."
"Kata siapa?" Tanyanya.
"Aku search nama kamu di google dulu, eh malah muncul akun fesbuk sama arti-arti nama."
"Ciye stalking."
"Emang, biarin sih, kan sayang." Kataku.
Nares tersenyum lalu ia mengotak-atik radio.
"Mau kemana Nares?" Tanyaku.
"Gak tau, jalan-jalan aja sampe malem, aku pengin liat bintang."
"Siap." Kataku.
Jarak dari ruko baruku, di Talang, untungnya gak terlalu jauh ke Indraprasta. Jadilah gak lebih dari satu jam kami sampai di lokasi. Yaps, deket banget kan? Padahal kepotong beli baju.
Ini hari sabtu, syukurlah tempat ini masih buka (iyalah masih jam 10 pagi), soalnya kalau sabtu biasanya tutupnya lebih cepet.
Setelah mengisi formulir, dokter memeriksa suhu badanku, tekanan darah dan kadar Hb. Semua sudah sesuai prosedur, seorang suster sudah bersiap menyuntikan jarum ke nadiku.
"250cc aja ya Sus?" Kataku. Susternya tersenyum dan mengangguk.
Nares duduk di sampingku sementara aku berbaring. Ia tak melepaskan pandangannya dari jarum yang menusuk tubuhku. Padahal ini bukan kali pertama ia menemaniku donor, dulu-dulu ia pernah mengantarku, bahkan pernah ikut donor juga meskipun hanya satu kali.
"Nyut-nyutan gitu Dra, sakit ya?" Komennya. Aku menggeleng.
"Abis ini kita mau ke mana?" Tanyanya.
"Tenang, aku udah punya tujuan kok."
"Ke mana?"
"Rahasia."
"Ke KUA?" Tanyanya.
"Ini sabtu, KUA tutup kayanya. Lagian ngapain ke KUA?"
"Ngurus cerai." Jawabnya.
"Ngasal aja!"
"Ngurus nikah atuh deuh, gimana?"
"Siapa yang mau nikah?" Tanyaku.
"Aku."
"Sama siapa?"
"Sama adeknya Pak Daruprada."
Aku tersenyum mendengarnya. Senang juga karena ia punya keinginan untuk menikah denganku. Gak sia-sia selama ini aku ngafalin ijab kabul pakai namanya.
Nanti yaa Nares, kalau semua sudah baik-baik saja. Aku mau kita berjalan sebagaimana mestinya, aku gak mau kita melenceng jauh.
Sudah banyak aku menjalani hidup yang keluar jalur, sudah banyak aturan yang aku langgar, tapi bersamanya, aku ingin menjadi anak manis yang mengikuti semua aturan.
"Wih? Mau kenalan dong sama adiknya Pak Daruprada, mau diajak saingan!" Kataku.
"Kasian deh belom kenal," sahutnya.
"Emang anaknya kaya apa?"
"Emm gimana ya? Dia sok banget, cuma cemen."
"Lha? Cemen kenapa?" Tanyaku.
"Iya cemen, gak mau diajak macem-macem."
Aku tersenyum. Pengambilan darahku selesai. Suster mencabut jarum dan selang dari tubuhku, lalu memberikanku satu buah s**u UHT, aku menerimanya lalu mengucapkan terimakasih.
Sambil berjalan ke parkiran, aku meminum s**u rasa stoberi tersebut, kutawarkan pada Nares, tapi dia menggeleng, fia emang gak doyan s**u sih.
"Makan dulu yuk? Aku laper." Ajakku.
"Gile Dra, baru tadi pagi kamu ngabisin pizza!" Serunya.
"Kan tadi sebelum berangkat, pas kamu ganti baju, aku boker dulu, terus donor darah. Wajar tau." Aku membela diri.
"Terserah lah!"
Aku mengarahkan mobil ke sebuah warung makan chinesse food lalu memarkirkan mobil di pinggir jalan, warung makan ini gak punya parkiran mobil abisnya.
"Yuk!"
"Ini mah yang cabangnya ada di kampus aku ya?" Ujar Nares.
"Iya ayok!" Aku mengajaknya keluar.
Nares berjalan masuk ke warung makan ini duluan, aku menghampiri salah satu pelayan untuk meminta kertas kosong dan pulpen.
"Nih, mau makan apa?" Tanyaku sambil memberikan Nares kertas, lalu duduk di seberangnya.
"Aku masih kenyang, tapi kayanya gadoin capcay kuah enak deh."
"Ya pesen aja."
"Kamu mau apa Dra?"
"Aku mau sapo tahu bakso satu, telur dadar satu, nasi putih satu, chicken katsu satu, sama itu deh minumnya es teh manis dua."
"Ebuset!" Serunya, tapi ia tetap menulis pesananku.
Setelah selesai, kuambil kertas tersebut dan memberikannya ke pelayan.
"Kamu gak ada lemes-lemesnya gitu abis diambil darahnya?" Tanya Nares saat aku kembali.
"Lemes, cuma kan mau makan, jadi gak usah dilebay-lebayin. Lagian aku udah biasa, dan dalam waktu 24 jam jumlah darahku akan normal kembali, jadi santai aja."
Nares hanya mengangguk.
"Kamu gak kangen Papa?" Tanyaku.
Dia menatapku tajam, lalu menggeleng. Aku sebenernya gak suka situasi kaya gini. Aku emang seneng bisa deket sama dia lagi, tapi aku gak seneng kalau itu mengorbankan keluarganya. Aku ingin seperti dulu, di mana aku bisa menghabiskan waktu bersama Nares dan orang tuanya sekaligus. Itu jauh lebih menyenangkan.
"Yaudah, makan yuk!" Kataku saat pesanan makanan kami datang.
***
Aku mengarahkan mobil ke tol Jagorawi, aku sudah punya satu tempat tujuan untuk pacaran sama Nares, mumpung hari sabtu.
"Ini kita mau kemana sih Dra?" Tanyanya.
"Kepo banget sih! Liat aja nanti."
Nares diam, dia memilih main game di ponselku, ya, Nares tuh doyan main game, tapi gak mau install sendiri di ponselnya, jadi ya gitu, mainnya di ponselku.
Keluar tol, aku mengarahkan mobil ke Jalan Cikini, Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat. Bisa tebak aku mau ke mana??
Yaks, planetarium. Tadi Nares bilang mau liat bintang, dari pada nunggu malem, ya mending dari siang aja liatnya. Lebih spektakuler juga kalo liat di sini tuh.
Nares masih asik ber-game ria di ponseku, padahal kami sudah sampai.
"Bey? Yuk! Sampe nih?"
"Eh? Di mana nih?" Tanyanya.
"Planetarium, yuk!"
Nares terkejut, ia lalu turun dengan semangat, aku bahkan sampai harus menyusulnya yang berlari-lari kecil menuju loket.
"Yaaahh!" Keluhnya.
"Apa?" Tanyaku.
"Ini jam setengah satu Dra, padahal ada tayangan dari jam 10, kelewatan deh kita yang 'Moles: What Is Out There' terus 'A Starry Tale' sama yang 'Journey To The Stars' huh!" Jelasnya sambil menunjuk papan penayangan.
"Emang kamu pengin nonton semua?" Aku menariknya untuk mengantri.
"Iyalaah!"
Aku mengamati lagi papan tersebut, lalu menyadari sesuatu.
"Eh d***o! Liat deh itu judul-judulnya. Ada lagi pas sore!" Seruku.
Nares memerhatikan papan dengan seksama lalu ia tertawa.
"Hahahah bego ih si Ardra, udah tau sehari 2x tayang, malah fokus sama jam-jamnya bukan judulnya!" Serunya, aku tahu dia menyindir dirinya sendiri.
"Jadi kita nonton yang Across The Universe dulu, baru yang kamu sebutin tadi." Kataku.
"Iya Dra, jangan sotoy mangkanya ngira kita kelewatan." Ujarnya. Aku tertawa dan mengangguk.
Planetarium nih murah, satu orang hanya Rp. 12.000,-. Murah kan harga untuk menonton sebuah pengetahuan seperti ini?
Aku langsung membeli tiket untuk 3 penayangan sekaligus, harusnya sih 4, cuma Moles: What Is Out There hanya sekali penayangan dalam satu hari, jadi ya kami terlewat.
Setelah membeli tiket, aku mengajak Nares mengantri karena sudah masuk jam penayangannya.
Kami duduk sembarang, ya asal punya tiket kalian boleh masuk dan bebas memilih kursi di dalam, aku dan Nares memilih kursi agak di tengah tapi pinggir, biar pas nonton dapat melihat semua, terus pas balik, bisa langsung jalan keluar.
Lampu sudah dimatikan dan gelap total, di sampingku Nares menggengam tanganku erat.
"Gelap Dra." Bisiknya.
"Makin gelap langit, bintang makin bersinar." Balasku.
"Ho'oh!" Sahutnya.
Kami diam, aku sih selalu takjub sama keindahan langit. Apa lagi ini yang kita nonton Across The Universe, kami banyak melihat galaksi-galaksi yang cantik, lalu meteor, komet ekor panjang, Nebula dan benda-benda langit lainnya.
Mataku tersihir, seolah aku sekarang sedang terbang melintasi cakrawala, seolah aku sudah tidak menjejakkan kaki di bumi lagi.
Aku merasa rugi jika berkedip sekali saja, aku ingin melihat setiap detiknya dari tayangan ini. Benar-benar memanjakan mata.
Kalau kamu mau merasakan eyegasm, datang lah ke planetarium.
"Cantik banget ya!" Bisik Nares.
Aku menoleh sedikit, hanya dia yang mampu membuatku mengalihkan pandangan dari keindahan langit ini.
Sekilas cahaya membuatku bisa melihat wajah Nares dari kegelapan. Dan, ia jauh lebih cantik dari semua yang ditayangkan saat ini.
"Cantikan kamu." Bisiku.
Aku melihatnya tersenyum, lalu, kudekatkan wajahku kepadanya, tanganku terulur untuk menolehkan wajahnya jadi ke arahku. Nares tersenyum dalam kegelapan dan detik berikutnya, aku menempelkan bibirku ke bibirnya.
Ia menyambut ciumanku, lidah kami saling membelit di antara galaxy-galaxy yang saling bergantian muncul.
Aku menarik diri ketika volume theme song dari penayangan ini mulai mengecil. Dan tak berapa lama, ruangan kembali terang.
Ku lirik Nares, ia tersenyum, tatapan mata teduhnya sedikit sayu. Astaga, jangan sampai orang lain liat matanya kaya gitu, nanti pada jatuh cinta juga sama dia.
"Usap-usap gih mukanya." Kataku.
"Kenapa emang?"
"Udah nurut aja!"
Nares mengangguk, berkali-kali ia mengusap wajahnya, lalu setelah kata penutup singkat dari operator film tadi, kami dipersilahkan keluar dari ruangan ini.
"Keren!" Serunya.
"Iya, kita tungguin tayangan selanjutnya. Kayanya ruangannya mau dibersihin dulu."
"Kaya di bioskop ya!"
"Ini 1000 kali lebih keren dari bioskop." kataku.
"Setuju!"
Ada waktu setengah jam sebelum tayangan berikutnya mulai. Aku dan Nares duduk-duduk di kursi tunggu yang tersedia.
"Malem ini kamu mau pulang apa mau nginep?" Tanyaku.
"Mau nginep, besok pagi aku pulang, boleh?"
"Boleh."
Nares mengangguk. Aku mengacak sedikit rambutnya. Aku sebenernya gak tahu soal kejelasan hubungan ini. Apa kami baik-baik saja? Atau ini hanya sesaat karena hubungan keluarganya sedang panas?
Apapun itu, aku tak ingin menjadi pelariannya. Aku ingin menjadi tempat pulangnya. Aku ingin menjadi pelukan yang ia cari saat dunia di luar sana sudah semakin menggila. Aku hanya ingin itu. Tidak lebih.
****
TBC
Thanks for reading