11. Tante Cihuy

2456 Words
ESTU POV Kata Ardra hari ini dia ada janji sama Ayahnya, mau ketemu pacar Ayahnya. Lucu ya? Orang tua pacaran hahahaha. Eh engga deng, gak ada lucu-lucunya, apalagi kalau Mama yang pacaran sama si Megalomen sinting gitu. "Kamu aku anter pulang, terus aku naik grab pulang ke rumah Ayah." Katanya sambil bersiap-siap. Aku mengangguk, agak sedikit gak rela juga sih pisah sama dia. Pengennya dia di dekatku terus, entah aku yang ikut dia, atau dia yang ikut aku. "Aku belum mau pulang tapi, Dra." Kataku akhirnya. "Lha? Terus gimana? Mau ikut aku?" Ajaknya. "Aku takut ketemu Ayah kamu, terus gak enak kalo ketemu Pak Daru." "Jadi?" "Pulang aja deh." "Bener??" Ardra memastikan. "Iya, tapi kalo kamu udah selesai, kabarin aku ya?" Kataku. "Siap sayaang!" Katanya sambil mengecup keningku. Aku langsung memeluk pinggangnya, erat. Gak mau pis-ah! Maunya nik-aahhhh!! Biar bisa ah-ah-ah! Oke maafkan keabsurdanku. "Berangkat sekarang?" Tanyanya. Aku mengangguk, lalu mengecup bibirnya lumayan lama. "Ayok ah!" Ardra menarik diri lalu keluar dari kamar. Ardra nih gak asik deh, sumpah. Begitu aku keluar, Ardra terlihat sedang memakai sepatu, aku menghampirnya dan duduk di sampingnya. Tiba-tiba Ardra pindah ke lantai. "Sini kakinya!" Ujarnya. Sebelah alisku terangkat karena heran, tanpa banyak bicara Ardra meraih kakiku, memakaikan aku kaus kaki lalu sepatu, setelah itu ia mengikatkan talinya. "Kekencengan gak?" Tanyanya. "Pas!" "Yuk!" Aku mengangguk. Ardra mengulurkan tangannya lalu aku membantunya berdiri, kami langsung berjalan turun ke bawah. Karena hari minggu, rukonya Ardra jadi tutup, aku dan Ardra keluar lewat pintu samping, Ardra langsung pilih jok kemudi, jadi aku duduk di kursi penumpang. "Cari sarapan dulu ya? Laper." Ujarnya. "Soto dong, pengin soto santan yang enak!" "Oke! Ayok kita ke Pak Jaja, udah lama gak kesana." "Yesss!" Seruku girang. Soto santan Pak Jaja itu ada di bilangan Mawar, arah ke Pasar Anyar, letaknya di samping toko Kue Delicous, buka dari jam 6 sampai habis, dan semoga kami gak kehabisan. Ini masih jam 7 soalnya. Dari ruko Ardra, lumayan jauh ke Soto Pak Jaja, malah sedikit muter. Kami sampai di warung Pak Jaja pukul setengah 9. Aku udah hopeless saat melihat bangku-bangku  yang sudah kosong. Lha? Sepi nih? Abis dong? "Tunggu sebentar, aku tanya dulu ya." Kata Ardra, ia melepas seatbelt lalu turun. Kulihat ia berbincang sedikit dengan salah satu pelayang Pak Jaja lalu ia kembali. Kubuka kaca jendela saat ia mendekat. "Ada?" "Nyisa daging kepala, sama paru, sama perkedel. Mau?" "Gak apa deh." Aku langsung bergegas turun dan masuk ke rumah ini. Yak, warung Pak Jaja memang ada di halaman sebuah rumah tua. Kursi-kursi makanannya aja dadakan. Ardra memilihkan potongan daging untukku dan untuknya, lalu membawanya ke Putra Pak Jaja untuk dipotong-potong. Ya, ini tuh udah generasi kesekian. Gak tau aku. Kayak restonya Papa aja, turun-temurun. Selesai makan, Ardra langsung mengajak pergi, dia takut kesiangan katanya sampai ke rumah Ayahnya. Jadi aku menurutinya, ia pun mengantar aku pulang sampai ke rumah. "Aku masuk gak nih? Mumpung belum pesen gojek." Ujar Ardra. "Pesen sekarang aja, biar kamu gak telat. Papa lagi gak asik kayanya." Aku menengok ke dalam rumah, aku tak melihat mobil Mama di garasi rumah yang hanya sepetak itu. "Yaudah, sini dong peluk dulu, biar gak kangen!" Ujarnya. Aku tersenyum, lalu mendekat. "Kamu gak mau kangenin aku emang?" "Berat, biar Dilan aja." Sahutnya. Aku tertawa, "Nah, gitu. Ketawa, jangan nangis-nangis lagi yaa!" Serunya sambil merapikan rambutku lalu menyelipkannya di belakang telinga. "Tuh gojek kamu dateng." "Eh iya! Yaudah kamu baik-baik yaa, nanti aku kabarin." Aku mengangguk, lalu melambaikan tangan kepadanya ketika tukang ojeknya membawanya menjauh. Kutarik nafasku, entah kenapa, aku ingin pulang, padahal, aku ada di rumah. Menarik nafas panjang lagi, aku masuk ke dalam. Kali ini lewat pintu garasi yang terlihat terbuka. Aku langsung melihat Papa sedang membaca di ruang tengah. Ruang tengahku sudah normal, meskipun bukan barang-barang yang sama, tapi terlihat rapi dan lebih manusiawi ketimbang terakhir kali aku melihatnya. "Papa!" Aku sedikit berlari, menghampirnya lalu memeluknya seerat yang aku bisa. "Kenapa sih chat Papa gak kamu bales? Gak dibaca malah." Aku diam, kuhirup aroma Papa yang menyenangkan ini, lalu fokus mendengar detak jantung Papa yang terasa menyenangkan. Tiba-tiba saja, aku merasa aman. Sometimes, home has a heartbeat. And he's my home, my first and forever. "Dari mana aja?" Tanya Papa. "Papa gimana?" Aku balik bertanya. "Ikut Papa yuk?" "Kemana?" "Ke rumah eyang kamu, Kak. Ketemu Mama." "Ngapain?" Tanyaku. "Ya meluruskan semuanya." Ujar Papa. "Yaudah!" Papa mengangguk, mengecup keningku lama lalu melepas pelukan ini. "Papa ganti baju dulu ya sebentar." Giliran aku yang mengangguk. Aku bangkit dari sofa, lalu mematikan televisi, kemudian mengecek bagian dalam rumah, takut-takut ada gas yang masih menyala atau keran air yang terbuka. Setelah semua aman, aku ke lantai dua, di kamar, aku mengambil powerbank milikku, lalu menyambungkannya ke ponselku yang berada di dalam tas. Ketika aku turun ke bawah, Papa sudah siap. Aku tersenyum menatapnya lalu kami keluar. "Pake mobil kamu ya?" "Bensinin." "Iya." Kami berangkat menuju rumah Eyang yang berada di wilayah Laladon, Papa menyetir dengan kecepatan standar, hampir satu jam kami sampai ke rumah Eyang. Di halaman rumah Eyang yang luas, aku melihat mobil Mama, lalu Papa diam sebentar, menatapku tajam. "Pa? Estu boleh tanya?" "Ya tanya aja, sayang." "Papa masih sayang sama Mama?" Papa mengangguk. "Papa bilang masalah ini ke Kakek sama Nenek?" Papa menggeleng. "Kenapa?" Tanyaku. "Yang harus kamu tahu, pernikahan itu ikatannya sangat kuat sayang, apalagi Papa sama Mama udah nikah hampir 23 tahun, udah seperempat abad Papa dan Mama sama-sama. Kalau ada kesalahan kaya gini, mending ambil waktu sejenak untuk berfikir. Karena yang tahu pasangan kita itu ya hanya kita sendiri. "Dan, seandainya ada masalah, jangan ngadu ke orang tua sendiri. Misal Papa ngadu ke Kakek-Nenek, pasti Papa yang ada malah dikomporin, kalo kaya gini, ya datengin orang tua pasangan kita, biar bisa diobrolin baik-baik. Biar masalahnya bisa terselesaikan dengan benar." Jelas Papa. "Papa mau maafin Mama?" Tanyaku kaget. "Liat nanti sayang, yuk?" Aku diam ketika Papa turun dari mobil, Papa menungguku di depan pagar, jadi segera saja aku turun. Kami masuk, lalu mengucap salam. Salah satu asisten rumah tangga Eyang membukakan pintu rumah dan mempersilahkan kami masuk. Tak lama, Eyang dan Eyang Putri keluar, dengan Mama tentu saja. Di wajahnya terpampang jelas bagaimana penyesalan tergambar dengan sempurna. Biarin, rasain! "Bu, Pak, saya mau ngobrol sama Ibu sama Bapak, bertiga aja. Bisa?" Pinta Ayah. Aku melirik Papa, wajahnya terlihat tenang, lalu aku melirik Mama, mukanya bingung. "Kakak sama Mama dulu ya?" Ujar Papa. "Estu di belakang aja, kasih makan ikan!" Aku berdiri lalu masuk ke bagian dalam rumah, lurus terus ke belakang, tempat kolam ikan milik Eyang berada. Kuambil toples berisi pelet ikan yang ada di atas meja teras belakang, lalu duduk sila di pinggir kolam dan mulai menebar pelet ke ikan-ikan ini. "Kak?" Aku menoleh, mama berusaha tersenyum, duduk di sampingku. "Maaf Kak." Ujar Mama. "Basi Ma!" "Kali ini Mama serius." Aku menoleh, menatap Mama, entah kenapa aku mendadak jadi membenci orang yang melahirkanku ini. "Gak percaya. Aku sekarang ngerti, selingkuh tuh habit Ma! Mama aku kasih kesempatan dua kali, tapi masih aja kaya gini. Gak tau terimakasih dasar!" Seruku. Pipiku mendadak panas. Tangan Mama baru saja mendarat di pipiku. Sakit. Bukan hanya pipi tapi juga hatiku. Aku gak pernah dikasarin sebelumnya, sama Papa, apalagi sama Mama. Gak pernah. Tapi sekarang?? Aku tersenyum menatap Mama, sambil mengelus pipiku yang masih terasa panas. Jujur, perlakuannya ini membuatku semakin tidak menghargainya lagi sebagai orang tua. Mama sendiri yang membuatku membencinya. Aku menatap lurus lagi, menebar lagi makanan ikan seolah tak terjadi apa-apa, aku bahkan sudah lelah untuk menangis. Kalau boleh, aku ingin meninggalkan semua ini, lalu pergi ke suatu tempat baru, memulai hidup baru, tentu saja bersama Ardra. Tapi, aku gak bisa biarin Papa gitu aja. Menahan air mata, aku memfokuskan diriku pada ikan-ikan koi ini, tersenyum saat mereka berebutan makanan lalu sengaja melempar makanan jauh-jauh agar mereka berpencar. "Kak? Maaf!" Ucap Mama pelan. Aku tak menghiraukan ucapan itu, aku tetap fokus pada ikan-ikan ini. "Kak? Kamu gak mau dengerin Mama?" Tanya Mama. Aku tetap diam, kali ini kupusatkan pikiranku ke bintang-bintang yang kulihat di planetarium. Mendadak, aku mau jadi astronot, pengin liat semuanya secara langsung, secara dekat, dan nyata. "Kakak?" Mama mengguncang tubuhku, aku menatapnya dan tersenyum. "Estu udah gak peduli Ma, semua terserah Papa." Kataku. Kembali aku menatap kolam ikan, kali ini butuh usaha keras untuk menahan air mataku agar tak tumpah. Berulang kali aku menarik nafas panjang untuk menenangkan diri. "Kakak?" Aku menoleh, ini suara Papa. Aku langsung bangkit, meletakkan kembali makanan ikan di tempatnya lalu menghampiri Papa. "Son, ayok rapihin barang-barang kamu, kita pulang." Ujar Papa. Aku syok mendengarnya. Gila! Papa gila! "Aku sama Estu tunggu di mobil. Bareng aja." kata Papa lagi. Papa membawaku keluar, sementara itu aku menoleh ke belakang, Mama terlihat senang, dan aku... ingin sekali aku mencakar wajahnya. "Papa maafin Mama?" Tanyaku saat kami menunggu di mobil, Papa menyuruhku duduk di belakang, jadi langsung saja aku tidur-tidur, meletakkan kakiku ke jendela karena joknya kesempitan. "Nanti Papa jelasin ya Kak?" Ujar Papa. "Terserah lah!" **** ARDRA POV "Gimana lo kemaren jalan sama Dara?" Tanyaku kepada Daru yang sedang asik menonton televisi. "Asik." "Asik doang? Gak ada penjelasan lebih gitu?" "Maunya apa?" Tanya Daru. "Iyaa kalian ngapain aja gitu? Hihihi!" "Sinting! Lo mikir ngapain?" "Astaga Kak, maksud gue, jalan? Makan? Nonton?? Otak elo yang ngeres!" Seruku. "Cara lo nanya 'ngapain aja?' tuh ambigu Dra!" "Ohhh!" "Jalan, gue ajak nonton eh dia baper sama Dilan, padahal dia udah nonton 3 kali. Gue gak ngerti apa yang harus dibaperin?" Ujar Daru. "Lo terlalu tua Kak untuk gombalannya Dilan." "b******k!" "Eh iya, mana nih tante cihuy?" Tanyaku. "Tante cihuy? Siapa?" "Pacarnya Ayah!" "Ohh! Ini Papa lagi jemput dia. Katanya sih mau makan siang bareng di sini, tapi gak dateng-dateng." Jelas Daru. "Kita gak suguhin apa gitu? Lo gak ada niat masak gitu?" Tanyaku. "Eh geblek, mangkanya balik! Jangan ngayap sama cewek dua hari! Kata Ayah, pacarnya yang nanti bawa makanan." "Baik juga nih si tante cihuy." "Lo kemana aja sama Estu?" Tanyanya. "Di ruko, dia lagi ada masalah keluarga." "Terus? Kalian balikan? Semua yang bapaknya lakuin ke lo, lo maafin?". "Gue gak pernah putus sama Nares, soal bapaknya gebugin gue, emang pantes kok gue digebugin. Gak ada yang harus minta maaf." "So naive!" Aku hanya mengangkat bahu lalu bangkit, menuju dapur untuk mengambil minum. Aku kembali sambil nyemil enye-enye, balik ke ruang tengah sambil memeluk toples juga biar sekalian, nanggung abisan kalo cuma makan satu. Pas balik, eh Daru udah gak ada, lalu aku mendengar suara-suara dari ruang tamu. Kuletakkan toples enye-enye di meja lalu ikut keluar. Aku tersenyum saat melihat Ayah mengenalkan seorang wanita kepada Daru. "Nah itu Ardra!" Ayah menunjukku. Aku melebarkan senyumanku. Kami berkenalan dengan ramah, lalu duduk di ruang tamu kami yang sempit, terlihat wajah Daru datar, sepertinya dia gak suka sama si Tante Cihuy ini. Padahal, sumpah loh! Cantik! Cantik banget! Tapi cantikan Nares, mutlak, tak terbantah. Namanya Gita, umurnya 35 tahun dan ia single. Yak! Single, belom nikah. Yang artinya kalau Ayah jadi sama Tante Cihuy ini, akan ada kemungkinan aku punya adek lagi! Demi Lord Vodemort yang tertampan sejagad itu hidup lagi, aku pengin banget punya adek. Tante cihuy kerja di sebuah Bank, aku lupa jabatannya apa, agak asing aja di telingaku, aku gak paham abisnya istilah-istilah kantoran, kan aku mah apa? Cuma bubuk Nastar sisa lebaran kemaren. Lalu, Ayah ngajak kami semua pindah ke bagian dalam rumah, katanya Tante Cihuy udah masak banyak banget buat kita. Berhubung selama ini dapur adalah daerah kekuasaanku, aku lah yang menemani Tante Cihuy menata makanan. "Kalo Ardra masih kuliah?" Tanyanya berusaha mencairkan suasana. "Engga, saya keluar terus bikin usaha sendiri, tante." "Mandiri yaa!" "Kaya Bank tempat tante kerja." Sahutku, dan ia tertawa. Tawanya renyah, gak sok imut gitu. Tapi masih kalah heboh sama ketawanya Nares, kan kalo Nares ketawa satu Zimbabwe bisa denger tuh. "Usaha apa Dra?" "Sablon sama studio musik. Tapi studio musik punya Daru sih, dia males urus, jadi saya deh yang urus." Kataku. Semua sudah tertata di meja, lalu aku memanggil Ayah dan Daru yang menonton berita di ruang tengah. Saat bergabung, terlihat keduanya tegang, mungkin habis berdebat. Tenang, entar aku jadi wasit dah, ikhlas hamba. Suasana makan siang, meskipun agak canggung karena sikap Daru, tetep aja terasa menyenangkan karena ada obrolan baru yang dibahas, Tante Cihuy ini orangnya humble, dan enak gitu diajak ngobrol. Lalu, aku juga memerhatikan gerak-geriknya, ia terlihat cekatan, gak manja dan terlihat sangat perhatian sama Ayah. Kalo Ayah?? Senyum gak pernah lepas dari wajahnya. Aku suka kalau Ayah sama Tante Cihuy. Say yes lah aku. Sebelum maghrib, Ayah mengeluarkan bahan-bahan mentah dari mobil, ternyata Tante Cihuy mau masak lagi untuk makan malam, tentu saja aku semangat membantu. "Tante kenal Ayah di mana?" Tanyaku sambil membersihkan daun bawang. "Di mall, waktu itu heels tante nyangkut di eskalator, udah panik banget, eh ditolongin sama Mas Adie, udah gitu. Terus sekitar berapa bulan yang lalu, ketemu lagi, karena kenal ya Tante sapa, baru deh pas ketemu kedua kali ngobrol." Jelasnya. Aku mengangguk. Pertanyaannya adalah, ngapain Ayah ke mall? Biasanya juga nyuruh Daru kalau mau apa-apa, atau aku. Ah sudah lah, lupakan. Tante Cihuy masak sup ikan, dan makanan pendamping lainnya. Aku membantunya sebisaku, sambil sesekali mengamatinya. Lagi-lagi, ia terlihat cekatan, tidak kaku berada di dapur. Harus bilang lagi gak nih?? Aku sih yes kalau Ayah sama Tante Cihuy. Emang sih terlalu muda untuk Ayah yang sudah 56 tahun, tapi ah atulah coy, cinta kan bisa menebas semuanya, termasuk perbedaan umur 21 tahun. Kami makan malam dengan tenang, seperti tadi. Selesai makan, kami mengobrol macam-macam sampai akhirnya Ayah mengantarkan Tante Cihuy pulang. Setelah pamitan dan sebagainya aku langsung ke belakang untuk membersihkan huru-hara di dapur termasuk cuci piring. "Lo setuju??" Tanya Daru sambil membilasi piring yang sudah kusabuni. "Setuju, lo?" "Agak kurang sreg." "Why?" "Dia cewek, udah 35, single. Kayanya ada masalah sama hidupnya sampe umur segitu belum nikah." "Kayanya itu pertanyaan buat lo sendiri deh." Kataku. "Gue cowok! Lagian, gue kan punya alesan." "Nungguin Dara lo jadiin alesan? Busetdah!" "Gue merasa ada yang gak beres sama si Gita itu, umurnya cuma beda berapa tahun dari gue." Kata Daru. "Suuzon lo! Gak boleh gitu. Percaya deh sama gue, dia baik, lo kan tau feeling gue bener terus." "Ck! Dari yang gue amati gak gitu." "Kita harus sama-sama mengakui Kak, lo emang pinter, dosen, gelar lo Doktor, tapi kemampuan analisa lo tuh jauh di bawah gue. Jauuuuhhh!" Kataku. Aku langsung ditoyor pake centong nasi sama Daru. "Kalo Ayah bahagia sama Tante Cihuy itu, lo gak mau emang? Lo gak mau ada yang rawat ayah? Bikin ayah seneng? Dari tadi lo pasti fokusnya sama si Tante Cihuy ya? Lo gak liat muka Ayah ya? Ayah seneng banget tau! Dan gue mau liat raut wajahnya kaya gitu tiap hari." Kataku. Daru diam. Ia menunduk lalu membilas piring-piring tanpa suara. "Gue gak tau apa yang ada di pikiran lo, yang jelas, gue sih mengutamakan kebahagiaan Ayah di atas apapun. Ayah kan baik, jadi berhak dapet yang baik juga, terbaik malah." "Lo mau orang kaya dia jadi Bunda kita?" Tanyanya "Eh sorry! Bunda gue cuma satu, Bunda Mita, gak ada lainnya. Pendamping Ayah boleh ganti, tapi Bunda gue tak terganti." Kataku. "Terus kalo Ayah nikah sama dia? Lo mau panggil dia Tante Cihuy? Digibeng lo sama Ayah!" Seru Daru. "Ibu, Mama, Enyak, Umi, apalah terserah, Mami, Mum, Mom, Mother, bebas! Yang jelas bukan Bunda, Bunda gue satu tak tergantikan sampe kapanpun!" Tegasku. "Dia kemudaan." Kata Daru tiba-tiba. "So what? Age gap udah gak jaman kali buat dijadiin pembahasan untuk memisahkan dua orang yang saling mencintai." "Sebenernya yang kakak siapa sih?" Keluh Daru. Aku tertawa lalu menyipratkan sabun kepadanya. "Dek eh!! Ini baju dari Dara!" "Nahh lo d***o! Lo bahas age gap, lha lo sendiri sama Dara beda jauh! d***o lo!" Seruku, makin semangat mencipratkan sabun padanya. Daru terlihat kesal, ia memperbesar keran air lalu mencipratkannya padaku. "Becek Ngo! Gue gak mau ngepel malem-malem!" Seruku. "Elo yang mulai!" "Udah ih beresin sebelum Ayah balik." Kataku. "Kan? Lo tuh lebih tua dari gue tau gak!" Aku nyengir. Kami kembali ke pekerjaan masing-masing, lalu membersihkan rumah sebelum Ayah kembali. ****** TBC Thanks for reading
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD