04

3539 Words
Dengan pandangan terarah lurus ke depan disertai langkahnya yang tegap, Radika memasuki ruangan Wira. Pria itu tadi mengirimi Radika sebuah pesan yang berisi perintah untuk segera datang ke ruangannya karena ada hal penting yang ingin dia sampaikan. Radika langsung memutar knop pintu dan mendorong benda berbentuk persegi panjang tersebut ketika baru saja menginjakkan kaki di depan ruangan atasan sekaligus sahabatnya itu. Daun pintu pun terbuka, memperlihatkan sosok Wira yang tengah memeriksa beberapa dokumen di meja kerjanya. Wira yang menyadari kehadiran sang sahabat, kemudian dia memberi isyarat melalui gerakan kepalanya pada Radika untuk duduk di sofa. Wira menutup dan meletakkan dokumen yang sudah 15 menitan diperiksanya tersebut di atas meja. Dia melakukan perenggangan sejenak karena lehernya terasa kaku dan tegang. Setelah dirasa cukup, Wira bangkit dari kursi kerjanya dan melangkah mendekati Radika. Dia mengambil posisi duduk di samping sang sahabat. Berbeda dengan Radika yang menunjukkan ekspresi wajah serius walau belum terlontar sepatah kata pun dari mulutnya. "Arsa akhirnya setuju," Wira berucap. Pria itu mengarahkan pandangannya pada sosok sang sahabat yang tidak memberikan reaksi balasan secara langsung seperti dugaannya. Ada kebisuan yang melanda mereka dalam kurun waktu beberapa detik. Radika masih tak bergeming dan bungkam. Dia tidak sedang memikirkan segala sesuatu yang berat, termasuk pekerjaan. Tapi entahlah, dia terlalu malas meski hanya sekadar mengeluarkan satu atau dua kata sebagai tanggapan. Lagipula semua telah jelas dan hal tersebut cukup bagi Radika untuk menarik sebuah kesimpulan. Wira tentu mengerti dan paham betul akan karakter sang sahabat. Dia pun harus memutar otak guna mencari pertanyaan untuk memancing Radika agar mau bersuara atau menanggapi ucapannya. "Lo benar-benar yakin kan ingin ambil peran dalam pernikahan bisnis ini, Rad?" tanya Wira sedikit serius. Dengan gerakan cepat Radika menoleh ke arah Wira yang duduk di sebelahnya. Tatapan tajam dia layangkan namun Radika tetap bungkam, enggan menjawab pertanyaan yang diajukan sahabatnya itu. "Lo yakin nggak nikah sama Sasmita? Kalau orang nanya tuh dijawab. Lo kagak budeg 'kan, Rad? Perlu gue bawa lo ke THT?" Wira mulai geram dengan tingkah Radika yang sulit ditebak. "Kalau gue ragu gimana? Apa lo yang bakal nikahin dia?" Akhirnya Radika buka suara. Meski nada bicaranya terkesan dingin dan datar. Tapi dengan jelas Wira dapat menangkap ketidaksukaan, ah lebih tepat untuk disebut sebagai 'kecemburuan' dalam ucapan sang sahabat. Ya mungkin semua ada kaitannya dengan 'pujian' yang dia lontarkan untuk Sasmita kemarin saat berada di dalam mobil. Jika pun benar, sungguh Wira ingin terbahak-bahak melihat tingkah konyol dan kesensitifan sang sahabat yang kambuh hanya gara-gara Sasmita. "Ya kalau lo ragu biar gue aja yang nikah sama Sasmita. Kayaknya gue enggak bakalan rugi jugalah," jawab Wira disertai seringai yang sengaja dibuat untuk memanas-manasi sang sahabat. "Kalau itu mau lo, silakan," balas Radika dengan ekspresi muka datarnya. Demi apapun Wira sedang berusaha sekuat tenaga menahan tawanya agar tidak meledak. Dia jadi teringat dengan ucapan salah satu temannya yang pernah mengatakan bahwa seseorang bisa saja terlihat berbeda ketika sudah menyangkut hal-hal yang berbau 'cinta. Dan kini Wira mendapat bukti melalui sikap yang diperlihatkan Radika. "Yakin lo? Emang bakal sanggup lihat gue sama Sasmita nikah?" tanya Wira kian berupaya memanas-manasi sang sahabat. Radika tak menjawab, dia menutup mulutnya rapat-rapat. Pandangan Radika hanya lurus menatap ke depan. Ekspresi wajahnya juga datar seperti biasa hingga menyebabkan Wira sukar menebak perasaan serta emosi sahabatnya saat ini. "Sasmita perempuan yang setia ya 'kan? Gue rasa dia tipe yang polos juga. Menurut lo playboy kayak gue cocok kagak sama Sasmita yang polos? Gue pribadi sih merasa kurang tertantang. Dia pasti bakal pasrah-pasrah aja kalau gue apa-apain nanti pas udah nikah." Tanpa pernah Wira duga Radika menghambur mendekatinya lalu mencengkram erat kerah kemejanya dengan salah satu tangan. Kilatan amarah tampak jelas di kedua mata Radika. "Jaga omongan lo, Wir! Lo kira dia cewek apaan, hah?! Jangan harap gue akan biarin lo mainin atau nyakitin dia!" peringat Radika keras nan serius. Dia benar-benar tidak dapat mengontrol emosinya terlalu lama lagi. Wira yang merasa kaget dengan perlakuan yang baru saja diterimanya pun langsung melepas cengkraman tangan Radika dan mendorong tubuh sahabatnya dengan kasar supaya menjauh. Emosi Wira sedikit berhasil terpancing dengan ulah yang dilakukan Radika padanya. "Kalau lo nggak mau ada yang nyakitin atau mainin Sasmita ya lo jagain dia, Rad! Tadi kenapa lo bilang kalau lo ragu sama pernikahan ini?! Konsisten jadi orang! Jangan gengsi sama emosi aja lo gedein!" teriak Wira marah. Rahang wajah Radika masih mengeras. Tangan kanannya mengepal kuat. Gendang telinga Radika siap siaga dan selalu mampu mencerna dengan baik setiap kata pedas yang Wira peruntukan untuknya tersebut. "Kalau cinta kagak usah gengsi! Giliran dilirik orang lain lo panas sendiri! Lo bolehlah bohong di depan gue tapi ingat lo kagak bisa terus bohongin diri lo sendiri! Kalau lo kagak pengen Sasmita jadi milik orang lain ya lo harus milikin dia! Terima tawaran pernikahan ini," lanjut Wira dengan emosi yang mulai bisa dia redam. Lagi-lagi Radika tak menyahut. Dia larut dalam pikirannya sendiri. Tapi tak pernah sekalipun dia melewatkan patah demi patah kata yang dilontarkan Wira. "Sekarang mau lo gimana Rad? Ambil peran di pernikahan ini atau mundur? Gue butuh jawaban secepatnya," sang sahabat bertanya pada Radika. "Gue bakal nikahin Sasmi." .............. Bagas menuruni anak tangga dengan langkah santai sambil bersiul-siul. Suasana hatinya tengah bagus. Semua pekerjaan diselesaikan Bagas lebih awal, mengingat dia akan datang ke rumah Sasmita dan mengajak perempuan itu ke kafenya. Bagas telah merancang susunan acara yang ingin dia lakukan bersama Sasmita di sana, termasuk persembahkan projek serta mengutarakan perasaannya pada perempuan itu untuk yang pertama kali. Memikirkan rencana tersebut saja, sudah membuatnya ‘dag dig dug’. Apalagi harus mengutarakan secara live dan saling bertatap muka? Manik cokelat Bagas kini fokus dan terarah pada dua sosok pria yang tampak sedang serius berdiskusi. Dia lantas berjalan menghampiri sahabat-sahabatnya itu. "Kerjaan gue udah beres, ya," beri tahu Bagas. Dion dan Dwi mengangguk-anggukan kepala mereka berdua secara bersamaan seraya menatap sang sahabat dengan pandangan jahil. "Tau dah gue yang semangat karena mau kencan," sindir Dwi kemudian. Dia menaik-turunkan alisnya bergantian. Tawa Dion terdengar. "Orang lagi kasmaran biasalah," ucapnya ikut-ikutan menggoda sang sahabat. "Eh gimana potongan rambut gue yang ini? Keren sama rapi kagak?" tanya Bagas sembari memperlihatkan gaya potongan rambut yang dia pilih. Dion dan Dwi pun kompak memperhatikan tampilan rambut baru sahabat mereka dengan tatapan yang sengaja didramatisir. Tak berapa lama mereka tergelak. "Bagus dan cocok menurut gue. Tapi kagak ngaruh sama wajah lo. Kegantengan lo nggak meningkat, tetap sama aja di mata gue," jawab Dion blak-blakan. "Wkwkwk nah udah diwakilin jadi gue kagak perlu ngulang kalimatnya," Dwi menambahkan. Gelak tawa mereka kian terdengar puas setelah mengejek sang sahabat. "s****n lo berdua! Muka pada pas-pasan juga belagu!" balas Bagas tak mau terlihat kalah di hadapan sahabat-sahabatnya. "Hahaha yang penting gue udah laku. Punya istri dan anak," sahut Dion dengan nada bangga. Ekspresi mengejek terukir di wajahnya. "Ntar gue nyusul sama Sasmita," kata Bagas penuh percaya diri. Tawa Dwi mengeras. Di antara mereka bertiga, Bagas termasuk tipe yang jarang suka menonjolkan diri. Tapi kali ini berbeda, sahabatnya terlihat 'over confident'. "Haha emang Sasmita mau nikah sama lo? Belagak lo paling laku!" ceplos Dwi tak berperasaan. "s****n lo! Hahaha ya kan kagak ada salahnya gue nyoba dan berharap. Cinta harus diperjuangkan, Bro!" Bagas kian percaya diri namun tidak demikian dengan hatinya. Timbul ketidakyakinan. Tepuk tangan Dwi dan Dion menandai jiwa 'alay' mereka tengah kumat di usia yang bisa terbilang tidak remaja lagi. Setiap orang pasti memiliki sisi ‘alay’ tersendiri dalam dirinya masing-masing, termasuk mereka bertiga. "Jadi lo udah siap bertempur di medan perang, Gas? Hahaha." tanya Dwi disela tawanya. "Ya dong, gue selalu siap kapan aja." Dion berdiri lalu mendekati Bagas dan menepuk-nepuk punggung sahabatnya beberapa kali dengan cukup kencang. "Lo puasin dulu tempur di medan perang. Nanti pas udah resmi nikah lo giliran perang sama Sasmita di kasur." Otak m***m Dion mulai bekerja. "Wkwkwk widih perang di kasur mah mengasyikkan. Lo minta ntar tips-tips jitu sama si Dion. Dia 'kan lebih berpengalaman dari pada kita," Dwi menanggapi dengan ide nakal yang berkeliaran di kepalanya. Giliran Bagas yang tertawa. "Gue kagak perlu pasang strategi khususlah ntar pas perang sama istri. Biarin apa adanya. Natural lebih baik. Wkwkwk. Tinggal serang.” Dion dan Dwi pun terbahak-bahak mendengar celotehan Bagas yang memang juga mempunyai kadar kemesuman yang setara dengan mereka. "Gue pulang duluan, ya. Mau siap-siap jemput calon ibu anak-anak gue di rumahnya," ucap Bagas sambil memasukkan laptop miliknya ke dalam ransel. "Dih palelo ngaku-ngaku!" Dwi geli sendiri mendengar perkataan sang sahabat yang dibalas cengiran tak berdosa oleh Bagas. "Mandi yang bersih. Banyakin lo pakai parfum biar wangi dan Sasmita terjerat sama pesona lo," guyon Dion. Bagas hanya mengangguk dan mengacungkan jempol tangan kanannya. "Bagusan juga pesona gue," celetuk Dwi. "Iya gue tahu pesona lo emang bagus. Tapi pembuktiannya nol besar! Lo tetap jadi jomblo lumutan. Turunin dikit pesona lo supaya cepat dapat pacar," balas Bagas pedas. Dion terkikik senang. "Sekalian aja lo suruh si Dwi mandi kembang tujuh rupa pas malam Jumat Kliwon," ceplosnya dengan nada bercanda. "Wkwkwk bukan gue yang ngomong yah Dwi tapi Bapaknya Andra." Bagas menunjuk-nunjuk Dion yang berada di sampingnya. "Gue mah tahan banting sama bullyingan lo berdua!" Bagas dan Dion semakin terpingkal-pingkal. Apalagi ketika Dwi memasang ekspresi pasrah yang dibuat-buat di wajahnya, seolah-olah dia tengah menjadi korban pem-bullying-an berat sekaligus KDRT. "Jangankan di-bullying sama kita berdua. Ditolak sama puluhan cewek aja lo kebal," sindir Dion dan langsung mendapat timpukkan kertas dari sang sahabat. "Wkwkwk udah ya, gue cabut duluan," pamit Bagas sambil menggendong ranselnya lalu membalikkan badan dan bersiap-siap untuk pergi. Dion mengangguk pelan. "Tapi lo masih ingat alamat rumahnya Sasmita? Nanti lo malah nyasar." Bagas menghentikan langkah kakinya dan menoleh sejenak ke belakang, bermaksud membalas pertanyaan sang sahabat. "Paling ntar gue nyasar ke hati Sasmita bukan rumahnya." "Widih rayuan lo maut banget, Mas Bro! Lanjutkan perjuangan lo, Gas!" seru Dwi bersemangat. ...............................    Radika menatap intens layar handphone-nya, menampakkan sebuah pesan yang kirimkan oleh Wira melalui Line sekitar sepuluh menit yang lalu, di mana berisi nomor telepon yang sangat dia hafal bahkan di luar kepala. Dulu Radika sering menghubungi seseorang lewat nomor tersebut dan hampir tujuh tahun lamanya ia tak pernah melakukan komunikasi apapun dengan si pemilik nomor. Dia mengira nomor tersebut sudah 'non-aktif', tapi nyatanya tidak demikian. Radika menarik napas yang entah mengapa terasa semakin berat saja setelah menetapkan keputusan final yakni mengikat Sasmita dalam sebuah pernikahan. Benar, hanya pernikahan sandiwara nan palsu. Tidak seperti ikatan pernikahan pada umumnya. Tempo hari ketika dengan tegas Radika mengatakan di depan Arsa bahwa dialah pria yang akan menikahi Sasmita. Namun sekarang keraguan perlahan-lahan mulai muncul dan sukses mengakibatkan kepalanya pening tak karuan. Radika mengambil earphone yang tergeletak di atas meja lalu memasangkan benda tersebut di kedua telinganya. Dia lantas menyenderkan punggung dan juga kepalanya pada sandaran sofa. Sedangkan ibu jari tangan kanan pria itu memencet sebuah tombol yang menandakan panggilan keluar tengah dilakukan. Ya, Radika sedang menghubungi si pemilik nomor yang tak lain adalah Sasmita. Tut....tut....tut... "Ada apa?" suara lembut namun terkesan dingin terdengar dari seberang sana. Mata Radika terpejam seperkian detik, bayangan wajah Sasmita ketika berada di kafe saat mereka bertemu untuk pertama kalinya setelah sekian lama muncul dalam benaknya. Suara perempuan itu tak mengalami perubahan menurutnya. Hanya saja, terakhir kali mereka berdua terlibat dalam sambungan telepon yaitu tujuh tahun yang lalu. Malam itu Sasmita menghubungi dirinya sambil menangis dan meminta maaf atas tindakan kasar yang dilakukan Arsa padanya. Mendengar isakan perempuan yang dulu dia sangat sayangi bahkan mungkin cintai, membuat d**a Radika perih dan tersayat silet tajam. Bahkan rasa sakit yang ditimbulkan akibat pukulan Arsa tak separah saat dia mendengar tangisan pilu Sasmita. Tapi apa daya saat itu dia dan Sasmita hanya bocah SMA yang belum terlalu mengerti tentang arti cinta sesungguhnya. Radika belum memiliki keberanian untuk mempertahankan perempuan yang dicintainya karena menurut Arsa, dia sama sekali tidak pantas menjadi pendamping sang adik. Mereka berbeda jika dilihat dari segi strata social maupun ekonomi, Sasmita tergolong ‘berada’ sementara dia hanya berasal dari keluarga miskin. Arsa tak akan pernah sudi sang adik menjalin hubungan asmara dengan seseorang yang tidak sederajat secara status sosial dan ekonomi dengan keluarganya. Radika membuka kelopak matanya. Kedua tangan pria itu mengepal. Emosinya tengah tidak stabil. Kenangan antara dia dan Sasmita terus terbayang-bayang. Sungguh Radika ingin melupakan perasaan yang sekarang sepertinya siap menyiksa dia kapan saja. "Sasmita," gumam Radika nyaris tak bersuara.   Telepon masih tersambung di antara dirinya dan perempuan itu. Namun kebisuan terus menyelimuti mereka berdua sejak sambungan telepon terhubung untuk pertama kalinya sekitar 5 menit yang lalu. "Ada perlu apa? Maaf jika tidak ada yang ingin disampaikan, saya akan mengakhiri telepon ini." Sikap formal ditunjukkan Sasmita melalui gaya bicaranya. "Bisakah kita bertemu?" tanya Radika to the point dengan nada datar. "Untuk apa?" "Membicarakan pernikahan," jawabnya. Terdengar tarikan napas Sasmita di ujung sana. Banyak pertanyaan yang sesungguhnya ingin ia tanyakan pada perempuan itu namun egonya tak mengizinkan. "Kapan?" "Sesegera mungkin." "Baik. Atur saja waktu dan tempat untuk membicarakan pernikahan bisnis ini. Saya akan datang. Maaf saya harus mengakhiri sambungan telepon ini." Tut...tut...tut.... Sambungan telepon diputus secara sepihak oleh Sasmita. Radika kembali memejamkan kedua matanya. "Ckckck pernikahan bisnis?" decaknya pelan. …………… Dipta melirik sekilas arloji yang melingkar di pergelangan tangan kirinya menunjukkan tepat pukul tujuh malam. Sudah hampir 30 menit dia duduk sendirian, menunggu kedatangan sohibnya yang tak juga menampakkan diri.  Mereka berdua membuat janji bertemu di sebuah kafe untuk membicarakan rencana kerja sama yang hendak mereka lakukan. Karena merasa bosan, Dipta mengutak-atik handphone-nya dan sesekali mengecek chat di Line yang ia kirimkan sekitar dua jam lalu belum dibalas juga oleh Sasmita. Dipta tidak menaruh curiga apapun walau kekhawatirannya kerap kali muncul saat perempuan itu tak memberikan kabar dalam kurun waktu yang cukup lama. Dan mungkin nanti malam dia akan menelepon Sasmita jika pesannya tidak juga mendapat balasan. “Maaf gue telat,” ucap seseorang bersamaan dengan tepukan kecil yang dirasakan Dipta di pundaknya. “Kebiasaan lo nggak pernah berubah dari dulu. Aldi sang raja telat,” ujar Dipta seraya menoleh ke arah sohibnya. Sedangkan Aldi tampak sibuk sendiri mencari posisi nyaman dan pas untuk duduk.   “Terus lo si Dipta Aryasatya, mahasiswa teladan yang jadi favorit kebanyakan dosen pas kuliah. Gue mah bukan tandingan lo, Dip.” Dipta menggeleng kecil dan terkekeh. Mereka berdua memang suka melempar ejekan satu sama lain sejak di bangku kuliah. Meski jarang bertemu, ia dan Aldi masih akrab layaknya sohib karib. “Mau pesan minuman apa lo, Di?” tanya Dipta ketika seorang pelayan sudah berdiri di depan meja mereka. “Terserah lo aja. Lagi pusing kepala gue abis ketemu klien yang cerewet.” Dipta membuka buku menu yang diberikan si pelayan. “Kami pesan dua Cappucino Float, Mbak.” Pelayan laki-laki itu dengan gesit mencatat minuman yang pesan oleh Dipta. “Ada lagi?” tanyanya. Dipta menggelengkan kepala dan memamerkan senyuman tipis ke arah si pelayan. “Kalau begitu saya permisi dulu,” ucap pelayan itu sembari melangkah mundur lalu melenggang pergi. Di sisi lain. Aldi mengeluarkan sebuah dokumen dan meletakkan benda tersebut di atas meja, tepat di hadapan Dipta. “Eh Dipta, lo baca baik-baik dulu dokumennya  biar lo dapat gambaran yang jelas mengenai bisnis yang akan kita jalani.” Dipta mengambil dokumen tersebut lalu membaca isinya dengan ekspresi wajah serius. “Tentu, gue gak pengen rugi sama bisnis yang lo buat.” Baik teman, rekan bisnis atau keluarga  sering memanggil pria yang baru menginjak usia 26 tahun itu dengan nama aslinya yaitu Dipta bukan Vio. Sedangkan julukan alias nama khusus Vio diberikan oleh Riana dan Sasmita ketika duduk di bangku SMA. Mereka berdua adalah perempuan yang telah dia anggap sebagai sahabat sekaligus saudara, khususnya Riana.  Dipta ingin menekankan sekali lagi jika sejak awal dia menganggap Sasmita bukan sekadar sahabat saja melainkan seseorang yang memiliki ruang tersendiri di hatinya. “Tenang, kalau pun ada rugi nggak bakalan banyak. Lagian duit lo kan bejibun, ambil proyek villa terus. Sesama arsitek lo bagi-bagilah ke gue dikit. Gue lagi sepi nih makanya beralih ke bisnis lain.” “Gue belum dapat proyek lagi. Bejibun dari mana? Sebagian keuntungan udah gue gunakan untuk bayar bunga utang di bank,” sahut Dipta masih menitikberatkan fokusnya pada lembaran demi lembaran kertas dokumen yang tersusun cukup tebal. “Punya utang juga lo? Orangtua lo 'kan kaya, Dip.” “Masalah punya utang jadi urusan gue sendiri, enggak ada kaitannya sama kekayaan orangtua gue.” Terdengar nada tak suka dalam ucapan Dipta, apalagi sudah merembet dan membawa embel-embel keluarganya. Baru saja Aldi hendak membalas ucapan Dipta, tiba-tiba datang seorang pelayan perempuan berparas ayu sembari membawa nampan yang berisi minuman pesan mereka. Setelah menaruh dua gelas berukuran sedang di atas meja, pelayan itu pun pamit. “Cantik juga tuh cewek,” komentar Aldi memuji.  Dipta melirik sejenak ke arah pelayan kafe yang mulai jalan menjauh. “Lumayan. Lo tertarik?”  “Kagak. Gue tertariknya sama Sasmita,” goda Aldi yang langsung mendapat tatapan cukup tajam dari Dipta. “Canda gue. Sensitif amat sih lo, Dip.” Dipta lalu menutup dokumen yang sedari tadi dia baca. “Gue setuju dengan kerja sama yang lo tawarkan,” putus pria itu tanpa pikir panjang.  “Nanti modalnya baru bisa gue transfer sekitar dua minggu lagi. Nunggu uang proyek cair dulu,” lanjut Dipta memberi tahu. Aldi mengangguk paham. “Santai aja. Gue masih ada modal, Dip.” Dipta tak menjawab dan hanya melengkungan senyum tipis di sudut kiri bibirnya. Dia lantas meraih gelas berisi penuh Cappucino Float dan menengguk secara perlahan guna membasahi kerongkongannya yang terasa kering. “Lo bawa rokok?” tanya Aldi karena stok benda tersebut tak ada lagi di dalam kotak yang dia pegang. Dipta menggeleng seraya menaruh kembali gelas yang isinya telah tandas seperempat di atas meja. “Gue lagi coba enggak merokok. Sasi minta gue buat berhenti,” jawabnya kemudian. “Minum?” “Jarang. Udah enam bulan gue gak minum vodka atau bir. Diganti pakai teh anget. Kata Sasi lebih bermanfaat.”  Aldi pun berdehem dan memainkan alis kanannya dengan tujuan menggoda sang sahabat. “Enak ya ada yang merhatiin,” celetuknya. “Waktu ini kondisi gue sempat drop mungkin karena gue kelelahan ngurus proyek dan lembur. Pas sakit, Sasi yang ngerawat gue.” Pikiran Dipta menerawang, memutar kembali bagaimana Sasmita senantiasa menemani serta merawat dirinya yang jatuh sakit, sebulan lalu. Ekspresi marah dan kesal yang ditunjukkan perempuan itu masih tercetak dengan jelas di benak Dipta saat mengetahui dirinya yang belum dapat terlepas dari rokok serta minuman beralkohol.  Pernah, ya Sasmita pernah mengabaikan teleponnya dan menjauh beberapa minggu karena dia ketahuan berbohong serta minum di sebuah bar bersama rekan-rekan bisnisnya. Hal tersebut membuat Dipta merasa sangat bersalah. Namun pada akhirnya Sasmita mau memaafkan dirinya. “Hubungan lo sama dia gimana? Perasaan lo belum diterima juga, Dip?” tanya Aldi penasaran. “Monoton. Sasi tetap aja nganggap perasaan gue cuma bercandaan,” jawab Dipta dengan nada dan raut wajah serius. Tatapannya mengarah ke depan. “Kalau Sasmita terus-terusan nganggap lo bercanda. Gimana kalau lo langsung samperin keluarganya aja?” saran Aldi. Dahi Dipta berkerut dan kedua alisnya naik secara bersamaan. Dia tidak mampu memahami bahkan tak bisa mengambil poin utama dalam perkataan sang sahabat.  “Lo beneran pengin menjalin hubungan serius sama Sasmita ke depannya kan?” “Iyalah gue serius. Gue bahkan pernah ngajakin Sasi nikah. Bukan dikasih jawaban sama Sasi, gue malah dibilang kurang sehat.” Nada miris mengiringi setiap kata yang Dipta lontarkan. Aldi pun terbahak-bahak dibuatnya.  “Hahaha tuh ketawa 'kan gue,” ucap sang sahabat.  Dipta tak berkomentar. Dia memilih diam dan menyeruput minumannya. “Kalau lo emang beneran ingin ngajak Sasmita nikah. Saran gue nih ya, mending lo temuin keluarganya. Bilang niatan lo dengan serius di hadapan mereka. Gimana?” Aldi ngutarakan sarannya. “Boleh juga ide lo,” jawab Dipta seraya memikirkan perkataan sahabatnya. …………. Bagas menyunggingkan senyum saat mendapati seorang perempuan keluar dari dalam taksi, dengan gerak cepat dia segera berjalan mendekat ke arah perempuan itu. Kedua bola mata Bagas tak bisa lepas untuk memandang sosok yang tidak lain adalah Sasmita. Jantung Bagas tiba-tiba saja berdegup lebih kencang manakala perempuan itu memperlihatkan sebuah senyuman yang entah sejak kapan menjadi hal istimewa yang dia nanti ketika bertemu dengan Sasmita. Tak ada yang ingin memulai pembicaraan ketika mereka telah bersitatap, hanya senyum yang tampak kian melengkung di bibir mereka masing-masing. Melalui gerakkan kepala Bagas mempersilahkan Sasmita masuk ke dalam kafe. Perempuan itu mengangguk kemudian melangkahkan kaki dan tongkatnya bersamaan. Bagas memperhatikan setiap  gerakkan yang dilakukan Sasmita. Tapi dia berusaha untuk tidak menunjukkan secara gamblang.  Mereka berdua berjalan beriringan. Hening masih menghinggapi dan urung pergi juga, meski kecanggungan tidak dirasakan oleh keduanya.  Tapi tetap saja efek tak bertatap muka selama sebulan membuat mereka  khususnya untuk Bagas bingung mencari topik yang pas, apalagi di tengah kerja jantungnya yang tidak stabil dan rasa gugup yang kian menyerang. “Perlu bantuan?” tawar Bagas seraya menoleh ke arah Sasmita. Mereka tengah berdiri di depan undakan atau tangga. Perempuan itu mengangguk pelan. Bagas langsung menguluran tangan kirinya. Sensasi aneh merasuki dan menjalar  hampir ke seluruh tubuhnya tatkala telapak tangan mereka saling menempel serta bersentuhan. Bagas lantas menggenggam tangan hangat perempuan itu, berbanding terbalik dengan tangannya yang terasa dingin akibat rasa gugup yang melanda sedari tadi. Di sisi lain tanpa mereka sadari, sepasang mata tengah mengamati aksi cukup ‘mesra’ yang mereka pamerkan dari kejauhan, namun masih berada di tempat yang sama dengan mereka.   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD