5

990 Words
Edi menyodorkan berkas kepadaku. Aku mengernyit bingung. Rasa-rasanya aku tidak ada meminta berkas apapun. “Lo disuruh antar ini ke ruangan Bu Friska.” Baru buka mulut untuk menyanggah omongannya, Edi kembali berbicara. “Kalo mau protes, sana bilang ke Bu Erika. Gue cuma nyampein.” Aku mengambil berkas itu dengan perasaan gondok. Edi tidak peduli, dia selalu cuek pada lingkungan. Jika tidak ditanya, dia tidak akan bercerita, sangat khas pria. Aku bersyukur sikap sinisnya padaku karena dekat dengan Friska menghilang sejak aku kabur dari tawaran makan siang bersama Friska. Edi menodongku bercerita. Aku memberikan jawaban jujur, aku tidak nyaman makan bersama atasan hanya karena kami pernah jadi teman satu kampus. Aku menambahkan pula, jika aku bukan teman yang akrab dengan Friska, malah kami pernah cekcok. Edi bilang dia mengerti jika perempuan bilang maaf bukan berarti sepenuhnya memaafkan. Aku sangat lega, Edi bisa memahami posisiku walau aku tidak menceritakan detail masa laluku dan Friska. Aneh jika aku dan Edi dalam mode tidak akur, walau kami sebenarnya tidak cukup akrab. Aku dan Edi banyak menghabiskan waktu kerja sebagai tim. Tidak mungkin aku tahan bekerja sekaligus menghadapi sikap sinis Edi, di saat hanya dia rekan kerja yang dapat diandalkan. “Udah pergi sana. Ditungguin lo,” usir Edi. Aku melangkahkan dengan berat hati menuju lantai atas. Desain interior lantai atas tidak jauh berbeda dengan lantai lainnya. Perbedaannya terdapat pada lebih banyak ruangan yang disekat dinding kaca sebagai ruangan khusus atasan dengan tempelan stiker buram pada setengah bagian dindingnya. Tampilannya memang terkesan lebih elit dari lantai kerjaku. Aku menemukan sekretaris direktur sedang sibuk dengan ponsel. Jam segini seru bermain ponsel, apa tidak takut ketahuan atasan? Aku tersenyum mencemooh. Aku berdehem sebelum berucap, “Saya mau serahkan file ini ke Bu Friska.” Sekretaris itu memindai penampilanku dengan wajah jutek, lalu tersenyum miring. Ada apa dengan perempuan ini? bathinku keheranan. “Masuk aja.” Dagunya menunjuk pintu di belakangnya. Aku mengulum bibir menahan kesal pada sikap tidak bersahabat sekretaris ini. Aku mendorong pintu kaca ruangan yang berlabel ‘direktur’ itu. Mataku langsung mendapatkan Friska duduk dibalik meja kayu besar. Dia mengalihkan fokus dari monitor. Bibirnya membentuk senyum lebar saat melihatku. Aku masuk dan menutup pintu. “Udah jam makan siang?” tanyanya sembari menunjuk kursi di depan meja. Aku duduk dengan ragu-ragu. “Saya mau menyerahkan file ini.” Tanganku mengangsurkan berkas ke meja. Bibirnya mengerucut. “Kirain mau ajak gue makan siang. Nggak seru ah.” Dia mendorong berkas itu menjauh. Aku diam saja. Tidak tahu bagaimana menanggapinya. “Gue nggak bisa ajak lo makan siang, entar lo kabur lagi. Padahal gue dan Deva udah datang ke meja lo,” katanya sambil berpura-pura sedih. Deva. Nama itu membuatku merinding. Bagaimana bisa Friska menyebut nama itu dengan santai di depanku padahal dia tahu masa laluku dan Deva tidak berjalan baik? Aku meringis menyadari kebodohanku. Friska bisa saja menyebut sepupunya sesuka hati. “Yayang baru yang lo maksud itu Bang Admiral ya?” Mata Friska menyorotku tajam. Tidak memperoleh jawaban apapun dariku, dia tertawa sinis. Aku menangkap keganjilan pada perubahan sikapnya yang drastis. “Lo masih sering ketemu Bang Admiral, gue kok nggak diajak makan bareng? Kita kan bisa reuni. Tambah Deva pasti seru. Atau kita bikin event khusus biar undang Pepep sekalian,” lanjutnya. Badanku spontan menegak, aku dibuat sangat terkejut. Friska terlihat santai duduk di singgasananya sambil bersidekap. Dia punya maksud apa? Aku tidak bisa membacanya. “Jika Ibu sudah tidak ada urusan dengan saya, saya mohon pamit.” Aku memilih jalan profesional untuk menyudahi pembicaraan Friska yang sarat makna. Aku berdiri lalu bergegas menuju pintu. Suara Friska menghentikan langkahku. “Vhi, apa nggak bisa lo perbaiki kerusakan yang udah lo perbuat? Jangan kabur dan bersikap kayak lo bersih. Lo penyebab Deva dan Pepep membatalkan pertunangan. Lo juga yang bikin Pepep dan Admiral berpisah.” Aku tidak perlu diingatkan berapa banyak kesalahan yang sudah aku perbuat. Hatiku meneriakkan permintaan maaf jutaan kali pun tidak dapat mengubah kesakitan yang aku buat. Aku sadar itu. Tapi perbaikan apa yang diharapkan Friska, aku saja tidak tahu. “Lo mau gue gimana?” tanyaku nyaris seperti suara orang tercekik. Aku menahan keras laju air mata. Akalku masih mengingatkanku ini jam kantor. Airmata bukan bagian profesionalitas karyawan. “Temui Deva, minta maaf. Cari Pepep, ajak dia balik ke rumah orang tuanya,” teriaknya frustasi. Friska mengusap wajah dengan kedua tangan. Dia kembali menatapku, kali ini dengan pandangan prihatin. “Maaf gue nggak bermaksud kasar. Gue masih berharap kita masih bisa berteman,” kata Friska. Dia kembali duduk di kursi. Aku mengangguk sekali, lalu tanganku menarik pintu ruangannya. Dengan kaki yang serasa berubah menjadi jeli, aku berusaha kembali ke kubikel. Tidak lagi aku pedulikan wajah penasaran sekretaris Friska. Sesampainya di meja kerja, aku bergegas mencari keberadaan ponselku. Edi sedang meninggalkan mejanya, membuat aksi berisikku tidak menghasilkan teguran darinya. Sudah beberapa kali aku menjatuhkan barang, menyenggol monitor, menyingkirkan semua kertas yang berantakan di meja kerjaku ke tepi. Aku seperti seseorang yang hilang akal dan ponselku tidak ditemukan. Aku membuka pilihan terakhir, laci meja. Di sana ponselku tergeletak. Aku membuka aplikasi chatting. Tanganku me-scroll daftar teman dalam aplikasi tersebut, sampai berhenti pada satu nama lalu mengetuknya sekali. Membuka ruang obrolan yang tidak pernah aku lakukan meski menyimpan nomor kontaknya.   Me: Hi, boleh kita ketemu?   Tidak sampai sepuluh detik, suara notifikasi terdengar. Aku segera membuka ruang obrolanku lagi.   Pranaji Deva: Vhiya? Sure. Kapan?   Aku meremas bagian depan blouse. Aku takut. Aku ingin ada Admiral. Sayangnya, kali ini aku harus menyelesaikan hasil keonaranku sendiri. Aku mengetikan balasan lalu cepat-cepat memasukan kembali ponselku ke dalam laci. Ketakutanku tidak lantas hilang, malah makin menjadi setelah membalas pesan Deva barusan. Sebotol air minum kemasan tiba-tiba diletakkan di atas mejaku. Aku tersentak. Edi menatapku datar. “Minum kalo lagi banyak pikiran.” “Thank you, Ed.” Aku memutar tutup botol yang ternyata sudah tidak bersegel itu. Edi pasti sudah membuka segelnya duluan. Aku menegak sampai sisa setengah botol. Setelah ini aku harus berani menghadapi masalahku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD