02

3320 Words
Untuk pertama kalinya setelah sekian tahun. Mata Sasmita dan Radika saling bertemu serta bersinggungan. Gelenyar aneh kembali menyusup ke dalam hati mereka masing-masing ketika memandang satu sama lain. Tatapan yang mengandung berbagai macam makna di dalamnya dan mungkin hanya mereka berdualah yang dapat merasakan serta menerjemahkan. Sasmita masih tak percaya jika kini sosok Radika berdiri tepat di hadapannya, mengenakan kemeja lengan panjang warna hitam tanpa dasi, dipadukan dengan celana Chino hitam serta jam tangan ber-merk yang melingkar di pergelangan tangan kiri menambah kesan maskulin dan gagah pada diri pria itu. Tidak ada senyuman terpatri di wajah Sasmita. Meski di dalam hati dia ingin melakukan hal tersebut, akan tetapi ego melarangnya. Apalagi ketika menyadari tatapan yang diperlihatkan Radika berbeda.  Dulu, Sasmita sangat menyukai kehangatan yang Radika pancarkan melalui tatapannya saat mereka beradu pandang. Namun kini sorot mata pria itu tajam nan menusuk, tak ada keteduhan di dalam manik Radika.  Rahang wajah Arsa seketika mengeras saat mengetahui siapa pemilik suara yang tadi sempat mengejutkannya. Dia kemudian bangkit dari kursi yang didudukinya.  “Ngapain lo ada di sini bocah?!” Arsa langsung berjalan mendekat ke arah Radika yang berdiri beberapa meter di depannya. Suasana di sekitar mereka mendadak menegang dan mencekam. "Asal lo tahu bocah, lo nggak pantas buat adik gue. Sangat tidak pantas!"   Tangan Radika mengepal kuat saat ucapan Arsa tujuh tahun yang lalu kembali tergiang serta berhasil membangkitkan emosi serta amarahnya. Radika tidak pernah bisa melupakan bagaimana dulu harga dirinya yang diinjak-injak sedemikian rupa. Dia bahkan tak memiliki kekuatan untuk melawan kala itu dan larut dalam ketidakberdayaan. Tapi hal tersebut tidak akan terulang! Radika seolah-olah ingin menantang Arsa melalui sorot mata tajam dan senyum sinis yang memang sengaja dia persiapkan untuk dipamerkan di depan Arsa. Ingat! Dia bukanlah Radika yang lemah seperti dulu lagi! Radika akan memastikan sendiri jika hari-hari mendatang Arsa akan dan harus membayar lunas semua penghinaan yang dilakukannya. Di sisi lain, Wira ikut bangun dari kursinya lalu memposisikan diri berdiri di samping sang sahabat. Momen inilah yang ia ditunggu-tunggu sejak lama. Sudut bibirnya bergerak naik dan membentuk sebuah senyum misterius. “Perkenalan ini Radika Danindra. Dia adalah rekan kerja saya di perusahaan dan juga pemilik salah satu saham terbesar di Putra Kencana,” beri tahu Wira secara gamblang.  Arsa refleks membulatkan kedua bola matanya. Begitu juga dengan Adisti. Sedangkan Sasmita tidak mengukir ekpresi apapun di wajahnya dan tak tampak terkejut sama sekali. Dia malah sibuk dengan pikirannya sendiri. “Radika akan mengambil bagian dalam pernikahan dari pihak kami,” lanjut Wira menegaskan. Arsa semakin melebarkan matanya tanda tak percaya akan apa yang baru saja dia dengar. Senyum sinis kian dikembangkan Radika. Tangan kanan pria itu mengepal kuat sedari tadi. Radika dan Arsa tengah saling melemparkan tatapan tajam sarat emosi yang diperuntukan untuk satu sama lain. Pancaran mata Radika dikabuti oleh amarah dan tentu saja dendam di masa lalu. “Apa kabar Kak Arsa? Sepertinya sudah lama kita tidak bertemu,” tanya Radika basa-basi. Melalui nada bicaranya, kesinisan juga tak luput dia pamerkan. Arsa pun tersulut dengan aksi memuakkan yang dipertunjukkan bocah tengik yang berdiri di depannya. “Jangan harap gue menerima lo sebagai calon suami untuk adik gue! Gue akan membatalkan pernikahan ini!” serunya diselimuti kemarahan.  Arsa seolah-olah lupa dengan konsekuensi yang harus diterimanya jika berani membatalkan kesepakatan yang telah dia tandatangani. Kali ini dua sudut bibir Wira terangkat naik, membentuk seringaian yang tak dapat dibaca oleh Arsa.  Wira telah menduga Arsa akan memberikan respon penolakan saat tahu siapa yang akan menikahi Sasmita. Tebakannya memang jarang meleset dan selalu tepat. “Jadi Anda ingin membatalkan kesepakatan sekaligus pernikahan ini? Apa Anda yakin?” tanya Wira to the point. Arsa tak menjawab. Dia diam seribu bahasa, bibirnya terkatup rapat. Ada dua pilihan cukup berat yang kini menghadangnya yakni mempertaruhkan harga diri atau menanggung hutang hingga dua kali lipat jika dia benar-benar membatalkan perjanjian yang baru beberapa menit disepakatinya tersebut. "Bagaimana? Apa Anda ingin mengubah keputusan? Baiklah, kami akan memberikan waktu dua hari untuk Anda memikirkan ulang semua matang-matang sebelum mengambil keputusan final," kata Wira dengan gaya khasnya saat melakukan negoisasi bisnis. Arsa masih tak mengeluarkan suara. Sedangkan tatapan tajamnya tidak pernah terlepad dari sosok Radika. Walau sesekali dia juga menoleh ke arah Wira. Arsa tak ingin terlihat kalah di hadapan bocah tengik yang kini rupanya sudah menjelma menjadi salah satu bagian dan memiliki posisi penting di perusahaan properti yang cukup berpengaruh tersebut. Wira melirik arloji yang melingkar pergelangan di tangan kirinya lalu menoleh ke arah Arsa yang berdiri di depannya. "Sepertinya kami harus undur diri dulu. Kami menunggu jawaban anda dua hari lagi," ingat Wira pada lawan bicaranya itu. Dia lantas mengambil dokumen-dokumen yang tergeletak di atas meja dan memasukkan ke dalam tas. Wira menepuk bahu Radika guna memberi isyarat agar segera meninggalkan kafe karena pertemuan mereka telah berakhir untuk hari ini.  Radika pun mengangguk kecil sebagai tanda mengerti akan maksud sang sahabat. Namun dia malah maju sebanyak dua langkah, mengakibatkan jarak antara dia dan Arsa semakin menipis. Senyuman sinis terus terpasang di wajah Radika. "Mau apa lo bocah?!" tanya Arsa dengan nada geram. Tatapan bocah tengik itu sungguh sangat berhasil mengobarkan api amarah semakin membara dalam dirinya. Tangan Radika mengepal dan sedikit bergetar. Rahang wajahnya juga kian mengeras saat sebutan 'bocah' disematkan kepadanya. "Ckck bocah? Nama saya Radika Danindra bukan bocah. Tolong jaga ucapan Anda! Tuan Arsa yang terhormat! Jangan pernah seenaknya mengganti nama seseorang!" balas Radika sengit. Dia tak bisa mengontrol diri lebih lama lagi. Emosinya semakin tidak terkendali. "Daripada mencari permasalahan baru. Lebih baik pikirkan saja nasib perusahaan dan juga hutang-hutang Anda. Jika Anda tidak ingin dihadapkan dengan kehancuran," lanjut pria itu dengan nada yang ditekankan di setiap kata yang dilontarkannya. Ucapan berbau ancaman tak mampu dicegah dan keluar dengan sempurna dari mulut Radika. Tatapan penuh kebencian juga tidak lupa dia layangkan.  Sebelum benar-benar membalikkan badan dan pergi meninggalkan kafe,  Radika sempat mengalihkan pandangan ke arah Sasmita.  Mata mereka berdua kembali saling bersinggungan. Namun dengan secepat kilat perempuan itu membuang muka karena tidak mau terlena dan larut akan tatapan yang sebenarnya sudah lama ia rindukan tersebut. Sedangkan Radika sengaja tak ingin mengindahkan sikap acuh yang ditunjukkan Sasmita. Cukup dari sorot mata perempuan itu, Radika bisa sedikit mengetahui apa yang tengah dirasakan Sasmita. Akan tetapi di sisi lain, timbul sebuah pertanyaan di mana membutuhkan jawaban entah langsung dari perempuan itu atau ada teka-teki yang harus dis dipecahkan sendiri karena secara tak langsung tersimpan banyak misteri dalam pancaran mata Sasmita yang mengusiknya. ............... Selepas kepergian Radika dan Wira, Arsa menenggak hampir lima gelas berukuran kecil berisi bir untuk meredam gejolak emosi yang memuncah di dadanya. Bocah tengik bernama Radika sungguh-sungguh ingin mengibarkan bendera perang dengannya. Dia tidak bisa tinggal diam begitu saja. Arsa berjanji akan meladeni permainan bocah tengik itu! "s****n!" umpatnya geram. Arsa mengambil botol bir lalu menuangkan isinya ke dalam gelas dan menenggak bir tersebut hingga tak tersisa. Adisti memperhatikan sang kakak dengan tatapan sedikit takut. Dia tidak berani mengeluarkan sepatah kata pun. Jika sudah terbawa emosi, terkadang kakak sulungnya itu akan mudah terpancing oleh amarah dan berdampak pada keluarnya kata-k********r yang ditujukan kepada siapa saja yang ada di sekitarnya. Sedangkan Sasmita tampak tak peduli dengan keadaan Arsa. Dia hanya duduk diam di samping sang kakak. Raganya memang ada di kafe namun pikiran Sasmita menerawang jauh. Radika, nama pria itu terus tergiang di dalam benaknya. Terlalu banyak perubahan yang ditunjukkan Radika. Bahkan Sasmita seperti tak mengenali lagi sosok yang dulu pernah menjadi orang terpenting untuknya itu. Ya hanya dulu! Dua botol bir telah berhasil dihabiskan Arsa. Namun dia belum merasa puas dan memutuskan memesan lagi sebotol bir pada pelayan yang kebetulan lewat. Adisti menggelengkan kepala melihat tingkah sang kakak yang suka minum melewati batas jika sudah dalam keadaan emosi yang tak stabil seperti sekarang. "Kak jangan terlalu banyak minum. Kakak belum sembuh total," Adisti berupaya mengingatkan. Beberapa hari yang lalu penyakit kakaknya sempat kambuh dan dokter menghimbau agar Arsa tidak mengonsumsi minuman sekelas bir atau mengandung alkohol untuk sementara waktu agar penyakitnya tidak bertambah parah. Arsa melayangkan tatapan cukup tajam pada Adisti. Dia paling anti menerima nasihat, terlebih saat emosinya sedang naik. Arsa tidak menyahut. Dia memasukkan ujung kampas sebatang rokok ke dalam mulut dan menyalakan benda tersebut lalu perlahan-lahan mengisapnya. Asap rokok pun mulai membumbung di udara. "s****n! Berani sekali bocah tengik itu!" Arsa langsung mengumpat saat senyum sinis yang dipertunjukkan Radika padanya tadi terlintas kembali. Arsa bahkan mengebrak meja untuk menyalurkan emosi yang tak bisa dia tahan lebih lama hingga menimbulkan suara yang menyebabkan Adisti dan Sasmita terkejut. Untung tak ada pengunjung lain di sana selain mereka bertiga. "Kak ingat ini tempat umum jaga emosimu," peringat Adisti karena sedikit kesal dengan  tingkah Arsa. Sasmita tetap memilih mengunci bibirnya dan bersikap acuh tak acuh. Sesekali dia hanya menoleh ke arah Adisti dan Arsa tanpa berkomentar apapun. Sementara itu deru napas Arsa yang tidak teratur kian terlihat naik-turun. Tangan kanannya mengepal erat. "Gue penginn mukul muka bocah tengik yang sok itu!" Adisti mengembuskan napas kasar. Kakaknya memang tidak menunjukkan perubahan dari dulu. Masih saja suka mengandalkan 'adu jotos' untuk menjadi salah satu pelampiasan. Tujuhh tahun lalu misalnya. Arsa pernah menghajar Radika hingga babak belur saat dia tahu Sasmita dan Radika yang masih menjalin hubungan di belakangnya. Arsa tidak merestui sang adik berpacaran dengan Radika yang notabene tak sesuai kriterianya dalam hal 'kekayaan'. "Jangan gegabah, Kak. Dia sudah berubah. Bocah tengik yang kakak maksud punya posisi yang berpengaruh sekarang," ingat Adisti. Dia juga sebenarnya belum dapat mempercayai perubahan yang terjadi pada Radika akan tetapi kenyataan menunjukkan hal yang berbeda. Rahang wajah Arsa mengetat. Gemeretak giginya terdengar. Benar, Radika bukan lagi sosok lemah tak berdaya seperti tujuh tahun yang lalu. Tapi hal tersebut tidak akan membuatnya gentar sedikitpun! "Pernikahan ini tidak boleh terjadi. Gue akan membatalkannya," ucap Arsa penuh penekanan. Dia tak pernah sudi jika bocah tengik itu menjadi ipar atau bagian dari anggota keluarganya. Adisti membulatkan kedua mata sebagai respon atas ucapan sang kakak. "Bagaimana dengan hutang-hutangmu, Kak? Jelas-jelas dalam dokumen tersebut tertulis kalau Kakak sampai membatalkan perjanjian, maka Kakak harus membayar hutang dua kali lipat dan menyerahkan perusahaan. Aku tidak akan membiarkannya, Kak! Kita harus menjaga perusahaan satu-satunya peninggalan orangtua kita itu!" tegas Adisti. Kobaran api kemarahan juga mulai tampak di matanya. "Perusahaan kita tidak akan jatuh ke tangan mereka. Gue akan cari pinjaman lain untuk melunasi hutang-hutang gue di Putra Kencana." Adisti mendengus. Dia semakin kesal mendengar jawaban Arsa. "Pinjaman lagi? Kali ini apa yang akan Kakak gunakan sebagai jaminan?" tanya wanita berusia 29 tahun itu. "Gue kenal pengusaha muda di bidang perhotelan. Dia masih lajang dan sepertinya dia tertarik pada Sasmita." Arsa menoleh sekilas ke arah adik bungsunya yang tetap diam tak bersuara dengan pandangan lurus ke depan. Walaupun demikian, Sasmita masih bisa memfungsikan kedua indera pendengarannya dengan sangat baik untuk mencerna setiap kata yang dilontarkan sang kakak. Adisti menarik dan mengembuskan napas perlahan-lahan guna mengatur emosinya agar tidak semakin terpancing. "Jadi Kakak akan menjodohkan orang itu dengan adik kita? Tolong berhenti memanfaatkan Sasmita untuk kepentingan dirimu saja, Kak," pintanya serius. Jujur, Adisti memang tidak pernah setuju jika Arsa melibatkan bahkan menjodohkan Sasmita untuk memperoleh keuntungan semata. Cukup hanya dia yang menjadi korban keserakahan Arsa, jangan Sasmita. Adik bungsunya itu sudah banyak menderita sejak kecil. Dia tak ingin menambah beban sang adik lagi. Tapi bodohnya Sasmita selalu pasrah dan menuruti kemauan Arsa. Adisti sempat menyesal karena dulu turut serta memisahkan sang adik dengan Radika. Padahal dia tahu pemuda itulah yang berhasil membuat Sasmita tersenyum dan bersemangat menjalani hari-harinya. "Sampai kapanpun gue gak akan rela bocah tengik itu menikah dengan Sasmita! Gue akan berusaha cari pinjaman lain terutama ke pengusaha hotel itu. Siapa tahu dia mau menerima negoisasi yang gue tawarkan," balas Arsa bersikeras. Sifat arogan dan sombongnya begitu tampak saat mengucapkan deretan kata-kata tersebut. Sasmita mengulas senyum sangat tipis, bermaksud ingin menertawakan diri sendirinya. Sungguh, ia sadar bahwa dia bukanlah sosok yang sempurna secara fisik. Tapi haruskah dia diperlakukan seperti ini oleh keluarganya sendiri? "Radika bukan bocah tengik lagi, Kak. Dia bahkan memiliki saham dan posisi berpengaruh di Putra Kencana sekarang. Dia bukan lagi Radika yang bisa Kakak hina seperti dulu. Dia sudah berubah." Entah mengapa kalimat berupa pembelaan meluncur indah dari mulut Sasmita tanpa adanya persiapan terlebih dahulu. Plak! Satu tamparan keras yang dilayangkan Arsa mengenai pipi kiri perempuan itu dengan mulus. Arsa tak lagi mampu mengendalikan emosinya. Ucapan sang adik benar-benar berhasil menyulutkan kobaran api amarah yang tadi sempat sedikit padam. Sasmita hanya mampu memasang ekspresi datar di wajahnya. Sakit akibat tamparan yang dia terima tak sebanding dengan rasa sakit dan perih yang menghinggapi dadanya. Namun Sasmita sudah berjanji jika dia tidak akan menangis di hadapan Arsa maupun Adisti, walau dadanya sangat sesak akibat rasa sakit yang terus dia coba tahan. "Ckckck jadi kamu ingin membelanya?!" tanya Arsa kian geram. Dia berdiri menghadap ke Sasmita. Nada bicaranya sengaja ditekankan. Tatapan Arsa pun menajam. Sasmita memandang lurus ke depan, dia sama sekali tak ingin menoleh ke arah samping kiri, di mana kakaknya tengah berdiri. Sasmita cukup lihai bermain dengan topeng yang dia gunakan untuk menutupi seluruh perasaannya. "Bukan membela tapi melihat pada fakta yang ada. Setiap orang bisa mengalami perubahan, termasuk dia yang Kakak hanya anggap sebagai bocah tengik dulu. Aku akan tetap menikah dengannya demi menyelamatkan perusahaan. Aku tidak peduli apapun perkataan, Kakak! Aku akan mengambil bagian dalam pernikahan tersebut!" Plak! Lagi-lagi satu tamparan keras berhasil mendarat pipi kiri Sasmita. Arsa lepas kontrol. Dua tahun belakangan ini hubungan mereka berdua memang merenggang dan sering terlibat adu mulut. Terlebih ketika Sasmita memutuskan untuk hidup mandiri dan tinggal di sebuah rumah sederhana. Dia ingin terlepas dari bayang-bayang harta peninggalkan orangtuanya. "Tutup mulutmu, Sasmita!" teriak Arsa kian terbawa amarah yang tidak berkesudahan. Adisti menutup mulutnya. Wanita itu syok melihat sang kakak yang  tega main tangan dan menampar Sasmita, adik bungsu mereka sendiri. "Jangan harap Kakak akan merestui pernikahanmu dengan bocah tengik itu! Lebih baik Kakak menjodohkanmu dengan pria berengsek yang kaya daripada harus menjatuhkan harga diri Kakak di hadapan bocah tengik itu!" Kali ini Sasmita memandang tajam ke arah Arsa tanpa ada rasa takut sedikitpun. "Kenapa Kakak tidak menjualku saja sekalian? Bukankah lebih menguntungkan?" dia sekan-akan menantang. Sudut bibir kanan Sasmita sedikit terangkat guna menambah bumbu perlawanan yang dia berikan pada sang kakak. Tangan Arsa kembali melayang untuk menambah satu tamparan lagi di pipi Sasmita. Namun dengan segera Adisti dapat menahan niatan kakaknya itu. "Sudahlah, Kak! Ingat ini tempat umum." Arsa melepas pegangan tangan Adisti secara paksa. Deru napas pria itu masih terdengar memburu akibat gejolak emosi yang semakin mendominasi dirinya. "Apa kamu pikir akan ada pria yang mau membeli perempuan cacat sepertimu?" Sebuah pertanyaan bernada sarkasme keluar dari mulut Arsa. Sasmita diam sejenak, meresapi kata-kata kakak sulungnya yang seketika sukses menciptakan rasa sesak di d**a perempuan itu. Matanya mulai memanas hendak mengeluarkan cairan bening, namun mati-matian Sasmita membangun benteng untuk melindungi diri dari kerapuhan yang sebenarnya. "Perjodohan berkedok bisnis dan uang semata bukankah tidak jauh berbeda dengan transaksi jual-beli yang dilakukan pada umumnya? Saling mencari untung? Dan dalam pernikahan ini bukankah juga kedua belah pihak sama-sama mendapat keuntungan?" lanjut perempuan itu dengan nada sinis. Sasmita meraih tongkatnya lalu bangun dari kursi yang dia duduki. Kini posisinya dan Arsa berdiri saling berhadapan. Tatapan tajam masih dilayangkan sang kakak padanya. "Aku akan tetap menikah dengan Radika demi mempertahankan perusahaan meski harus mengorbankan diriku sendiri. Aku bersedia," ucap Sasmita pelan tapi terdengar pedas di telinga Arsa. "Mengorbankan dirimu sejauh apa, Sasmita? Apakah semua itu cukup untuk menebus kesalahanmu karena telah merenggut nyawa ibu saat melahirkan anak cacat sepertimu?! Apa kamu bisa membayar lunas semua?!" Amarah Arsa mencapai puncaknya. Sasmita tak menjawab, lidahnya terasa kelu. Dengan terburu-buru dia menyeiramakan langkah kaki dan juga tongkatnya. Dia ingin segera pergi dari hadapan Arsa serta Adisti agar tetesan cairan bening yang mulai menumpuk di pelupuk kedua matanya tak diketahui oleh mereka. ............... Radika mengemudikan mobil dengan kecepatan normal. Tidak ada ekspresi di wajahnya alias datar, walau dia tengah dibebani beberapa hal yang cukup menyita pikirannya. Sementara itu, Wira yang duduk di samping Radika sedang berusaha menahan tawanya agar tidak meledak. Jika mengingat kembali momen di mana sahabatnya menyatakan dialah yang akan menikah dengan Sasmita, Wira sedikit tercengang. Pasalnya sang sahabat selalu menolak mentah-mentah permintaan yang dia ajukan. Ketika sampai di kafe pun Radika masih kekeh dengan pendiriannya. Namun tanpa dia duga Radika malah memproklamirkan diri sebagai 'calon suami' Sasmita. "Ngapain lo ketawa-ketawa sendiri?" tanya Radika curiga akan tingkah Wira yang kerap kali melirik ke arahnya lalu mengukir senyum misterius dan juga terdengar suara  kikikan kecil yang menimbulkan negative thinking untuknya. "Gue lagi ngetawain gengsi lo yang setinggi langit tapi ujung-ujungnya tetap terhempas jatuh ke bawah," sindir Wira terang-terangan sambil melirik sang sahabat yang hanya fokus memandang ke depan. Radika tidak menjawab. Namun dia meremas stir mobil cukup kuat. Laju kecepatan mobil pun dia tambah. Wira paham betul dengan reaksi yang diperlihatkan sahabatnya. "Bilang kagak mau ikut campur tapi akhirnya pengen juga nikah sama dia. Gengsi lo terlalu gede, Rad!" Radika tetap bungkam. Dia semakin menambah laju kecepatan mobilnya. Ekspresi datar tak mau lepas dari wajah pria itu. Wira menggelengkan kepalanya. Dia belum merasa puas jika sang sahabat tidak membalas ucapannya. Jadi Wira mencoba memutar otak untuk mencari kata-kata yang pas sebagai umpan agar Radika buka suara. "Ternyata Sasmita lumayan cantik ya aslinya? Body-nya juga okelah. Gue jadi tertarik. Kalau tahu gini mending gue aja yang nikah sama dia." Radika langsung menoleh ke arahnya dengan tatapan tajam bak elang walau hanya seperkian detik, Wira merasa horor sendiri melihat ekspresi sang sahabat yang cukup menyeramkan baginya. Lagi-lagi dia belum merasa puas. "Serius, Rad. Menurut gue body Sasmita lumayan seksilah untuk ukuran cewek. Lehernya jenjang putih. Bibirnya merah gitu gimana gue kagak tergoda? Gue pria normal sih jadi gampang tergoda," Wira sengaja memanas-manasi. "Lo emang kagak tergoda? Setelah tujuh tahun kagak ketemu masa lo gak lihat perubahan yang terjadi pada Sasmita. Lo masih normal kan, Rad?" Radika kembali melempar tatapan tajam ke arah Wira. "Berisik lo!" serunya dengan nada sinis. "Kayaknya Sasmita tipe cewek susah ditaklukan ya, Rad? Pantesan si Heri bilang kalau Sasmita cewek terdingin yang pernah dia temui," celetuk Wira tak sengaja. Timbul sebuah pertanyaan yang kini menganggu Radika. "Heri? Apa maksud lo Wira?" tanyanya to the point. Wira lantas mengulas senyum mengejek. Sungguh dia ingin mengeluarkan tawa sekeras-kerasnya namun karena tak mau menyinggung Radika jadi Wira berusaha mengurungkan niatannya tersebut. Apalagi kini sang sahabat menunjukkan ekspresi serius dan ingin tahu. "Oh si Heri? Dia pengusaha properti dari Surabaya. Gue kenal cukup dekat sama dia. Kita sering minum bareng di bar kalau gue datang ke Surabaya. Heri itu salah satu orang yang pernah Arsa pengen dijodohin sama Sasmita," terang Wira kemudian. Radika tak memberi respon berupa ucapan. Dia hanya terus memandang ke depan. Tapi gendang telinganya tetap siaga menelaah setiap kata yang keluar dari mulut Wira. "Si Heri juga suka mainin cewek. Berengseknya samalah kayak gue. Dia nerima perjodohan yang ditawarkan Arsa karena cuma penasaran sama Sasmita yang dingin dan gak gampang dirayu. Heri juga ngaku ke gue kalau dia pernah ada niatan buat ngajak Sasmita tidu-" ucapan Wira terpotong karena terdengar suara sebuah benda yang dipukul. "Berengsek!" umpat Radika spontan. Dia tahu ke mana arah pembicaraan sahabatnya. Radika meremas kuat stir mobil yang tadi dia pukul. Rahang wajahnya juga ikut mengeras. Sorot mata Radika semakin menajam dan menusuk ketika memang wira. "Kenapa lo baru ngasih tahu gue sekarang?" tanya Radika seolah-olah menyalahkan sang sahabat yang tidak berbagi informasi tersebut padanya. Wira menarik dan mengembuskan napas secara kasar. Kadang dia geram sendiri jika Radika sudah menunjukkan sikap menyebalkan seperti sekarang. "Lo yang bilang kan kalau kagak peduli sama Sasmita lagi? Jadi buat apa gue ngasih tahu lo?" Radika terdiam beberapa saat. Hening pun tercipta di antara mereka berdua. Kali ini Wira mendengus kesal. Walau sudah lama bersahabat, Radika tidak mau sepenuhnya terbuka. Masih ada hal-hal tertentu yang Radika sembunyikan darinya, terutama menyangkut Sasmita. "Makanya kalau punya gengsi gede jangan dipelihara. Lama-lama lo keterusan jadi orang munafik, Rad. Hati sama mulut lo bertentangan," sindir pria itu untuk kedua kalinya. "Terserah!" balas Radika dingin seakan-akan dia tak peduli. ……….  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD