30. Magnet

1342 Words
Sang Pangeran memasuki kamar begitu mendapat jawaban dari anggukan Laila. Beliau melangkah dengan angkuh dan murka karena merasakan penolakan berkali-kali. Sedangkan Tuan Ali tidak mengerti mengapa dirinya membuntuti sahabatnya ke kamar tamu wanita. Terdengar begitu tak pantas dan tidak bermartabat. Namun, tentu tidak ada pilihan lain, karena bila dia tidak ikut, takut akan timbul gunjingan di kalangan pelayan. Akan berbahaya sekali bila sampai terdengar oleh Raja Yazid. Sebenarnya Tuan Ali merasa bahwa sahabatnya sedang terjangkit sesuatu yang tidak seharusnya. Ketertarikan yang berlebihan kepada rakyat jelata dari negeri asing. Entah karena iseng, atau penasaran. Yang jelas, efek buruknya sudah mulai terlihat. Suasana hati sahabatnya yang kacau balau, adalah bukti yang terbesar. Kadang santai, terkadang juga marah. Sekali waktu berusaha menghindar seperti tadi di tempat latihan anggar, kemudian mendekat lagi seperti saat ini. Beliau tersenyum getir, membayangkan akan ada cerita semacam Cinderella lagi setelah seratus tahun lamanya vakum. Dulu tentang Al-Mohsen yang menikahi Putri Raja. Sekarang jangan-jangan .... 'Tidak mungkin!' gumam Tuan Ali dalam hati sambil menggelengkan kepalanya keras-keras. Wajahnya yang tampan dan gagah, kini terlihat memelas. Seperti seorang pemuda yang diajak menonton film romantis oleh gadisnya. Kali ini Tuan Ali bertekad untuk tidak ikut campur. Beliau hanya akan menonton saja karena yakin bahwa cerita selanjutnya pasti bukan tentang perekonomian negara. Menjadi roda ketiga dalam drama ini, sudah cukup buruk untuk beliau. "Aku tidak mengerti kenapa mobil untuk Siti tidak segera berangkat. Ternyata kalian masih berdebat di sini!" Air muka Pangeran Yusuf terlihat tidak senang. Beliau menatap kedua pelayan dan Siti secara bergantian. Belum ada tanda-tanda urusan mereka akan beres dengan segera. "Apakah memang begitu lama waktu yang dibutuhkan untuk berkemas?" Tak seperti yang dibayangkan oleh Siti dan para pelayan. Ternyata Yang Mulia Pangeran Yusuf mempedulikan tentang Siti. Beliau tidak mengabaikan tamunya dan membiarkannya pergi begitu saja. Dalam hati, kepala pelayan dan Laila sangat bersyukur karena mereka berdua masih selamat. Andai saja Pangeran Yusuf tidak segera datang, pasti rencana mereka untuk menuruti kemauan Siti akan ketahuan. Saat yang sangat buruk pastinya karena pada detik itu, penjelasan seperti apa pun pastinya tidak akan didengar oleh Yang Mulia Pangeran. "Sebenarnya apalagi yang kalian permasalahkan?" Pertanyaan Pangeran Yusuf terdengar tidak membutuhkan jawaban lain selain kejujuran. Percuma menutupi karena sebenarnya beliau telah mendengar hampir seluruh percakapan antara Siti dan kepala pelayan. "Aku mendengar kalian beradu argumen tentang sesuatu. Adakah yang bisa menjelaskan ulang dengan ringkas, apa hasil diskusi kalian?" "...." Tidak terdengar jawaban baik dari Siti maupun para pelayan. Semua tertunduk memikirkan apa yang hendak mereka katakan sebagai jawaban yang aman untuk semua pihak. "Bukankah aku sudah memerintahkan dengan jelas? Berikan dia pakaian yang layak dan hadiah yang cukup!" bentak Pangeran Yusuf di dekat Laila, yang tentu saja membuat pelayan muda itu berjingkat sedikit karena kaget. "Apakah ada yang kurang jelas dari perintahku?" Laila dan kepala pelayan menunduk, tidak berani mengatakan apa pun. Harapan yang tadinya masih ada, sekarang seakan musnah karena Yang Mulia Pangeran Yusuf telah murka. Siti yang tidak tega membiarkan kedua pelayan malang itu menanggung akibat dari perbuatannya, memberanikan diri untuk angkat bicara. "Ini bukan kesalahan mereka, Yang Mulia. Ini murni kesalahan saya karena menolak semua hal yang telah Yang Mulia perintahkan," bela Siti agar sang Pangeran tidak meluapkan amarahnya kepada kedua pelayan yang sedang tidak beruntung. Jangan sampai mereka berdua dihukum karena kenekatannya. "Kami tidak memarahi tamu," jawab Pangeran Yusuf lugas. Sepertinya beliau lupa bahwa yang beliau lakukan kepada Siti jauh lebih buruk daripada sekadar memarahi tamu. "Namun status saya juga pelayan Tuan Kha—" "Kalau aku yang mengundang, tidak peduli derajat dan kedudukannya di masyarakat, harus tetap diperlakukan sebagai layaknya tamu." Sanggahan Pangeran Yusuf terdengar bijak dan bermartabat. Membuat Siti lupa bahwa yang berdiri di hadapannya adalah seorang calon pemimpin yang kekanak-kanakan. Siti menghela napas panjang. Dia menunduk, memikirkan ulang apakah harus berusaha melobi Sang Pangeran, ataukah menurut saja. Jemari tangannya saling meremas, basah oleh keringat dingin. "Saya datang ke sini tanpa membawa apa pun. Tentu saya tidak bisa pulang dengan riasan glamour seperti ini," terang Siti dengan suara pelan. Setengah meragukan keputusannya untuk bernegosiasi dengan sang Pangeran. "Takut akan terjadi isu yang tidak diharapkan baik tentang saya maupun yang lain." "Yang lain siapa? Aku? Ali?" tanya Pangeran Yusuf dengan sangat sinis. Beliau tentu sudah tahu siapa yang dimaksudkan Siti. "Iya." Siti menyahut dengan lemah seolah dia belum makan siang. Energinya terkuras karena ketegangan yang menyelimuti suasana kamar. "Kamu pikir, dirimu hidup di negara mana? Aku penguasa di sini. Siapa yang berani menggunjingku?" bentak Pangeran Yusuf dengan sangat angkuh. Pangeran Yusuf lupa akan satu hal. Sekalipun beliau tidak dilibatkan dalam gunjingan, pastinya Siti akan tetap dianggap sebagai w*************a atau semacamnya. Nasib tidak adil yang sering terjadi pada perempuan yang dianggap sebagai perusak rumah tangga wanita lain. Publik hanya akan menyerang si perempuan dengan tanpa ampun, sedangkan pihak lelaki pasti aman dari hujatan. Belum lagi, apa nanti yang akan dikatakan Tuan Khalid? Sementara masih segar di ingatan Siti bahwa semalam sang Tuan marah besar karena mengira Siti sedang mendekati Ahmed. Maka dari itu, Siti memaksakan diri lagi untuk membuka suara. Berkali-kali berdialog dengan putra Raja Yazid seolah membuatnya menjadi terbiasa. Karena itulah, saat ini, keluar kalimat yang begitu berani dari bibir mungil Siti, "Namun, hal seperti itu tetap tidak baik bagi Yang Mulia, bukan? Seorang calon pemimpin seharusnya menjaga nama baik di hadapan rakyat." Tak hanya Siti yang mulai terbiasa membantah sang Pangeran muda. Beliau pun kini seperti telah terbiasa dengan penolakan dan kalimat sanggahan dari Siti. "Aku tahu ini bukan tentangku. Berhentilah berpura-pura," kata Pangeran dengan sinis. Seolah bisa menebak isi kepala Siti, beliau melanjutkan, "Aku tidak suka orang yang membungkus misi pribadinya dengan kata-kata manis. Kamu melakukan ini karena tidak ingin mendapatkan gunjingan buruk tentang dirimu sendiri, 'kan?" Siti menelan ludah. Memutuskan untuk jujur saja. "Saya memang melakukan ini demi menjaga nama baik diri saya sendiri. Namun, tentu Yang Mulia akan mendapatkan manfaat juga. Anggap saja ini semua demi kestabilan pemerintahan. Karena tidak selamanya masyarakat akan berdiam diri, bertahan di bawah kekuasaan pemimpin yang karakternya tidak sesuai dengan keinginan mereka." Perkataan Siti ada benarnya. Sudah banyak contoh yang terjadi di berbagai negara lain. Runtuhnya sebuah negara monarki atau penguasa tiran, biasanya disebabkan oleh perlakuan seorang raja atau penguasa yang tidak adil dan dinilai tidak layak untuk memimpin. Rakyat sekarang tentu dikhawatirkan memiliki pandangan berbeda tentang sistem monarki. Selama dipandang tidak menguntungkan, mereka pasti akan memilih sistem lain yang tampak lebih baik, tanpa berpikir ulang. Tergantung siapa yang menggerakkan mereka pada saat itu. Suatu pilihan bijak tentunya, bila memilih untuk menjaga nama baik keluarga kerajaan karena pasti akan selalu disorot oleh masyarakat. Baik dari kalangan terpelajar, pemuka masyarakat, maupun rakyat biasa. Melindungi diri dari gosip, berarti tidak perlu membuang energi untuk membungkam publik lantaran adanya skandal yang mencoreng nama baik kerajaan. Tindakan pencegahan, akan selalu lebih baik daripada tindakan pengobatan. Semua terdiam, hening tetapi tak mencekam. Terasa aura kekalahan–yang lagi-lagi melanda sang Pangeran. Namun, kali ini, sepertinya Pangeran Yusuf tidak akan mengalah begitu saja. Beliau merasa tak mengapa sekali-kali tidak menuruti perkataan gadis jelata yang bermulut tajam ini. Untuk apa memiliki kekuasaan bila tidak dimanfaatkan? "Aku akan lebih malu bila tamuku pulang dengan tangan kosong," pungkas beliau dengan penuh ketegasan. "Aku tidak akan menjamin keselamatan kedua pelayan ini bila kau menolak lagi." Mengisyaratkan untuk segera keluar dari kamar, Pangeran Yusuf dan Tuan Ali segera berjalan menuju pintu keluar. Kedua pria tampan itu berjalan beriringan. Badan mereka yang tegap dan tinggi, memberikan efek dramatis dalam setiap langkah keduanya. Namun, Siti dan kedua pelayan yang tadinya sudah merasa lega, dibuat kaget kembali karena tiba-tiba sang Pangeran berhenti, menatap tajam ke arah Siti seraya berkata, "Lagipula, bila ada gunjingan tentangku dan dirimu, kurasa ... aku tidak terlalu keberatan." Oh, kontan saja, semua yang mendengar pernyataan Pangeran Yusuf, merasakan mukanya memanas karena malu. Muka Siti yang tadinya pucat ketakutan, kini merona kemerahan karena malu. Kedua pelayan yang tadinya cemas, kini kompak menutup mulut agar tidak bersorak dan memekik karena kaget sekaligus girang. Pangeran sendiri pun kini tampak sedikit tersipu malu. Sedangkan Tuan Ali hanya bisa memasang tampang tidak percaya. Secepat itukah sahabatnya mengalah pada tipu daya dunia?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD