03

3480 Words
Dipta sibuk mengarahkan para pekerja untuk memasang kusen pintu dan jendela dengan  benar. Sedangkan kedua tangannya memegang gambar desain arsitektur villa yang tengah menjadi proyeknya hingga dua bulan kedepan. Terik matahari yang cukup menyengat tak menghalangi Dipta untuk menuntaskan tanggung jawabnya dalam bekerja sebagai seorang arsitek bangunan. Profesi ini hampir dua tahun dia geluti. Dipta menghentikan sejenak aktivitas-nya saat nada pemberitahuan pesan masuk yang berasal dari handphone-nya berbunyi. Dengan cepat dia memasukkan tangannya ke dalam kantong celana guna mengambil benda berbentuk persegi panjang tersebut. Seutas senyuman mengembang di wajah Dipta tatkala di layar ponsel-nya tertulis nama seseorang yang sejak dua jam lalu dia coba untuk terus hubungi beberapa kali, namun sayang tak ada pesan atau telepon yang dia terima sebagai bentuk balasan. Dipta bahkan sempat berpikir jika sesuatu yang buruk tengah terjadi pada sahabat sekaligus perempuan yang telah berhasil mencuri hatinya itu.. From : Sasi Maaf Dipta baru bales. Aku ada acara jadi ga sempet cek hp. Kenapa nelpon? Kangen? Hahaha. Dipta langsung terkikik pelan membaca pesan yang dikirimkan oleh Sasmita. Dia kemudian melangkahkan kaki menuju ke salah satu kursi yang ada di sudut ruangan sedangkan jari-jari tangannya asyik mengetik beberapa kata untuk membalas pesan Sasmita. Setelah berhasil mendudukkan diri di kursi tersebut barulah Dipta men-send pesannya untuk Sasmita. To : Sasi Iya gpp. Maklum kok. Hehe. I miss you so much. Do you miss me too? Kurang dari lima menit handphone Dipta kembali berbunyi. Satu buah pesan dari Sasmita sangat sukses membuat aliran darahnya berdesir. Dipta tak dapat menahan senyuman bahagianya saat membaca isi pesan tersebut. From : Sasi Yes, I miss U too Dipta :) Walau hanya berupa kalimat singkat tapi memiliki makna yang dalam untuknya. Dipta lalu menekan sebuah tombol yang ada di layar touchscreen ponsel-nya dan menandakan dia sudah tersambung dengan Sasmita lewat panggilan telepon. Dipta menempelkan benda tersebut di telinga kirinya. "Kenapa, Dipta?" Suara lembut perempuan itu pun terdengar jelas di telinga Dipta. Muncul sebersit rasa rindu dalam diri Dipta. Sudah empat hari dia tak bertemu dengan Sasmita karena kesibukkannya di lokasi proyek yang sepertinya kian tak kenal waktu. "I miss you. I miss you so much, Sasi," balas Dipta seraya berusaha meresapi setiap kata yang dia ucapkan dengan setulus hati. Mengungkapkan perasaannya secara terus-terang. "I know, Dipta. I miss you too. Kamu ada masalah?" tanya Sasmita di seberang sana. Nada bicara perempuan itu terdengar sedikit khawatir. Dipta sudah menaruh ketertarikan pada Sasmita sejak duduk di bangku SMA tapi dia kalah start dengan seseorang yang lebih dulu telah mampu memikat hati perempuan itu. Jadi, Dipta hanya dapat menyimpan perasaannya. Baru tiga tahun belakangan ini dia mulai berani mengungkapkan rasa cintanya pada Sasmita. Tapi perempuan itu senantiasa menolak dan hanya menganggap dirinya bercanda. Mungkin secara fisik Sasmita bukan sosok yang sempurna. Banyak perempuan di luar sana yang jauh lebih cantik dan sempurna secara fisik tapi Sasmita memiliki pesona tersendiri bagi Dipta. Dia juga tak menemukan alasan yang tepat atau sesuai untuk menggambarkan bagaimana perasaannya pada Sasmita. Tapi yang jelas di hati Dipta telah terukir nama Sasmita sebagai perempuan yang dia cintai sejak SMA hingga kini. "Nothing, Sasi. I just miss you," ungkap Dipta sekali lagi. Dia benar-benar merindukan dan ingin mendekap Sasmita dalam pelukannya. "Tumben mellow biasanya ngelawak," kentara perempuan itu. Dipta terkekeh pelan. "Lagi baper, Sasi." Terdengar suara kikikan di ujung telepon. Dipta yakin Sasmita tengah tertawa karena mendengar kata-katanya. Dia merasa bahagia bisa menghibur Sasmita karena dia tahu persis jika perempuan itu sebenarnya rapuh. Namun Sasmita selalu berusaha menyembunyikan semua agar tidak tampak lemah di hadapan orang lain, termasuk dirinya. "Gak baik loh baper terus-terusan," balas Sasmita dengan nada bercanda. "Gimana kagak baper kalau gue ditolak mulu, Sasi," celoteh Dipta sambil memberikan kode secara tersirat. Dia berharap semoga saja perempuan itu peka dan mengerti akan maksud ucapannya. "Mulai deh kamu." Dipta kembali terkekeh. "Bercanda, Sasi. Serius amat kamu nanggapinnya. Lagi di mana?" tanyanya ingin mengetahui posisi perempuan itu berada sekarang. "Di jalan," jawab Sasmita singkat. Sayup-sayup Dipta juga dapat mendengar suara kendaraan yang tengah berlalu-lalang. "Habis dari mana? Dan mau kemana?" "Tadi habis ketemu Kak Arsa dan Kak Adisti. Aku mau ke tempat favorit-ku." Dipta mengulas senyum tipis. Dia sangat tahu tempat favorit yang senantiasa dikunjungi Sasmita. Baik disaat sibuk maupun senggang. "Aku pengen juga ikut ke sana. Tapi pekerjaanku di sini numpuk, Sasi. Jangan ngebut, atur kecepatan mobil kamu," ingatnya. Dia masih sedikit merasa khawatir ketika Sasmita mengemudikan mobil sendirian. Tanpa sepengetahuannya, perempuan itu tengah tersenyum di ujung sana. "Dont worry, Dipta. Kamu juga harus semangat kerja demi masa depanmu. You can finish it." Entah mengapa, aliran darah Dipta tiba-tiba saja berdesir mendapat semangat dan dukungan dari perempuan yang dia cintai. Dia seperti memperoleh energi tambahan. "Iya. Thank you my Dear," balas Dipta tulus. Sasmita tak menjawab. Andai saja perempuan itu mau memberikan kesempatan untuknya. Maka Dipta akan mengerahkan seluruh usaha agar dapat meluluhkan hati Sasmita. Namun sayang perempuan itu tidak pernah menanggapi serius perasaannya. Terdengar helaan napas Sasmita dalam sambungan teleponan yang hampir 30 menit lamanya berlangsung tersebut. "Happy birthday, Dipta Aryasatya. Maaf aku baru ngucapin. Sekali lagi happy birthday to you my best friend," ucap Sasmita dengan nada lembut dari ujung telepon. Senyum kecut kini menghiasi wajah Dipta. Dia sendiri pun hampir lupa jika sekarang adalah hari ulang tahunnya. Bagi Dipta momen peringatan hari di mana ia dilahirkan sama sekali tidak penting dan istimewa baginya. "You're first, Sasi," balas Dipta singkat. Mood-nya mendadak kacau. Ingin sekali rasanya dia memeluk Sasmita, mencari ketenangan lewat dekapan perempuan itu. "Jangan lupa traktirannya." "Kalau mau ditraktir, jangan lupa juga kasih hadiah," guyon Dipta bercanda. Terdengar suara tawa Sasmita lagi di ujung sana. Alhasil hal tersebut mampu membuat Dipta menyunggingkan senyuman walau mood-nya yang tengah kacau. "Haha kamu mau hadiah apa, Dipta?" Dipta tampak berpikir sejenak, mencari kata-kata yang tepat untuk menjawab pertanyaan Sasmita. "Apa ya? Kalau boleh aku pengen hati dan cinta kamu sebagai hadiah gimana?" Suata tawa Sasmita semakin kencang terdengar. "Hahaha sekarang kamu udah mulai pinter gombal ya?" Perempuan itu malah mengajukan pertanyaan konyol. "Bukan gombal, Sasi. Tapi merayu." "Stop ah bercandanya. Perutku sakit karena kebanyakan ketawa dengar lelucon kamu," pinta Sasmita. "Jiah orang serius dibilang bercanda mulu." Dipta menghela napas panjang lalu mengembuskan perlahan-lahan. Mungkin butuh kesabaran yang ekstra untuk meyakinkan Sasmita jika perasaannya ini bukanlah candaan belaka. "Udah sana balik kerja. Nanti kita sambung lagi ya, Dipta. Once again, happy birthday." Senyum bahagia mengembang dengan indah di wajah Dipta. "Thanks you my Dear. Hati-hati di jalan. Jangan ngebut." "Iya. Aku tutup ya teleponnya?" Dipta hanya bergumam kecil sebagai bentuk balasan. Tak lama kemudian sambungan telepon di antara mereka berdua pun terputus.  ................ Bagas asyik memainkan jari telunjuk kanannya di touchpad laptop. Dia duduk bersila di sofa sedangkan benda tersebut ia letakkan di atas meja. Selain laptop, di atas meja juga tampak ada beberapa bungkus snack dan 3 botol air mineral berukuran besar. Alunan musik tradisional milik Gus Teja yang berjudul Morning Happiness ikut menemaninya. Jenis aliran musik seperti inilah yang menjadi kesukaan Bagas karena dapat memberi kesan tenang dan tentram apalagi didukung dengan langit sore yang tampak cerah tak berawan. Sejak pukul satu siang tadi hingga kini jam sudah menunjukkan pukul empat sore. Bagas masih anteng dengan kegiatannya di depan laptop. Sesekali dia hanya akan beranjak dari sofa jika hendak ke kamar mandi atau mengambil makanan di dapur. "Masih sibuk aja lo!" ujar Dwi lalu duduk di samping Bagas. Wajahnya terlihat kucel dan kusut. Dia baru saja bangun dari tidur siangnya. "Udah selesai berapa persen?" tanyanya penasaran sambil menatap ke layar laptop. Bagas mengambil gelas berisi air dan menenggak isi di dalamnya hingga habis untuk membasahi kerongkongannya yang terasa kering sebelum menjawab pertanyaan sang sahabat. "Baru 50%." Dwi manggut-manggut mengerti. Kedua matanya masih terus terarah ke layar laptop, memperhatikan step by step langkah yang dilakukan Bagas demi sesegera mungkin menyelesaikan 'projek khusus' yang sahabatnya itu peruntukan untuk seseorang. "Niat banget lo ya bikin ini projek. Yakin dia bakal suka?" goda Dwi. Bagas mengangkat bahunya. "Gue cuma pengen kasih sesuatu yang beda aja sama Sasmi. Masalah suka atau enggak ya gue serahin ke Sasmi entar," jawabnya dengan santai. Bagas benar-benar menikmati tahapan demi tahapan dalam pembuatan projeknya kali ini. Di dalam hati dia tentu berharap jika Sasmita akan menyukai 'hadiah kecil' yang dia rencanakan jauh-jauh hari itu. Delapan bulan lamanya Bagas sudah mengenal sosok yang sekarang suka hadir dalam pikirannya, malah hampir setiap saat. Tanpa sadar dia memang telah menaruh perasaan khusus dan penilaian tersendiri sejak pertama kali bertemu Sasmita di rumah Riana, istri Dion. "Lo kayaknya serius sama Sasmita ya? Lo benaran cinta sama dia?" tanya Dwi penasaran karena sang sahabat belum pernah menunjukkan sikap seserius ini pada perempuan lain sebelumnya. Cinta? Jujur Bagas bukanlah tipe pria yang menganut dan mempercayai adanya cinta pada pandangan pertama. Baginya sesuatu yang bernamakan 'cinta' membutuhkan waktu dan memiliki proses untuk dapat dipahami serta dirasakan karena dia ingin serius menjalani suatu hubungan dengan seseorang dan menjadikan pendamping hidupnya kelak, bersama-sama baik disaat suka maupun duka. Tapi dia juga tak bisa menampik jika sensasi aneh kerap kali menjalar hampir ke sekujur tubuhnya setiap berinteraksi dengan Sasmita. Apalagi saat perempuan itu tersenyum maka jantungnya akan berpacu melebihi batas normal. Dia tersenyum tipis. "Menurut lo gimana? Apa gue kelihatan pengen main-main?" tanyanya balik. Bagas tidak mempermasalahkan kekurangan fisik Sasmita karena dia berpikir semua manusia diciptakan oleh Tuhan dengan kelebihan serta kekurangan masing-masing, begitu juga dengannya. Dan Sasmita tetaplah sosok yang istimewa dan unik untuknya terlepas dari ketidaksempurnaan yang terdapat dalam diri perempuan itu. "Nah karena lo mau serius gue jadi heran. Gebetan lo kan banyak, Gas." Dwi menepuk bahu sang sahabat sembari memainkan alisnya, berniat menggoda. "Haha gue lagi pengen serius sama seseorang, khususnya Sasmita. Bosen gue main-main." Dwi spontan terbahak-bahak karena mendengar penuturan serius sahabatnya. "Ada roman-roman lo bakalan nyusul jejaknya Dion nih. Lo ada niatan nikah juga dalam waktu deket?" tanyanya. Bagas pun ikut tertawa. "Kalau Sasmita mau, gue sih oke-oke aja. Siap nikah kapan aja gue." "Belaga lo pengen nikah cepet! Emang lo udah diterima jadi pacarnya? Nembak aja lo kagak pernah," celetuk Dwi dengan gaya ceplas-ceplosnya tanpa memikirkan bagaimana perasaan sang sahabat yang sesungguhnya. Benar, Bagas belum pernah sekalipun mengungkapkan dan menyatakan di depan Sasmita. Bukan karena takut ditolak atau patah hati tapi dia hanya tak mau terburu-buru. Bagas ingin menikmati momen kebersamaan dengan perempuan itu secara natural dan apa adanya. Tanpa harus memaksa mengumbar sikap untuk semata-mata menunjukkan perasaannya. Perlahan tapi pasti adalah prinsip yang dipegang pria berusia 25 tahun itu Biarlah semua mengalir dengan sendirinya. "Butuh proses dan waktulah," kilah Bagas demi menjaga 'harga diri' di depan sang sahabat. "Makanya buruan lo tembak biar gak keduluan sama yang lain. Kalau Sasmita nerima lo, jangan diajak pacaran. Nikahin aja langsung. Terus program buat anak biar bisa nyalip si Dion," Dwi dengan semangat mengompor-ngompori. "Lo kira balapan mobil isi nyalip segala! Dari pada sok nasihatin gue, lo mending cari pacar biar kagak dicap terus sebagai jomblo lumutan," canda Bagas seraya memperlihatkan senyum jahilnya ke arah Dwi. "Dih ntar gue gebet Sasmita baru tahu rasa lo. Gini-gini pesona gue mantep buat naklukin cewek." "Kalau lo berani deketin Sasmita berarti lo siap-siap berhadapan sama gue," balas Bagas terdengar serius. Namun Dwi tak ambil pusing toh dia juga tak akan tega merebut seseorang yang dicintai sahabatnya itu. ................ Suara rintik air jatuh di luar sana yang semula tak terdengar kini berubah menjadi hujan lebat dan deras. Sasmita masuk ke kamar untuk mengambil sweater karena udara dingin mulai menyusup masuk melalui pori-pori kulitnya. Sasmita berdiri di depan lemari dengan sebuah tongkat yang menyangga tubuhnya. Dia memilih sweater berwarna biru muda motif garis-garis untuk dikenakan. Udara malam ini benar-benar terasa menusuk kulitnya. Sesungguhnya dia ingin sekali mengistirahatkan tubuhnya yang terasa lelah dengan berbaring di atas tempat tidur dan membungkus diri dengan selimut, namun Dipta tadi mengabari akan datang berkunjung. Sasmita melangkah dengan hati-hati keluar dari kamar setelah selesai melekatkan sweater tersebut pada tubuhnya. Ketika berjalan, kadang-kadang kakinya kaku serta sulit digerakkan. Atau yang paling parah adalah kram mendadak, karena tubuhnya suka sensitif dengan udara dingin. Saat sampai di ruang tamu dan berhasil mendudukkan diri di sebuah kursi panjang yang terbuat dari kayu, Sasmita lantas meluruskan kedua kaki ke depan serta menggerakkan jemari-jemari tangannya agar tidak semakin kaku. Tanpa sengaja peristiwa di mana sang kakak menampar pipinya tadi siang terbayang-bayang kembali, ditambah dengan u*****n dan kata-k********r yang diucapkan sang kakak, kian menambah rasa sesak di dadanya. "Jangan cengeng. Kamu harus kuat," ucap Sasmita pelan tanpa emosi. Wajahnya tak dihiasi ekspresi apapun. Dia memotivasi dirinya sendiri. Di satu sisi Sasmita percaya kekuatan yang paling mendasar dan ampuh untuk membangkitkan semangat merupakan kekuatan yang berasal dari dirinya sendiri bukan orang lain. Lamunan Sasmita terhenti ketika suara ketukan pintu tertangkap oleh indera pendengarannya. Dengan segera dia berdiri dan seperti biasa, mengambil tongkat lalu memasangkannya di tangan kiri. Setelah merasa nyaman, Sasmita mulai menyeiramakan gerak tongkat serta kakinya, melangkah perlahan-lahan menuju ke arah pintu. Cklek.... Hal pertama yang dilihat oleh Sasmita ketika pintu sudah sepenuhnya terbuka adalah rambut dan kemeja kotak-kotak warna biru tua lengan pendek Dipta yang sedikit basah, efek terkena air hujan. Senyuman tulus merekah di wajah sahabatnya. Secara refleks, dua sudut bibir Sasmita pun melengkung, membentuk senyuman yang hampir sama dengan Dipta. Perempuan itu kadang meman suka menggunakan topeng yang menunjukkan ekspresi tertentu untuk menyamarkan perasaannya agar tidak mudah tertebak oleh siapapun. "Maaf telat," ujar Dipta lembut. Dia berdiri di ambang pintu sambil melipat tangan di depan d**a karena hawa dingin yang kian menusuk kulitnya. Dipta mengatakan jika dia akan sampai di kediaman Sasmita sekitar jam delapan tapi nyatanya dia baru bisa menginjakkan kaki di sini pada pukul sembilan. "Lembur lagi?" tanya perempuan itu. "Biar cepat selesai, Sasi. Terus lanjut ke proyek berikutnya." Senyuman Dipta mengembang indah. Rasa lelah dan capek yang tadi mendominasi, perlahan-lahan sirna saat dia sudah bertatap muka dengan Sasmita secara langsung. Dipta memandang wajah perempuan itu yang tampak natural tanpa make up serta selalu mampu menjerat dan mengakibatkan jantungnya berdetak kencang. Sasmita sedikit menepi ke samping, memberi ruang supaya sang sahabat dapat masuk ke dalam. "Mandi dulu sana," perintahnya. Dipta mengangguk dan menuruti perkataan Sasmita. Dia memang kerap kali sengaja singgah untuk menumpang mandi dan makan malam karena lokasi proyeknya berdekatan dengan rumah perempuan itu. ............. Dipta keluar dari kamar mandi. Badannya terasa segar kembali setelah mendapat  guyuran air hangat. Bau dan lengket akibat keringat kini digantikan oleh harumnya aroma sabun cair dan shampoo yang tadi gunakannya saat mandi. Baru beberapa langkah dia berjalan, kedua mata Dipta menangkap sosok Sasmita yang sedang duduk di atas kursi meja makan. Degup jantungnya pun semakin bertambah manakala mereka bersitatap. Dia dapat melihat ukiran senyum tipis di wajah Sasmita. "Taruh pakaian kotor kamu dulu di keranjang," ucap perempuan itu pelan sambil menunjuk sebuah benda yang terletak di samping pintu kamar mandi. Alhasil Dipta kembali melangkah mundur guna menaruh pakaian kotor yang dia bawa di keranjang tersebut. Dengan cepat pula Dipta menggerakkan kakinya mendekati Sasmita lalu duduk di samping perempuan itu. Tatapannya tak bisa lepas dan terus memandangi wajah Sasmita yang tampak polos dan natural tanpa taburan bedak atau make up lainnya. "Belum makan kan?" Dipta menggelengkan kepalanya. Terakhir kali dia mengisi perutnya dengan nasi pada siang hari. Pantas saja cacing-cacing bergerilya bebas di dalam perutnya. Terkadang pekerjaan yang menumpuk membuat Dipta lupa makan, dia lebih mementingkan tanggung jawabnya dalam bekerja dibandingkan tubuhnya sendiri. "Cepat makan. Maaf cuma bisa masakin tumis jamur sama perkedel kentang," kata Sasmita tak enak. Seharusnya dia memasakkan makanan yang lebih bermutu untuk Dipta apalagi di hari ulang tahun sang sahabat. Sungguh sayang Sasmita tidak bisa menyiapkan menu spesial karena waktu yang mepet dan juga ketersediaan bahan-bahan masakan yang terbatas di kulkasnya. Bayangkan saja Dipta baru memberitahu jika dia akan berkunjung pada pukul delapan dan pria itu mengiriminya sebuah pesan tiga puluh menit sebelum janji 'kedatangan' yang dia tulis dalam pesan tersebut. Tapi Dipta malah tidak tepat waktu, molor satu jam dari janji yang dibuatnya. "Santai, Sasi. Aku makan apa aja yang kamu masak." Dipta mengalihkan pandangannya ke meja makan. Dia tersenyum puas. Tangannya terulur ke depan, menuangkan tiga sendok nasi ke piringnya. Dilanjutkan mengambil beberapa potong perkedel kentang dan tumis jamur. Dia mulai menyuap lalu mengunyah makanan tersebut di dalam mulutnya. Menu makanannya malam ini terbilang sederhana tapi Dipta tampak begitu menikmati karena rasa masakan Sasmita yang lezat serta pas di lidahnya. Ditambah dengan kehadiran perempuan itu dan menemaninya makan seperti sekarang, memuncahkan rasa bahagia tersendiri untuk Dipta. "Kamu enggak makan, Sasi?" tanyanya. "Udah tadi." "Enak ya dicuciin pakaian dan dimasakin sama calon istri," celetuk Dipta dengan nada bercanda. Dia menoleh ke arah Sasmita yang tampak tidak mengerti akan maksud ucapannya. "Calon istri? Maksud kamu?" Sungguh Dipta ingin tertawa sekarang juga akibat ekspresi polos yang ditunjukkan perempuan itu. Namun dia berusaha keras menahan tawa agar tidak tersedak. "Masa gak paham?" tanyanya balik. Sasmita hanya menggelengkan kepala tanda dia tidak bisa mengartikan atau menerjemahkan perkataan sang sahabat. "Ya udah biar kamu paham. Kita langsung nikah. Nanti status kamu enggak bakal 'calon istri' lagi tapi istri sah dari Dipta Aryasatya. Mau gak?" Sasmita seketika membelalakan kedua bola mata saat Dipta membisikkan kata-kata tersebut di telinga kirinya. "Enggak mau," jawab perempuan itu menolak. "Yakin?" Dipta kian menggoda. Tapi terpancar keseriusan dalam manik hitamnya yang tak dapat dia sembunyikan. "Lanjutin makan kamu. Jangan mikir yang aneh-aneh." "Ngajak nikah dibilang aneh. Ngungkapin perasaan dikatain bercanda. Sekali-kali tanggapin seriuslah, Sasi," Dipta berceloteh dengan bebas. Lagi-lagi terselip kode tersembunyi dalam ucapannya. "Cepet habisin makanan kamu. Jangan banyak omong," perintah perempuan itu. Dia tak merespon kata-kata yang dilontarkan Dipta. "Hadeh ngasih kode gagal mulu." Sesekali Dipta melirik Sasmita yang terlihat tengah memperhatikan gaya makannya. Bukan bermaksud 'kepedean' tapi dugaannya sering kali benar, jarang meleset. Dipta tetap melanjutkan acara makannya, memilih pura-pura tidak 'ngeh'. Di sisi lain, Sasmita memang sedang memperhatikan Dipta. Dia menyukai momen saat sahabatnya itu makan dan lahap menghabiskan masakan yang dia buat. Bersahabat kurang lebih selama delapan tahun, cukup baginya untuk mengenal bagaimana sifat Dipta. Dipta Aryasatya, nama lengkap sang sahabat. Sasmita selalu dapat merasakan ketulusan Dipta kepadanya. Dia sangat bersyukur karena Tuhan telah mengirimkan sahabat-sahabat yang mau menerima keadaannya yang penuh kekurangan. Mereka akan senantiasa bersedia membantu dirinya dalam kondisi tertentu seperti saat hendak menaiki anak tangga, berjalan di lantai yang licin atau memberi motivasi ketika ia berada dalam kondisi terpuruk sekalipun. Masih banyak kebaikan-kebaikan lain yang ia peroleh dari mereka. Sasmita tak ingin mengungkit terlalu dalam karena hal tersebut hanya akan membuat air mata menggenang di pelupuk matanya dan siap jatuh kapan saja tanpa mampu dia cegah. Sasmita tersentak manakala telapak tangan Dipta menangkup dan mengusap pipinya. "Ngapain melamun?" tanya sang sahabat yang diiringi tatapan teduh dan senyuman hangat. "Aku gak melamun," balas perempuan itu sembari menggelengkan kepala pelan. "Mau nambah lagi nasinya?" tanya Sasmita kemudian, berupaya mengalihkan topik pembicaraan.   Dipta tentu sangat tahu jika ada sesuatu hal yang disembunyikan darinya tapi dia tak ingin memaksa perempuan itu untuk bercerita atau berterus terang. Bukannya  tidak peduli namun Dipta ingin Sasmita sendiri yang menceritakan semua padanya tanpa harus dia minta atau paksa. "Udah kenyang. Masakan kamu enak. Besok harus masakin yang lebih enak lagi. Aku bakal mampir ke sini." Sasmita menyunggingkan senyum simpul dan mengangguk. "Datang aja. Aku akan masakkan makanan kesukaan kamu." "Makasih, Sasi." Tangan Dipta terangkat guna mengusap rambut Sasmita yang digerai. Dia juga menatap dalam perempuan itu ketika mata mereka saling bersinggungan. Sasmita lalu menurunkan tangan Dipta yang asyik bertengger dan memasangkan sebuah gelang 'handmade' di pergelangan tangan sang sahabat. Gelang tersebut sengaja dia buat khusus untuk Dipta. "Aku bingung mau beliin hadiah apa. Kalau kemeja, dasi, baju atau jam aku rasa kamu bisa beli sendiri dengan harga yang jauh lebih mahal dan berkelas daripada yang aku belikan nanti. Jadi aku putuskan untuk bikin gelang ini sebagai hadiah ulang tahun kamu." "Happy birthday, Dipta. Dipta Aryasatya." ucap Sasmita tulus disertai senyuman yang menghias wajahnya. Dan lagi-lagi tatapan mereka saling bertemu. Dipta tak mampu mengeluarkan suara atau membalas ucapan Sasmita. Dia terus memandang lekat-lekat ke dalam mata perempuan itu. Hening tercipta di antara mereka. Tak butuh waktu lama, tangan kanan Dipta sudah sukses melingkar di pinggang Sasmita. Dia lalu menarik perempuan itu ke dalam pelukannya. Dipta memejamkan mata dan membenamkan kepala di bahu Sasmita sambil mempererat dekapannya, seolah-olah dia memberi isyarat bahwa tak ingin melepas perempuan itu pergi dari sisinya. "Aku membutuhkanmu, Sasi." "Aku di sini," jawab Sasmita pelan. Dia hanya bisa pasrah berada dalam dekapan sang sahabat. Sebenarnya ia dan Dipta memiliki sisi kelam masing-masing yang ada hubungannya dengan keluarga. Mereka berdua sama-sama merasa kesepian, terasingkan bahkan kehadiran mereka mungkin sama sekali tak dianggap penting oleh keluarga mereka sendiri. "Makasih, Sasi. Aku membutuhkanmu. Aku mencintaimu," racau Dipta dikala kegundahan yang menghinggapi hatinya. Sasmita bungkam tak langsung menjawab. Sejak tiga tahun terakhir. Dia sering kali menerima pernyataan cinta dari sang sahabat. Awalnya dia menganggap semua hanya sebagai canda belaka. Namun semakin lama Sasmita pun sadar jika Dipta memang tulus dan serius mencintainya.  Di satu sisi, tak mudah bagi perempuan itu untuk dapat menerima perasaan cinta Dipta. Terlalu banyak pertimbangan yang berputar-putar di dalam pikirannya. "Aku tahu, Dipta.”  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD