29. Tamu yang Keras Kepala

1051 Words
Suasana tegang menyelimuti kamar tempat Siti dan Laila berada. Siti tak percaya dengan kelakuan para pelayan istana yang membuang pakaiannya tanpa izin. "Apa kau pikir aku bisa pulang ke rumah tuanku dengan pakaian mewah seperti ini?" protes Siti dengan nada sedikit tinggi. Dia memandangi Laila yang sedari tadi hanya menunduk, tidak tahu harus menjawab apa. "Apa yang akan orang-orang katakan tentangku?" "...." Laila ketakutan karena tak tahu harus menjelaskan seperti apa. Baru kali ini hal yang biasanya lancar- lancar saja justru menjadi begitu rumit. "Maafkan aku Laila, aku tak bermaksud membuatku takut. Sekarang, tolong berikanlah pakaian pelayan padaku agar aku bisa pulang tanpa masalah," pinta Siti yang kini merendahkan suaranya. Mengharap Laila agar memahami kesulitannya saat ini. "Baiklah, saya akan meminta bantuan kepada kepala pelayan," ucap Laila yang sudah menyerah untuk membujuk Siti. Tujuan Laila untuk memanggil kepala pelayan adalah untuk membujuk Siti agar setuju dengan prosedur yang ditetapkan oleh pangeran. Bukan untuk membantu memenuhi keinginan tamunya yang keras kepala. Tak lama kepala pelayan pun segera datang menemui Siti untuk menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya. Laila beringsut mundur, hanya menyaksikan bagaimana wanita paruh baya itu berusaha meyakinkan Siti. Dalam hati, Laila heran mengapa ada orang yang tidak suka diberi pakaian bagus dan perhiasan yang indah. Bukankah dia adalah seorang pelayan juga? Kepala pelayan kemudian mengatakan kepada Siti bahwa itu semua adalah keinginan Pangeran Yusuf. Bukan kesalahan Laila. Pakaian Siti memang sengaja dibuang karena akan digantikan dengan yang lebih baik. "Saya mengerti bahwa Anda ingin menghormati tamu. Namun, seharusnya Anda bertanya dulu, karena pakaian tersebut adalah milikku. Tentu kalian tidak bisa sembarangan membuangnya. Karena dengan melakukan ini, berarti kalian telah melanggar hakku sebagai seorang tamu," sanggah Siti lagi. Dia masih tidak terima dengan perlakuan penghuni Istana Yasmin padanya. "Sudahlah, sebagai gantinya, tolong berikan pakaian pelayan kepadaku." "Maaf, Nona. Anda tidak bisa memintanya. Pakaian yang disediakan untuk tamu, hanya yang disediakan di kamar ini saja," jelas kepala pelayan dengan tenang sambil menunjukkan deretan pakaian yang disediakan untuknya. Namun, Siti tetap bersikeras untuk membawa pakaian yang paling sederhana saja. Dia tidak sanggup bila harus menghadapi pandangan keheranan orang-orang di rumah tuannya dan menimbulkan gosip yang bukan-bukan tentangnya. "Nona, saya mengerti Anda masih begitu muda. Tapi saya tidak ingin berurusan dengan sifat Anda yang keras kepala dan kekanak-kanakan," tegas kepala pelayan kepada Siti. Menurut kepala pelayan tersebut, idealisme Siti terlalu berlebihan dan akan mengundang masalah suatu hari nanti. "...." "Saya tidak bermaksud kasar kepada Anda. Tapi ada kalanya Anda harus mengalah," ujar kepala pelayan tersebut. "Saya tidak tahu bagaimana Anda dibesarkan sampai memiliki sifat seperti ini. Tapi percayalah, untuk kebaikan semua orang, kali ini Anda harus menurut." "Saya berbuat seperti ini karena memikirkan kebaikan semua orang." Kalimat Siti terdengar tegas walau tanpa bentakan. "Apa yang akan dipikirkan orang lain bila saya pulang dalam keadaan begitu berbeda dengan kondisi awal? Bukankah orang akan berpikir hal yang tidak baik tentang Pangeran Yusuf?" tambah gadis berwajah Melayu itu dengan yakin. Kepala pelayan pun terdiam mendengar penuturan Siti. Dia tidak menyangka akan sejauh ini Siti memojokkan argumennya. Semua yang dikatakan oleh Siti ada benarnya. Apa boleh buat, mungkin memang sudah seharusnya kepala pelayan memberikan pakaian yang diinginkan Siti. 'Namun, bagaimana bila Pangeran Yusuf tahu dan marah kepada mereka? Mengapa tidak bisa membujuk seorang gadis untuk sekadar mengenakan pakaian yang beliau inginkan?' gumam kepala pelayan di dalam hati. Dia sedang menimbang mana yang harus dilakukan. Hal yang terbaik, tentu dengan meminta Siti menghadap kepada Pangeran Yusuf sendiri untuk bernegosiasi. Namun, bila sampai terjadi, hal ini akan menjadi bukti nyata ketidakbecusan para pelayan dalam bekerja menunaikan perintah. Kepala pelayan pun tiba-tiba tersenyum karena mendapatkan ide, "Sebenarnya Pangeran Yusuf tidak hanya meminta agar kami memberi Anda pakaian yang layak. Namun, kami juga harus memberi hadiah berupa perhiasan mahal untuk Anda. Apakah Anda juga akan menolaknya?" Kepala pelayan saat ini merasa di atas angin. Pasti Siti tidak akan bisa menolak keinginannya kali ini. Akan didesak tamu kecilnya dengan berbagai cara agar mau menurut dan tidak menimbulkan masalah untuk para pelayan. "Sudah kubilang aku akan menolaknya. Tentunya dengan alasan yang sama seperti sebelumnya." Siti bersikukuh dengan pendiriannya. Dia juga tahu bahwa kepala pelayan sedang mendesaknya. Namun, kepala pelayan tidak kehilangan akal. Beliau meminta Siti untuk memilih setidaknya salah satu saja. "Bagaimana bila Anda pulang dengan mengenakan pakaian yang Anda pakai sekarang ini. Kemudian saya akan membawakan kotak kosong seolah-olah berisi perhiasan di dalamnya." Kepala pelayan tersenyum karena merasa telah menemukan solusi. Dia juga berfikir setidaknya akan memberikan satu perhiasan kecil di dalam kotak tersebut tanpa sepengetahuan Siti. Dengan demikian, semua keinginan Pangeran Yusuf akan terpenuhi tanpa perlawanan dari Siti. "Bila Anda berpikir bahwa saya akan menurut, Anda telah salah besar. Saya tahu apa yang ada dipikiran Anda saat ini." Ucapan Siti terdengar datar, namun menyatakan perlawanan yang nyata. Seolah menuduhkan bahwa kepala pelayan akan berbuat tak adil padanya. Kepala pelayan dan Laila terkejut dengan jawaban Siti yang dinilai terlalu kasar kepada seorang pelayan senior. Walaupun memang benar bahwa kepala pelayan berniat untuk mencurangi Siti, seharusnya dia tidak menyatakan dengan terbuka seperti itu. "Coba pikirkanlah, Pangeran Yusuf tidak akan mengetahui bahwa saya pulang memakai pakaian pelayan biasa dan tidak membawa perhiasan apa pun." Siti melanjutkan perkataannya tanpa mempedulikan apa yang ada di benak dua orang pelayan di hadapannya. "Ingatlah, saya hanya seorang pelayan dari kediaman Tuan Khalid. Tidak mungkin beliau memperhatikan hal seremeh ini." Siti melanjutkan penuturannya dengan suara rendah untuk menyentuh hati kedua pelayan di hadapannya. Memang benar apa yang dikatakan Siti. Tidak mungkin Pangeran Yusuf akan mempermasalahkan hal ini bila Siti memang menolaknya. Kepala pelayan juga merasa dapat menjelaskan hal ini kepada pangeran Yusuf nanti. Bila itu menyangkut reputasi dan nama baik pangeran sendiri, tentu beliau akan merasa maklum. Lagipula, semua argumen yang disampaikan Siti adalah hal yang masuk akal. Sepertinya pangeran akan dengan mudah menerimanya. "Baiklah. Saya akan membantu Anda kali ini." Kepala pelayan membisikkan sesuatu ke telinga Laila, menyuruhnya untuk segera mengambil pakaian cadangan untuk pelayan istana. Namun, baru melangkah beberapa meter menuju pintu keluar, Laila terperanjat karena melihat sesuatu yang tidak diharapkan oleh siapa pun. Kedua tangannya menutup mulut dengan mata yang terbelalak karena tidak percaya dengan apa yang sedang terjadi. "Ada masalah apa? Mengapa begitu lama?" Dia melihat sang Pangeran dan Tuan Ali berdiri menunggu di depan kamar Siti. "...." "Bolehkah aku masuk?" Pertanyaan Pangeran Yusuf, bagaikan pertanyaan retoris karena hanya dijawab dengan anggukan dari Laila.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD