16. Tea Time

1767 Words
"Apakah Madam merasa kurang enak badan?" tanya Siti hati-hati sambil mengamati wajah sang madam dengan seksama. Ingin rasanya Siti meraba kening dan tangan sang madam untuk mengecek suhu badan beliau. Namun tertahan, karena takut hal itu dianggap kurang sopan. Lagipula, tanpa memastikan suhu badan sang Madam pun, Siti sudah dapat memastikan bahwa Madam Aisha kurang sehat karena bibir dan mukanya yang pucat. "Aku baik-baik saja, Siti ...," jawab Madam Aisha lemah seraya memaksakan senyuman yang agak berat. "Sepertinya, aku hanya butuh udara segar." "Mungkin, Madam ingin minum teh di taman?" ujar Siti menawarkan hal yang menarik bagi Madam Aisha. "Saya akan membawa teh dan kuenya ke sana bila Madam berkenan," tambahnya lagi sambil mengangkat kue dan teh di tangan yang tadinya sudah dia letakkan di meja. Ide bagus yang ditawarkan Siti, disambut hangat oleh Madam Aisha. "Baiklah, ayo kita ke taman. Kamu mau menemaniku minum teh, 'kan?" Siti pun mengiyakan karena tidak ingin mengecewakan lagi keinginan sang madam. Lagipula, tentu sangatlah konyol bila minum teh sendirian di taman. Hanya sedikit berbeda dengan di kamar, 'kan? Di sisi lain, Siti merasa sangat lega karena semangat Madam Aisha telah kembali. Kekhawatirannya akan insiden tadi pagi, ternyata tidak benar. Madam Aisha terlihat tetap ramah dan baik padanya. Sehingga Siti pun dapat mengimbangi dengan bersikap seolah tak terjadi hal apa pun di antara mereka. Siti dan Madam Aisha kini berjalan beriringan, terlihat seperti pelayan dan majikan yang sudah sangat akrab karena sudah saling mengenal sejak beberapa tahun yang lalu. Tak ada kecanggungan. Mereka dengan sangat asyik berbagi cerita tentang hal yang sama-sama mereka ketahui sembari terus melangkahkan kaki menuju taman. Taman belakang di kediaman Tuan Khalid adalah taman yang indah, walaupun penampakannya tidak seperti yang akan kita temukan di buku dongeng. Tidak terlalu banyak bunga aneka rupa, melainkan hanya pohon palm, perdu, dan rumput. Namun, penataan yang sedemikian rupa, membuatnya tetap asri dan elok dipandang mata. Di sisi kanan taman, terdapat sebuah kolam renang yang cukup luas untuk dipakai sekeluarga berenang. Di sisi kolam, berjajar bangku panjang dan meja kecil untuk berbaring sehabis berenang dan menikmati minuman dingin saat cuaca panas. Sedangkan di sisi kiri, adalah meja kayu besar yang dikelilingi banyak kursi yang senada. Di sinilah tempat Madam Aisha dan Siti menikmati kue dan tehnya sambil bercengkrama. Payung parasut yang sangat lebar, membuat mereka tidak akan kepanasan walaupun berada di sini pada saat mentari masih terik. Siti yang kini sudah membawa porsi hidangan tambahan dari dapur, melanjutkan bercakap-cakap dengan sang Madam, sambil menikmati cream puff buatan Alya yang sangat sedap. Dia bahkan hanya sambil lalu mendengarkan apa yang dikatakan Madam Aisha karena sangat berkonsentrasi menikmati betapa creamy dan renyah kuenya. Kue yang lezat adalah surga dunia bagi Siti. "Jadi, kapan kamu akan melanjutkan pelajaran perawatan bayi selanjutnya?" tanya Madam Aisha ingin tahu. "Apakah jadwal yang kita susun sudah disetujui?" "Mmm ... saya masih belum tahu. Saya sudah menyerahkan lembaran jadwal pada Miss Aziza. Nanti Ahmed akan memberitahukan jadwal selanjutnya," jawab Siti setelah mengosongkan mulutnya dari makanan. Tentu saja, dia mengisi mulut lagi dengan gigitan besar cream puff selepas menjawab pertanyaan dari Madam Aisha. "Sebaiknya segera saja. Aku akan meminta suamiku untuk menyampaikan hal ini ke Ahmed. Agar jadwal latihanmu bisa dilanjutkan secepatnya," balas Madam Aisha dengan sangat bersemangat. Tak tampak lagi keletihan yang tadi beliau tampakkan di kamar. Mungkin karena suasana saat ini yang sedang cerah. Atau bisa jadi karena yang dibahas adalah hal yang berkaitan dengan kepentingan calon bayinya. Madam Aisha memang sangat antusias bila membahas hal yang berkaitan dengan kandungan atau perawatan bayinya nanti. Tadinya, beliau menginginkan bayinya dipegang oleh pengasuh profesional yang sudah berpengalaman bertahun-tahun memegang bayi. Namun, setelah bertemu Siti, beliau merasa Siti akan menjadi sahabat yang baik untuk anaknya nanti. Sama sekali tak ingin menolak kehadiran Siti. Akan tetapi, tak bisa dipungkiri bahwa Siti tetaplah seorang pemula. Sebagai seorang ibu, Madam Aisha tentu mengkhawatirkan pula keselamatan bayinya. Maka, beliau berencana untuk meminta pengasuh bayi senior mendampingi Siti di awal masa kerjanya nanti. Agar Siti tidak tersinggung dan merasa diragukan kemampuannya, Madam Aisha berencana akan memberikan pengertian dulu kepada Siti mengenai hal ini. Sepertinya, sore ini adalah waktu yang tepat. "Siti ... untuk kebaikan bersama, aku berharap kamu tidak tersinggung bila nantinya aku meminta seorang pengasuh bayi senior untuk membantumu mengasuh bayi yang baru lahir ...," ujar sang Madam perlahan kepada Siti. Selambat mungkin dengan penuh kehati-hatian dalam memilih kata-kata agar Siti tak salah paham. "Hanya untuk awal-awal saja. Bila kamu sudah merasa lebih percaya diri, kamu bisa melakukannya sendiri nanti." Siti yang mendengarnya, tentu sangatlah senang. Menurut Siti yang tidak berpengalaman, merawat bayi seharian memang akan sangat melelahkan. Karena itulah, saat dia mendengar bahwa akan ada yang membantunya nanti untuk melakukan pekerjaan berat ini, hanya rasa suka-cita yang dia rasakan. Bagaimana tidak? Pada dasarnya memang dia tidak percaya diri dengan kemampuan yang sekarang, 'kan? "Tentu saya akan sangat senang, Madam!" sahut Siti antusias, hingga dia melupakan sejenak lezatnya kue buatan Alya yang baru setengah dimakannya. Dia bahkan hendak mengatakan bahwa akan lebih menyenangkan lagi bila pengasuh bayi senior nanti tidak akan pernah meninggalkannya sampai si bayi cukup besar dan bisa berjalan. Namun, Siti berhasil menghentikan mulutnya sebelum kata-kata itu meluncur. Karena dia baru saja menyadari bahwa hal itu bisa disalahpahami. Bisa-bisa sang Madam akan mengira bahwa Siti adalah orang yang pemalas. "Baiklah, aku akan membicarakan hal ini juga dengan suamiku nanti," ujar Madam Aisha tampak puas. Beliau tersenyum manis, kemudian melanjutkan memakan kuenya. Siti pun tersenyum lega. Bahagia rasanya, karena telah hilang satu kekhawatiran yang mengganjal di benaknya selama ini. Namun, muncul satu pertanyaan lagi di benak Siti. Apakah benar, para wanita kaya itu tidak ingin repot-repot menyentuh anaknya sama sekali? Atau, tiap wanita memiliki keinginan yang berbeda-beda mengenai hal ini? Padahal, Madam Aisha terlihat tidak seperti seorang wanita yang akan membiarkan anaknya diasuh oleh orang lain selama 24 jam .... Saat sedang sibuk dengan pikiran masing-masing, tiba-tiba ada suara seorang gadis kecil mengagetkan Siti dan Madam Aisha. "Bolehkah aku bergabung bersama kalian?" Tak perlu lagi dicari tahu itu suara siapa, karena hanya ada satu gadis kecil di rumah ini. Nona Sophia. Mi yang tampak merasa bersalah karena tidak bisa mencegah Nona Sophia mengganggu pembicaraan Siti dan Madam Aisha, hanya menunduk dengan takut-takut. Madam Aisha terpana karena sudah lama Nona Sophia tidak tertarik untuk mengajaknya bicara. Ada apakah gerangan hingga gadis kecil itu berubah pikiran? Apakah yang telah meluluhkan keegoisannya? Madam Aisha tak perlu menahan pertanyaannya begitu lama. Karena kini dia tahu, siapakah yang sebenarnya dituju oleh Nona Sophia. Siti. Nona Sophia dengan semangat mengambil tempat duduk di sebelah Siti, kemudian diikuti oleh Mi yang berdiri di sampingnya. Nona Sophia yang ingin melewatkan waktu bersama Siti, segera meminta Miranda pergi. Namun, tentunya sang nona kecil tidak berani mengusir Madam Aisha. Sehingga dia terpaksa menerima kehadiran wanita yang tidak dia sukai. "Aku tadi melihatmu minum teh di taman. Kemudian aku meminta Mi untuk mengantarku ke sini dan bergabung dengan kalian berdua," cerita Nona Sophia. "Sebelumnya tidak pernah ada yang minum teh di taman. Acara minum teh selalu dilakukan sendiri di dalam kamar. Begitu melihatmu melakukannya, aku tergoda karena terlihat sangat asik." Begitulah seterusnya. Nona Sophia hanya mengajak Siti berbicara, tidak dengan Madam Aisha sehingga beliau menjadi kesepian. Ternyata sangat tidak enak rasanya walaupun yang melakukan hal seperti itu adalah anak kecil. Tidak disukai hanya karena wanita itu mengandung adik yang akan menjadi saingan beratnya di masa depan, tampaknya merupakan alasan yang sangat tidak adil untuk Madam Aisha. Namun, Siti melihat celah lain dalam hal ini. Bila saja Madam Aisha bisa menunjukkan kalau beliau tetap akan menyayangi Nona Sophia meskipun adik sebapaknya nanti lahir, tentulah Nona Sophia akan kembali menyukai Madam Aisha seperti dulu lagi. Membuat Nona Sophia kembali menyayangi istri kedua ayahnya, telah menjadi misi terselubung Siti dalam waktu dekat ini. Tak hanya itu, Siti ingin membuat Nona Sophia menyayangi dan mensyukuri kehadiran adiknya nanti. Tak ada lagi kebencian terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan adiknya. Untuk itu, Siti rasa, Madam Aisha juga harus melakukan pendekatan khusus ke Nona Sophia. Tidak akan cukup bila hanya dari diri Siti saja. "Apakah Nona menyukai kuenya?" tanya Siti menunjuk cream puff yang masih utuh. Belum tersentuh sama sekali. "Bila tidak suka, mungkin karena aku tadi membantu Alya. Apakah rasa kuenya jadi berubah?" "Aku menyukainya, kok. Hanya saja tadi aku sibuk berjalan karena menyusulmu kemari. Jadi tidak mungkin, 'kan, aku memakannya sambil berjalan. Kemudian, setelah sampai sini, aku sibuk berbicara denganmu. Jadi tidak mungkin aku menyantapnya ...," jelas Nona Sophia panjang dan lebar. Kini dia menggigit cream puff yang mulai sedikit lembek, namun tetap sedap. "Rasanya enak," puji Nona Sophia. "Walaupun kamu membantu Alya membuatnya, tapi rasanya tidak berubah. Kamu pintar seperti Alya!" komentarnya lagi, terus-menerus memuji. "Madam Aisha juga sangat pintar membuat kue," timpal Siti melihat ada kesempatan untuk melibatkan Madam Aisha. Sang madam yang dari tadi terdiam, menjadi sedikit terkejut mendengar namanya disebut. Namun, beliau mengerti apa maksud Siti. "Nanti, saat adik Nona sudah lahir, Nona dan adik Nona bisa membuat kue bersama Madam Aisha," lanjut Siti memberikan gambaran masa depan kepada nona kecil di depannya. "Pasti menyenangkan, bukan? Mengamati adonan kue yang tadinya hanya seukuran ini, menjadi sebesar ini ...," tambah Siti memberikan penekanan hal-hal yang paling dia sukai saat membuat kue, sambil memperagakan ukuran kue yang dibahas dengan jari tangannya. Nona Sophia hanya terpana mendengar penuturan Siti. Apa benar, dia nanti bisa melakukan hal-hal yang asik seperti itu dengan adiknya? "Tapi adikku nanti bayi, bukan? Bagaimana kami akan membuatnya bersama?" sanggahnya kritis. "Tentu saja, saya yang akan menggendong adik Nona. Nona tinggal menunjukkan caranya kepada adik Nona," balas Siti lagi. Siti memang tidak pandai meyakinkan Nona Sophia. Namun, sudah terlihat jelas bahwa Nona Sophia mulai tak keberatan membahas tentang adiknya. Madam Aisha yang mengetahui hal ini, tersenyum, kemudian ikut andil dalam diskusi. "Jadi, apakah kamu sudah memiliki guru balet yang baru?" tanya Madam Aisha mengalihkan topik pembicaraan agar Nona Sophia tak bosan. "Iya, Baba bilang begitu," balas Nona Sophia penuh semangat. "Aku sudah tidak sabar untuk belajar menari lagi!" Tampaknya, Nona Sophia telah melupakan rasa kesalnya kepada Madam Aisha. Berhasil. Seru Siti dalam hati kegirangan. Ternyata anak-anak memanglah anak-anak. Sirami mereka dengan perhatian dan kasih sayang, maka hilanglah semua dendam. Bukankah pertengkaran di taman bermain memang tak kan pernah bertahan lama? Itu karena anak-anak sangat pemaaf. Namun, yang kadang Siti lupakan adalah, bahwa mulut anak-anak kadang bertindak seperti ponsel rusak yang berbunyi sendiri tanpa ada yang menyalakan alarm atau music player-nya. Seperti saat ini, Nona Sophia mengatakan hal yang tidak Siti duga. Hal yang tak seharusnya diketahui oleh siapa pun. Apalagi oleh istri Tuan Khalid. "Apakah tadi Baba memarahimu?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD