BAGIAN 4

1600 Words
Misora POV Noir datang lagi setelah beberapa hari. Dia membawakan kalung yang dijanjikan, bersama dengan rasa canggung. “Aku sudah bilang, kalau aku tidak butuh kalung itu,” tolakku untuk ke sekian kalinya. Noir tak peduli. Seperti sikapnya yang seenaknya masuk ke ruang ganti anggota teater tanpa izin, ia pun begitu memaksakan keinginannya. Tanpa mau mendengarkan, langsung memakaikan kalung yang sudah kutolak. “Tapi kalung ini dibuat untukmu. Kalau kamu menolaknya terus, maka aku akan membuangnya.” Perkataannya bukan hanya menggombal, tapi juga terkadang terdengar seperti sedang berpuisi. Kalau sudah seperti ini, ya jelaslah aku tidak bisa menolaknya. “Baiklah, akan kuterima,” balasku. Menghela napas lelah, menyentuh mata kalung sebesar buah kenari itu. Noir tersenyum puas karenanya, menyentuh rambutku dengan leluasa. “Begitu dong. Kau terlihat sempurna dengan kalung itu,” pujinya. Entah kalung atau wajahku yang dia puji, yang jelas aku tidak merasa bahagia mendengarnya. Hanya senyuman di wajah manis itu yang kadang membuatku melunak, sedikit berdebar. “Terima kasih.” Aku tidak tahu harus berkata apa padanya. Aku takut salah bicara dan membuatnya salah paham, mengira kalau aku telah memberinya lampu hijau. “Noir, pertunjukan kami sudah akan dimulai, kamu bisa kembali ke bangku penonton?” Karena aku tidak akan pernah mengingkari janjiku pada Fanette. “Oh ya... kalau begitu aku pergi dulu. Selesai pertunjukan, ayo keluar denganku.” Noir berpamitan dengan cepat, keluar pintu tanpa menunggu jawabanku. Lagi-lagi, kencan yang tak terencana. “Wow. Hari ini Tuan Muda Amber datang lagi, bukannya ini bagus? Aktris-ku mungkin akan jadi nyonya besar nanti,” kata Tuan Daniel. Datang menimpali seperti biasanya, dengan semangatnya membayangkan yang tidak-tidak. “Itu tidak akan terjadi. Aku tidak akan pernah menerima pernyataan cinta Noir.” Kalau saja aku juga bisa menjawab dengan tegas seperti ini ke Noir, mungkin masalahku bisa segera teratasi. Masalahnya adalah, status sosial dan kepribadian Noir itu bukan sesuatu yang bisa kuganggu gugat. “Kenapa? Dinikahi oleh pria kaya itu impian semua wanita.” Tuan Daniel ternyata sama saja dengan laki-laki lainnya. Yang kuinginkan bukan pria kaya, tapi pria yang mencintaiku dengan seluruh hatinya. Aku hanya tersenyum meresponsnya. Mengatakan isi hatiku pada orang memiliki pandangan berbeda itu tak ada gunanya, mereka tak akan pernah mengerti. *** Setelah restoran mewah, kali ini butik mewah yang menjadi tujuan kencan Noir. Tak lain hanya untuk membeli hatiku dengan gaun mahal. Dia bahkan sudah membuat janji, memesankan beberapa model yang menurutnya cocok untukku. Aku tercengang di depan pintu, terdiam tak berani melangkah masuk saat melihat terangnya lampu-lampu gantung yang mengisi atap. “Kenapa lagi? ayo masuk.” Noir memaksa, mendorong pelan bagian bawah pinggangku dengan telapak tangannya. Aku tersandung, hampir saja terjatuh dan Noir masih tak peka. Terus saja berjalan sambil mendorong, sama sekali tak ada perhatiannya. Untungnya bingkai pintu menyelamatkanku, memberi pegangan agar aku tidak jatuh dan mempermalukan diri sendiri. Aku melotot tak senang kepadanya setelah kami masuk, tapi Noir malah tersenyum membalas tatapanku. Entah apa yang dia tangkap dari rasa kesalku. “Kau suka warna merah? Ada hitam dan biru juga.” Dia bahkan sudah lebih dulu mengambil gaun-gaun yang dia pesan, membawa tiga buah ke depanku. Semuanya terlalu mencolok dan sama sekali bukan seleraku. Merah menyala ketat dengan potongan dari pangkal paha, hitam dengan brokat yang menonjolkan belahan d**a dan biru tua berbahan sutera dengan punggung terbuka. Apa dia gila? Menyuruhku memakai pakaian mirip dengan model yang biasanya dipakai oleh wanita penghibur. Dia mau memamerkan tubuh wanitanya begitu? “Ada yang sedikit lebih tertutup? Warna cokelat muda atau putih?” Aku ingin berteriak padanya, tapi yang keluar hanya suara pelan dengan sikap yang kikuk. “Atau mungkin tidak usah saja, aku tidak benar-benar butuh semua pakaian itu.” “Kamu tak suka? Kenapa? Coba dulu! Jangan bilang tak butuh. Ayo coba!” Inilah hasilnya, lagi-lagi aku dipaksa terbawa arus. Dibuat mencoba gaun-gaun itu. “Aku sudah bilang tak mau!” teriakku kemudian, tepat di depan pintu ruang ganti. Saat ini kesabaranku sudah habis, tak peduli dia bertanya berapa kali pun. Pada akhirnya Noir tidak pernah berniat ingin mendengarkan pendapat ku. Noir diam seketika. Membuatku sadar dengan apa yang baru saja kulakukan. Aku ikut diam, menutup mulutku dengan telapak tangan, meliriknya takut-takut. “Maaf,” ucapku refleks. “Hem, ya sudah. Kalau begitu ayo pergi ke tempat lain saja.” Rupanya Noir tak marah, dia mengusap kepalanya bingung. Mengajakku ke tempat lain daripada memaksa lebih jauh atau marah. Aku agak sedikit merasa tak enak, tak mengira kalau dia masih memikirkan perasaanku walaupun hanya sedikit. Kami lalu berjalan-jalan di deretan pertokoan yang sama. Sama sekali tak ada pembicaraan atau tujuan. Aku sudah biasa jalan-jalan seperti ini, masuk ke banyak toko. Mencoba yang terlihat bagus dan hanya membeli satu atau dua yang kusukai saja, tapi biasanya aku pergi sendiri atau dengan teman sesama wanita. Aku tidak pernah pergi berbelanja dengan laki-laki, apalagi dengan tujuan minta dibelikan. Hanya saja Noir sepertinya sudah biasa melakukan kebalikannya. Dia senang membelanjakan. Perbedaan status. Lagi-lagi itulah masalahnya. Padahal zaman sudah mulai berubah, wanita di zaman ini sudah banyak yang mulai bekerja dan menjadi mandiri. Namun, pola pikir dan cara hidup Noir masihlah sangat kolot, ciri khas orang-orang yang besar di keluarga penguasa. “Misora, bilang saja kalau ada tempat yang mau kamu datangi. Aku akan mengikuti kemauanmu hari ini,” ucap Noir tiba-tiba. Setelah segala cara pendekatannya yang gila itu, aku tak menyangka akan ditanyai seperti itu. Mungkin Noir tidaklah seburuk yang kukira, kalau hanya berteman kurasa masih tak apa-apa. “Kalau begitu ayo ke kedai teh,” ajakku. Karena sudah bilang ini terserah aku, jadi aku ingin mengajaknya ke tempat yang aku suka. Aroma daun teh yang menenangkan, cantiknya kue-kue yang tersedia dan suasana hangat di kedai teh selalu menjadi tempat favoritku saat ingin menghabiskan waktu lama. “...Oh, oke.” Ada jeda panjang sebelum dia menjawab. Ekspresi wajahnya pun telah menjelaskan semuanya. Noir tak suka dengan tempat pilihanku, dia terpaksa menemaniku. “Tidak jadi saja,” ujarku kemudian. Ekspresi wajah Noir berubah lagi, terlihat lega. Dia benar-benar tidak pandai menyembunyikan perasaannya, terlalu sangat mudah dibaca. Kupikir semua orang yang berkuasa itu cerdas-cerdas, pandai bermain kata dan berbohong secara alami. Akan tetapi kesan yang kudapat darinya sangat berbeda, untuk beberapa alasan aku tidak terlalu kesal lagi padanya. *** Baru saja aku mulai merasa bisa dekat dengan Noir, dia mulai bertingkah kembali. Saat aku pulang dari bekerja, aku menemukannya di rumahku. Dia datang membawa seserahan, melamar tanpa memberi tahu lebih dulu. Ayah dan Ibu duduk terlihat kebingungan berhadapan dengannya. Mereka tak tahu apa boleh menolak atau tidak. Ini adalah kunjungan pertama Noir, tapi yang jelas orang tuaku tahu siapa dia. Rumah kami berada di wilayah kekuasaan Amber, bukan hal aneh jika mengenali wajahnya. “Apa yang kamu lakukan di sini?” tanyaku pada Noir. Segera berjalan menghampirinya, mengambil tempat duduk di sebelah Ibu. “Melamarmu,” jawab Noir tegas. Dia bahkan sudah mengeluarkan sebuah kotak kecil, membukanya dan memamerkan sebuah cincin dengan batu yang sangat besar. Matanya terlihat berbinar, percaya diri akan diterima. “Aku minta maaf, aku tidak bisa menerimanya,” aku segera menolak. Memasang wajah bersalah agar dia tak tersinggung. Dengan pelan kudorong kembali kotak yang ia sodorkan ke hadapannya. “Saat ini aku sedang berhubungan dengan seseorang, rasanya tidak pantas bila aku malah menerima lamaran pria lain.” Aku terpaksa berbohong, memilih alasan yang mungkin lebih bisa diterima. Noir masih tetap tenang, dia mendorong kembali kotak berisikan cincin itu ke sisiku. “Lalu kenapa? Memilih laki-laki yang terbaik untuk mendampingi hidupnya adalah hak wanita. Aku bahkan tak pernah bertemu dengan orang itu. Pacar yang tak pernah terlihat sama saja tak ada. Harusnya kau bersyukur dilamar olehku. Aku bisa mendapatkan wanita mana saja yang kumau dan aku malah memilihmu. Ini hidupmu. Tentukan dengan bijak pilihanmu, Misora.” Kata-katanya itu lagi-lagi hanya membuat perasaanku tidak nyaman. Sikap yang selalu merasa dirinya hebat dan penting itu, ingin sekali kusadarkan. Kukepalkan tanganku erat-erat, mengangkat kepalaku dengan tegak. “Kamu benar, ini hidupku. Jadi aku akan memutuskan sendiri, kalau aku akan menolak lamaranmu. Aku tidak mau menikah dengan laki-laki yang tidak kucintai. Kamu tidak bisa mendapatkan hati wanita dengan uang dan statusmu, Noir. Mereka yang datang padamu karena semua itu, akan meninggalkanmu saat kamu kehilangan semuanya.” Kuberanikan diri untuk mengatakan isi hatiku. Kali ini aku tidak akan menahan diri, aku harus menegaskan semuanya agar dia tak kembali lagi. Harga diri Noir sangat tinggi. Aku yakin kalau sekali saja aku melukainya, dia akan mulai membenciku. Wajahnya sudah memerah karena marah, menggigit bibirnya sendiri untuk menahan u*****n keluar dari sana. Setelah beberapa saat, dia berdiri tiba-tiba, mengambil kotak cincin itu. Lalu ia menarik tanganku secara paksa, membuka telapakku untuk meletakkan cincinnya. “Kalau begitu simpan ini sampai kau mencintaiku!” kata Noir memaksa, “aku pasti akan mendapatkanmu apa pun caranya,” sambungnya. Kemudian dia pergi dengan keadaan marah, menendang pintu mobilnya sebelum ia masuk ke dalam. Aku berdiri di depan pintu melihat kepergiannya, menatap kotak cincin yang ia tinggalkan dengan perasaan yang bercampur aduk. Ibu menghampiriku. Ia memeluk bahuku dengan lembut, mengusap perlahan menenangkan. “Tidak apa-apa, Misora. Apa pun keputusanmu, ibu dan ayahmu akan selalu mendukungnya. Pilih laki-laki yang ingin kamu nikahi dengan baik, jalani pelan-pelan sebelum memutuskan untuk menikah. Kamu masih muda putriku, tak perlu buru-buru memikirkan pernikahan.” Aku tahu itu, Ibu sama seperti Fanette. Mereka begitu pengertian memikirkan perasaanku, memberiku dukungan dengan cara yang begitu menyentuh hati. Kusandarkan kepalaku ke pundak Ibu, sedikit bermanja melupakan rasa malu dan usiaku untuk sesaat. “Terima kasih, Bu,” ujarku. Kuharap apa yang kulakukan ini tidak akan berdampak pada mereka. Aku tidak mau sampai kehidupan kami yang tenang jadi berantakan hanya karena aku menolak laki-laki yang tidak boleh dibuat marah.        
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD