BAGIAN 3

1666 Words
Misora POV Saat telah sampai di dalam, Noir langsung memesan apa yang dia mau tanpa bertanya apa yang aku inginkan untuk makan malamku sendiri. Yang dia bicarakan juga, hanya tentang dirinya saja. Apa yang dia koleksi, apa yang dia lakukan dan ke mana saja dia akan pergi berlibur nanti. “Aku rasa kau cocok memakai batu berwarna merah. Aku akan memberikanmu kalung dari batu ruby, tunggu saja sampai selesai dibuat. Aku memesannya khusus untukmu, desainnya dibuat dengan image-mu, Misora,” ucap Noir. Mulai menyogokku, berpikir kalau semua wanita akan merasa bahagia diberikan perhiasan mahal. “Tidak perlu. Penampilanku sederhana, jadi perhiasan dengan warna yang terang terlalu mencolok untukku.” Aku harus menolaknya, tidak boleh menerima terlalu banyak hingga membuatnya merasa telah membeli hatiku. “Itu tak benar. Kau cocok pakai apa saja, kau harus lebih percaya diri.”Noir memaksakan kesannya padaku. Membuatku bertanya-tanya, seperti apa sosokku yang dia lihat selama ini. “Tapi tetap tak perlu. Aku tidak bisa menerima hadiah mahal dari orang yang baru kukenal.” Aku tidak ingin disamakan dengan mantan-mantan pacarnya, tidak ingin menerima hadiah seperti itu. Apa dia tak bisa menyadari maksudku? Apa aku harus menolak dengan lebih terus terang? “Untukku tak ada yang mahal, apalagi untuk diberikan pada wanita yang spesial. Anggap saja itu hadiah pertemanan, jangan menolaknya atau aku akan tersinggung.” Dia tak paham-paham, membuat kesabaranku terasa diuji. “Cukup bicaranya, ayo makan.” Kurasa memang sebaiknya kami makan saja, sebelum makanannya dingin. Menu utama berdasar seafood, sama sekali bukan makanan favoritku dan Noir terus saja memuji betapa lezatnya makanan yang tersaji, mengatakan tentang penghargaan yang diterima oleh koki restoran ini. Bukannya semua ini konyol? Kalau dia sampai sebegitunya mencari tahu tentang kehidupan koki favoritnya, tapi kenapa dia sama sekali tak berusaha mencari tahu apa yang disukai oleh wanita yang dia anggap spesial? Semakin kami berbicara, aku semakin hilang respek padanya. “Jadi apa kau punya waktu di hari Minggu pagi? Kita akan pergi bermain tenis.” Sejak kapan pembicaraan kami jadi menyimpang sejauh ini? Aku sama sekali tak mendengarkan dan tak merasa kalau aku berkata ingin main tenis. “Maaf, tenis?” tanyaku pelan. Aku tidak pernah main tenis dan itu permainan yang masih tergolong asing bagi orang biasa seperti ku. “Iya. Main tenis bagus untuk melatih gerak refleks dan otot kaki. Kamu punya kaki yang indah, akan lebih bagus kalau mengencangkan ototnya sedikit.” Aku sampai tercengang, memangnya kapan dia melihat kakiku? Seingatku kami hanya bertemu dua kali dan aku selalu memaki gaun hingga mata kaki. “Aku rasa itu bukan ide yang bagus. Aku tidak bisa bermain, tidak punya bajunya dan bukannya tidak ada lapangan tenis di sekitar sini?” Aku harus menolaknya. Untuk yang satu ini aku tidak mau. Aku hanya akan mempermalukan diriku sendiri, bermain seperti orang bodoh tanpa tahu peraturannya sama sekali. Laki-laki harusnya lebih peka untuk hal ini, tak ada perempuan yang suka diajak berolahraga di kencan pertama mereka. Aku tidak percaya kalau Noir yang seperti ini bisa memiliki begitu banyak pacar. Aku penasaran seperti apa pikiran mereka saat diperlakukan seenaknya seperti ini. “Tenang saja! Ada aku. Aku akan menyiapkan pakaianmu dan mengajarimu. Beri tahu saja ukuranmu.” Apalagi ini, meminta ukuran pakaian wanita yang baru dikenal dengan santainya. Aku merasa makin terhina, sampai pakaianku saja harus dia belikan. “Begitu, aku ingin pergi, tapi sayangnya aku baru ingat kalau aku ada latihan di Minggu pagi. Aku benar-benar menyesal, Noir. Lain kali saja ya?” Aku putuskan untuk berbohong, memasang senyuman manis yang membuatnya terpukau. Aku bahkan tidak keberatan berakting di luar panggung selama bisa menghentikan keinginannya. “O-oke. Akan kutunggu sampai kamu sempat,” jawab Noir saat kutatap dalam-dalam, mempermainkan hatinya hanya untuk membuat mulut kurang ajar itu bungkam. Aku muak terus mendengar kata-kata menyebalkan itu. Pamer tak jelas, memaksa tanpa berpikir dan menilai tanpa melihat diriku yang sebenarnya. Dia bahkan tidak bisa membedakan diriku yang sebenarnya dan diriku yang sedang bermain sandiwara dan dia masih berani berkata kalau dia menyukaiku. Memangnya apa yang dia sukai dari sosok yang bahkan tak dikenalinya? *** Noir POV Aku bersenandung, pergi ke salah satu toko perhiasan keluargaku untuk mengambil kalung yang kupesan untuk Misora. Aku langsung memutuskan untuk membuatkannya kalung itu di hari pertemuan pertama kami. Aku ingin melingkarkan batu merah menyala itu di lehernya yang putih, memuja keindahan yang berpadu dengan sempurna itu. Misora terus saja menolak saat aku menyinggungnya, tapi aku yakin. Ketika kalung ini telah sampai di depan matanya, dia akan dengan senang hati memakainya. Semua wanita cinta perhiasan. Semakin mahal harganya, semakin besar cinta yang akan mereka berikan. Simpel. Mau menolak seperti apa juga, pada akhir itu hanya kepura-puraan untuk menghilangkan kesan matre. Misora harus tahu kalau aku tidak keberatan untuk itu. Memberi kemewahan pada wanita memang tugas laki-laki dan sebagai balasannya, mereka hanya perlu menurut dengan patuh. Seperti itulah hubungan yang ideal. Suatu yang bisa kutawarkan dengan bangga untuk ditukar dengan cintanya padaku. Ini hanya masalah waktu hingga Misora mengerti dan saat itu, aku akan datang ke rumahnya untuk melamar Misora. Jadi dia bisa memamerkanku ke teman-teman dan tetangganya, mengatakan kalau dia telah dipilih olehku. Aku mengambil kotak kado yang yang berisikan kalung itu, telah dirias dengan indah oleh karyawan toko ini. Kumasukkan ke dalam sakuku, berjalan kembali ke depan toko tempat mobilku parkir. Supirku sudah menunggu di sana dan di belakang kami ada satu mobil lagi yang berisikan dua orang penjaga bayaran. Siapa yang bilang kalau penguasa seperti ku harus bisa bela diri untuk melindungi dari serangan saingan? Selama punya uang, aku bisa menyewa berapa banyak pun penjaga profesional. Aku juga tak peduli diikuti sepanjang hari, aku tidak masalah bahkan ketika mereka melihat semua kegiatanku. Kalau merasa terganggu dengan hal-hal remeh seperti itu, aku tidak akan hidup sampai hari ini. Bayangkan saja berapa banyak saudara laki-laki dari mantan pacar yang datang dengan kemarahan, atau laki-laki lain yang diduakan oleh pacar-pacarku? Belum lagi laki-laki yang dicampakkan oleh pacar mereka demi aku. Terkadang aku juga harus direpotkan oleh dua orang wanita yang bertengkar merebutkanku, itulah gunanya kedua penjaga bertubuh besar itu. Melindungiku dari segala masalah yang datang dari kehidupan cintaku. Kalau soal serangan dari orang-orang Ghea, aku tidak pernah cemas. Karena orang yang mereka incar adalah Kenan, bukan aku. Itu bagus, enaknya jadi putra bungsu. Bisa bersenang-senang dengan kekayaan yang sama, tapi tak perlu direpotkan oleh tanggung jawab. Hal seperti itu biar anak tertua dengan pemikiran kuno itu saja yang mengurusnya. Aku tidak pernah punya ambisi untuk menjadi pemimpin dan tak pernah mengerti kenapa Kenan begitu menginginkan posisi itu sampai bela-belain membunuh untuk mendapatkannya. Bicara soal membunuh, aku tidak terlalu yakin apakah Hail sungguh sudah tewas malam itu. Tak ada mayat, tapi Kenan sampai bersumpah kalau melihatnya mati. Sejujurnya aku sedikit terganggu dengan apa yang terjadi malam itu, dan terkadang aku bermimpi kalau Hail kembali hidup. Semua itu karena aku tidak benar-benar tahu apa yang terjadi, selain mendengar dari perkataan Ibu dan Kenan yang terkesan dipaksakan. Aku bukannya benci dengan saudara tiri-ku itu, aku hanya kesal karena kedatangannya merusak ketenangan keluarga kami. Aku tidak pernah berpikir ingin dia mati, atau berharap dia tak pernah menjadi kepala keluarga. Aku hanya ingin kami semua bisa saling menerima, dan kalau tidak bisa. Aku ingin dia tinggal di rumah Ayah yang lain, tapi Kenan dan Ibu berpikiran lain. Mereka hanya bisa merasa tenang saat Hail dilenyapkan. Kalau begitu ya, mau bagaimana lagi. Meskipun pada akhirnya Ibu meninggal karena sakit dua tahun setelah kematian Hail dan sekarang Ayah juga terbaring tak berdaya karena jantungnya yang melemah akibat bertambahnya usia. Hal yang membuatku berpikir kalau kematian Hail hanya berakhir sia-sia. Tak ada kebahagiaan yang diraih dengan pengorbanan itu. Hal itu jugalah yang membuat Kenan agak tertekan belakangan ini. Sampai bertindak tergesa-gesa melamar Fanette untuk mendapatkan tambahan dukungan, saking takutnya melihat kondisi fisik Ayah yang semakin memburuk dan gerakan Ghea yang semakin agresif. Oh, lihat itu. Baru saja dipikirkan. Glafira Ghea, kepala keluarga yang tak pernah diakui oleh familinya sendiri. Saat ini tengah berkelahi dengan dua orang laki-laki asing, di depan toko orang dengan cara yang bar-bar. Aku sampai menghentikan mobilku untuk melihat akhirnya, bagaimana dia berhasil mengalahkan mereka dan bahkan mematahkan tangan salah satu dari mereka sambil tertawa bahagia. Itulah saingan Kenan yang membuatnya gentar. Hanya seorang wanita kasar yang tak punya daya tarik. “Hei Amber kecil! Keluar dari mobilmu dan temani aku sini!” teriak Glafira, mencari gara-gara. Perempuan tua sialan itu, banyak tingkah hanya karena punya lebih banyak otot dari ku. Memanggilku hanya untuk bermain-main. Meremehkanku, seolah ingin memberi tahu kalau aku bahkan tak dianggap sebagai musuh yang berarti baginya. “Siapa yang sudi berjalan di samping wanita jelek!” teriakku membalas. Tak mau keluar dari mobil. Aku punya harga diri, tak mau sampai diinjak oleh musuhku. “Hanya anak kecil yang berteriak kurang ajar pada wanita.” Pada saat itulah, seorang laki-laki berjalan melintasi mobilku. Itu hanya sekilas, tapi aura keberadaan dan suaranya mengingatkanku pada Hail. Sosok yang ingin kulupakan bersama dengan pengakuan dari Kenan. Aku bahkan tidak melihat seperti apa wajahnya, hanya punggungnya yang semakin jauh yang terlihat saat aku mengeluarkan kepalaku dari jendela. Namun, itu sudah cukup untuk membuat hatiku kalut. Pemikiran yang tak pernah terlintas datang begitu saja, seolah berbisik kalau orang itu adalah Hail. “Itu mustahil. Dia bukan Hail. Kenan sudah membunuhnya,” ucapku ke diri sendiri, memberi sugesti yang menenangkan. Namun tetap saja, aku tidak bisa merasa tenang. Aku ingin tahu kebenarannya, ingin memastikan kalau Hail sungguh telah mati untuk menenangkan hatiku. “Tuan Noir, apa kita sudah bisa jalan? Kalau tetap di sini, Anda akan terlambat ke pertunjukan Nona Misora,” tanya supirku. Seketika itu pikiranku kembali tenang, tapi tidak dengan kegelisahan hatiku. Keinginanku untuk melihat Misora sudah sudah lenyap. “Tidak, aku tidak ingin menonton opera hari, tapi aku ingin menemui seseorang.” Saat ini aku punya prioritas lain dan itu adalah menemui dan menagih janji dari seseorang yang pernah kutolong tahun lalu. Yasa, seorang informan terbaik di pasar gelap. Seseorang yang punya jaringan informasi luar biasa, hingga aku yakin kalau dia mampu menggali rahasia sepuluh tahun yang lalu.      
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD