Jam dinding baru menunjukan pukul 05.30 pagi, tapi suara bel sudah menggema di unit milik Maura.
Ah siapa yang menekan bel sepagi ini. Batin Maura yang baru saja selesai mandi dan hendak menyiapkan sarapan.
Dibukanya pintu itu dan dilihatnya seorang pria dengan setelan jas lengkap. Wangi maskulin juga menyeruak dari pria yang sedang berdiri tegap memunggunginya itu.
"Maaf, ada yang bisa saya bantu?" Tanya Maura sopan.
Saat pria itu membalikkan tubuhnya, Maura hampir melompat kebelakang jika saja ia tak cepat cepat menguasai kesadarannya.
"Raga?" Tanya Maura yang masih sedikit kaget.
"Hai" sapa Raga dengan senyum di bibirnya.
"Ngapain kamu pagi pagi kesini?"
"Lah? Kan aku mau jemput kalian"
"Ya ini masih pagi banget, Ragaaa. Bahkan aku aja belum bangunin Arinda"
Pria itu hanya membalas dengan senyuman.
"Yaudah, ayo masuk. Aku mau bikin sarapan. Kamu udah sarapan?" Tanya Maura sopan. Setidaknya ia harus membayar tumpangan pria itu bukan.
"Gaperlu repot repot" ucap Raga singkat saat duduk di kursi di ruang televisi milik Maura.
"Gapapa. Kamu pasti belum sarapan" Dalam hati Maura merutuki dirinya. Memalukan sekali jika Raga sampai sadar Maura masih mengingat kebiasaan pria itu.
"Yaudah gapapa kalo gak ngerepotin" jawab Raga saat Maura memberinya sebuah remote televisi.
"Kamu nonton dulu aja. Aku mau buatin minuman dulu"
Raga hanya menganggukan kepalanya.
Setelah menunggu kurang lebih lima menit, Maura datang menghampirinya dan membawa nampan minuma dengan secangkir kopi diatasnya.
"Diminum dulu" ucap Maura lalu meninggalkan Raga sendirian.
Diteguknya kopi itu oleh Raga. Pria itu tertegun sebab Maura masih mengingat seleranya. Dua sendok kopi dengan satu setengah sendok gula. Bagian dari dirinya mulai menghardiknya. Menghardik tingkahnya dulu yang gila gilaan menyakiti Maura. Tapi ia punya alasan untuk melakukannya.
Raga masih belum menyalahkan televisi yang ada di hadapannya. Mulutnya sibuk meneguk kopi buatan Maura. Setelah bertahun tahun berlalu, akhirnya ia bisa menyicipi lagi kopi buatan mantan istrinya itu, minuman favorite nya.
Maura mulai sibuk di dapurnya. Wanita itu mengolah bahan bahan makanan untuk sarapan pagi ini. Ia berniat membuat omelette dan sosis goreng. Tiba tiba terdengar suara kursi yang di geser. Maura menolehkan kepalanya dan mendapati Raga sedang duduk mengisi kursi di meja makan miliknya.
"Ada apa, Raga?" Tanya Maura menahan rasa gugupnya.
Pasalnya selama mereka menikah, Raga tak pernah mendatanginya selagi ia memasak. Pria itu selalu turun dari kamarnya setelah makanan di hidangkan di meja makan.
"Apa aku boleh disini?" Ucap Raga menghentikan gerakan Maura.
"Kenapa?" Kenapa baru sekarang kamu seperti ini Raga. Lanjut Maura membatin.
"Aku...hanya..."
"Papa?" Suara serak Arinda menghentikan ucapan Raga.
"Selamat pagi, sayang. Arin udah bangun?" Tanya Raga saat Arinda menghampirinya.
"Selamat pagi, Papa. Papa kok ada disini?" Arinda mengusap usap matanya yang masih mengantuk.
"Papa kan mau jemput Arin dan Mama. Arin mau kan di anterin sekolah sama Papa?"
"Arin mau, Pa!" Tiba tiba saja Arinda langsung segar dan riang mendengar ucapan Raga.
"Mama, gapapa kan kita berangkat sama Papa?" Tanya Arinda takut takut.
Melihat reaksi putrinya yang ketakutan untuk berbicara dengannya membuat Maura merasa bersalah. Ia jadi takut jika Arinda jadi berbohong hanya karena takut mengatakan kejujuran.
"Gapapa, Arin. Kamu gak perlu takut buat ngomong sama Mama. Mama gak akan marahin kamu kok"
Arinda berlari dan memeluk Maura.
"Arin sayang sama Mama"
"Mama juga sayang sama Arin"
Entah mengapa, melihat drama ibu dan anak pagi itu malah membuat Raga terharu. Ia merasa seperti memiliki keluarga yang lengkap.
Seandainya ada cara yang lebih benar. Raga membatin.
"Sekarang Arin mandi ya sama Mama, nanti kesiangan. Ga, kamu kalau mau makan duluan, makan aja ya. Aku mau mandiin dan rapiin Arin dulu"
Raga hanya mengangguk dan matanya tak lepas dari Maura dan Arinda.
Bodohnya, bisa bisanya aku melewatkan momen seperti ini bertahun tahun. Raga membatin.
Lima belas menit kemudian, Maura dan Arinda datang. Mereka berdua sudah berpakaian rapi. Arinda menggunakan seragam sekolahnya dan Maura menggunakan setelan kerjanya.
"Loh kamu belum makan, Ga?" Tanya Maura yang kaget karena Raga belum menyentuh makanannya.
"Belum"
"Kamu gak suka makanannya?" Tanya Maura lagi.
"Cuma mau makan bareng kalian aja" jawab Raga diikuti oleh senyum pria itu.
Ada rasa hangat yang menggelenyar di hati Maura saat melihat senyum pria itu.
"Yaudah, ayo makan" ajak Maura.
Maura dan Arinda mengisi kursi kosong di meja makan itu. Setelah Raga memimpin doa, mereka akhirnya makan bersama dengan sedikit perbincangan seputar kerjaan.
***
Setelah menempuh perjalanan dua puluh menit, akhirnya mereka sampai di parkiran sekolah Arinda. Mereka bertiga turun dari mobil Raga setelah Raga membukakan mereka pintu.
"Ma" Arinda menundukan kepalanya.
"Ada apa sayang?" Tanya Maura yang berjongkok menyesuaikan tinggi putri kecilnya itu. Raga hanya menatap mereka berdua.
"Apa boleh kalo Mama dan Papa anterin Arin sampai depan kelas?" Tanya Arinda takut takut.
"Kenapa sayang? Biasanya sampe sini doang?" Maura mengusap puncak kepala Arinda sayang.
"Arin mau tunjukin ke temen temen Arin. Arin kemaren makan siang juga sama Mama dan Papa Arin. Hari ini Arin juga dianterin sama Papa ke sekolah. Gak cuma sama Mama aja"
"Arin, Om Raga itu bukan Papanya Arin. Kalau Arin panggil Om Raga Papa, bukan berati Arin boleh bilang ke temen temen Arin kalo Om Raga itu Papanya Arin" jelas Maura.
"Begitu ya, Ma?" Tanya Arinda makin menundukan kepalanya.
"Engga, kok. Arin emang anak Papa Raga. Arin gak boleh manggil Om lagi ke Papa. Arin ngerti, kan?" Jelas Raga.
Mata gadis kecil itu langsung berbinar binar saat mendengar ucapan Raga. Maura hampir membuka suara lagi tapi saat melihat wajah putrinya yang berbahagia itu, ia tak sanggup untuk merampasnya hanya karena keegoisannya. Raga memang ayah kandung Arinda. Maura harus mengalah kali ini.
"Maafin Mama ya, Rin. Ayo sekarang kita ke kelas Arin. Mama sama Papa yang anterin" untuk pertama kalinya Maura menanggil Raga dengan sebutan Papa.
Mereka lalu mengantar Arinda ke kelasnya dengan Raga yang menggendong Arinda dan Maura membawa tas sekolah gadis kecil itu.
Sesampainya di depan kelas, Raga menurunkan Arinda. Teman teman gadis kecil itu langsung menghampirinya. Kadang anak kecil memang terlalu ingin tau.
"Temen temen, ini Papa Arin. Kemarin Arin makan siang sama Mama dan Papa di restoran. Meskipun gak ada banyak bunga kaya Mika, tapi Arin seneng bisa makan sama Mama dan Papa" jelas Arinda riang pada teman temannya.
"Om, apa bener Om itu Papanya Arin? Arin kan gak punya Papa. Iya kan temen temen?" Tanya seorang anak laki laki yang nampak mengejek Arinda.
Tiba tiba tawa anak anak itu pecah karena mereka yakin Arinda berbohong tentang keluarganya.
"Bener, kok. Om ini memang Papanya Arinda" akhirnya Maura angkat bicara saat dilihatnya Arinda yang hampir menangis.
Seulas senyum terbit di bibir Arinda.
"Tuh denger. Kalian jangan nakal ya sama Arin. Nanti di omelin loh sama Papa Arin" Arinda menjulurkan lidahnya pada anak laki laki yang bernama Harey itu.
Raga hanya diam saja. Pria itu masih terkejut dengan ucapan Maura. Hatinya senang namun masih bertanya tanya, apa Maura sungguh sungguh saat mengucapkannya.
"Yaudah Arin masuk ya. Mama dan Papa mau berangkat ke kantor sekarang. Arin jangan nakal ya" Maura mengecup kening Arinda sekilas.
Teman teman Arinda sudah masuk bersama dengan gadis kecil itu. Namun anak laki laki yang tadi masih saja berdiri di depan pintu.
"Tante, tante bohong kan?" Tanya Harey menghentikan langkah kaki Maura dan Raga yang hendak meninggalkan tempat itu.
"Tante gak bohong" Raga yang menjawab laki laki kecil itu.
"Waktu itu Arin bilang kalau dia gak punya Papa. Arin bilang Mama nya selalu sedih kalau Arin tanya tentang Papanya. Jadi tante bohong kan?" Harey masih belum yakin.
Huh anak kecil ini. Raga membatin.
Maura hanya diam. Dia baru tau jika ternyata keegoisannya itu bisa berdampak besar seperti ini. Dia merasa menjadi ibu yang gagal.
"Tante gak bohong. Nama kamu siapa?" Maura akhirnya berbicara.
"Harey, Tante."
"Harey mau gak tolongin tante?"
"Mau kok asal tante gak sedih lagi. Karena kalau tante sedih, Arinda juga sedih"
Ah ternyata pria kecil ini perhatian pada Arinda ku. Maura membatin.
"Kalau gitu, Harey jagain Arin ya. Jangan biarin Arin sedih. Kalau Harey seperti tadi, nanti Arin sedih. Harey mau kan janji sama tante?"
"Iya, tante. Harey mau" Harey mengangguk mantap.
Maura dan Raga akhirnya meninggalkan anak laki laki itu. Mereka berjalan beriringan ke mobil yang di parkir dengan berselimut kesunyian.
***