Vhiya merebahkan kepala pada meja yang berada paling ujung perpustakaan. Matanya sangat lelah. Selama dua tahun terakhir dia menjalani aktivitas kerja part time di rumah makan angkringan yang buka sehabis maghrib sampai tengah malam. Hanya pekerjaan itu yang menerimanya. Status sebagai mahasiswa aktif, menuntutnya untuk berada di kampus sepanjang pagi sampai sore mengikuti jadwal kuliah. Susah mendapatkan perusahaan yang jam kerjanya bisa dikondisikan dengan jadwal kuliah.
Jika sedang ada waktu luang di pagi hari, dia akan membantu mencuci piring dan alat makan di kantor penyedia jasa katering dekat rumahnya. Jika siangnya kosong, dia diupah menjaga toko baju milik tetangganya di pasar.
Semua itu dia kerjakan sejak kedua orang tuanya meninggal dalam kecelakaan. Beruntung adik laki-lakinya selamat dalam kecelakaan itu. Namun kaki kiri adiknya patah sehingga butuh dirawat jalan. Penghasilannya selama ini digunakan untuk membayar pengobatan sang adik tercinta dan biaya hidup mereka berdua.
Peninggalan orang tuanya berupa sebuah rumah dan beberapa perhiasaan emas. Perhiasaan itu sudah Vhiya jual untuk membayar biaya pemakaman, pengobatan adiknya, dan kuliah mereka berdua. Kini Vhiya harus berpikir keras bagaimana mereka akan melanjutkan hidup. Satu per satu perabot rumah yang cukup bernilai dijual. Hingga tinggal tersisa rumah peninggalan orang tua. Vhiya kadung cinta dengan rumah penuh kenangan keluarga kecil mereka. Di sisi lain, adiknya butuh biaya besar untuk melanjutkan studi kedokteran.
“Capek banget, Mbak.”
Vhiya mendongak. Matanya menemukan senyuman paling usil yang menghiasi hari-harinya di kampus.
“Tumben nongol di perpus, kesambet setan apa lo, Bang?”
Vhiya tidak pernah menggunakan bahasa sopan pada senior kampusnya ini. Admiral sudah seperti rekan sejawat. Tidak ada nominal usia yang membatasi hubungan mereka.
“a***y, omongan lo suka bener deh. Kali ini setannya beda.” Admiral memamerkan senyum jumawa.
“Bilang aja lo ke sini karena Pepep.”
Pepep, nama kecil dari Penelophe Jelita Widodo, adalah gadis yang ditaksir Admiral sejak gadis itu mengikuti ospek di kampus. Mata Admiral yang tidak bisa lepas dari sosok Pepep kala itu menggelitik Vhiya untuk menggodanya. Mungkin itu pula jalan takdir persahabatan senior-junior ini bisa terjalin.
Admiral menyenggol bahu Vhiya. “Tahu aja. Dia bikin gue kesetanan pengen boyong ke KUA.”
Vhiya memutar bola mata. Pria satu ini tidak pernah menyerah mengejar Pepep yang sudah berpacaran dengan Deva. Setiap kali pasangan itu putus, Admiral akan mentraktirnya makan layaknya memberi pajak jadian. Jika pasangan itu kembali rujuk, Admiral akan merengek minta ditemani ke mana saja agar sakit hatinya bisa terlupakan.
Sayangnya, semua perhatian dan kode keras yang Admiral berikan ditanggapi biasa oleh Pepep. Tidak pernah sekalipun Pepep memberi celah bagi Admiral mengajak kencan. Sudah rahasia umum, cinta bertepuk sebelah tangan Admiral pada Pepep di kampus ini. Jutaan kali usaha Admiral, Pepep selalu berlabuh pada Deva.
“Lo nggak capek ngejar cewek tembok gitu?”
“Hus, sembarangan nyebut bidadari gue kayak gitu.”
“Lah abis kode lo, mental mulu. Nggak ada yang nyangkut.”
“Nyangkut. Tuhan cuma memrosesnya dengan cara yang unik biar nikmat gue luar biasa pas dapatin dia,” kata Admiral sok berfilsuf.
“Nyerah aja. Masih banyak cewek naksir lo. Temen angkatan gue masih banyak, nggak cuma bidadari hati lo itu doang.” Vhiya memandangnya meremehkan.
“Nggak bisa. Ini urusan hati. Hati gue udah milih dia,” tolak Admiral keras.
Vhiya angkat bahu. “Up to you. Jangan nangis kalo kepedean lo bakal terkubur lumpur hidup pas tau mereka berdua tunangan.”
“MASAK? TUNANGAN?” Admiral mencengkeram kedua lengan Vhiya.
“Sakit, Bego.” Vhiya menepis tangan Admiral. Lengannya panas. Beruntung perpustakaan sedang sepi, dia jadi tidak terlalu malu dengan spontanitas Admiral. Dia meminta maaf pada dua pengunjung perpus yang duduk tak jauh dengan anggukan dan gerakan mulut menyebut ‘sori’ tanpa suara.
“Vhi, mereka bener tunangan?” Admiral masih mencecarnya.
Vhiya mengangguk santai. Ini berita yang didengarnya langsung dari mulut Pepep. Kebetulan tadi pagi dia mendengar pembicaraan Pepep dengan teman sekelasnya. Pepep mengakui cincin yang melingkar di jari manisnya adalah bukti pertunangannya dengan Deva.
“Kalo mau tau, confirm sendiri sama orangnya. Tuh.” Vhiya menunjuk gadis cantik yang baru masuk perpustakaan.
Admiral bangkit dari duduk. Dia menghampiri gadis itu. Pepep tersenyum pada Admiral. Tak berapa lama, raut wajah Pepep berubah terkejut lalu masam. Admiral menarik gadis cantik itu keluar perpustakaan.
Vhiya hanya mengamati dari jauh. Jujur dia iri dengan hidup Pepep. Cantik, pintar, baik, dan punya banyak teman. Paling beruntungnya, dia punya kekasih selembut Deva. Dan pemuja paling siaga seperti Admiral. Sementara Vhiya bukan apa-apa di kampus. Tidak punya teman karena waktunya terbatas untuk bekerja. Tahun pertama kuliah, dia sempat mempunyai teman. Namun seiring musibah yang dihadapinya, teman-temannya pergi meninggalkannya. Tersisa Admiral saja. Kadang ada rasa tidak rela jika Admiral lebih banyak mencurahkan perhatian pada Pepep. Kembali lagi, dia meyakinkan dirinya untuk berpuas pada kondisinya kini. Admiral mau bertahan di sisinya saja sudah suatu keberuntungan.
OoO
Vhiya menekan-nekan lengan atas Admiral. Pria itu menyembunyikan wajah di antara lipatan tangan yang dipangku oleh lutut. Setengah jam sudah Vhiya menunggui pria berambut cepak itu berbicara. Hanya embusan angin dan gemerisik dedaunan di pohon yang mengisi ruang kosong di antara mereka. Belakang gedung kampus yang jarang dilalui mahasiswa selalu menjadi destinasi tempat curhat Admiral. Curhatan yang lagi-lagi soal Pepep dan Deva.
“Mau cerita nggak? Gue mau kerja nih,” kata Vhiya sudah tidak sabar.
Admiral mengintip dari balik lipatan tangannya. Sudah mau lulus kuliah, kelakuan Admiral masih seperti bocah. Vhiya jadi menerka-nerka alasan Pepep tidak bisa menerima perasaan Admiral, selain karena sudah ada Deva, adalah karena sifat Admiral yang kekanakan.
“Bentar sih, Vhi. Gue butuh waktu buat nenangin hati gue dulu. Sakit ini,” kata Admiral lirih.
Vhiya kembali menyandarkan punggung pada dinding. Matanya menatap cakrawala yang bertransformasi warna jingga kemerahan. Pesona alam yang telah lama diabaikan Vhiya karena sibuk mengejar kebutuhan duniawi. Namun daya pikat hal-hal duniawi memang memabukan. Vhiya mengenal rasa lapar dan kehilangan dengan baik. Dia belajar bersyukur lewat pengalaman hidup, bukan kisah nasib orang lain dan menyaksikan kelemahan kaum papah. Hanya saja, dunia tidak adil membagikan jatah bahagia ke setiap orang.
“Pepep beruntung ya punya pacar seberani Deva. Ngajak tunangan di usia semuda ini. Terus ada lo yang setia sayang sama dia,” kata Vhiya tiba-tiba.
“Kenapa jadi lo yang curhat?”
“Gue mengungkap fakta miris yang bikin gue mempertanyakan eksistensi alam membagi cintanya. Kenapa cuma Pepep yang bergelimang bahagia? Gue kapan?”
“Vhi.”
“Bohong kalo gue nggak iri lihat Pepep dan Deva. Gue mau di posisi Pepep. Dielus kepalanya, digenggam tangannya, dirangkul bahunya, dipanggil namanya. Gue mau itu. Dan gue makin nggak ikhlas lihat sahabat gue tersakiti karena cuma mereka berdua yang bahagia.”
“Vhi.”
“Kalo lo udah berusaha memperjuangkan perasaan lo, biar gue bantu lo mendapatkan Pepep.”
“Vhiya.”
“Sebagai gantinya, tolong jangan tinggalin gue. Tetap di sisi gue.”
Mereka berdua bertatapan. Memancarkan makna berbeda pada mata mereka. Admiral dengan kebingungannya atas ucapan Vhiya. Dan Vhiya dengan rencana tersembunyinya.